“Lepas, Pak. Gak enak diliat sama yang lainnya.”Andhira berusaha untuk melepaskan diri dari rangkulan Arsenio, tetapi tidak digubris. Andhira yang malu dilihat sama mahasiswi-mahasiswa yang melintasi koridor lantai dua, menggigit tangan kekar Arsenio. Hal itu membuat Arsenio melebarkan kedua bola matanya.“Udah kamu diem aja, kaki kamu perlu diobatin,” ucap Arsenio, dirinya mengangkat tubuh Andhira secara tiba-tiba, sehingga membuat gadis itu memekik, dan meronta untuk diturunkan.“Turunin, Pak. Saya bisa ke unit kesehatan sendirian kok.”Arsenio menatap kedua mata Andhira, “Kamu bisa diem gak? Saya bisa berbuat lebih nekat dari ini.”Andhira mengerucutkan bibir, dan memilih menyembunyikan wajahnya pada bidang dada Arsenio. Hal itu membuat Arsenio tersenyum.“Good girl,” bisik Arsenio dengan lembut, membuat Andhira mengangkat kembali wajahnya, dan seketika dirinya melebarkan kedua bola matanya. Berbeda dengan Arsenio, dirinya hanya terkekeh, dan mengalihkan atensinya.Arsenio terseny
“TANTE ANDHIRA, CALON MAMIHNYA AMANDA.”Andhira yang mendengar teriakan khas, dan sering dia dengar pun menoleh. Amanda berlari menghampiri Andhira yang sedang duduk seorang diri di gazebo, dia naik ke Gazebo dibantu oleh Andhira.“Mbak Maya mana?” tanya Andhira lembut, dirinya memang tidak bisa bertindak kasar kalau kepada anak kecil, kecuali anak kecil itu memancing kesabarannya.“Ituu, lagi ngobrol sama Papih,” jawab Amanda, menatap Mbak Maya yang sedang berbicara dengan seorang pria bertubuh tegap mengenakan kemeja berwarna berwarna putih lengan pendek.Andhira menatap pria tersebut dengan menyipitkan kedua matanya, dirinya tidak dapat mengetahui sosok tersebut, karena berdiri membelakanginya. Sedangkan Amanda menatap Andhira.“Tante kenal kenal sama Papih aku?” tanya Amanda, membuat Andhira menoleh dan menggeleng.“Kamu kenapa nyasarnya ke sini? Emangnya gak takut ditinggal sama Papih?” tanya Andhira kepada Amanda, gadis kecil itu menggeleng.“Kata Papih, kalau aku mau disini, ga
“Amanda, kamu ngapain di sini?”Andhira terkejut dengan kehadiran dari Amanda di kelasnya, sudah tiga hari tidak bertemu dengan gadis kecil itu, kini dirinya harus menerima kenyataan bahwa Amanda masih terus mengganggunya. Terhitung kurang lebih lima hari Amanda hadir dihadapannya.Amanda menoleh, dan tersenyum manis. “TANTEE.”Andhira menghampiri Amanda dan Darwis berada, di dalam ruangan ini hanya ada mereka berdua, sebelum akhirnya Andhira.“Kata Om Darwis, Tante Andhira gak dateng, tapi ternyata dateng. Om bohong sama aku yaa?” tanya Amanda kepada Darwis dengan mata menyipit, sedangkan Darwis hanya bergumam tidak bersalah.“Tadinya mau gak dateng, terus kata temen aku Dosen PAnya yang ngegantiin dosen lainnya, jadi aku harus masuk,” jelas Andhira, dirinya duduk di kursi belakang Amanda.“Emangnya Pak Kiki berhalangan hadir?” tanya Darwis, menatap Andhira yang mengangguk. Jawaban dari Andhira membuat Darwis berdecak, “Kenapa gak diliburin aja sih? Jadwalin kuliah pengganti.”Andhir
“Kok kamu dateng sendirian? Gak bareng sama Amanda? Oh atau itu bocah udah sama Mbak Maya?”Andhira menyeruput es jeruk, ditemani satu porsi roti bakar. Dirinya cabut dari kelas Pak Kiki yang digantikan oleh Arsenio, dan pergi ke café yang tidak jauh kampus. Dia mengirimkan lokasi kepada sahabatnya.“Di jemput sama Mbak Maya, buat pulang. Katanya, biar gak ngerengek ketemu kamu,” ujar Darwis.Andhira bergumam, dirinya memakan satu potong roti bakar, menatap Darwis yang sedang menatapnya serius. “Kenapa? Ada yang mau diomongin?”“Aku minta maaf yaa, apapun yang terjadi setelah ini,” ucap Darwis dengan serius, membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Ada apa sih, Darwis Kusuma?” tanya Andhira menuntut, sahabatnya itu hanya menggeleng dan tersenyum manis.“Jangan musuhin aku, sumpah aku terpaksa.”Andhira mendelik, dirinya bingung harus bereaksi seperti apa, sedangkan Darwis tidak memberitahukan apa yang terjadi.“Maheswari Andhira Swastika.”Andhira melebarkan kedua matanya, menatap
“Kamu itu mahasiswi loh, bukan anak SMA lagi, jadi jangan banyak bertingkah.” Andhira menaikkan sebelah alisnya, menatap Arsenio yang menatapnya serius. Aura laki-laki di sebrangnya itu menakutkan, tetapi sedikit membuat Andhira terpesona. Bukannya apa-apa, gadis itu mengakui pesona yang dimiliki seorang Dareen Arsenio. “Harusnya pak Arsen makasih sama saya, karena pak Arsen gak makan gaji buta,” ucap Andhira santai, tidak menganggap Arsenio sebagai Dosen PAnya. “Saya di sini tidak digaji, jadi saya melakukan ini karena sukarelawan,” ujar Arsenio dengan santai, berbeda dengan Andhira yang memicingkan mata. Pernyataaan dari Arsenio, membuat Andhira menatap penuh curiga. “Terus kenapa mau jadi Dosen di sini? Kan pasti pak Arsenio duitnya gak habis-habis.” Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu tau? Cita-cita saya sebagai dosen tanpa dibayar. Dulu, saya tidak punya apa-apa, makanya mantan istri saya minta cerai, karena dia gak mau hidup susah sama saya.” Andhira menatap Arsenio ya
“Anak kamu nyariin tuh, Dhir.”Darwis terkekeh saat melihat Andhira yang berdecak, dia tahu suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik saja, dan saat ini sosok Amanda sedang celingak-celinguk di dekat pintu masuk kantin indoor.“Biarin aja, Dar. Aku takut kelepasan,” ujar Andhira, dirinya lebih tertarik kepada siomay bumbu kacang ditambah dengan saus dan kecap. Sedangkan Darwis mengendikkan kedua bahunya, tetapi tidak melepaskan atensinya dari sosok Amanda Anandita.“Kasian dia, Dhir. Kamu gak mau nyamperin dia?” tanya Darwis, menatap Andhira yang sedang menaikkan sebelah alis. “Dia sendirian loh, nanti kalau digangguin sama Tesya gimana?”Andhira bergumam, menoleh, dan mendapati Amanda yang bersidekap dada dengan wajah yang kesal. “Dia kenapa? Kok lucu sihh,” ucapnya, diakhiri dengan tertawa.Bayangkan saja bagaimana ekspresi Amanda, anak usia 7 tahun berdiri sendirian di dekat pintu masuk, seperti kesal karena tidak bisa menemukann apa yang diinginkan.Darwis mengangguk, “Kamu ya
“Kamu nanti malem ada acara?”Andhira menghentikan aktifitasnya yang sedang memasukkan buku ke dalam totebag, segera mengangkatkan kepala, dan mendapati wajah Arsenio yang sedang tersenyum kepadanya.“Kenapa emangnya, Pak? Hari ini saya lagi di rumah Mamih saya, dan gak boleh keluar malam.”Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Loh iya? Saya kira kamu lagi di rumah Papih kamu.”“Kenapa, Pak?” tanya Andhira tanpa menatap Arsenio yang sedang bergumam. Setelah selesai, dirinya segera beranjak, tersenyum tipis kepada Arseni, “Kalau gak ada yang mau dibicarain, saya permisi yaa, Pak.”“Tunggu,” ucap Arsenio, setelahnya berdeham, dan menatap Andhira yang menaikkan sebelah alisnya, “Nanti malam saya harus dateng ke acara ulang tahun anaknya rekan kerja saya.”Andhira bergeming, dirinya tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Akhirnya memilih Arsenio untuk melanjutkan. Tetapi, sudah lebih dari dua menit, hanya ada keheningan di antara mereka, membuat Andhira jenuh.“Terus kenapa, Pak?” tanya An
“Tadi malam saya ke rumah Mamih kamu, tapi lampunya mati. Kalian pergi?”Arsenio menyamakan langkah kakinya dengan Andhira, sedangkan Andhira hanya bergumam, tanpa menanggapi apa yang diucapkan oleh Arsenio. Hal itu membuat Arsenio menaikkan sebelah alisnya, bingung dengan perubahan sikap Andhira.“And—”Andhira menghentikan langkahnya, menyamping, dan menatap Arsenio dengan tersenyum tipis, “Saya boleh minta tolong? Hari ini jangan ganggu saya dulu ya, Pak.”“Kenapa? Kamu ada masalah?”Andhira menggeleng, dan tersenyum. Tanpa basa-basi, dirinya menunduk, dan melenggang pergi. Andhira benar-benar tidak bisa diganggu, karena suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Satu yang diinginkan, tidak bertemu dengan Amanda, takut tidak bisa menahan emosinya.Darwis yang menaikkan sebelah alisnya saat berpapasan dengan Andhira yang masuk ke dalam lift, tanpa basa-basi dia menyusul Andhira. Kini di dalam lift kampus hanya mereka berdua. Darwis merangkul sahabatnya, mengusap lengan Andhira.“J