“Kok kamu dateng sendirian? Gak bareng sama Amanda? Oh atau itu bocah udah sama Mbak Maya?”Andhira menyeruput es jeruk, ditemani satu porsi roti bakar. Dirinya cabut dari kelas Pak Kiki yang digantikan oleh Arsenio, dan pergi ke café yang tidak jauh kampus. Dia mengirimkan lokasi kepada sahabatnya.“Di jemput sama Mbak Maya, buat pulang. Katanya, biar gak ngerengek ketemu kamu,” ujar Darwis.Andhira bergumam, dirinya memakan satu potong roti bakar, menatap Darwis yang sedang menatapnya serius. “Kenapa? Ada yang mau diomongin?”“Aku minta maaf yaa, apapun yang terjadi setelah ini,” ucap Darwis dengan serius, membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Ada apa sih, Darwis Kusuma?” tanya Andhira menuntut, sahabatnya itu hanya menggeleng dan tersenyum manis.“Jangan musuhin aku, sumpah aku terpaksa.”Andhira mendelik, dirinya bingung harus bereaksi seperti apa, sedangkan Darwis tidak memberitahukan apa yang terjadi.“Maheswari Andhira Swastika.”Andhira melebarkan kedua matanya, menatap
“Kamu itu mahasiswi loh, bukan anak SMA lagi, jadi jangan banyak bertingkah.” Andhira menaikkan sebelah alisnya, menatap Arsenio yang menatapnya serius. Aura laki-laki di sebrangnya itu menakutkan, tetapi sedikit membuat Andhira terpesona. Bukannya apa-apa, gadis itu mengakui pesona yang dimiliki seorang Dareen Arsenio. “Harusnya pak Arsen makasih sama saya, karena pak Arsen gak makan gaji buta,” ucap Andhira santai, tidak menganggap Arsenio sebagai Dosen PAnya. “Saya di sini tidak digaji, jadi saya melakukan ini karena sukarelawan,” ujar Arsenio dengan santai, berbeda dengan Andhira yang memicingkan mata. Pernyataaan dari Arsenio, membuat Andhira menatap penuh curiga. “Terus kenapa mau jadi Dosen di sini? Kan pasti pak Arsenio duitnya gak habis-habis.” Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu tau? Cita-cita saya sebagai dosen tanpa dibayar. Dulu, saya tidak punya apa-apa, makanya mantan istri saya minta cerai, karena dia gak mau hidup susah sama saya.” Andhira menatap Arsenio ya
“Anak kamu nyariin tuh, Dhir.”Darwis terkekeh saat melihat Andhira yang berdecak, dia tahu suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik saja, dan saat ini sosok Amanda sedang celingak-celinguk di dekat pintu masuk kantin indoor.“Biarin aja, Dar. Aku takut kelepasan,” ujar Andhira, dirinya lebih tertarik kepada siomay bumbu kacang ditambah dengan saus dan kecap. Sedangkan Darwis mengendikkan kedua bahunya, tetapi tidak melepaskan atensinya dari sosok Amanda Anandita.“Kasian dia, Dhir. Kamu gak mau nyamperin dia?” tanya Darwis, menatap Andhira yang sedang menaikkan sebelah alis. “Dia sendirian loh, nanti kalau digangguin sama Tesya gimana?”Andhira bergumam, menoleh, dan mendapati Amanda yang bersidekap dada dengan wajah yang kesal. “Dia kenapa? Kok lucu sihh,” ucapnya, diakhiri dengan tertawa.Bayangkan saja bagaimana ekspresi Amanda, anak usia 7 tahun berdiri sendirian di dekat pintu masuk, seperti kesal karena tidak bisa menemukann apa yang diinginkan.Darwis mengangguk, “Kamu ya
“Kamu nanti malem ada acara?”Andhira menghentikan aktifitasnya yang sedang memasukkan buku ke dalam totebag, segera mengangkatkan kepala, dan mendapati wajah Arsenio yang sedang tersenyum kepadanya.“Kenapa emangnya, Pak? Hari ini saya lagi di rumah Mamih saya, dan gak boleh keluar malam.”Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Loh iya? Saya kira kamu lagi di rumah Papih kamu.”“Kenapa, Pak?” tanya Andhira tanpa menatap Arsenio yang sedang bergumam. Setelah selesai, dirinya segera beranjak, tersenyum tipis kepada Arseni, “Kalau gak ada yang mau dibicarain, saya permisi yaa, Pak.”“Tunggu,” ucap Arsenio, setelahnya berdeham, dan menatap Andhira yang menaikkan sebelah alisnya, “Nanti malam saya harus dateng ke acara ulang tahun anaknya rekan kerja saya.”Andhira bergeming, dirinya tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Akhirnya memilih Arsenio untuk melanjutkan. Tetapi, sudah lebih dari dua menit, hanya ada keheningan di antara mereka, membuat Andhira jenuh.“Terus kenapa, Pak?” tanya An
“Tadi malam saya ke rumah Mamih kamu, tapi lampunya mati. Kalian pergi?”Arsenio menyamakan langkah kakinya dengan Andhira, sedangkan Andhira hanya bergumam, tanpa menanggapi apa yang diucapkan oleh Arsenio. Hal itu membuat Arsenio menaikkan sebelah alisnya, bingung dengan perubahan sikap Andhira.“And—”Andhira menghentikan langkahnya, menyamping, dan menatap Arsenio dengan tersenyum tipis, “Saya boleh minta tolong? Hari ini jangan ganggu saya dulu ya, Pak.”“Kenapa? Kamu ada masalah?”Andhira menggeleng, dan tersenyum. Tanpa basa-basi, dirinya menunduk, dan melenggang pergi. Andhira benar-benar tidak bisa diganggu, karena suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Satu yang diinginkan, tidak bertemu dengan Amanda, takut tidak bisa menahan emosinya.Darwis yang menaikkan sebelah alisnya saat berpapasan dengan Andhira yang masuk ke dalam lift, tanpa basa-basi dia menyusul Andhira. Kini di dalam lift kampus hanya mereka berdua. Darwis merangkul sahabatnya, mengusap lengan Andhira.“J
“Ehh basah. Maaf yaa, gak sengaja, tapi aku niat buat bikin baju kotor.”Andhira terkekeh, dia baru saja menyiram seorang perempuan bersurai panjang, mengenakan kaos oblong berwarna hitam, rok selutut, Tesya Farhana.“Andhira Swastika, kamu punya dendam terselubung sama aku? Bilang aja. Gak perlu jadi baik buat mendapatkan pengakuan.”“Maheswari Andhira Swastika, itu nama lengkap aku. Lagian sok akrab amat manggil aku pake Andhira Swastika, siapa kamu? Kita kenal aja gak,” protes Andhira dengan menatang, dirinya bersidekap dada.Tesya maju satu langkah, menatap Andhira yang memiliki tinggi tubuh seimbang dengannya, “Kamu ada masalah apa sama aku? Aku gak ada ngerebut Darwis ataupun Reno dari kamu. Terus kenapa kamu sewot tiba-tiba?”“Kamu bikin anak kecil nangis lagi, kan? Ngakuu. Aku punya buktinya,” ucap Andhira tidak kalah menantang. Dia menatap Tesya dengan tajam, bahkan tidak ada lagi tatapan ramah yang biasa ditampilkan.“Anak kecil mana? Yang kaya boneka itu? Emangnya dia siap
“Pak Arsen, saya mau nanya dong.”Andhira menatap Arsenio yang sedang menatap layar laptop dengan serius, memandangi wajah Dosen tampan yang ternyata duda memiliki anak satu, dan menjadi idola di universitas selalu happy.Arsenio mengalihkan atensinya menatap Andhira, “Apa?” tanyanya dengan serius, menunda urusannya, dan memfokuskan atensinya hanya dengan menatap Andhira.“Kemaren kenapa pak Arsen ngebelain Amanda? Padahalkan dia gak urusannya sama pak Arsen, kan?” tanya Andhira dengan cepat, satu malam dia habiskan untuk berfikir, ada hubungan apa diantara Arsenio dan Amanda. Jadi, saat ini memberanikan diri untuk bertanya kepada Arsenio.Arsenio terkekeh, “Emangnya kalau bukan, saya tidak boleh ngebela? Kamu saja yang bukan siapa-siapa dari Amanda ngebelain Amanda, masa saya diem saja?”“Bukan gitu,” cicit Andhira, dirinya bergumam, memainkan jemarinya dibalik meja, “Maksud saya, kenapa harus repot-repot ngebelain Amanda?”“Kamu membela Amanda, berarti saya juga harus membela Amanda
“Kamu sihh, gak bisa tahan emosi, jadinya gini, kann. Kalau kamu pulang dengan wajah kaya gini, Mamih kamu bisa marahin kamu.”Andhira hanya bergumam mendengar coletahan dari Caca, kini mereka berada di Unit Kesehatan, luka yang didapatkan oleh Andhira membuat Caca harus membantu untuk mengobati.“Kamu bisa diem gak? Cerewet banget.”Caca menghentikann aktifitasnya, dirinya menegakkann tubuhnya dan berkacak pinggang, “Andhira sayang aku, kapan kamu berubah sihh? Kamu gak takut kalau nanti sih Tesya ngelaporin kamu ke bagian kemahasiswaan? Belum lagi kamu harus berhadapan sama pak Arsenio yang terkenal cukup kejam.”Andhira mendongak, menatap Caca yang mengangkat dagu angkuh, “Mendingan kamu nyusul Darwis sama Reno deh di kantin, lebih baik kamu nyeramahin sih nenek lampir. Aku lagi gak mau denger ocehan kamu.”“Gak mau, lebih baik aku ngoceh ke kamu, biar kamu sembuh. Lagian aku gak kenal sama Tesya, gak cantik, tapi banyak gaya.”Andhira tertawa, “Cantikan aku atau nenek lampir?” tan