“Pak Arsen, saya mau nanya dong.”Andhira menatap Arsenio yang sedang menatap layar laptop dengan serius, memandangi wajah Dosen tampan yang ternyata duda memiliki anak satu, dan menjadi idola di universitas selalu happy.Arsenio mengalihkan atensinya menatap Andhira, “Apa?” tanyanya dengan serius, menunda urusannya, dan memfokuskan atensinya hanya dengan menatap Andhira.“Kemaren kenapa pak Arsen ngebelain Amanda? Padahalkan dia gak urusannya sama pak Arsen, kan?” tanya Andhira dengan cepat, satu malam dia habiskan untuk berfikir, ada hubungan apa diantara Arsenio dan Amanda. Jadi, saat ini memberanikan diri untuk bertanya kepada Arsenio.Arsenio terkekeh, “Emangnya kalau bukan, saya tidak boleh ngebela? Kamu saja yang bukan siapa-siapa dari Amanda ngebelain Amanda, masa saya diem saja?”“Bukan gitu,” cicit Andhira, dirinya bergumam, memainkan jemarinya dibalik meja, “Maksud saya, kenapa harus repot-repot ngebelain Amanda?”“Kamu membela Amanda, berarti saya juga harus membela Amanda
“Kamu sihh, gak bisa tahan emosi, jadinya gini, kann. Kalau kamu pulang dengan wajah kaya gini, Mamih kamu bisa marahin kamu.”Andhira hanya bergumam mendengar coletahan dari Caca, kini mereka berada di Unit Kesehatan, luka yang didapatkan oleh Andhira membuat Caca harus membantu untuk mengobati.“Kamu bisa diem gak? Cerewet banget.”Caca menghentikann aktifitasnya, dirinya menegakkann tubuhnya dan berkacak pinggang, “Andhira sayang aku, kapan kamu berubah sihh? Kamu gak takut kalau nanti sih Tesya ngelaporin kamu ke bagian kemahasiswaan? Belum lagi kamu harus berhadapan sama pak Arsenio yang terkenal cukup kejam.”Andhira mendongak, menatap Caca yang mengangkat dagu angkuh, “Mendingan kamu nyusul Darwis sama Reno deh di kantin, lebih baik kamu nyeramahin sih nenek lampir. Aku lagi gak mau denger ocehan kamu.”“Gak mau, lebih baik aku ngoceh ke kamu, biar kamu sembuh. Lagian aku gak kenal sama Tesya, gak cantik, tapi banyak gaya.”Andhira tertawa, “Cantikan aku atau nenek lampir?” tan
“Kamu hari ini benar-benar kacau, Andhira.”Arsenio menatap tajam Andhira dihadapannya saat ini, sedangkan Andhira hanya bergeming memperhatikan Dosen PAnya yang sedang berbicara. Andhira tidak bodoh, dia mengakui hari ini memang benar-benar kacau.“Ya mau gimana lagi, Pak? Udah kejadian juga. Gak bisa diputar lagi.”Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu gak ngerasa bersalah?” tanyanya, membuat Andhira mengulum bibir dan bergumam.“Bersalah ke Amanda sih iya. Tapi kalau ke Tesya, gak ada dalam hati saya ngerasa bersalah. Emang dia yang bikin saya emosi hari ini,” jelas Andhira, menatap kedua bola mata milik Arsenio.“Belum lagi sebelum saya ketemu sama Tesya, saya kesel sama pak Arsen. Jadi, permasalahan dikantin tadi, bukan salah saya,” lanjut Andhira, tidak ada yang salah jika dirinya membela diri, karena dia mengatakan yang sesungguhnya, bukan mengarang cerita.Arsenio mengangguk, “Anggaplah memang itu faktanya, saya hanya ingin tahu, kenapa kamu bisa membentak Amanda? Dia tidak
“Udah tiga hari dari kejadian Andhira ngebentak Amanda, itu bocah gak keliatan lagi yaa,” ucap Reno kepada Darwis dan Andhira yang duduk di kursi sebrang.Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Bagus, jadinya aku gak ada yang gangguin. Aku kan bisa bebas lagi. Iya, kan?” Dia tersenyum lebar, dan menaik-turunkan kedua alisnya.Reno menggeleng, “Jangan lupakan dosen kamu itu pak Dareen Arsenio, anak didik dia gak ada yang bisa bebas. Gak boleh berulah, kalaupun berulah pasti dikasih hukuman.”Darwis hanya terdiam, karena Dosen Pembimbing Akademiknyaa berbeda dengan Reno dan Andhira. Jadi, dia tidak terlalu tahu seperti apa seorang Dareen Arsenio. Sedangkan Andhira bergumam dan bersidekap dada.“Aku mau nonton, jadi aku gak ikut kelas selanjutnya yaa,” ucap Andhira menatap Darwis yang menaikkan sebelah alisnya.“Nanti aku yang dicari sama pak Arsen, Dhir. Udah deh kamu gak perlu berulah. Waktu kamu tiga seminggu bukannya?” tanya Darwis, menyinggung kesepakatan yang Andhira buat bersama Arse
“To the point aja deh, Pak. Tujuan pak Arsen ngajak saya ketemuan di sini, mau ngobrolin tentang apa?”Andhira bersidekap, menatap serius Arsenio yang duduk di kursi sebrang. Mereka saat ini sedang berada di restoran ternama di Nusantara, memiliki rating cukup bagus dari pelanggan, dan tidak heran kalau restoran ini selalu ramai.Arsenio menaikkan sebelah alisnya, dan tersenyum, “Sabar dulu dong. Bentar yaa,” ucapnya dengan lembut, dia mengangkat tangan ke udara untuk memanggil pelayan yang berdiri di dekat meja kasir.Pelayan atau waitress mengenakan seragam kemeja putih dan rok berwarna biru, tidak lupa pita dibagian kerah, melangkahkan kaki dengan anggun menghampiri meja nomor 10 yang disinggahi oleh Andhira dan Arsenio.Waitress itu tersenyum kepada Arsenio dan Andhira, menatap silih berganti, dan menyimpan buku menu di meja. Arsenio mengambil buku menu tersebut tanpa tersenyum dan mengucapkan sepatah katapun.Arsenio menatap Andhira yang sedang menatap waitress dengan tatapan mem
“Andhira, are you okay, Darling?”Caca menyenggol lengan Andhira, tetapi tidak membuat gadis itu tersadar dari lamunan. Lantas, Caca menatap Darwis dan Reno silih berganti. Kedua lelaki yang duduk di kursi sebrang, kompak mengendikkan kedua bahu.“Dia semalem abis ketemu sama pak Arsen, karena aku jemput, abis itu aku anter ke restoran mewah itu loh,” ucap Reno, menatap Caca dan Darwis. Reno melanjutkan, “Terus dia nyuruh aku pulang.”Caca mendelik, “Kenapa gak kamu tungguin?” tanyanya, Reno hanya mengulum bibir.“Kok dia gak minta tolong ke aku?” tanya Darwis, Reno hanya menggelengkan kepala. Sedangkan Caca mengangguk setuju dengan pertanyaan kekasihnya.“Biasanya juga minta tolong ke Darwis, kenapa jadi ke kamu?” tanya Caca, menatap Reno dengan mata menyipit.“Aku gak tauu. Mungkin kalau ke Darwis, gak enak sama Caca. Jadinya, dia minta tolong ke aku, karena gak bakal ada yang cemburu sama aku,” jawab Reno, diakhiri dengan terkekeh. Caca spontan melempar tissue kepada Reno.“Aku ga
“Kamu di sini niatnya mau kuliah atau nyari musuh sih, Nenek lampir?”Andhira menarik surai panjang milik Tesya, dirinya melakukan ini saat melihat Tesya kembali membuat Amanda menangis, dan teman satu angkatannya yang membela Amanda menatap penuh emosi kepada Tesya.“Jambak teruss yang kenceng, sampe copot itu rambut dari kepalanya nenek lampir,” ucap perempuan mengenakan jaket hoodie berwarna hitam, surai sebahu, dan berdiri di sisi kiri Amanda, Faradilla Yautarsa.“AW … AW … KAMU BUKAN PEREMPUAN YA?” tanya Tesya dengan berteriak, berusaha untuk menoleh dan melepaskann tangan Andhira dari surainya.Andhira memiringkan kepala, menampilkan wajah datar, “Kalau iya, kenapa? Makanya jadi manusia jangan suka bikin anak orang nangis!”“Tante,” panggil Amanda dengan suara serak, dia menghapus airmata yang tersisa di kedua pipinya. Andhira menatap Amanda, dan tersenyum manis, membuat Amanda menghangat.“Ya? Kamu mau request apa?” tanya Andhira, diakhiri dengan terkekeh. Caca yang berdiri di
“Maheswari Andhira Swastika, kamu sehari gak bikin saya sakit kepala, gak bisa ya?”Andhira mengulum bibirnya, tidak menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Arsenio. Kini dirinya sedang berada di ruangan Arsenio. Setelah jam mata kuliah pertama, Arsenio menjemputnya di depan kelas dan menariknya ke ruangan.“Berarti kamu emang mau yaa ngelakuin dari kesepakatan kita?” tanya Arseni lagi, karena pertanyaannnya tidak mendapatkan jawaban sama sekali.Andhira berdecak, “Berubah itu gak secepat nyuci baju di mesin cuci ya, Pak. Enak aja. Ibaratnya itu kaya nyuci baju di sungai. Dari rumah, jalanannya turun-naik, abis itu harus ngelewatin jembatan, belum lagi jalannya licin karena hujan, ditambah pas sampe di sungai harus hati-hati biar baju gak keseret arus—”“Perumpaan kamu kepanjangan,” potong Arsenio, dirinya kesal mendengarkan apa yang dikatakan oleh Andhira.Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Saya belum selesai. Pas udah selesai nyuci, harus ngelewatin jalan yang sama, belum lagi ke s
“Nempel teruss. Awas awass, ngalangin jalann.” Andhira yang kesal kepada Garaga pun menendang tulang kering laki-laki dihadapannya saat ini, baru kemarin Garaga bersikap diluar nalarnya, kini kembali ke setelan pabrik. Arsenio yang berdiri di sisi kanan Andhira pun menepuk lengan tunangannya. “Aku tuh kemarin kaya bukan ketemu sama kamu. Jangan-jangan, kemarin itu kembaran kamu, kan?” tanya Andhira dengan penuh curiga, karena memang berbeda Garaga yang hadir di acara lamarannya dengan Garaga yang ada dihadapannya saat ini. “Enak aja, itu aku tau. Mode kalem, karena kamu mode kalem,” ucap Garaga, membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya. Bingung dengan apa yang dikatakan oleh Garaga. “Aku daritadi kalem padahal, kok bisa-bisanya? Jangan salahin aku kalau jambul kamu longsor dalam waktu sekejap,” ancam Andhira, dan dia melihat Garaga melangkah mundur agar tidak terkena sasarannya. Arsenio hanya menggelengkan kepala melihat tingkah tunangannya yang memang berbeda dari hari kemarin
“Aku tidak menyangka, ternyata yang menjadi calon suaminya Andhira itu Arsenio. Pria yang pernah aku tidak restui karena memiliki anak.” Papih hanya mengabaikannya, melepaskan genggaman tangan Mamih dan menggantikannya dengan rangkulan di pinggang. Keduanya melangkahkan kaki keluar dari pagar rumah untuk menyambut kedatangan keluarga Arsenio. Reno ditunjuk untuk menjadi MC di acara lamaran sahabatnya itu memakai pakaian batik, jujur saja jika bukan permintaan dari Andhira, dirinya tidak berdiri di sini, tetapii berdiri dibelakang bersama dengan Darwis,, Garaga, Kalvin dan Zavian. Dirinya saat ini berdiri di dekat di sisi kanan Papih. Arsenio berada di tengah, sisi kanannya terdapat Amanda dan Mommy, sedangkan di sisi kirinya terdapat Daddy. Nenek dan Kakek dari Amanda ikut hadir, bahkan sudah tiba di Nusantara dari satu minggu yang lalu. Saat Arsenio mengabarkan akan melamar seseorang perempuan. “Selamat datang, Tuan Daniel dan Nyonya Elizabeth,” sapa Papih kepada kedua oran
“Ini kamu sendiri yang desain?”Andhira menatap Arsenio, dan kekasihnya itu mengangguk. Sebuah foto menarik atensinya, sebuah maxi dress bersiluet A yang memiliki panjang hingga semata kaki dan lengan tranparan. Motif bunga, dan berwarna biru.“Kamu suka? Atau ada yang mau kamu tambahin?” tanya Arsenio, saat ini mereka sedang berada di butik milik Tante Kir, tanpa Amanda.Setelah satu hari kemarin menghabiskan waktu bersama, hari ini adalah waktunya Arsenio dan Andhira menyiapkan acara untuk lamaran, tidak bukan seserahan, tetapi pakaian. Permintaan Andhira mengenakan dresscode couple pada saat acara lamaran nanti.“Mas Arsen desain juga buat pakaiannya?” tanya Andhira, diangguki oleh Arsenio. Kekasihnya itu menggeser foto lain. Tante Kir hanya terdiam memperhatikan kedua pasangan yang sedang diskusi.Andhira menatap serius foto tersebut, lalu berkata, “Jelek. Gak usahh. Mas Arsen pake kemeja warna biru aja.”Arsenio mendelik, “Aku desain itu biar sama kaya punya kamu. Katanya mau c
“Aku belum ngeliat Amanda sebahagia itu.”Arsenio memperhatikan Amanda yang sedang bermain pasir di depan sana, hanya seorang diri. Sedangkan dirinya duduk tiga langkah dari posisi Amanda saat ini, bersama dengan Andhira yang memfokuskan atensi hanya kepada Amanda.“Oh iya? Dia juga tadi bahagia banget pas denger kalau aku sama kamu mau lamaran,” ucap Andhira, menoleh ke sisi kirinya dan tersenyum kepada Arsenio.Arsenio menoleh, tersenyum manis kepada kekasihnya dan kembali menatap Amanda yang sedang berusaha membangun istana dari pasir.“Keinginan dia dari pertama kali ketemu sama kamu, ya ngejadiin kamu sebagai mamihnya. Udah lama gak punya mamih, terus harapan dia cuma kamu.”Andhira bergumam, memfokuskan atensinya hanya kepada Amanda. Gadis cilik yang selalu mengganggu hari-harinya, sering datang ke kampus untuk bertemu dengannya, dan bahkan dia tidak tahu kalau Amanda itu anak dari Arsenio, dosen pembimbing akademiknya yang baru.“Aku sampe sekarang masih gak percaya sihh. Kaya
“Kamu jangan kaya gitu lain kali. Gak baik, apalagi ada ibunya, nanti beliau kesinggung, gimana?”Amanda hanya bergeming mendengarkan apa yang diucapkan oleh Andhira dari sejak mereka di sekolah dan saat ini dalam perjalanan menuju rumah.“Iya, maaf. Lagian aku kesel sama Angga, dia di dalam kelas aja ngisengin aku. Jadinya, mau ngehindar aja kalau keluar kelas,” ucap Amanda, lebih membela diri sendiri.Andhira menoleh sekilas, lalu kembali fokus menyetir. Dirinya mengerti, dan pernah melakukan hal yang sama seperti yang Amanda lakukan. Tahu akhirannya seperti apa? Orangtua sih pelaku pengganggu menyuruh Andhira untuk meminta maaf.“Aku pernah di posisi kamu, digangguin sama lawann jenis. Aku yang minta maaf, tapi aku dibilang gak sopan, orangtuanya gak terima malah minta aku buat ngebantu anak mereka dalam ngerjain tugas,” ujar Andhira, membuat Amanda menoleh dan memicingkan mata.Jujur saja, Amanda antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Andhira. Sedikit ke
“Kok baru keliatan lagi, Jeng?” Andhira tersenyum kepada Ibu Angga yang duduk di sisi kanannya. Mereka saat ini sedang duduk di kursi yang terletak dipinggir dekat dengan taman bermain yang ada di sekolah Amanda. “Iya, Bu. Kemarin-kemarin sibuk mengerjakan tugas yang dikasih dosen,” jawab Andhira, berusaha untuk sopan kepada Ibu Angga, dan berusaha untuk tidak menyinggung Ibu Angga. “Oh iya. Jeng Andhira kan sedang kuliah. Lancar yaa jeng kuliahnya? Harus dong, biar cepet dapet gelar. Terus fokus merawat Amanda,” balas Ibu Angga, ditanggapi dengan senyum manis dari Andhira. “Anaknya semakin lucu ya, Bu,” ucap Andhira diakhiri dengan terkekeh, dia kembali mengingat tingkah Angga tadi pagi sehingga membuat Amanda ngambek tidak ingin masuk kelas. Ibu Angga menyengir malu, dirinya merasa bersalah karena putranya, membuat Andhira harus membujuk Amanda untuk masuk kelas dan mengikuti pelajaran hari ini. Diluar prediksinya, dan membuatnya mengingat kembali sifat yang dimiliki oleh Angga
“Loh kok ada mamih Andhira?”Amanda menatap bingung Andhira yang saat ini duduk di ruang tamu, hanya seorang diri. Andhira mengangkat kepalanya, dan tersenyum kepada Amanda yang langsung duduk di sisi kanannya.“Gak suka kalau aku dateng ke sini?” tanya Andhira, raut wajahnya seolah sedih, dan memperhatikan Amanda yang mengangguk lalu menggeleng.“Maksud aku, kok di sini? Emangnya mamih gak kuliah?”Andhira terkekeh, lalu menggelengkan kepala. Dirinya memang sengaja datang ke sini untuk mengantar Amanda ke sekolah dan menunggunya hingga pulang sekolah. Sedangkan Arsenio sedang ada keperluan, dan sudah berangkat dari pukul tujuh.“Aku libur hari ini, udah siap?” tanya Andhira, diakhiri dengan senyum manis. Dia mendengar suara derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya menoleh dan mendapati Mbak Maya yang datang dengan membawa tas sekolah berwarna pink milik Amanda.“Kamu benerann gapapa nganterin Amanda ke sekolah?” tanya Mbak Maya setelah berdiri di dekat Amanda dan Andhira. Amanda
“Kamu sama sih Airina gak bisa akur emangnya ya?” Andhira menyeruput jus jambunya dengan santai, dihadapannya ada Arsenio. Keduanya saat ini berada di sebuah café yang tidak terlalu banyak di kunjungi oleh customer, menghabiskan waktu berdua setelah melewati hari yang cukup menguras tenaga. “Aku sih bisa aja akur, tapi kan mas Arsen liat sih kelakuan syaitonnya. Baru juga mas Arsen dateng, dia udah berulah,” ucap Andhira, mengambil satu stick kentang dan colek ke saos sambal. Kedua matanya hanya terfokus untuk Arsenio. “Oh iya?” Andhira mengangguk, membenarkan posisi duduknya. Dia berdeham, lalu berkata, “Kayanya dia emang sengaja deh cari perhatian. Soalnya ya, pas mas Arsen gak ada beberapa hari kemarin, di kampus itu dia gak ada berulah tau.” Arsenio menyeruput kopi hitam, matanya memperhatikan kekasihnya yang sedang bercerita. Hanya dengan melihat wajah Andhira saja membuatnya sedikit tenang, apalagi kekasihnya itu berceloteh seperti biasanya, tidak perlu dipertanyakan lagi.
“Tadi aku ketemu sama perempuan, dia ini mukanya berseri-seri gitu. Mungkin karena ketemu sama mas pacar kali ya?”Garaga melirik ke sisi kanan, mendapati Andhira yang datang bersama dengan Reno. Perempuan yang dimaksud oleh Garaga ialah Andhira, sang empu menyadari dan ….“AKHH ANDHIRA,” teriak Garaga saat Andhira menarik jambulnya sekuat tenaga, Reno yang melihatnya pun menarik Andhira untuk menjauh dari Garaga. Sedangkan Garaga mengibas surainya sekalian, jambulnya sudah rusak akibat ulah dari Andhira.“Apa?” tanya Andhira dengan kedua matanya melotot kepada Garaga yang menatapnya.Reno yang tidak ingin adanya pertengkaran pada pagi hari ini, memberikan kode kepada Darwis untuk bertukar tempat duduk dengan Garaga. Darwis tanpa banyak bicara mengambil tas milik Garaga dan dipindahkan ke meja belakang.Di dalam ruangan hanya ada Darwis, Garaga, Zavian, Kalvin, Reno dan Andhira. Zavian dan Kalvin memang tipe yang jarang bicara, jadi hanya duduk tenang di kursi paling belakang sejajar