“Maheswari Andhira Swastika, kamu sehari gak bikin saya sakit kepala, gak bisa ya?”Andhira mengulum bibirnya, tidak menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Arsenio. Kini dirinya sedang berada di ruangan Arsenio. Setelah jam mata kuliah pertama, Arsenio menjemputnya di depan kelas dan menariknya ke ruangan.“Berarti kamu emang mau yaa ngelakuin dari kesepakatan kita?” tanya Arseni lagi, karena pertanyaannnya tidak mendapatkan jawaban sama sekali.Andhira berdecak, “Berubah itu gak secepat nyuci baju di mesin cuci ya, Pak. Enak aja. Ibaratnya itu kaya nyuci baju di sungai. Dari rumah, jalanannya turun-naik, abis itu harus ngelewatin jembatan, belum lagi jalannya licin karena hujan, ditambah pas sampe di sungai harus hati-hati biar baju gak keseret arus—”“Perumpaan kamu kepanjangan,” potong Arsenio, dirinya kesal mendengarkan apa yang dikatakan oleh Andhira.Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Saya belum selesai. Pas udah selesai nyuci, harus ngelewatin jalan yang sama, belum lagi ke s
“Kamu yakin banget emangnya kalau pak Arsenio itu Papih dari Amanda?”Andhira yang diberikan pertanyaan oleh Darwis pun mengangguk yakin, dia menatap Darwis yang sedang menyeruput kopi, “Yakin, aku gak bodoh-bodoh banget kali, Dar. Kalau aku analisa itu bener terus,” ucapnya dengan bangga, dan tersenyum lebar.“Kalau salah, kamu yang malu loh,” balas Darwis, dirinya sudah berjanji kepada Arsenio untuk tidak memberitahukan kepada Andhira, jadi dia sengaja memberikan asumsi yang berbeda.Andhira bergumam, menyimpan kembali sendok di mangkok bergambar ayam, melipat kedua lengannya di meja, dan menatap Darwis dengan tajam, “Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Aku tau kamu dari masih embrio. Jadi, kalau kamu bohong sama aku itu ketahuan.”Darwis menyeruput coklat hangat dengan tenang, tidak terpancing, “Aku jarang bohong sama kamu, lagian juga buat apa sih aku bohong sama kamu?”Andhira menaikkan kedua bahunya, “Kali aja saking rahasianya, kamu nyembunyiin dari aku, itu kan termasuk bohong
“Kamu hari ini hampir bikin orang celaka, Maheswari Andhira Swastika. Kamu juga, Ren. Saya titipin Andhira ke kamu itu buat bikin dia tidak berulah, bukan malah dibiarin gitu saja.”Arsenio menatap tajam Andhira dan Reno yang duduk di kursi sebrang, dirinya benar-benar pusing dengan kelakuan dari seorang Andhira. Kedua insan yang menjadi titik fokus Arsenio hanya bergeming, tidak mengeluarkan sepatah katapun.“Kalau tadi meleset, dan beneran kena kepala perempuan tadi, urusannya panjang,” lanjut Arsenio dengan penuh penekanan, dia dalam mode tidak bersahabat. Aura berbeda dapat dirasakan Reno dan Andhira.Arsenio memijat keningnya yang pening, menghela nafas beratnya, dan kembali menatap kedua anak didiknya silih berganti. Andhira mengulum bibir, sedangkan Reno menunduk.“Itu semua salah, Pak. Kalau memang harus dihukum, saya aja. Reno gak usah, karena dia gak ada urusannya sama sekali,” ujar Andhira setelah lama dirinya terdiam. Arsenio menaikkan sebelah alisnya, menatap Reno dalam-d
“Selamat pagi, pak Arsenio. Jadi hari ini mau diantar kemana?”Andhira tersenyum kepada Arsenio, hari ini perdana menjadi supir seorang Dareen Arsenio, hanya untuk satu hari ini saja. Reno yang memaksa untuk mendapatkann hukuman, jadi dipotong atau dengan kata lain dibagi dua.Reno dihukum menjadi kuli satu hari di rumah Arsenio, dan Andhira satu hari menjadi supir Arsenio. Memang adil, tetapi tidak membuat Andhira tenang. Gadis itu merasa bersalah, karena perbuatannya Reno harus menjadi kuli.Arsenio tersenyum kepada Andhira, “Kantor ya, hari ini saya ada rapat,” jawabnya, diangguki oleh Andhira. Mereka berada di parkiran kampus, sesuai kesepakatan keduanya janjian di parkiran kampu fakultas Ilmu Komunikasi.Arsenio memberikan kunci kepada Andhira, diterima baik oleh gadis itu. Andhira ingin melangkah ke sisi pintu penumpang, tetapi ditahan oleh Arsenio. Hal itu membuat Andhira menoleh, dan menaikkan sebelah alisnya.“Ada apa, Pak?” tanya Andhira bingung, Arsenio menggeleng.“Tidak p
“Kamu mau ikut ke dalam? Punya tugas kan, deadlinenya nanti malem?”Andhira menoleh, menaikkan kedua alisnya saat mendapatkan pertanyaan dari Arsenio yang saat ini menjadi majikannya satu hari, “Kok pak Arsen tau?” tanyanya, melupakan Arsenio yang menjadi Dosen PAnya jika di kampus.Arsenio yang selesai melepaskan sabuk pengaman pun menoleh, “Kamu lupa? Saya ini dosen PA kamu, jadi jelas saja tau tugas apa saja yang diberikan dosen lain ke anak didik saya.”Andhira mengulum bibirnya, menyadari satu hal yang membuatnya terlihat bodoh dihadapan Arsenio, “Lupa.”Arsenio menatap Andhira yang menunduk, “Kamu ikut saya aja. Nanti kalau kamu butuh bantuin, bisa bilang ke saya,” ujarnya, Andhira menggeleng.“Saya di café sebrang jalan aja, Pak. Saya takut ganggu pak Arsen nantinya,” tolak Andhira dengan sopan, diiringi dengan senyum manis.Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu yakin? Di sini itu rawan banget loh.”Andhira spontan tertawa mendengar pernyataan dari Arsenio, “Pak, saya buka
“Emangnya perempuan tadi itu siapanya pak Arsen? Calon istri?”Andhira menatap Arsenio yang sedang fokus menatap layar laptop, sedangkan dirinya baru saja selesai mengerjakan tugas, dan tinggal mengirimkannya melalui email. Arsenio menghentikan jemarinya, dan menatap Andhira yang bergeming.“Bukan,” jawab singkat Arsenio, kembali menggerakan jemarinya pada keyboard laptop, dan berkata, “Dia salah satu wanita yang mengejar saya.”Satu kalimat yang terucap dari mulut Arsenio, membuat Andhira mendelik, dan bergumam. Gadis itu itu duduk bersandar pada sofa putih yang tersedia di ruangan milik Arsenio, bukann hanya sofa, tetapi terdapat televise yang menempel pada dinding.“Percaya diri banget ya, Pak,” ucap Andhira tanpa menatap Arsenio yang tersenyum, dirinya sedang menatap layar laptop untuk mengirimkan tugasnya kepada Dosen melalui email.“Setiap manusia itu harus memanfaat kepercayaan diri yang kita punya tau,” ujar Arsenio, dirinya menatap Andhira yang terduduk di sofa seorang diri.
“Tante calon mamih aku, sendirian aja di sini?”Pertanyaan itu dan suara yang sangat familiar ditelingaa Andhira, membuat gadis itu menoleh, dan mendapati Amanda yang tersenyum manis kepadanya.Andhira menyamakan tinggi badannya dengan Amanda, merapihkan helai rambut yang keluar dari ikatan, dan tersenyum, “Amanda gak sekolah emangnya?” tanyanya dengan lembut.Amanda menggeleng, “Sekolah, sekarang kan jam sebelas ya, jadinya udah pulang dong.”“Oh iya? Pulang sekolah jam berapa emangnya?” tanya Andhira, dirinya bangkit, dan menarik Amanda untuk ke gazebo kosong. Dia membantu Amanda untuk naik ke gazebo.Amanda menurut, dan langsung duduk bersila. Begitu juga Andhira, duduk dengan tenang dihadapan Amanda.“Jam sepuluh. Tadi katanya, guru di sekolah aku lagi pada rapat, jadinya dipulangin cepet,” jelas Amanda. Andhira mengangguk mengerti, dirinya tersenyum manis, memperhatikan Amanda yang cantik di usia 7 tahun.“Kamu cantik banget sihh, aku jadi minder tau,” ucap Andhira, diakhiri den
“Kalian gak mau ada yang jelasin nih?”Andhira menatap Arsenio dan Amanda silih berganti, dan keduanya hanya bergeming. Baik Arsenio, maupun Amanda, tidak ada yang mengeluarkan suara. Sudah hampir 10 menit, Andhira menunggu keduanya untuk menjelaskan.“Kamu bukannya lagi ada kelas yaa?” tanya Arsenio, setelah lama dirinya mengunci mulutnya. Andhira menaikkan sebelah alisnya, bingung harus bereaksi seperti apa.Amanda mengangguk, “Tante calon mamih aku—” Setelahnya, mengatupkan bibir mungilnya saat mendapatkan senggolan dari papihnya.“Ohh okay, saya gak mau lagi ngomong sama pak Arsen. Dan kamu ….” Andhira menatap Amanda, “Aku gak mau lagi ketemu sama kamu.”Ancaman dari Andhira membuat Arsenio dan Amanda saling menatap satu sama lain, keduanya seperti sedang berbicara melalui tatapan. Andhira hanya bergeming, menatap kedua insan dihadapannya saat ini.Saat Andhira dan Amanda sedang berada di gazebo, Arsenio datang, dan memanggil dirinya sebagai papih, membuat kebohongan yang selama