“Emangnya perempuan tadi itu siapanya pak Arsen? Calon istri?”Andhira menatap Arsenio yang sedang fokus menatap layar laptop, sedangkan dirinya baru saja selesai mengerjakan tugas, dan tinggal mengirimkannya melalui email. Arsenio menghentikan jemarinya, dan menatap Andhira yang bergeming.“Bukan,” jawab singkat Arsenio, kembali menggerakan jemarinya pada keyboard laptop, dan berkata, “Dia salah satu wanita yang mengejar saya.”Satu kalimat yang terucap dari mulut Arsenio, membuat Andhira mendelik, dan bergumam. Gadis itu itu duduk bersandar pada sofa putih yang tersedia di ruangan milik Arsenio, bukann hanya sofa, tetapi terdapat televise yang menempel pada dinding.“Percaya diri banget ya, Pak,” ucap Andhira tanpa menatap Arsenio yang tersenyum, dirinya sedang menatap layar laptop untuk mengirimkan tugasnya kepada Dosen melalui email.“Setiap manusia itu harus memanfaat kepercayaan diri yang kita punya tau,” ujar Arsenio, dirinya menatap Andhira yang terduduk di sofa seorang diri.
“Tante calon mamih aku, sendirian aja di sini?”Pertanyaan itu dan suara yang sangat familiar ditelingaa Andhira, membuat gadis itu menoleh, dan mendapati Amanda yang tersenyum manis kepadanya.Andhira menyamakan tinggi badannya dengan Amanda, merapihkan helai rambut yang keluar dari ikatan, dan tersenyum, “Amanda gak sekolah emangnya?” tanyanya dengan lembut.Amanda menggeleng, “Sekolah, sekarang kan jam sebelas ya, jadinya udah pulang dong.”“Oh iya? Pulang sekolah jam berapa emangnya?” tanya Andhira, dirinya bangkit, dan menarik Amanda untuk ke gazebo kosong. Dia membantu Amanda untuk naik ke gazebo.Amanda menurut, dan langsung duduk bersila. Begitu juga Andhira, duduk dengan tenang dihadapan Amanda.“Jam sepuluh. Tadi katanya, guru di sekolah aku lagi pada rapat, jadinya dipulangin cepet,” jelas Amanda. Andhira mengangguk mengerti, dirinya tersenyum manis, memperhatikan Amanda yang cantik di usia 7 tahun.“Kamu cantik banget sihh, aku jadi minder tau,” ucap Andhira, diakhiri den
“Kalian gak mau ada yang jelasin nih?”Andhira menatap Arsenio dan Amanda silih berganti, dan keduanya hanya bergeming. Baik Arsenio, maupun Amanda, tidak ada yang mengeluarkan suara. Sudah hampir 10 menit, Andhira menunggu keduanya untuk menjelaskan.“Kamu bukannya lagi ada kelas yaa?” tanya Arsenio, setelah lama dirinya mengunci mulutnya. Andhira menaikkan sebelah alisnya, bingung harus bereaksi seperti apa.Amanda mengangguk, “Tante calon mamih aku—” Setelahnya, mengatupkan bibir mungilnya saat mendapatkan senggolan dari papihnya.“Ohh okay, saya gak mau lagi ngomong sama pak Arsen. Dan kamu ….” Andhira menatap Amanda, “Aku gak mau lagi ketemu sama kamu.”Ancaman dari Andhira membuat Arsenio dan Amanda saling menatap satu sama lain, keduanya seperti sedang berbicara melalui tatapan. Andhira hanya bergeming, menatap kedua insan dihadapannya saat ini.Saat Andhira dan Amanda sedang berada di gazebo, Arsenio datang, dan memanggil dirinya sebagai papih, membuat kebohongan yang selama
“ASTAGA ANDHIRA, KAMU LAGI KAMU LAGI!”Andhira meringis mendengar suara yang tinggi dan melengking dihadapannya saat ini, siapa lagi kalau bukan Tesya Farhana. Andhira mengusap telinganya yang berdengung, dan menatap Tesya.“Sorry, aku gak sengaja,” ucap Andhira dengan rasa bersalah, karena memang tidak sengaja menumpahkan kuah soto di cardigan putih yang digunakan oleh Tesya.Tesya mengambil alih satu mangkok dari tangan Andhira, dan menyimpannya di meja kosong sisi kirinya. Dia melepaskan cardigannya, lalu memberikannya kepada Andhira, “Mending kamu cuciin cardigan aku.”Andhira mengangkat cardigan putih yang terdapat noda berwarna coklat dengan jemari telunjuk dan jemari jempolnya, seperti sedang memegang anak kucing. Setelah memperhatikan cardigan tersebut, Andhira melempar cardigan tersebut ke sembarang arah.“ANDHIRA SWASTIKA! KAMU ….”Tesya spontan saja berteriak, dirinya geram dengan apa yang dilakukan oleh Andhira. Cardigan kesayangannya dibuang begitu saja, bagaimana bisa di
“Maheswari Andhira Swastika, apa yang sudah kamu perbuat ke Tesya?”Arsenio menatap Andhira dengan tajam, dirinya benar-benar dibuat pusing tujuh keliling, karena Andhira membuat Tesya pingsan. Sedangkan Andhira menggeleng kepala, jelas saja membela diri, karena memang tidak salah.“Saya gak ngapa-ngapain nenek lampir kok, cuma … berdebat doang. Dianya aja lemah,” jawab Andhira dengan santai, karena titik permasalahannya bukan dirinya, tetapi terletak pada Tesya.Arsenio menghela nafas, dan memijat keningnya yang tiba-tiba pening, “Kamu tau kan dia itu baru aja sembuh? Harusnya kamu ngertiin dia, jangan diajak berdebat.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Saya? Ngertiin nenek lampir? Gak bisa, Pak. Bukan apa-apa yaa, dia tuh ngeselinnya udah mendarah daging. Jadi, saya gak bisa kalau harus ngertiin dia.”“Andhira,” panggil Arsenio dengan penuh penekanan, sedangkan Andhira hanya bergumam. Hal itu membuat Arsenio menatap tajam gadis di sebrangnya saat ini, “Bagaimanapun juga dia teman
“Saya tau, kamu itu tidak bodoh-bodoh banget yaa, kenapa bisa nilai mata kuliah design grafis kamu C minus, Andhira?”Andhira memejamkan matanya sejenak, dirinya tahu kenapa dosen di mata kuliah tersebut memberikannya nilai C-, karena waktu itu dia membuat kegaduhan kelas pada saat mata kuliah design grafis sedang berlangsung.“Saya juga bingung, Pak. Padahal nilai saya itu bagus-bagu tau. Presentasi, tugas individu, tugas kelompok, A sih seharusnya,” ucap Andhira, wajahnya bingung. Dirinya sedang tidak ingin bercerita kepadda Arsenio.“Kamu lagi mau bohong sama saya, Maheswari Andhira Swastika? Astaga, kamu baru saja saya kasih libur dua hari kemaren buat ke Korea. Terus sekarang saya harus liat huruf C, ditambah ada minusnya lagi,” oceh Arsenio, dan hanya ditanggapi oleh bergumam dari Andhira.“Terus gimana, Pak? Saya ngulang dong?” tanya Andhira dengan santai, benar-benar membuat Arsenio menggelengkan kepala.Arsenio menatap tajam Andhira, “Kamu benar-benarr tidak ada niatan untu
“Amanda kenapa gak pernah lagi dateng ke kampus, Pak?”Andhira bertanya kepada Arsenio yang sedang memeriksa makalah milik mahasiswa-mahasiswinya dari fakultas lain. Ya, dirinya memang berada di ruangan Arsenio, karena Arsenio memanggilnya.Arsenio mengalihkan atensinya, menatap Andhira, “Kamu kemaren ngebentak Amanda lagi?” tanyanya dengan penuh penekanan, membuat Andhira mengulum bibir.“Kelepasan, Pak. Gak ada niat dalam hati saya membentak Amanda, tapi ya secara gak sadar. Saya gak mau melakukan pembelaan, jadi silahkan saja kalau pak Arsen mau menghukum saya.”Arsenio mengetukkan jemari telunjuk di meja, “Amanda jadi mengurung diri di kamar, dia tidak ingin kemana-mana. Saya sampai bingung harus membujuk dia seperti apalagi, bahkan dia tidak ingin bertemu dengan kamu.”Pernyataan dari Arsenio, membuat Andhira bergeming, otak kecilnya dan hatinya tertampar. Menurutnya itu bukan apa-apa, tetapi menyakiti hati orang lain. Dirinya bingung saat ini harus mengambil sikap seperti apa
“Loh kamu kok di sini? Mau ketemu sama Amanda?”Andhira menoleh saat mendapati Mbak Maya yang baru saja datang, dia otomatis berdiri, dan menunduk, “Pagi, Mbak Maya,” sapanya dengan sopan.Mbak Maya tersenyum, “Pagi. Pertanyaan saya belum dijawab, kamu ke sini mau ketemu sama Amanda?” tanyanya lagi, dijawab dengan gelengan.“Bukan, Mbak. Buat ketemu sama pak Arsen, karena mulai pagi ini saya asistennya pak Arsen,” jelas Andhira, hal itu membuat Mbak Maya menaikkan sebelah alisnya.“Asisten? Pak Arsen ganti asisten?” tanya Mbak Maya dengan bingung.Andhira menggeleng, “Bukan, Mbak. Ini kaya hukuman gitu loh, karena saya kalah.”“Kalah? Emangnya kalian main game?” tanya Mbak Maya lagi, saat Andhira membuka mulutnya, terdapat suara lainnya.“Dia kalah dalam kesepakatan, Mbak,” sahut Arsenio, dirinya menghampiri kedua perempuan yang sedang menatapnya. Arsenio menatap Mbak Maya, “Dia jadi pembantu, jadi saya titip ya, Mbak. Ajarin buat masak dan beberes rumah. Nanti jam delapan, dia baru i