“Loh kamu kok di sini? Mau ketemu sama Amanda?”Andhira menoleh saat mendapati Mbak Maya yang baru saja datang, dia otomatis berdiri, dan menunduk, “Pagi, Mbak Maya,” sapanya dengan sopan.Mbak Maya tersenyum, “Pagi. Pertanyaan saya belum dijawab, kamu ke sini mau ketemu sama Amanda?” tanyanya lagi, dijawab dengan gelengan.“Bukan, Mbak. Buat ketemu sama pak Arsen, karena mulai pagi ini saya asistennya pak Arsen,” jelas Andhira, hal itu membuat Mbak Maya menaikkan sebelah alisnya.“Asisten? Pak Arsen ganti asisten?” tanya Mbak Maya dengan bingung.Andhira menggeleng, “Bukan, Mbak. Ini kaya hukuman gitu loh, karena saya kalah.”“Kalah? Emangnya kalian main game?” tanya Mbak Maya lagi, saat Andhira membuka mulutnya, terdapat suara lainnya.“Dia kalah dalam kesepakatan, Mbak,” sahut Arsenio, dirinya menghampiri kedua perempuan yang sedang menatapnya. Arsenio menatap Mbak Maya, “Dia jadi pembantu, jadi saya titip ya, Mbak. Ajarin buat masak dan beberes rumah. Nanti jam delapan, dia baru i
“Kopi yang kamu kasih ke sayaa itu, kamu sendiri yang bikin?”Arsenio menoleh sekilas, dan kembali fokus menyetir. Sedangkan Andhira bergumam, kedua matanya menatap map yang diberikan oleh Arsenio kepadanya. Satu hari ini, Andhira benar-benar menjadi asisten Arsenio.“Iya. Kenapa? Gak enak ya?” tanya Andhira menatap Arsenio.“Rasanya kaya mbak Maya bikin,” ucap Arsenio, membuat Andhira berdecak.“Yakan emang mbak Maya yang ngasih tau takarannya, pak Arsen,” balas Andhira dengan penuh penekanan, dan kembali mengamati tulisan tinta printer.Arsenio tersenyum tipis, setelahnya tidak ada lagi obrolan diantaranya dengan Andhira. Sibuk dengan masing-masing. Andhira dengan maps yang diberikan oleh Arsenio, sedangkan Arsenio fokus menyetir.“Pak Arsen,” panggil Andhira, membuat Arsenio menoleh setelah menaikkan rem tangannya saat traffic light berubah menjadi warna merah.“Kenapa?”Andhira mengulum bibirnya, menatap Arsenio yang mengunci atensi hanya untuknya, “Amanda masih marah sama saya y
“Kamu laper gak? Beli nasi goreng enak kayanya ya.”Arsenio menoleh ke sisi kirinya, mendapati Andhira yang menatapnya dengan menaikkan sebelah alisnya. Keduanya sedang dalam perjalanan pulang, hari sudah semakin gelap.“Boleh. Tapi yaa, saya gak bisa sembarangan makan loh, Pak. Jadi, saya cuma nemenin pak Arsen aja.”Arsenio bergumam, “Saya punya langganan tukang nasi goreng keliling, mau nyoba? Percaya sama saya, kamu tidak akan sakit perut.”“Gak janji ya, pak Arsen. Saya memang gak bisa sembarangan, kalau gak cocok bisa sakit perut tiga hati. Repot kalau kaya gitu,” ucap Andhira, diakhiri dengan terkekeh. Arsenio mengangguk mengerti.“Mau buat kesepakatan lagi?” tanya Arsenio, menaik-turunkan kedua alisnya, dan tersenyum manis.Andhira berdecak, “Kesepakatan kita itu banyak banget ya, Pak. Emang hobi bikin kesepakatan sama orang lain, atau cuma sama saya doang?” tanyanya dengan mata menyipit, menatap curiga Arsenio.“Kamu doang,” jawab santai Arsenio, tanpa menoleh. Sedangkan Andh
“MAHESWARI ANDHIRA SWASTIKA, KAMU NGEPEL ATAU CUMA DI SIRAM DOANG INI LANTAI!”Andhira meringis, memegang gagang pel, menatap wanita setengah baya terduduk di lantai karena terpeleset. Andhira saat ini sedang menjalani hukuman dari Arsenio, karena terlambat masuk kelas.“Bu Kartika, kalau jalan hat-hati, sini sana bantu,” ucap Andhira, berdiri dihadapan Ibu Kartika, dosen PAnya yang lama. Ibu Kartika menerima uluran tangan dari anak didiknya, dan berdiri dengan sempurna, tetapi rok yang digunakannnya basah.Ibu Kartika berdecak, berkacak pinggang, menatap Andhira yang merasa bersalah, “Kamu itu pernah ngepel lantai di rumah?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Papih saya kan bayar asisten rumah tangga, Bu. Jadi, semua pekerjaan rumah itu asisten yang ngerjain. Saya sebagai anaknya Papih Ginantara, menikmati hasil kerja keras Papih saya dong,” ucap Andhira dengan bangga, dan diakhiri dengan terkekeh.Ibu Kartika yang kesal dengan Andhira, menarik telinga Andhira, m
“Kamu lagi mencoba untuk kabur, Maaheswari Andhira Swastika? Kamu lupa sekarang kelasnya pak Yuda?”Andhira menghentikan langkahnya yang mengendap-ngendap, dan menoleh. Arsenio menatap Andhira dengan menaikkan sebelah alisnya, membuat Andhira menegakkan tubuh dan berdeham.Andhira menggeleng, “Mau ke toilet, Pak. Kebelet buang air kecil ini,” ucapnya seolah sedang menahan air kecil yang sedang ditahan.Arsenio tidak bisa percaya begitu saja, dirinya menatap sekitar, dan kembali menatap Andhira, “Parkiran itu tempat kendaraan, kalau toilet ada di dalem. Jujur sama saya, mau kemana?” tanyanya menuntut.Andhira yang sudah tertangkap basah, menghela nafas, dan tersenyum tipis, “Mau beli makan, Pak. Nanti saya masuk kelas.”Arsenio menggeleng tidak percaya, dirinya menautkan jemarinya dengan jemari milik Andhira. Arsenio menatap Andhira yang sedang berdecak, “Saya antar kamu ke kelas,” ujarnya, menarik lembut Andhira.Andhira mencebik bibirnya, jelas saja kesal, aksinya yang ingin kabur,
“ANDHIRA, KAMU PACARAN SAMA PAK ARSENIO?”Andhira yang mendengar teriakan dari Caca pun mendesis, untung saja mereka sedang berada di taman belakang kampus, dan hanya ada mereka berdua. Caca langsung duduk di sisi kanan Andhira yang kosong.“Dapet gosip darimana emangnya?” tanya Andhira menatap Caca, dirinya kesal kepada Pak Yuda, karena penyebar gosip pertama.“Dari temen kelas aku yang lain. Mereka dapet dari temen mereka juga,” jawab Caca jujur. Andhira hanya mengangguk, karena dirinya tidak mengerti lagi harus seperti apa.“Kamu jangan percaya sama gosip yang beredar, ketahuan Darwis, kamu diomelin nantinya,” ucap Andhira, dirinya mengingatkan Caca untuk tidak percaya terhadap gosip yang berterbangan mengudara dan menyebar.Caca mendesis, “Makanya aku samperin kamu ke sini, biar aku tau itu gosip doang atau kenyataan. Eh ternyata gosip doang, aku kira beneran.”Andhira menoleh, menaikkan sebelah alisnya, “Kalau beneran, kenapa?” tanyanya dengan bingung dengan ucapan Caca. Benar-be
“Mamih ngapain disini?”Andhira hanya terdiam di tempat saat melihat mamihnya yang duduk di kursi kosong di sebrang Arsenio, tidak bergerak, bahkan kakinya seperti lumpuh seketika. Rasa terkejutnya lebih besar, dibanding rasa ingin menghampiri Mamih dan memeluk Mamih.“Ketemu sama kamu. Salah emangnya?” tanya Mamih kepada Andhira, sedangkan Arsenio hanya bergeming tanpa mengatakan apapun.Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Mamih mau apa dari aku? Kenapa yaa, Mih? Pas aku lagi gak kena masalah, Mamih dateng. Tapi, pas aku lagi ada masalah, Mamih bilang selalu sibuk kerja.”Mamih beranjak, mencoba untuk mendekati Andhira, tetapi mengurungkan niatnya karena mendapatkan penolakan dari Andhira,“Bukan gitu maksud Mamih.”Andhira terkekeh, menatap Arsenio, tersenyum tipis, “Pak, maaf yaa kalau saya lancang, lain kali kalau Mamih saya yang dateng, jangan ditanggepin, suruh balik kerja aja. Saya gak butuh, Pak.”Mamih mencoba untuk menahan rasa kesalnya, karena sudah dipermalukan oleh anakny
“Dia yang waktu itu chat Mamih?”Andhira mengalihkan atensinya dari ponsel, kini menatap Mamih yang sedang menyetir.“Iya. Dosen PA aku yang baru, gak kalah sabar dari bu Kartika. Papih kenal juga kok sama dia, makanya dia jadi orang kepercayaannya Papih buat ngebimbing aku biar gak berulah,” jelas Andhira, Mamih menoleh sekilas, dan menganggu.Mereka saat ini dalam perjalanan untuk ke rumah sakit untuk menjenguk Opah yang sedang sakit. Mamih yang menjadi anak terakhir dari Opah pun harus ikut serta merawat Opah, begitu juga Andhira sebagai cucu kesayangan dari Opah.“Dosen kamu itu masih single?” tanya Mamih, hal itu membuat Andhira memicingkan mata. Mamih bergumam, “Maksud Mamih, kayanya dia masih muda untuk menjadi seorang dosen.”Andhira menatap lurus ke depan sana, “Iya. Dia dosen termuda di kampus, jadi fansnya banyak. Dia berani mengambil keputusan untuk menerima aku sebagai anak didiknya.”Mamih mengangguk mengerti, menepikan kendaraan roda empatnya di minimarket. Andhira mena