“Kamu laper gak? Beli nasi goreng enak kayanya ya.”Arsenio menoleh ke sisi kirinya, mendapati Andhira yang menatapnya dengan menaikkan sebelah alisnya. Keduanya sedang dalam perjalanan pulang, hari sudah semakin gelap.“Boleh. Tapi yaa, saya gak bisa sembarangan makan loh, Pak. Jadi, saya cuma nemenin pak Arsen aja.”Arsenio bergumam, “Saya punya langganan tukang nasi goreng keliling, mau nyoba? Percaya sama saya, kamu tidak akan sakit perut.”“Gak janji ya, pak Arsen. Saya memang gak bisa sembarangan, kalau gak cocok bisa sakit perut tiga hati. Repot kalau kaya gitu,” ucap Andhira, diakhiri dengan terkekeh. Arsenio mengangguk mengerti.“Mau buat kesepakatan lagi?” tanya Arsenio, menaik-turunkan kedua alisnya, dan tersenyum manis.Andhira berdecak, “Kesepakatan kita itu banyak banget ya, Pak. Emang hobi bikin kesepakatan sama orang lain, atau cuma sama saya doang?” tanyanya dengan mata menyipit, menatap curiga Arsenio.“Kamu doang,” jawab santai Arsenio, tanpa menoleh. Sedangkan Andh
“MAHESWARI ANDHIRA SWASTIKA, KAMU NGEPEL ATAU CUMA DI SIRAM DOANG INI LANTAI!”Andhira meringis, memegang gagang pel, menatap wanita setengah baya terduduk di lantai karena terpeleset. Andhira saat ini sedang menjalani hukuman dari Arsenio, karena terlambat masuk kelas.“Bu Kartika, kalau jalan hat-hati, sini sana bantu,” ucap Andhira, berdiri dihadapan Ibu Kartika, dosen PAnya yang lama. Ibu Kartika menerima uluran tangan dari anak didiknya, dan berdiri dengan sempurna, tetapi rok yang digunakannnya basah.Ibu Kartika berdecak, berkacak pinggang, menatap Andhira yang merasa bersalah, “Kamu itu pernah ngepel lantai di rumah?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Papih saya kan bayar asisten rumah tangga, Bu. Jadi, semua pekerjaan rumah itu asisten yang ngerjain. Saya sebagai anaknya Papih Ginantara, menikmati hasil kerja keras Papih saya dong,” ucap Andhira dengan bangga, dan diakhiri dengan terkekeh.Ibu Kartika yang kesal dengan Andhira, menarik telinga Andhira, m
“Kamu lagi mencoba untuk kabur, Maaheswari Andhira Swastika? Kamu lupa sekarang kelasnya pak Yuda?”Andhira menghentikan langkahnya yang mengendap-ngendap, dan menoleh. Arsenio menatap Andhira dengan menaikkan sebelah alisnya, membuat Andhira menegakkan tubuh dan berdeham.Andhira menggeleng, “Mau ke toilet, Pak. Kebelet buang air kecil ini,” ucapnya seolah sedang menahan air kecil yang sedang ditahan.Arsenio tidak bisa percaya begitu saja, dirinya menatap sekitar, dan kembali menatap Andhira, “Parkiran itu tempat kendaraan, kalau toilet ada di dalem. Jujur sama saya, mau kemana?” tanyanya menuntut.Andhira yang sudah tertangkap basah, menghela nafas, dan tersenyum tipis, “Mau beli makan, Pak. Nanti saya masuk kelas.”Arsenio menggeleng tidak percaya, dirinya menautkan jemarinya dengan jemari milik Andhira. Arsenio menatap Andhira yang sedang berdecak, “Saya antar kamu ke kelas,” ujarnya, menarik lembut Andhira.Andhira mencebik bibirnya, jelas saja kesal, aksinya yang ingin kabur,
“ANDHIRA, KAMU PACARAN SAMA PAK ARSENIO?”Andhira yang mendengar teriakan dari Caca pun mendesis, untung saja mereka sedang berada di taman belakang kampus, dan hanya ada mereka berdua. Caca langsung duduk di sisi kanan Andhira yang kosong.“Dapet gosip darimana emangnya?” tanya Andhira menatap Caca, dirinya kesal kepada Pak Yuda, karena penyebar gosip pertama.“Dari temen kelas aku yang lain. Mereka dapet dari temen mereka juga,” jawab Caca jujur. Andhira hanya mengangguk, karena dirinya tidak mengerti lagi harus seperti apa.“Kamu jangan percaya sama gosip yang beredar, ketahuan Darwis, kamu diomelin nantinya,” ucap Andhira, dirinya mengingatkan Caca untuk tidak percaya terhadap gosip yang berterbangan mengudara dan menyebar.Caca mendesis, “Makanya aku samperin kamu ke sini, biar aku tau itu gosip doang atau kenyataan. Eh ternyata gosip doang, aku kira beneran.”Andhira menoleh, menaikkan sebelah alisnya, “Kalau beneran, kenapa?” tanyanya dengan bingung dengan ucapan Caca. Benar-be
“Mamih ngapain disini?”Andhira hanya terdiam di tempat saat melihat mamihnya yang duduk di kursi kosong di sebrang Arsenio, tidak bergerak, bahkan kakinya seperti lumpuh seketika. Rasa terkejutnya lebih besar, dibanding rasa ingin menghampiri Mamih dan memeluk Mamih.“Ketemu sama kamu. Salah emangnya?” tanya Mamih kepada Andhira, sedangkan Arsenio hanya bergeming tanpa mengatakan apapun.Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Mamih mau apa dari aku? Kenapa yaa, Mih? Pas aku lagi gak kena masalah, Mamih dateng. Tapi, pas aku lagi ada masalah, Mamih bilang selalu sibuk kerja.”Mamih beranjak, mencoba untuk mendekati Andhira, tetapi mengurungkan niatnya karena mendapatkan penolakan dari Andhira,“Bukan gitu maksud Mamih.”Andhira terkekeh, menatap Arsenio, tersenyum tipis, “Pak, maaf yaa kalau saya lancang, lain kali kalau Mamih saya yang dateng, jangan ditanggepin, suruh balik kerja aja. Saya gak butuh, Pak.”Mamih mencoba untuk menahan rasa kesalnya, karena sudah dipermalukan oleh anakny
“Dia yang waktu itu chat Mamih?”Andhira mengalihkan atensinya dari ponsel, kini menatap Mamih yang sedang menyetir.“Iya. Dosen PA aku yang baru, gak kalah sabar dari bu Kartika. Papih kenal juga kok sama dia, makanya dia jadi orang kepercayaannya Papih buat ngebimbing aku biar gak berulah,” jelas Andhira, Mamih menoleh sekilas, dan menganggu.Mereka saat ini dalam perjalanan untuk ke rumah sakit untuk menjenguk Opah yang sedang sakit. Mamih yang menjadi anak terakhir dari Opah pun harus ikut serta merawat Opah, begitu juga Andhira sebagai cucu kesayangan dari Opah.“Dosen kamu itu masih single?” tanya Mamih, hal itu membuat Andhira memicingkan mata. Mamih bergumam, “Maksud Mamih, kayanya dia masih muda untuk menjadi seorang dosen.”Andhira menatap lurus ke depan sana, “Iya. Dia dosen termuda di kampus, jadi fansnya banyak. Dia berani mengambil keputusan untuk menerima aku sebagai anak didiknya.”Mamih mengangguk mengerti, menepikan kendaraan roda empatnya di minimarket. Andhira mena
“Gimana Opah kamu? Sudah sehat?”Andhira mengangguk, saat ini sedang berada di kantin outdoor, bersama dengan Darwis yang sedang merokok. Alasan mereka memilih kantin outdoor, karena bebas merokok.“Sedikit membaik sihh, tadinya aku masih mau di sana, tapi dilarang sama opah. Opah aku bilang, mending aku kuliah, biar lulus tepat waktu, abis itu bantu-bantu diperusahaannya opah,” jelas Andhira disela-sela makan bakso.Darwis menaikkan sebelah alisnya, “Perusahaan opah kamu kan dipegang sama Mamih kamu, kan?” tanyanya, diangguki oleh Andhira. Darwis bergumam, “Kamu bakalan sering ketemu sama Mamih kamu dong?”Andhira menggeleng, “Aku gak minat, Dar. Dua hari yang lalu, aku berdebat kecil sih sama Mamih, sempet diem-dieman, tapi cuma beberapa jam doang. Papih aku kan dateng, gak mungkin dong aku sama Mamih diem-dieman?”Darwis mengangguk mengerti, dirinya sudah bersahabat lama dengan Andhira, kedua orangtuanya mengenal dekat Mamih sama Papih Andhira. Sejauh ini, dia memang berusaha untu
“Maheswari Andhira Swastika, kamu tuhh main bola atau ngajak orang berantem? Jendela bisa pecah.”Andhira mengulum bibirnya, dan hanya menunduk, tidak berani Arsenio yang benar-benar kacau hari ini. Surai yang berantakan, dua kancing kemeja atas terlepas, dan memijat kening karena pening.“Gak sengaja, Pak. Tadi tuh saya udah ngelempar ke papan ring, tapi tiba-tiba tangan saya kram, dan bola yang ada di tangan saya itu kelempar ke sisi papan, jadinya mantul gak jelas, jadilah kena ke jendela,” jelas Andhira, dirinya harus memberikan informasi yang sebenarnya kepada Arsenio.Arsenio menarik nafas, dan menghela secara perlahan. Dirinya menatap Andhira yang mengerjapkan mata sekali, “Saya tidak akan membicarakan biaya kerugiannya, karena saya percaya, kamu bisa menggantinya.”“Terus, Pak?”Arsenio memejamkan matanya sejenak, berhadapan dengan Andhira memang harus mempunyai stok kesabaran satu truck dalam satu minggu. Setelah dirasa cukup, dirinya menatap Andhira yang sedang menatapnya.“