“Tadi Darwis telfon Papih, katanya kamu bikin pacar dia terluka. Itu bener?”Andhira mengerucut bibir, dan menggeleng. Dirinya menatap Papih yang sedang menatapnya, saat ini mereka sedang berkumpul di ruang keluarga, setelah makan malam beberapa menit yang lalu.“Aku gak sengaja beneran, Pih. Aku emang lagi main bola basket, terus tangan aku kan kram ya, jadinya sembarangan ngelempar bola, taunya kena pinggiran papan ring. Bola basket kan mantul, mana ruangan kelas sih Caca itu deket sama lapangan,” jelas Andhira, dirinya mengatakan yang sejujurnya.Papih mengangguk mengerti, “Terus kamu diapain sama Darwis?” tanyanya, dijawab dengan bergumam. Andhira menatap dalam papihnya yang sedang tersenyum manis kepadanya.“Dia ngomong panjang lebar, pas ada dosen, dia berhenti. Pas ngejemput Caca di kelas, Darwis nyeramahin aku lagi pas tau korbannya bukan cuma Caca,” ucap Andhira dengan menggebu-gebu.Papih bergumam menanggapi apa yang dikatakan oleh Andhira.“Bayangin, aku diceramahin sama
“Ca, kamu benerann gapapa? Kemaren itu beneran gak sengaja.”Caca terkekeh, dirinya tersenyum, dan mengangkat lengannya yang sudah tidak ditutup perban, tetapi bekas lukanya masih terlihat dengan jelas. Andhira semakin bersalah, karena temannya itu menjadi korban.“Aku gapapa, Andhira. Kamu liat sendiri, kan? Lukanya juga gak terlalu besar, jadi gak ada yang perlu dikhawatirkan seharusnya,” ujar Caca dengan lembut, mencoba untuk menenangkan sahabat dari kekasihnya itu.Andhira mengerucut bibir, “Itu pasti sakit ya?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Caca.Caca tersenyum, “Gak dong. Btw, kamu bawa apa?” tanyanya, menatap paperbag yang dibawa oleh Andhira.Andhira melirik paperbag yang ditaruh di meja, “Oh ini, makanan buat kamu sama Zahara, itu aku bikin sendiri, menebus kesalahan aku kemaren.”“Wahh, kamu masak?” tanya Caca dengan antusias, menatap Andhira yang salah tingkah. Andhira mengusap tengkuk, karena sedikit malu dan tidak percaya diri.“Tadi pas aku cobain sih en
“Ini beneran kamu yang masak? Tidak dikasih racun, kan?”Andhira menggeleng kepala, tidak percaya dengan apa yang ditanyakan oleh Arsenio. Dirinya pagi ini datang ke ruangan Arsenio, dan memberikan makanan hasil karyanya. Arsenio yang mengetahui Andhira tidak bisa memasak, membuat otaknya negative thinking.“Saya tau pak Arsen gak suka sama saya, tapi jangan nuduh saya dong. Kesannya jahat banget.”Arsenio menaikkan sebelah alisnya, membuka tempat makan kotak berwarna biru, dan dia mendapati nasi goreng, lengkap dengan telur di atasnya. Sedangkan Andhira tersenyum manis, menatap Arsenio yang mengambil sendok dari dalam plastik.“Ini beneran aman yaa kalau saya makan?” tanya Arsenio, menatap Andhira yang mengangguk. Arsenio masih memikirkan Amanda, putri kecilnya kalau misalkan Andhira mencampurkan bahan-bahan yang bikin dirinya harus di rawat di rumah sakit.“Tenang ajaa, Pak. Aman, bahkan perbawangan saya cuci tiga kali,” jawab Andhira yakin, dirinya masih mempunyai hati nurani, ja
“Saya beneran gak sengaja, Pakk. Namanya juga kesandung, mana bisa saya niatin?”Andhira menatap Pak Yatmo yang sedang menatapnya, kini mereka sedang berada di ruangan Arsenio, tujuannya untuk menyelesaikan permasalahan yang diperbuat oleh Andhira, tetapi kenyataannya baik Andhira atau Pak Yatmo tidak ada yang ingin mengalah.“Salah kamu, kenapa jalan tidak hati-hati?” tanya Pak Yatmo tidak kalah keras dari Andhira.Arsenio hanya terdiam, memperhatikan perdebatan yang sudah berlangsung selama 10 menit. Bukan tidak berusaha melerai keduanya, tetapi sedang menyimpan energinya untuk bersikap tegas kepada Andhira.“Pak Yatmo juga sering kesandung, kan? Pak Yatmo sama saya gak ada bedanya, karena setiap manusia pasti melakukan kesalahan. Lagian saya kan sudah mengakui, harusnya udah selesai, kan?”“Ini masalah kerugian. Bagaimana bisa mengganti kerugian yang kamu perbuat?” tanya Pak Yatmo, menatap tajam Andhira yang mengangguk mengerti.“Saya kan daritadi udah bilang, Papih saya bakalan ga
“Pak Arsenio yang terhormat, ini tuh peraturannya merugikan saya, tetapi menguntungkan pak Arsen, gak bisa, saya gak mau. Papih jangan tanda tangan.”Andhira mengeluarkan protesnya setelah membaca dengan seksama dan teliti tulisan tinta printer yang diberikan oleh Arsenio. Dia menatap tajam Arsenio, dan menatap memohon kepada Papih. Sedangkan Arsenio menaikkan sebelah alisnya.“Ini surat peringatan dan surat perjanjian. Peringatan untuk kamu, karena sudah merusak peralatan punya kampus. Perjanjian untuk konsekuensi dari kesepakatan yang kita buat, kamu kalah dalam kesepakatan.”Andhira menggeleng dengan keras, “Saya terima kalau saya mendapatkan surat peringatan. Tapi yang saya gak terima itu, isi peraturan dalam surat perjanjian.”Papih hanya bergeming memperhatikan Andhira dan Arsenio yang sedang berdebat satu sama lain. Ragu ingin tanda tangan pada surat perjanjian yang tidak ada masalah sama sekali untuknya.“Satu, tidak boleh pulang malem kalau tidak bersama saya. Dua, tidak bole
“Mas Arsen masih lama?”Andhira bergidik geli, dirinya tidak biasa memanggil Arsenio dengan sebutan Mas. Sedangkan Arsenio tertawa geli saat melihat Andhira yang menurutnya memang lucu.“Gapapa, nanti juga terbiasa,” ucap Arsenio, menatap Andhira yang mengulum bibir. Mereka berada di ruang kerja milik Arsenio.Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Arsenio, setelah makan siang, dirinya memang pergi ke kantor untuk mengecek beberapa berkas, dan Andhira tidak diijinkan untuk pulang. Akhirnya, Andhira di sini, menemani Arsenio.“Pak aja deh yaa. Geli banget manggil mas, enak juga manggil pak Arsen,” ucap Andhira, menaik-turunkan kedua alisnya, tetapi dijawab dengan gelengan kepala dari Arsenio.“Itu karena kamu tidak terbiasa, jadinya harus dibiasain.”Andhira menyipitkan kedua matanya, “Pak Arsenio ini mau bikin saya tambah jatuh cinta ya?” tanyanya dengan penuh curiga. Sedangkan Arsenio menaruh satu map berwarna biru di tumpukan map lainnya.Arsenio melepaskan jasnya, merenggangkan das
“Siang, pak Arsenio.”Andhira menyapa Arsenio yang sedang berdiri di depan lift. Arsenio menoleh, mendapati Andhira yang sedang tersenyum kepadanya.“Saya hari ini ada keperluan di kantor, jadi … kamu jangan bikin ulah.”Andhira mengangguk mengerti, “Tenang aja. Saya bisa kok jadi mode kalem. Ada Darwis, Reno, sama Caca yang ngingetin saya,” ucapnya, diakhiri dengan terkekeh.Arsenio bergumam, menatap Andhira dalam-dalam, sedangkan Andhira hanya mengerjapkan kedua matanya. Tatapan yang diberikan oleh Arsenio, membuat Andhira salah tingkah, dan jantungnya berdegup dengan cepat.“Kamu tadi berangkat bareng siapa?” tanya Arsenio, membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Saya?” tanya Andhira, menunjuk dirinya sendiri, dan diangguki oleh Arsenio. Andhira bergumam, “Bareng Reno. Kenapa, Pak?”“Nanti pulangnya bareng saya,” jawab Arsenio, dirinya menunduk, lalu berbisik, “Amanda demam, terus manggil namaa kamu terus.”Arsenio kembali menegakkan tubuhnya, dan tersenyum kepada Andhira yang
“Amanda, kamu kangen sama aku ya?”Andhira mengusap puncak kepala Amanda yang sedang terbaring lemas di ranjang. Sedangkan Amanda tersenyum tipis kepada Andhira yang memberikan senyuman kepadanya.“Aku gak mimpi, kan?” tanya Amanda dengan polos, membuat Andhira terkekeh.“Kenapa bisa demam kaya gini, Amanda? Kamu gak jajan yang sembarangan, kan” tanya Andhira dengan lembut, dijawab dengan gelengan kepala dari Amanda. Sedangkan Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Kangen sama aku?”Amanda hanya bergumam, tidak mempunyai tenaga untuk seperti biasanya. Andhira melirik nakas di sisi kiri ranjang, masih terdapat satu mangkuk berisi bubur, dan masih penuh, belum tersentuh sama sekali.“Tadi pas papihnya telfon, katanya kamu mau dateng, dia ngerengek mau disuapin sama kamu. Biasanya kalau saya ancem, dia mau. Tapi tadi gak mempan,” ujar Mbak Maya yang berdiri di sisi kanan Arsenio.Andhira mendengarnya, tetapi tidak menoleh, kini menatap Amanda, “Sini, aku bantu buat duduk. Abis itu kamu haru