“ANDHIRA, KAMU PACARAN SAMA PAK ARSENIO?”Andhira yang mendengar teriakan dari Caca pun mendesis, untung saja mereka sedang berada di taman belakang kampus, dan hanya ada mereka berdua. Caca langsung duduk di sisi kanan Andhira yang kosong.“Dapet gosip darimana emangnya?” tanya Andhira menatap Caca, dirinya kesal kepada Pak Yuda, karena penyebar gosip pertama.“Dari temen kelas aku yang lain. Mereka dapet dari temen mereka juga,” jawab Caca jujur. Andhira hanya mengangguk, karena dirinya tidak mengerti lagi harus seperti apa.“Kamu jangan percaya sama gosip yang beredar, ketahuan Darwis, kamu diomelin nantinya,” ucap Andhira, dirinya mengingatkan Caca untuk tidak percaya terhadap gosip yang berterbangan mengudara dan menyebar.Caca mendesis, “Makanya aku samperin kamu ke sini, biar aku tau itu gosip doang atau kenyataan. Eh ternyata gosip doang, aku kira beneran.”Andhira menoleh, menaikkan sebelah alisnya, “Kalau beneran, kenapa?” tanyanya dengan bingung dengan ucapan Caca. Benar-be
“Mamih ngapain disini?”Andhira hanya terdiam di tempat saat melihat mamihnya yang duduk di kursi kosong di sebrang Arsenio, tidak bergerak, bahkan kakinya seperti lumpuh seketika. Rasa terkejutnya lebih besar, dibanding rasa ingin menghampiri Mamih dan memeluk Mamih.“Ketemu sama kamu. Salah emangnya?” tanya Mamih kepada Andhira, sedangkan Arsenio hanya bergeming tanpa mengatakan apapun.Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Mamih mau apa dari aku? Kenapa yaa, Mih? Pas aku lagi gak kena masalah, Mamih dateng. Tapi, pas aku lagi ada masalah, Mamih bilang selalu sibuk kerja.”Mamih beranjak, mencoba untuk mendekati Andhira, tetapi mengurungkan niatnya karena mendapatkan penolakan dari Andhira,“Bukan gitu maksud Mamih.”Andhira terkekeh, menatap Arsenio, tersenyum tipis, “Pak, maaf yaa kalau saya lancang, lain kali kalau Mamih saya yang dateng, jangan ditanggepin, suruh balik kerja aja. Saya gak butuh, Pak.”Mamih mencoba untuk menahan rasa kesalnya, karena sudah dipermalukan oleh anakny
“Dia yang waktu itu chat Mamih?”Andhira mengalihkan atensinya dari ponsel, kini menatap Mamih yang sedang menyetir.“Iya. Dosen PA aku yang baru, gak kalah sabar dari bu Kartika. Papih kenal juga kok sama dia, makanya dia jadi orang kepercayaannya Papih buat ngebimbing aku biar gak berulah,” jelas Andhira, Mamih menoleh sekilas, dan menganggu.Mereka saat ini dalam perjalanan untuk ke rumah sakit untuk menjenguk Opah yang sedang sakit. Mamih yang menjadi anak terakhir dari Opah pun harus ikut serta merawat Opah, begitu juga Andhira sebagai cucu kesayangan dari Opah.“Dosen kamu itu masih single?” tanya Mamih, hal itu membuat Andhira memicingkan mata. Mamih bergumam, “Maksud Mamih, kayanya dia masih muda untuk menjadi seorang dosen.”Andhira menatap lurus ke depan sana, “Iya. Dia dosen termuda di kampus, jadi fansnya banyak. Dia berani mengambil keputusan untuk menerima aku sebagai anak didiknya.”Mamih mengangguk mengerti, menepikan kendaraan roda empatnya di minimarket. Andhira mena
“Gimana Opah kamu? Sudah sehat?”Andhira mengangguk, saat ini sedang berada di kantin outdoor, bersama dengan Darwis yang sedang merokok. Alasan mereka memilih kantin outdoor, karena bebas merokok.“Sedikit membaik sihh, tadinya aku masih mau di sana, tapi dilarang sama opah. Opah aku bilang, mending aku kuliah, biar lulus tepat waktu, abis itu bantu-bantu diperusahaannya opah,” jelas Andhira disela-sela makan bakso.Darwis menaikkan sebelah alisnya, “Perusahaan opah kamu kan dipegang sama Mamih kamu, kan?” tanyanya, diangguki oleh Andhira. Darwis bergumam, “Kamu bakalan sering ketemu sama Mamih kamu dong?”Andhira menggeleng, “Aku gak minat, Dar. Dua hari yang lalu, aku berdebat kecil sih sama Mamih, sempet diem-dieman, tapi cuma beberapa jam doang. Papih aku kan dateng, gak mungkin dong aku sama Mamih diem-dieman?”Darwis mengangguk mengerti, dirinya sudah bersahabat lama dengan Andhira, kedua orangtuanya mengenal dekat Mamih sama Papih Andhira. Sejauh ini, dia memang berusaha untu
“Maheswari Andhira Swastika, kamu tuhh main bola atau ngajak orang berantem? Jendela bisa pecah.”Andhira mengulum bibirnya, dan hanya menunduk, tidak berani Arsenio yang benar-benar kacau hari ini. Surai yang berantakan, dua kancing kemeja atas terlepas, dan memijat kening karena pening.“Gak sengaja, Pak. Tadi tuh saya udah ngelempar ke papan ring, tapi tiba-tiba tangan saya kram, dan bola yang ada di tangan saya itu kelempar ke sisi papan, jadinya mantul gak jelas, jadilah kena ke jendela,” jelas Andhira, dirinya harus memberikan informasi yang sebenarnya kepada Arsenio.Arsenio menarik nafas, dan menghela secara perlahan. Dirinya menatap Andhira yang mengerjapkan mata sekali, “Saya tidak akan membicarakan biaya kerugiannya, karena saya percaya, kamu bisa menggantinya.”“Terus, Pak?”Arsenio memejamkan matanya sejenak, berhadapan dengan Andhira memang harus mempunyai stok kesabaran satu truck dalam satu minggu. Setelah dirasa cukup, dirinya menatap Andhira yang sedang menatapnya.“
“Tadi Darwis telfon Papih, katanya kamu bikin pacar dia terluka. Itu bener?”Andhira mengerucut bibir, dan menggeleng. Dirinya menatap Papih yang sedang menatapnya, saat ini mereka sedang berkumpul di ruang keluarga, setelah makan malam beberapa menit yang lalu.“Aku gak sengaja beneran, Pih. Aku emang lagi main bola basket, terus tangan aku kan kram ya, jadinya sembarangan ngelempar bola, taunya kena pinggiran papan ring. Bola basket kan mantul, mana ruangan kelas sih Caca itu deket sama lapangan,” jelas Andhira, dirinya mengatakan yang sejujurnya.Papih mengangguk mengerti, “Terus kamu diapain sama Darwis?” tanyanya, dijawab dengan bergumam. Andhira menatap dalam papihnya yang sedang tersenyum manis kepadanya.“Dia ngomong panjang lebar, pas ada dosen, dia berhenti. Pas ngejemput Caca di kelas, Darwis nyeramahin aku lagi pas tau korbannya bukan cuma Caca,” ucap Andhira dengan menggebu-gebu.Papih bergumam menanggapi apa yang dikatakan oleh Andhira.“Bayangin, aku diceramahin sama
“Ca, kamu benerann gapapa? Kemaren itu beneran gak sengaja.”Caca terkekeh, dirinya tersenyum, dan mengangkat lengannya yang sudah tidak ditutup perban, tetapi bekas lukanya masih terlihat dengan jelas. Andhira semakin bersalah, karena temannya itu menjadi korban.“Aku gapapa, Andhira. Kamu liat sendiri, kan? Lukanya juga gak terlalu besar, jadi gak ada yang perlu dikhawatirkan seharusnya,” ujar Caca dengan lembut, mencoba untuk menenangkan sahabat dari kekasihnya itu.Andhira mengerucut bibir, “Itu pasti sakit ya?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Caca.Caca tersenyum, “Gak dong. Btw, kamu bawa apa?” tanyanya, menatap paperbag yang dibawa oleh Andhira.Andhira melirik paperbag yang ditaruh di meja, “Oh ini, makanan buat kamu sama Zahara, itu aku bikin sendiri, menebus kesalahan aku kemaren.”“Wahh, kamu masak?” tanya Caca dengan antusias, menatap Andhira yang salah tingkah. Andhira mengusap tengkuk, karena sedikit malu dan tidak percaya diri.“Tadi pas aku cobain sih en
“Ini beneran kamu yang masak? Tidak dikasih racun, kan?”Andhira menggeleng kepala, tidak percaya dengan apa yang ditanyakan oleh Arsenio. Dirinya pagi ini datang ke ruangan Arsenio, dan memberikan makanan hasil karyanya. Arsenio yang mengetahui Andhira tidak bisa memasak, membuat otaknya negative thinking.“Saya tau pak Arsen gak suka sama saya, tapi jangan nuduh saya dong. Kesannya jahat banget.”Arsenio menaikkan sebelah alisnya, membuka tempat makan kotak berwarna biru, dan dia mendapati nasi goreng, lengkap dengan telur di atasnya. Sedangkan Andhira tersenyum manis, menatap Arsenio yang mengambil sendok dari dalam plastik.“Ini beneran aman yaa kalau saya makan?” tanya Arsenio, menatap Andhira yang mengangguk. Arsenio masih memikirkan Amanda, putri kecilnya kalau misalkan Andhira mencampurkan bahan-bahan yang bikin dirinya harus di rawat di rumah sakit.“Tenang ajaa, Pak. Aman, bahkan perbawangan saya cuci tiga kali,” jawab Andhira yakin, dirinya masih mempunyai hati nurani, ja