“Saya tau, kamu itu tidak bodoh-bodoh banget yaa, kenapa bisa nilai mata kuliah design grafis kamu C minus, Andhira?”Andhira memejamkan matanya sejenak, dirinya tahu kenapa dosen di mata kuliah tersebut memberikannya nilai C-, karena waktu itu dia membuat kegaduhan kelas pada saat mata kuliah design grafis sedang berlangsung.“Saya juga bingung, Pak. Padahal nilai saya itu bagus-bagu tau. Presentasi, tugas individu, tugas kelompok, A sih seharusnya,” ucap Andhira, wajahnya bingung. Dirinya sedang tidak ingin bercerita kepadda Arsenio.“Kamu lagi mau bohong sama saya, Maheswari Andhira Swastika? Astaga, kamu baru saja saya kasih libur dua hari kemaren buat ke Korea. Terus sekarang saya harus liat huruf C, ditambah ada minusnya lagi,” oceh Arsenio, dan hanya ditanggapi oleh bergumam dari Andhira.“Terus gimana, Pak? Saya ngulang dong?” tanya Andhira dengan santai, benar-benar membuat Arsenio menggelengkan kepala.Arsenio menatap tajam Andhira, “Kamu benar-benarr tidak ada niatan untu
“Amanda kenapa gak pernah lagi dateng ke kampus, Pak?”Andhira bertanya kepada Arsenio yang sedang memeriksa makalah milik mahasiswa-mahasiswinya dari fakultas lain. Ya, dirinya memang berada di ruangan Arsenio, karena Arsenio memanggilnya.Arsenio mengalihkan atensinya, menatap Andhira, “Kamu kemaren ngebentak Amanda lagi?” tanyanya dengan penuh penekanan, membuat Andhira mengulum bibir.“Kelepasan, Pak. Gak ada niat dalam hati saya membentak Amanda, tapi ya secara gak sadar. Saya gak mau melakukan pembelaan, jadi silahkan saja kalau pak Arsen mau menghukum saya.”Arsenio mengetukkan jemari telunjuk di meja, “Amanda jadi mengurung diri di kamar, dia tidak ingin kemana-mana. Saya sampai bingung harus membujuk dia seperti apalagi, bahkan dia tidak ingin bertemu dengan kamu.”Pernyataan dari Arsenio, membuat Andhira bergeming, otak kecilnya dan hatinya tertampar. Menurutnya itu bukan apa-apa, tetapi menyakiti hati orang lain. Dirinya bingung saat ini harus mengambil sikap seperti apa
“Loh kamu kok di sini? Mau ketemu sama Amanda?”Andhira menoleh saat mendapati Mbak Maya yang baru saja datang, dia otomatis berdiri, dan menunduk, “Pagi, Mbak Maya,” sapanya dengan sopan.Mbak Maya tersenyum, “Pagi. Pertanyaan saya belum dijawab, kamu ke sini mau ketemu sama Amanda?” tanyanya lagi, dijawab dengan gelengan.“Bukan, Mbak. Buat ketemu sama pak Arsen, karena mulai pagi ini saya asistennya pak Arsen,” jelas Andhira, hal itu membuat Mbak Maya menaikkan sebelah alisnya.“Asisten? Pak Arsen ganti asisten?” tanya Mbak Maya dengan bingung.Andhira menggeleng, “Bukan, Mbak. Ini kaya hukuman gitu loh, karena saya kalah.”“Kalah? Emangnya kalian main game?” tanya Mbak Maya lagi, saat Andhira membuka mulutnya, terdapat suara lainnya.“Dia kalah dalam kesepakatan, Mbak,” sahut Arsenio, dirinya menghampiri kedua perempuan yang sedang menatapnya. Arsenio menatap Mbak Maya, “Dia jadi pembantu, jadi saya titip ya, Mbak. Ajarin buat masak dan beberes rumah. Nanti jam delapan, dia baru i
“Kopi yang kamu kasih ke sayaa itu, kamu sendiri yang bikin?”Arsenio menoleh sekilas, dan kembali fokus menyetir. Sedangkan Andhira bergumam, kedua matanya menatap map yang diberikan oleh Arsenio kepadanya. Satu hari ini, Andhira benar-benar menjadi asisten Arsenio.“Iya. Kenapa? Gak enak ya?” tanya Andhira menatap Arsenio.“Rasanya kaya mbak Maya bikin,” ucap Arsenio, membuat Andhira berdecak.“Yakan emang mbak Maya yang ngasih tau takarannya, pak Arsen,” balas Andhira dengan penuh penekanan, dan kembali mengamati tulisan tinta printer.Arsenio tersenyum tipis, setelahnya tidak ada lagi obrolan diantaranya dengan Andhira. Sibuk dengan masing-masing. Andhira dengan maps yang diberikan oleh Arsenio, sedangkan Arsenio fokus menyetir.“Pak Arsen,” panggil Andhira, membuat Arsenio menoleh setelah menaikkan rem tangannya saat traffic light berubah menjadi warna merah.“Kenapa?”Andhira mengulum bibirnya, menatap Arsenio yang mengunci atensi hanya untuknya, “Amanda masih marah sama saya y
“Kamu laper gak? Beli nasi goreng enak kayanya ya.”Arsenio menoleh ke sisi kirinya, mendapati Andhira yang menatapnya dengan menaikkan sebelah alisnya. Keduanya sedang dalam perjalanan pulang, hari sudah semakin gelap.“Boleh. Tapi yaa, saya gak bisa sembarangan makan loh, Pak. Jadi, saya cuma nemenin pak Arsen aja.”Arsenio bergumam, “Saya punya langganan tukang nasi goreng keliling, mau nyoba? Percaya sama saya, kamu tidak akan sakit perut.”“Gak janji ya, pak Arsen. Saya memang gak bisa sembarangan, kalau gak cocok bisa sakit perut tiga hati. Repot kalau kaya gitu,” ucap Andhira, diakhiri dengan terkekeh. Arsenio mengangguk mengerti.“Mau buat kesepakatan lagi?” tanya Arsenio, menaik-turunkan kedua alisnya, dan tersenyum manis.Andhira berdecak, “Kesepakatan kita itu banyak banget ya, Pak. Emang hobi bikin kesepakatan sama orang lain, atau cuma sama saya doang?” tanyanya dengan mata menyipit, menatap curiga Arsenio.“Kamu doang,” jawab santai Arsenio, tanpa menoleh. Sedangkan Andh
“MAHESWARI ANDHIRA SWASTIKA, KAMU NGEPEL ATAU CUMA DI SIRAM DOANG INI LANTAI!”Andhira meringis, memegang gagang pel, menatap wanita setengah baya terduduk di lantai karena terpeleset. Andhira saat ini sedang menjalani hukuman dari Arsenio, karena terlambat masuk kelas.“Bu Kartika, kalau jalan hat-hati, sini sana bantu,” ucap Andhira, berdiri dihadapan Ibu Kartika, dosen PAnya yang lama. Ibu Kartika menerima uluran tangan dari anak didiknya, dan berdiri dengan sempurna, tetapi rok yang digunakannnya basah.Ibu Kartika berdecak, berkacak pinggang, menatap Andhira yang merasa bersalah, “Kamu itu pernah ngepel lantai di rumah?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Papih saya kan bayar asisten rumah tangga, Bu. Jadi, semua pekerjaan rumah itu asisten yang ngerjain. Saya sebagai anaknya Papih Ginantara, menikmati hasil kerja keras Papih saya dong,” ucap Andhira dengan bangga, dan diakhiri dengan terkekeh.Ibu Kartika yang kesal dengan Andhira, menarik telinga Andhira, m
“Kamu lagi mencoba untuk kabur, Maaheswari Andhira Swastika? Kamu lupa sekarang kelasnya pak Yuda?”Andhira menghentikan langkahnya yang mengendap-ngendap, dan menoleh. Arsenio menatap Andhira dengan menaikkan sebelah alisnya, membuat Andhira menegakkan tubuh dan berdeham.Andhira menggeleng, “Mau ke toilet, Pak. Kebelet buang air kecil ini,” ucapnya seolah sedang menahan air kecil yang sedang ditahan.Arsenio tidak bisa percaya begitu saja, dirinya menatap sekitar, dan kembali menatap Andhira, “Parkiran itu tempat kendaraan, kalau toilet ada di dalem. Jujur sama saya, mau kemana?” tanyanya menuntut.Andhira yang sudah tertangkap basah, menghela nafas, dan tersenyum tipis, “Mau beli makan, Pak. Nanti saya masuk kelas.”Arsenio menggeleng tidak percaya, dirinya menautkan jemarinya dengan jemari milik Andhira. Arsenio menatap Andhira yang sedang berdecak, “Saya antar kamu ke kelas,” ujarnya, menarik lembut Andhira.Andhira mencebik bibirnya, jelas saja kesal, aksinya yang ingin kabur,
“ANDHIRA, KAMU PACARAN SAMA PAK ARSENIO?”Andhira yang mendengar teriakan dari Caca pun mendesis, untung saja mereka sedang berada di taman belakang kampus, dan hanya ada mereka berdua. Caca langsung duduk di sisi kanan Andhira yang kosong.“Dapet gosip darimana emangnya?” tanya Andhira menatap Caca, dirinya kesal kepada Pak Yuda, karena penyebar gosip pertama.“Dari temen kelas aku yang lain. Mereka dapet dari temen mereka juga,” jawab Caca jujur. Andhira hanya mengangguk, karena dirinya tidak mengerti lagi harus seperti apa.“Kamu jangan percaya sama gosip yang beredar, ketahuan Darwis, kamu diomelin nantinya,” ucap Andhira, dirinya mengingatkan Caca untuk tidak percaya terhadap gosip yang berterbangan mengudara dan menyebar.Caca mendesis, “Makanya aku samperin kamu ke sini, biar aku tau itu gosip doang atau kenyataan. Eh ternyata gosip doang, aku kira beneran.”Andhira menoleh, menaikkan sebelah alisnya, “Kalau beneran, kenapa?” tanyanya dengan bingung dengan ucapan Caca. Benar-be