“ASTAGA ANDHIRA, KAMU LAGI KAMU LAGI!”Andhira meringis mendengar suara yang tinggi dan melengking dihadapannya saat ini, siapa lagi kalau bukan Tesya Farhana. Andhira mengusap telinganya yang berdengung, dan menatap Tesya.“Sorry, aku gak sengaja,” ucap Andhira dengan rasa bersalah, karena memang tidak sengaja menumpahkan kuah soto di cardigan putih yang digunakan oleh Tesya.Tesya mengambil alih satu mangkok dari tangan Andhira, dan menyimpannya di meja kosong sisi kirinya. Dia melepaskan cardigannya, lalu memberikannya kepada Andhira, “Mending kamu cuciin cardigan aku.”Andhira mengangkat cardigan putih yang terdapat noda berwarna coklat dengan jemari telunjuk dan jemari jempolnya, seperti sedang memegang anak kucing. Setelah memperhatikan cardigan tersebut, Andhira melempar cardigan tersebut ke sembarang arah.“ANDHIRA SWASTIKA! KAMU ….”Tesya spontan saja berteriak, dirinya geram dengan apa yang dilakukan oleh Andhira. Cardigan kesayangannya dibuang begitu saja, bagaimana bisa di
“Maheswari Andhira Swastika, apa yang sudah kamu perbuat ke Tesya?”Arsenio menatap Andhira dengan tajam, dirinya benar-benar dibuat pusing tujuh keliling, karena Andhira membuat Tesya pingsan. Sedangkan Andhira menggeleng kepala, jelas saja membela diri, karena memang tidak salah.“Saya gak ngapa-ngapain nenek lampir kok, cuma … berdebat doang. Dianya aja lemah,” jawab Andhira dengan santai, karena titik permasalahannya bukan dirinya, tetapi terletak pada Tesya.Arsenio menghela nafas, dan memijat keningnya yang tiba-tiba pening, “Kamu tau kan dia itu baru aja sembuh? Harusnya kamu ngertiin dia, jangan diajak berdebat.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Saya? Ngertiin nenek lampir? Gak bisa, Pak. Bukan apa-apa yaa, dia tuh ngeselinnya udah mendarah daging. Jadi, saya gak bisa kalau harus ngertiin dia.”“Andhira,” panggil Arsenio dengan penuh penekanan, sedangkan Andhira hanya bergumam. Hal itu membuat Arsenio menatap tajam gadis di sebrangnya saat ini, “Bagaimanapun juga dia teman
“Saya tau, kamu itu tidak bodoh-bodoh banget yaa, kenapa bisa nilai mata kuliah design grafis kamu C minus, Andhira?”Andhira memejamkan matanya sejenak, dirinya tahu kenapa dosen di mata kuliah tersebut memberikannya nilai C-, karena waktu itu dia membuat kegaduhan kelas pada saat mata kuliah design grafis sedang berlangsung.“Saya juga bingung, Pak. Padahal nilai saya itu bagus-bagu tau. Presentasi, tugas individu, tugas kelompok, A sih seharusnya,” ucap Andhira, wajahnya bingung. Dirinya sedang tidak ingin bercerita kepadda Arsenio.“Kamu lagi mau bohong sama saya, Maheswari Andhira Swastika? Astaga, kamu baru saja saya kasih libur dua hari kemaren buat ke Korea. Terus sekarang saya harus liat huruf C, ditambah ada minusnya lagi,” oceh Arsenio, dan hanya ditanggapi oleh bergumam dari Andhira.“Terus gimana, Pak? Saya ngulang dong?” tanya Andhira dengan santai, benar-benar membuat Arsenio menggelengkan kepala.Arsenio menatap tajam Andhira, “Kamu benar-benarr tidak ada niatan untu
“Amanda kenapa gak pernah lagi dateng ke kampus, Pak?”Andhira bertanya kepada Arsenio yang sedang memeriksa makalah milik mahasiswa-mahasiswinya dari fakultas lain. Ya, dirinya memang berada di ruangan Arsenio, karena Arsenio memanggilnya.Arsenio mengalihkan atensinya, menatap Andhira, “Kamu kemaren ngebentak Amanda lagi?” tanyanya dengan penuh penekanan, membuat Andhira mengulum bibir.“Kelepasan, Pak. Gak ada niat dalam hati saya membentak Amanda, tapi ya secara gak sadar. Saya gak mau melakukan pembelaan, jadi silahkan saja kalau pak Arsen mau menghukum saya.”Arsenio mengetukkan jemari telunjuk di meja, “Amanda jadi mengurung diri di kamar, dia tidak ingin kemana-mana. Saya sampai bingung harus membujuk dia seperti apalagi, bahkan dia tidak ingin bertemu dengan kamu.”Pernyataan dari Arsenio, membuat Andhira bergeming, otak kecilnya dan hatinya tertampar. Menurutnya itu bukan apa-apa, tetapi menyakiti hati orang lain. Dirinya bingung saat ini harus mengambil sikap seperti apa
“Loh kamu kok di sini? Mau ketemu sama Amanda?”Andhira menoleh saat mendapati Mbak Maya yang baru saja datang, dia otomatis berdiri, dan menunduk, “Pagi, Mbak Maya,” sapanya dengan sopan.Mbak Maya tersenyum, “Pagi. Pertanyaan saya belum dijawab, kamu ke sini mau ketemu sama Amanda?” tanyanya lagi, dijawab dengan gelengan.“Bukan, Mbak. Buat ketemu sama pak Arsen, karena mulai pagi ini saya asistennya pak Arsen,” jelas Andhira, hal itu membuat Mbak Maya menaikkan sebelah alisnya.“Asisten? Pak Arsen ganti asisten?” tanya Mbak Maya dengan bingung.Andhira menggeleng, “Bukan, Mbak. Ini kaya hukuman gitu loh, karena saya kalah.”“Kalah? Emangnya kalian main game?” tanya Mbak Maya lagi, saat Andhira membuka mulutnya, terdapat suara lainnya.“Dia kalah dalam kesepakatan, Mbak,” sahut Arsenio, dirinya menghampiri kedua perempuan yang sedang menatapnya. Arsenio menatap Mbak Maya, “Dia jadi pembantu, jadi saya titip ya, Mbak. Ajarin buat masak dan beberes rumah. Nanti jam delapan, dia baru i
“Kopi yang kamu kasih ke sayaa itu, kamu sendiri yang bikin?”Arsenio menoleh sekilas, dan kembali fokus menyetir. Sedangkan Andhira bergumam, kedua matanya menatap map yang diberikan oleh Arsenio kepadanya. Satu hari ini, Andhira benar-benar menjadi asisten Arsenio.“Iya. Kenapa? Gak enak ya?” tanya Andhira menatap Arsenio.“Rasanya kaya mbak Maya bikin,” ucap Arsenio, membuat Andhira berdecak.“Yakan emang mbak Maya yang ngasih tau takarannya, pak Arsen,” balas Andhira dengan penuh penekanan, dan kembali mengamati tulisan tinta printer.Arsenio tersenyum tipis, setelahnya tidak ada lagi obrolan diantaranya dengan Andhira. Sibuk dengan masing-masing. Andhira dengan maps yang diberikan oleh Arsenio, sedangkan Arsenio fokus menyetir.“Pak Arsen,” panggil Andhira, membuat Arsenio menoleh setelah menaikkan rem tangannya saat traffic light berubah menjadi warna merah.“Kenapa?”Andhira mengulum bibirnya, menatap Arsenio yang mengunci atensi hanya untuknya, “Amanda masih marah sama saya y
“Kamu laper gak? Beli nasi goreng enak kayanya ya.”Arsenio menoleh ke sisi kirinya, mendapati Andhira yang menatapnya dengan menaikkan sebelah alisnya. Keduanya sedang dalam perjalanan pulang, hari sudah semakin gelap.“Boleh. Tapi yaa, saya gak bisa sembarangan makan loh, Pak. Jadi, saya cuma nemenin pak Arsen aja.”Arsenio bergumam, “Saya punya langganan tukang nasi goreng keliling, mau nyoba? Percaya sama saya, kamu tidak akan sakit perut.”“Gak janji ya, pak Arsen. Saya memang gak bisa sembarangan, kalau gak cocok bisa sakit perut tiga hati. Repot kalau kaya gitu,” ucap Andhira, diakhiri dengan terkekeh. Arsenio mengangguk mengerti.“Mau buat kesepakatan lagi?” tanya Arsenio, menaik-turunkan kedua alisnya, dan tersenyum manis.Andhira berdecak, “Kesepakatan kita itu banyak banget ya, Pak. Emang hobi bikin kesepakatan sama orang lain, atau cuma sama saya doang?” tanyanya dengan mata menyipit, menatap curiga Arsenio.“Kamu doang,” jawab santai Arsenio, tanpa menoleh. Sedangkan Andh
“MAHESWARI ANDHIRA SWASTIKA, KAMU NGEPEL ATAU CUMA DI SIRAM DOANG INI LANTAI!”Andhira meringis, memegang gagang pel, menatap wanita setengah baya terduduk di lantai karena terpeleset. Andhira saat ini sedang menjalani hukuman dari Arsenio, karena terlambat masuk kelas.“Bu Kartika, kalau jalan hat-hati, sini sana bantu,” ucap Andhira, berdiri dihadapan Ibu Kartika, dosen PAnya yang lama. Ibu Kartika menerima uluran tangan dari anak didiknya, dan berdiri dengan sempurna, tetapi rok yang digunakannnya basah.Ibu Kartika berdecak, berkacak pinggang, menatap Andhira yang merasa bersalah, “Kamu itu pernah ngepel lantai di rumah?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Papih saya kan bayar asisten rumah tangga, Bu. Jadi, semua pekerjaan rumah itu asisten yang ngerjain. Saya sebagai anaknya Papih Ginantara, menikmati hasil kerja keras Papih saya dong,” ucap Andhira dengan bangga, dan diakhiri dengan terkekeh.Ibu Kartika yang kesal dengan Andhira, menarik telinga Andhira, m