“To the point aja deh, Pak. Tujuan pak Arsen ngajak saya ketemuan di sini, mau ngobrolin tentang apa?”Andhira bersidekap, menatap serius Arsenio yang duduk di kursi sebrang. Mereka saat ini sedang berada di restoran ternama di Nusantara, memiliki rating cukup bagus dari pelanggan, dan tidak heran kalau restoran ini selalu ramai.Arsenio menaikkan sebelah alisnya, dan tersenyum, “Sabar dulu dong. Bentar yaa,” ucapnya dengan lembut, dia mengangkat tangan ke udara untuk memanggil pelayan yang berdiri di dekat meja kasir.Pelayan atau waitress mengenakan seragam kemeja putih dan rok berwarna biru, tidak lupa pita dibagian kerah, melangkahkan kaki dengan anggun menghampiri meja nomor 10 yang disinggahi oleh Andhira dan Arsenio.Waitress itu tersenyum kepada Arsenio dan Andhira, menatap silih berganti, dan menyimpan buku menu di meja. Arsenio mengambil buku menu tersebut tanpa tersenyum dan mengucapkan sepatah katapun.Arsenio menatap Andhira yang sedang menatap waitress dengan tatapan mem
“Andhira, are you okay, Darling?”Caca menyenggol lengan Andhira, tetapi tidak membuat gadis itu tersadar dari lamunan. Lantas, Caca menatap Darwis dan Reno silih berganti. Kedua lelaki yang duduk di kursi sebrang, kompak mengendikkan kedua bahu.“Dia semalem abis ketemu sama pak Arsen, karena aku jemput, abis itu aku anter ke restoran mewah itu loh,” ucap Reno, menatap Caca dan Darwis. Reno melanjutkan, “Terus dia nyuruh aku pulang.”Caca mendelik, “Kenapa gak kamu tungguin?” tanyanya, Reno hanya mengulum bibir.“Kok dia gak minta tolong ke aku?” tanya Darwis, Reno hanya menggelengkan kepala. Sedangkan Caca mengangguk setuju dengan pertanyaan kekasihnya.“Biasanya juga minta tolong ke Darwis, kenapa jadi ke kamu?” tanya Caca, menatap Reno dengan mata menyipit.“Aku gak tauu. Mungkin kalau ke Darwis, gak enak sama Caca. Jadinya, dia minta tolong ke aku, karena gak bakal ada yang cemburu sama aku,” jawab Reno, diakhiri dengan terkekeh. Caca spontan melempar tissue kepada Reno.“Aku ga
“Kamu di sini niatnya mau kuliah atau nyari musuh sih, Nenek lampir?”Andhira menarik surai panjang milik Tesya, dirinya melakukan ini saat melihat Tesya kembali membuat Amanda menangis, dan teman satu angkatannya yang membela Amanda menatap penuh emosi kepada Tesya.“Jambak teruss yang kenceng, sampe copot itu rambut dari kepalanya nenek lampir,” ucap perempuan mengenakan jaket hoodie berwarna hitam, surai sebahu, dan berdiri di sisi kiri Amanda, Faradilla Yautarsa.“AW … AW … KAMU BUKAN PEREMPUAN YA?” tanya Tesya dengan berteriak, berusaha untuk menoleh dan melepaskann tangan Andhira dari surainya.Andhira memiringkan kepala, menampilkan wajah datar, “Kalau iya, kenapa? Makanya jadi manusia jangan suka bikin anak orang nangis!”“Tante,” panggil Amanda dengan suara serak, dia menghapus airmata yang tersisa di kedua pipinya. Andhira menatap Amanda, dan tersenyum manis, membuat Amanda menghangat.“Ya? Kamu mau request apa?” tanya Andhira, diakhiri dengan terkekeh. Caca yang berdiri di
“Maheswari Andhira Swastika, kamu sehari gak bikin saya sakit kepala, gak bisa ya?”Andhira mengulum bibirnya, tidak menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Arsenio. Kini dirinya sedang berada di ruangan Arsenio. Setelah jam mata kuliah pertama, Arsenio menjemputnya di depan kelas dan menariknya ke ruangan.“Berarti kamu emang mau yaa ngelakuin dari kesepakatan kita?” tanya Arseni lagi, karena pertanyaannnya tidak mendapatkan jawaban sama sekali.Andhira berdecak, “Berubah itu gak secepat nyuci baju di mesin cuci ya, Pak. Enak aja. Ibaratnya itu kaya nyuci baju di sungai. Dari rumah, jalanannya turun-naik, abis itu harus ngelewatin jembatan, belum lagi jalannya licin karena hujan, ditambah pas sampe di sungai harus hati-hati biar baju gak keseret arus—”“Perumpaan kamu kepanjangan,” potong Arsenio, dirinya kesal mendengarkan apa yang dikatakan oleh Andhira.Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Saya belum selesai. Pas udah selesai nyuci, harus ngelewatin jalan yang sama, belum lagi ke s
“Kamu yakin banget emangnya kalau pak Arsenio itu Papih dari Amanda?”Andhira yang diberikan pertanyaan oleh Darwis pun mengangguk yakin, dia menatap Darwis yang sedang menyeruput kopi, “Yakin, aku gak bodoh-bodoh banget kali, Dar. Kalau aku analisa itu bener terus,” ucapnya dengan bangga, dan tersenyum lebar.“Kalau salah, kamu yang malu loh,” balas Darwis, dirinya sudah berjanji kepada Arsenio untuk tidak memberitahukan kepada Andhira, jadi dia sengaja memberikan asumsi yang berbeda.Andhira bergumam, menyimpan kembali sendok di mangkok bergambar ayam, melipat kedua lengannya di meja, dan menatap Darwis dengan tajam, “Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Aku tau kamu dari masih embrio. Jadi, kalau kamu bohong sama aku itu ketahuan.”Darwis menyeruput coklat hangat dengan tenang, tidak terpancing, “Aku jarang bohong sama kamu, lagian juga buat apa sih aku bohong sama kamu?”Andhira menaikkan kedua bahunya, “Kali aja saking rahasianya, kamu nyembunyiin dari aku, itu kan termasuk bohong
“Kamu hari ini hampir bikin orang celaka, Maheswari Andhira Swastika. Kamu juga, Ren. Saya titipin Andhira ke kamu itu buat bikin dia tidak berulah, bukan malah dibiarin gitu saja.”Arsenio menatap tajam Andhira dan Reno yang duduk di kursi sebrang, dirinya benar-benar pusing dengan kelakuan dari seorang Andhira. Kedua insan yang menjadi titik fokus Arsenio hanya bergeming, tidak mengeluarkan sepatah katapun.“Kalau tadi meleset, dan beneran kena kepala perempuan tadi, urusannya panjang,” lanjut Arsenio dengan penuh penekanan, dia dalam mode tidak bersahabat. Aura berbeda dapat dirasakan Reno dan Andhira.Arsenio memijat keningnya yang pening, menghela nafas beratnya, dan kembali menatap kedua anak didiknya silih berganti. Andhira mengulum bibir, sedangkan Reno menunduk.“Itu semua salah, Pak. Kalau memang harus dihukum, saya aja. Reno gak usah, karena dia gak ada urusannya sama sekali,” ujar Andhira setelah lama dirinya terdiam. Arsenio menaikkan sebelah alisnya, menatap Reno dalam-d
“Selamat pagi, pak Arsenio. Jadi hari ini mau diantar kemana?”Andhira tersenyum kepada Arsenio, hari ini perdana menjadi supir seorang Dareen Arsenio, hanya untuk satu hari ini saja. Reno yang memaksa untuk mendapatkann hukuman, jadi dipotong atau dengan kata lain dibagi dua.Reno dihukum menjadi kuli satu hari di rumah Arsenio, dan Andhira satu hari menjadi supir Arsenio. Memang adil, tetapi tidak membuat Andhira tenang. Gadis itu merasa bersalah, karena perbuatannya Reno harus menjadi kuli.Arsenio tersenyum kepada Andhira, “Kantor ya, hari ini saya ada rapat,” jawabnya, diangguki oleh Andhira. Mereka berada di parkiran kampus, sesuai kesepakatan keduanya janjian di parkiran kampu fakultas Ilmu Komunikasi.Arsenio memberikan kunci kepada Andhira, diterima baik oleh gadis itu. Andhira ingin melangkah ke sisi pintu penumpang, tetapi ditahan oleh Arsenio. Hal itu membuat Andhira menoleh, dan menaikkan sebelah alisnya.“Ada apa, Pak?” tanya Andhira bingung, Arsenio menggeleng.“Tidak p
“Kamu mau ikut ke dalam? Punya tugas kan, deadlinenya nanti malem?”Andhira menoleh, menaikkan kedua alisnya saat mendapatkan pertanyaan dari Arsenio yang saat ini menjadi majikannya satu hari, “Kok pak Arsen tau?” tanyanya, melupakan Arsenio yang menjadi Dosen PAnya jika di kampus.Arsenio yang selesai melepaskan sabuk pengaman pun menoleh, “Kamu lupa? Saya ini dosen PA kamu, jadi jelas saja tau tugas apa saja yang diberikan dosen lain ke anak didik saya.”Andhira mengulum bibirnya, menyadari satu hal yang membuatnya terlihat bodoh dihadapan Arsenio, “Lupa.”Arsenio menatap Andhira yang menunduk, “Kamu ikut saya aja. Nanti kalau kamu butuh bantuin, bisa bilang ke saya,” ujarnya, Andhira menggeleng.“Saya di café sebrang jalan aja, Pak. Saya takut ganggu pak Arsen nantinya,” tolak Andhira dengan sopan, diiringi dengan senyum manis.Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu yakin? Di sini itu rawan banget loh.”Andhira spontan tertawa mendengar pernyataan dari Arsenio, “Pak, saya buka