“Tadi malam saya ke rumah Mamih kamu, tapi lampunya mati. Kalian pergi?”Arsenio menyamakan langkah kakinya dengan Andhira, sedangkan Andhira hanya bergumam, tanpa menanggapi apa yang diucapkan oleh Arsenio. Hal itu membuat Arsenio menaikkan sebelah alisnya, bingung dengan perubahan sikap Andhira.“And—”Andhira menghentikan langkahnya, menyamping, dan menatap Arsenio dengan tersenyum tipis, “Saya boleh minta tolong? Hari ini jangan ganggu saya dulu ya, Pak.”“Kenapa? Kamu ada masalah?”Andhira menggeleng, dan tersenyum. Tanpa basa-basi, dirinya menunduk, dan melenggang pergi. Andhira benar-benar tidak bisa diganggu, karena suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Satu yang diinginkan, tidak bertemu dengan Amanda, takut tidak bisa menahan emosinya.Darwis yang menaikkan sebelah alisnya saat berpapasan dengan Andhira yang masuk ke dalam lift, tanpa basa-basi dia menyusul Andhira. Kini di dalam lift kampus hanya mereka berdua. Darwis merangkul sahabatnya, mengusap lengan Andhira.“J
“Ehh basah. Maaf yaa, gak sengaja, tapi aku niat buat bikin baju kotor.”Andhira terkekeh, dia baru saja menyiram seorang perempuan bersurai panjang, mengenakan kaos oblong berwarna hitam, rok selutut, Tesya Farhana.“Andhira Swastika, kamu punya dendam terselubung sama aku? Bilang aja. Gak perlu jadi baik buat mendapatkan pengakuan.”“Maheswari Andhira Swastika, itu nama lengkap aku. Lagian sok akrab amat manggil aku pake Andhira Swastika, siapa kamu? Kita kenal aja gak,” protes Andhira dengan menatang, dirinya bersidekap dada.Tesya maju satu langkah, menatap Andhira yang memiliki tinggi tubuh seimbang dengannya, “Kamu ada masalah apa sama aku? Aku gak ada ngerebut Darwis ataupun Reno dari kamu. Terus kenapa kamu sewot tiba-tiba?”“Kamu bikin anak kecil nangis lagi, kan? Ngakuu. Aku punya buktinya,” ucap Andhira tidak kalah menantang. Dia menatap Tesya dengan tajam, bahkan tidak ada lagi tatapan ramah yang biasa ditampilkan.“Anak kecil mana? Yang kaya boneka itu? Emangnya dia siap
“Pak Arsen, saya mau nanya dong.”Andhira menatap Arsenio yang sedang menatap layar laptop dengan serius, memandangi wajah Dosen tampan yang ternyata duda memiliki anak satu, dan menjadi idola di universitas selalu happy.Arsenio mengalihkan atensinya menatap Andhira, “Apa?” tanyanya dengan serius, menunda urusannya, dan memfokuskan atensinya hanya dengan menatap Andhira.“Kemaren kenapa pak Arsen ngebelain Amanda? Padahalkan dia gak urusannya sama pak Arsen, kan?” tanya Andhira dengan cepat, satu malam dia habiskan untuk berfikir, ada hubungan apa diantara Arsenio dan Amanda. Jadi, saat ini memberanikan diri untuk bertanya kepada Arsenio.Arsenio terkekeh, “Emangnya kalau bukan, saya tidak boleh ngebela? Kamu saja yang bukan siapa-siapa dari Amanda ngebelain Amanda, masa saya diem saja?”“Bukan gitu,” cicit Andhira, dirinya bergumam, memainkan jemarinya dibalik meja, “Maksud saya, kenapa harus repot-repot ngebelain Amanda?”“Kamu membela Amanda, berarti saya juga harus membela Amanda
“Kamu sihh, gak bisa tahan emosi, jadinya gini, kann. Kalau kamu pulang dengan wajah kaya gini, Mamih kamu bisa marahin kamu.”Andhira hanya bergumam mendengar coletahan dari Caca, kini mereka berada di Unit Kesehatan, luka yang didapatkan oleh Andhira membuat Caca harus membantu untuk mengobati.“Kamu bisa diem gak? Cerewet banget.”Caca menghentikann aktifitasnya, dirinya menegakkann tubuhnya dan berkacak pinggang, “Andhira sayang aku, kapan kamu berubah sihh? Kamu gak takut kalau nanti sih Tesya ngelaporin kamu ke bagian kemahasiswaan? Belum lagi kamu harus berhadapan sama pak Arsenio yang terkenal cukup kejam.”Andhira mendongak, menatap Caca yang mengangkat dagu angkuh, “Mendingan kamu nyusul Darwis sama Reno deh di kantin, lebih baik kamu nyeramahin sih nenek lampir. Aku lagi gak mau denger ocehan kamu.”“Gak mau, lebih baik aku ngoceh ke kamu, biar kamu sembuh. Lagian aku gak kenal sama Tesya, gak cantik, tapi banyak gaya.”Andhira tertawa, “Cantikan aku atau nenek lampir?” tan
“Kamu hari ini benar-benar kacau, Andhira.”Arsenio menatap tajam Andhira dihadapannya saat ini, sedangkan Andhira hanya bergeming memperhatikan Dosen PAnya yang sedang berbicara. Andhira tidak bodoh, dia mengakui hari ini memang benar-benar kacau.“Ya mau gimana lagi, Pak? Udah kejadian juga. Gak bisa diputar lagi.”Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu gak ngerasa bersalah?” tanyanya, membuat Andhira mengulum bibir dan bergumam.“Bersalah ke Amanda sih iya. Tapi kalau ke Tesya, gak ada dalam hati saya ngerasa bersalah. Emang dia yang bikin saya emosi hari ini,” jelas Andhira, menatap kedua bola mata milik Arsenio.“Belum lagi sebelum saya ketemu sama Tesya, saya kesel sama pak Arsen. Jadi, permasalahan dikantin tadi, bukan salah saya,” lanjut Andhira, tidak ada yang salah jika dirinya membela diri, karena dia mengatakan yang sesungguhnya, bukan mengarang cerita.Arsenio mengangguk, “Anggaplah memang itu faktanya, saya hanya ingin tahu, kenapa kamu bisa membentak Amanda? Dia tidak
“Udah tiga hari dari kejadian Andhira ngebentak Amanda, itu bocah gak keliatan lagi yaa,” ucap Reno kepada Darwis dan Andhira yang duduk di kursi sebrang.Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Bagus, jadinya aku gak ada yang gangguin. Aku kan bisa bebas lagi. Iya, kan?” Dia tersenyum lebar, dan menaik-turunkan kedua alisnya.Reno menggeleng, “Jangan lupakan dosen kamu itu pak Dareen Arsenio, anak didik dia gak ada yang bisa bebas. Gak boleh berulah, kalaupun berulah pasti dikasih hukuman.”Darwis hanya terdiam, karena Dosen Pembimbing Akademiknyaa berbeda dengan Reno dan Andhira. Jadi, dia tidak terlalu tahu seperti apa seorang Dareen Arsenio. Sedangkan Andhira bergumam dan bersidekap dada.“Aku mau nonton, jadi aku gak ikut kelas selanjutnya yaa,” ucap Andhira menatap Darwis yang menaikkan sebelah alisnya.“Nanti aku yang dicari sama pak Arsen, Dhir. Udah deh kamu gak perlu berulah. Waktu kamu tiga seminggu bukannya?” tanya Darwis, menyinggung kesepakatan yang Andhira buat bersama Arse
“To the point aja deh, Pak. Tujuan pak Arsen ngajak saya ketemuan di sini, mau ngobrolin tentang apa?”Andhira bersidekap, menatap serius Arsenio yang duduk di kursi sebrang. Mereka saat ini sedang berada di restoran ternama di Nusantara, memiliki rating cukup bagus dari pelanggan, dan tidak heran kalau restoran ini selalu ramai.Arsenio menaikkan sebelah alisnya, dan tersenyum, “Sabar dulu dong. Bentar yaa,” ucapnya dengan lembut, dia mengangkat tangan ke udara untuk memanggil pelayan yang berdiri di dekat meja kasir.Pelayan atau waitress mengenakan seragam kemeja putih dan rok berwarna biru, tidak lupa pita dibagian kerah, melangkahkan kaki dengan anggun menghampiri meja nomor 10 yang disinggahi oleh Andhira dan Arsenio.Waitress itu tersenyum kepada Arsenio dan Andhira, menatap silih berganti, dan menyimpan buku menu di meja. Arsenio mengambil buku menu tersebut tanpa tersenyum dan mengucapkan sepatah katapun.Arsenio menatap Andhira yang sedang menatap waitress dengan tatapan mem
“Andhira, are you okay, Darling?”Caca menyenggol lengan Andhira, tetapi tidak membuat gadis itu tersadar dari lamunan. Lantas, Caca menatap Darwis dan Reno silih berganti. Kedua lelaki yang duduk di kursi sebrang, kompak mengendikkan kedua bahu.“Dia semalem abis ketemu sama pak Arsen, karena aku jemput, abis itu aku anter ke restoran mewah itu loh,” ucap Reno, menatap Caca dan Darwis. Reno melanjutkan, “Terus dia nyuruh aku pulang.”Caca mendelik, “Kenapa gak kamu tungguin?” tanyanya, Reno hanya mengulum bibir.“Kok dia gak minta tolong ke aku?” tanya Darwis, Reno hanya menggelengkan kepala. Sedangkan Caca mengangguk setuju dengan pertanyaan kekasihnya.“Biasanya juga minta tolong ke Darwis, kenapa jadi ke kamu?” tanya Caca, menatap Reno dengan mata menyipit.“Aku gak tauu. Mungkin kalau ke Darwis, gak enak sama Caca. Jadinya, dia minta tolong ke aku, karena gak bakal ada yang cemburu sama aku,” jawab Reno, diakhiri dengan terkekeh. Caca spontan melempar tissue kepada Reno.“Aku ga