“Enak yaa ice creamnya?”Andhira duduk di sisi kanan gadis cilik diperkirakan usianya sekitar 7 tahun, dia tersenyum manis kepada gadis cilik yang sedang memakan ice cream coklat, sudah dipastikan dibelikan oleh Reno.Gadis cilik itu mengangguk, dan menatap Andhira dengan tatapan polos, “Tante mau?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Buat kamu aja. Cepet dihabisin yaa, nanti ice creamnya keburu mencair,” ucap Andhira dengan lembut, membuat Reno yang melihatnya terpesona. Gadis cilik itu mengangguk, dan menurut. Sedangkan Andhira terkekeh, dirinya beranjak, tetapi ditahan oleh gadis cilik di sisi kirinya.“Tante mau kemana?”Andhira tersenyum, “Beli tissue, bentar yaa,” ucapnya dengan lembut, dan melenggang pergi setelah mendapatkan ijin. Reno benar-benar takjub dengan Andhira yang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya kepada anak kecil yang baru saja dikenal.“Om pacarnya Tante?” tanya polos gadis cilik yang duduk di sebrang Reno, membuat Reno terkekeh.Reno men
“Kata Reno, kamu kemaren ribut sama Tesya?” tanya Arsenio kepada Andhira yang duduk di kursi sebrangnya. Andhira mengangguk dengan santai, tidak merasa bersalah sedikitpun, karena memang dia tidak salah.“Kenapa emangnya, Pak? Sih nini lampir itu kasih laporan ke Pak Arsen?” tanya Andhira dengan santai, diangguki oleh Arsenio, dan hal itu membuatnya berdecak. “Dasar nini lampir, kaya gitu aja ngadu.”Arsenio melipat kedua lengannya di meja, dan menatap tajam Andhira, “Kamu ribut apa lagi?” tanyanya. Andhira menegakkan tubuhnya, menyugar surai panjangnya, dan menatap kedua bola mata Arsenio.“Dia kemaren bikin anak kecil nangis, terus saya harus diem aja gitu?” tanya Andhira, membuat Arsenio menaikkan sebelah alisnya.“Anak kecil? Anaknya siapa?” tanya Arsenio dengan perasaan was-was. Andhira mengendikkan kedua bahunya.“Lupa saya tanya.”“Kamu tau namanya?” tanya Arsenio dengan cepat, dan hal itu membuat Andhira memicingkan mata curiga. Sedangkan Arsenio mengulum bibir, dan berdeham.
“Lepas, Pak. Gak enak diliat sama yang lainnya.”Andhira berusaha untuk melepaskan diri dari rangkulan Arsenio, tetapi tidak digubris. Andhira yang malu dilihat sama mahasiswi-mahasiswa yang melintasi koridor lantai dua, menggigit tangan kekar Arsenio. Hal itu membuat Arsenio melebarkan kedua bola matanya.“Udah kamu diem aja, kaki kamu perlu diobatin,” ucap Arsenio, dirinya mengangkat tubuh Andhira secara tiba-tiba, sehingga membuat gadis itu memekik, dan meronta untuk diturunkan.“Turunin, Pak. Saya bisa ke unit kesehatan sendirian kok.”Arsenio menatap kedua mata Andhira, “Kamu bisa diem gak? Saya bisa berbuat lebih nekat dari ini.”Andhira mengerucutkan bibir, dan memilih menyembunyikan wajahnya pada bidang dada Arsenio. Hal itu membuat Arsenio tersenyum.“Good girl,” bisik Arsenio dengan lembut, membuat Andhira mengangkat kembali wajahnya, dan seketika dirinya melebarkan kedua bola matanya. Berbeda dengan Arsenio, dirinya hanya terkekeh, dan mengalihkan atensinya.Arsenio terseny
“TANTE ANDHIRA, CALON MAMIHNYA AMANDA.”Andhira yang mendengar teriakan khas, dan sering dia dengar pun menoleh. Amanda berlari menghampiri Andhira yang sedang duduk seorang diri di gazebo, dia naik ke Gazebo dibantu oleh Andhira.“Mbak Maya mana?” tanya Andhira lembut, dirinya memang tidak bisa bertindak kasar kalau kepada anak kecil, kecuali anak kecil itu memancing kesabarannya.“Ituu, lagi ngobrol sama Papih,” jawab Amanda, menatap Mbak Maya yang sedang berbicara dengan seorang pria bertubuh tegap mengenakan kemeja berwarna berwarna putih lengan pendek.Andhira menatap pria tersebut dengan menyipitkan kedua matanya, dirinya tidak dapat mengetahui sosok tersebut, karena berdiri membelakanginya. Sedangkan Amanda menatap Andhira.“Tante kenal kenal sama Papih aku?” tanya Amanda, membuat Andhira menoleh dan menggeleng.“Kamu kenapa nyasarnya ke sini? Emangnya gak takut ditinggal sama Papih?” tanya Andhira kepada Amanda, gadis kecil itu menggeleng.“Kata Papih, kalau aku mau disini, ga
“Amanda, kamu ngapain di sini?”Andhira terkejut dengan kehadiran dari Amanda di kelasnya, sudah tiga hari tidak bertemu dengan gadis kecil itu, kini dirinya harus menerima kenyataan bahwa Amanda masih terus mengganggunya. Terhitung kurang lebih lima hari Amanda hadir dihadapannya.Amanda menoleh, dan tersenyum manis. “TANTEE.”Andhira menghampiri Amanda dan Darwis berada, di dalam ruangan ini hanya ada mereka berdua, sebelum akhirnya Andhira.“Kata Om Darwis, Tante Andhira gak dateng, tapi ternyata dateng. Om bohong sama aku yaa?” tanya Amanda kepada Darwis dengan mata menyipit, sedangkan Darwis hanya bergumam tidak bersalah.“Tadinya mau gak dateng, terus kata temen aku Dosen PAnya yang ngegantiin dosen lainnya, jadi aku harus masuk,” jelas Andhira, dirinya duduk di kursi belakang Amanda.“Emangnya Pak Kiki berhalangan hadir?” tanya Darwis, menatap Andhira yang mengangguk. Jawaban dari Andhira membuat Darwis berdecak, “Kenapa gak diliburin aja sih? Jadwalin kuliah pengganti.”Andhir
“Kok kamu dateng sendirian? Gak bareng sama Amanda? Oh atau itu bocah udah sama Mbak Maya?”Andhira menyeruput es jeruk, ditemani satu porsi roti bakar. Dirinya cabut dari kelas Pak Kiki yang digantikan oleh Arsenio, dan pergi ke café yang tidak jauh kampus. Dia mengirimkan lokasi kepada sahabatnya.“Di jemput sama Mbak Maya, buat pulang. Katanya, biar gak ngerengek ketemu kamu,” ujar Darwis.Andhira bergumam, dirinya memakan satu potong roti bakar, menatap Darwis yang sedang menatapnya serius. “Kenapa? Ada yang mau diomongin?”“Aku minta maaf yaa, apapun yang terjadi setelah ini,” ucap Darwis dengan serius, membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Ada apa sih, Darwis Kusuma?” tanya Andhira menuntut, sahabatnya itu hanya menggeleng dan tersenyum manis.“Jangan musuhin aku, sumpah aku terpaksa.”Andhira mendelik, dirinya bingung harus bereaksi seperti apa, sedangkan Darwis tidak memberitahukan apa yang terjadi.“Maheswari Andhira Swastika.”Andhira melebarkan kedua matanya, menatap
“Kamu itu mahasiswi loh, bukan anak SMA lagi, jadi jangan banyak bertingkah.” Andhira menaikkan sebelah alisnya, menatap Arsenio yang menatapnya serius. Aura laki-laki di sebrangnya itu menakutkan, tetapi sedikit membuat Andhira terpesona. Bukannya apa-apa, gadis itu mengakui pesona yang dimiliki seorang Dareen Arsenio. “Harusnya pak Arsen makasih sama saya, karena pak Arsen gak makan gaji buta,” ucap Andhira santai, tidak menganggap Arsenio sebagai Dosen PAnya. “Saya di sini tidak digaji, jadi saya melakukan ini karena sukarelawan,” ujar Arsenio dengan santai, berbeda dengan Andhira yang memicingkan mata. Pernyataaan dari Arsenio, membuat Andhira menatap penuh curiga. “Terus kenapa mau jadi Dosen di sini? Kan pasti pak Arsenio duitnya gak habis-habis.” Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu tau? Cita-cita saya sebagai dosen tanpa dibayar. Dulu, saya tidak punya apa-apa, makanya mantan istri saya minta cerai, karena dia gak mau hidup susah sama saya.” Andhira menatap Arsenio ya
“Anak kamu nyariin tuh, Dhir.”Darwis terkekeh saat melihat Andhira yang berdecak, dia tahu suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik saja, dan saat ini sosok Amanda sedang celingak-celinguk di dekat pintu masuk kantin indoor.“Biarin aja, Dar. Aku takut kelepasan,” ujar Andhira, dirinya lebih tertarik kepada siomay bumbu kacang ditambah dengan saus dan kecap. Sedangkan Darwis mengendikkan kedua bahunya, tetapi tidak melepaskan atensinya dari sosok Amanda Anandita.“Kasian dia, Dhir. Kamu gak mau nyamperin dia?” tanya Darwis, menatap Andhira yang sedang menaikkan sebelah alis. “Dia sendirian loh, nanti kalau digangguin sama Tesya gimana?”Andhira bergumam, menoleh, dan mendapati Amanda yang bersidekap dada dengan wajah yang kesal. “Dia kenapa? Kok lucu sihh,” ucapnya, diakhiri dengan tertawa.Bayangkan saja bagaimana ekspresi Amanda, anak usia 7 tahun berdiri sendirian di dekat pintu masuk, seperti kesal karena tidak bisa menemukann apa yang diinginkan.Darwis mengangguk, “Kamu ya