“Apasih, Manuel. Saya gak mau pake.”Andhira melepaskan gelas berwarna hitam yang baru saja dipasang oleh Manuel pada pergelangan tangan kirinya, jelas saja dirinya menolak untuk menggunakan gelang tersebut. Sedangkan Manuel memasakan kembali gelang tersebut, lalu menatap tajam Andhira.“Aku gak terima penolakan, kamu pake atau dia gak selamat?”Andhira berdecak, “FINE!” Hanya itu yang keluar dari mulutnya, menurut dengan Manuel bukan suatu masalah daripada Arsenio kenapa-kenapa. Manuel memang se-menyeram-kan itu.Manuel tersenyum manis, lalu mengetuk pintu rumah Papih. Matanya memperhatikan Andhira yang hanya menampilkan ekspresi datar. Hal itu membuatnya terkekeh, dan gemas dengan Andhira.Tidak butuh waktu lama, Papih membuka pintu dan Andhira langsung memeluk Papih cukup erat. Sedangkan Manuel menyalimi Papih, dan tersenyum kepada Papih.“Loh kok bisa sama Manuel?” tanya Papih bingung, menatap Andhira dan Manuel silih berganti.Manuel mengangguk, “Maaf yaa, Om. Andhira udah 4 hari
“Mamih beneran gak ada di rumah, Pih?”Arsenio menatap Amanda yang duduk di kursi penumpang sisi kirinya, tersenyum manis, mencoba untuk menenangkan putrinya yang khawatir dengan keadaan Andhira.“Katanya, lagi nginep di rumah temennya. Kamu gak perlu khawatir, disana pasti aman,” ucap Arsenio, membawa Amanda ke dalam dekapannya, tetapi kedua matanya menatap jendela kamar yang ada di lantai dua.Kedua matanya sekilas melihat Andhira sebelum akhirnya lampu kamar padam, Arsenio tidak tahu, apakah sosok tersebut memang benar Andhira atau hanya halusinasinya saja. Entah, dia tidak terlalu mengambil pusing.“Apa mamih marah sama aku?” tanya Amanda pelan, membuat Arsenio merenggangkan pelukannya. Kedua mata mereka saling menatap satu sama lain, Amanda tersenyum tipis.Arsenio menggelengkan kepala, “Lebih baik kita pulang, secepatnya papih akan membawa calon mamih kamu balik ya.”“MAKASIH, PAPIHH.”***“Jadi, Andhira beneran udah pulang ke rumah papihnya?” tanya Arsenio kepada Darwis yang du
“Akuu? Balik lagi ke rumahnya Manuel? Kamu udah gila!”Darwis memejamkan kedua matanya saat Andhira terbawa emosi. Dirinya terpaksa, tidak ingin melibatkan Andhira, tetapi tidak ada jalan lain. Hal ini sudah dia prediksi sebelumnya, dan kembali teringat ucapan Arsenio.Darwis menghela nafas, menatap Andhira yang hanya menampilkan ekspresi datar. Dia berkata, “Gak ada cara lain selain kamu kembali ke sana, dan menguliknya sendiri.”“Gak. Gila aja, aku mengajukan diri lagi ke Manuel? Gak.”Mereka saat ini berada di rumah Papih, hanya ada mereka berdua, dan rumah ini tempat ternyaman untuk berbicara berdua. Memang keadaan yang sulit untk mereka, terutama Andhira. Melawan Manuel tidak mudah, harus punya taktik yang tidak sembarangan.“Kamu milih buat dipantau terus sama Manuel? Kamu gak kangen sama pak Arsen? Gak kangen sama Amanda?”Andhira bergeming, sahabatnya itu menyebut nama dua orang yang selalu dia rindukan hingga saat ini. Tetapi menggeleng saat mengingat Arsenio yang tiba-tiba
“Jadi gimana menurut papih? Aku kembali lagi ke rumahnya Manuel atau pakai cara lain?”Saat ini Andhira sedang berdiskusi dengan Papih, dia butuh saran dari Papih yang lebih berpengalaman darinya dan lebih tahu dunia luar itu seperti apa. Sesuai dengan apa yang Andhira katakana kepada Darwis, tidak bisa sembarangan memutuskan.“Kamu ada rekaman suaranya? Kalau ada, papih mau denger, kalau kuat buat jadi bukti, papih kasih itu ke temen papih.”Andhira mengangguk, dan segera mencari rekaman suara yang sempat dia rekam saat tinggal di rumah Manuel. Setelah menemukan file yang dicari, Andhira memberikan kepada Papih. Papih mendengarkan dengan fokus rekaman tersebut.Andhira menatap Papih, dirinya tidak yakin sebenarnya kalau rekaman yang dipunya bisa menjadi bukti, karena rekaman tersebut hanya seperti orang yang sedang marah-marah biasa.“Gimana, Pih?” tanya Andhira saat Papih selesai mendengarkan rekaman yang dimiliki. Papih membalas tatapan Andhira, lalu tersenyum manis.“Kamu kirim k
“Andhira, bisa ke ruangan saya?”Andhira mengabaikan Arsenio, tidak perduli dengann kehadiran Arsenio saat ini. Bahkan, Andhira mengenakan kacamata hitam supaya tidak melihat Arsenio.“Andhira.”Andhira menghentikan aktivitasnya yang sedang bermain ponsel, tanpa menatap Arsenio, dia berkata, “Gak bisa. Saya gak mau ketemu sama pak Arsen.”“Kamu marah banget sama saya?” tanya Arsenio, tidak menyerah untuk berbicara dengan Andhira, walaupun sudah diabaikan oleh kekasihnya itu.Andhira beranjak, melenggang pergi tanpa mengatakan apapun kepada Arsenio. Hal itu membuat Arsenio memperhatikan punggung Andhira yang menjauh, bertepatan dengan Darwis yang memasuki ruang kelas.Darwis menatap Arsenio dengan menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa?” tanyanya saat berdiri dihadapan Arsenio.Arsenio menghela nafas beratnya, “Dia gak mau bicara sama saya,” jawabnya dengan pelan. Membuat Darwis bergumam.“Pak Arsen mending balik ke kelas, dan jangan ketemu sama Andhira, dia butuh waktu, Pak.”Arsenio mena
“Maaf, aku kemaren gak ada ngabarin kamu soalnya buru-buru ke rumah mantan istri. Bagaimanapun juga dia di sana gak ada siapa-siapa.”Andhira hanya bergeming tanpa menatap Arsenio yang duduk di sisi kanannnya, hatinya memanas saat mendengan ‘mantan istri’, otaknya langsung berfikir bahwa kekasihnya itu masih mencintai mantan istri.“Aku cuma kasian, benerann cuma kasian. Perasaan aku ke dia udah hilang dari lama, jadi aku harap kamu mengerti,” lanjut Arsenio, membuat Andhira tersenyum miris. Tidak mengerti dengan apa yang ada difikiran Arsenio.“Lucu yaa, aku disuruh ngertiin orang yang gak perduli sama perasaan aku,” ucap Andhira, menarik nafas dan menghela nafasnya secara perlahan. Dia menatap langit-langit yang cerah pada siang hari ini, tersenyum tipis.“Gak ada kabar, terus aku disuruh ngertiin mantan istrinya pak Arsen? Sedikit gila ya, Pak,” imbuh Andhira, dirinya tidak ingin melihat Arsenio sama sekali. Sedangkan Arsenio meraih tangan Andhira, tetapi ditepis oleh Andhira.“G
“Aww, ini mau kemana?”Andhira memperhatikan jalanan yang dilewati, dan menatap Arsenio yang fokus menyetir dengan terus melirik spion kanan. Andhira yang penasaran pun melirik spion kirinya, sebelah alisnya terangkat.“Kamu minum dulu, ada minum di pintu,” ujar Arsenio, menoleh sekilas ke sisi kirinya dan kembali fokus menyetir.“Itu mobilnya Manuel, kan?” tanya Andhira, diangguki oleh Arsenio. Jawaban dari kekasihnya itu membuatnya menoleh dan mendapati Reno yang bersebelahan dengan Darwis.“Andhira,” panggil Arsenio penuh penekanan, karena Andhira tidak mengindahkan apa yang dia perintahkan. Andhira mendelik, tangan kirinya terulur untuk mengambil satu botol air mineral dan membukanya.Andhira meneguk hingga setengah botol, lalu kembali menutupnya. Dia menoleh, “Ini ada apa sih?” tanyanya, terakhir yang diingat adalah menangis dalam pelukan Arsenio, setelahnya dia tidak sadarkan diri.“Manuel ngikutin dari kampus tadi, terus ternyata temen-temen kamu ngikutin. Tadi Reno bilang, mau
“Kamu beneran pingsan?”Andhira yang baru saja tiba, dan langusng diberikann pertanyaan seperti itu membuatnya mendelik tidak suka. Bayangkan saja, dirinya disangka bohong oleh Caca.“Aku pura-pura pingsan aja sih tadi,” jawab Andhira dengan tidak santai, ditanggapi terkekeh.“Halo, pak Arsen,” sapa Caca saat Arsenio berdiri dihadapannya saat ini, sedangkan Andhira menggeser tubuhnya. Caca menaikkan sebelah alisnya, menatap Andhira yang mengerjapkan kedua mata.“Halo, Ca. Maaf yaa kalau mengganggu waktu istirahatnya,” ucap Arsenio penuh dengan rasa bersalah, ditanggapi dengan senyum manis dan sopan.“Gapapa, Pak. Darwis udah kasih tau tadi. Ini gak ada yang ngikutin kalian, kan?” tanya Caca, menatap Arsenio dan Andhira silih berganti.“Tidak ada,” jawab Arsenio, sedangkan Andhira hanya bergumam.Caca mempersilahkan Andhira dan Arsenio untuk masuk ke dalam, dia tidak ingin orang suruhan dari Manuel mengetahui obrolan mereka. Dirinya menutup pintu rapat, dan tersenyum kepada Arsenio.“P