"Hai, kenalin, kenalin." Benny mengulurkan tangannya di atas meja untuk siap bersalaman dengan teman baru.
"Nama gue Subenny Arianto Budiman, biasa dipanggil dengan nama 'Benny' aja." Tapi Alvan sama sekali tidak peduli dengan tangan Benny yang terulur ke arahnya. Dia melihat sekilas ke arah Benny yang tersenyum, tapi kemudian kembali melanjutkan makannya. Senyuman Benny sedikit lenyap, tapi dia tetap berusaha tersenyum lebih lebar lagi ketika dia mulai mengingat sesuatu. Dia tarik kembali tangannya yang terulur. "Oh, oke. Nggak apa-apa. Tapi lo tahu nggak, kalo gue hari ini kayak ngalamin semacam déjà vu dalam hidup gue. Setahun yang lalu gue juga ngalamin hal ini. Kenalan sama temen baru yang akhirnya jadi sahabat baik gue." Alvan tetep tak peduli. "Ah, iya. Kenalin, ini Natasha pacar gue. Hehehehe ...." Benny dengan bangga memperkenalkan Natasha. Alvan mengangkat kepalanya dan menatap Natasha tanpa ekspresi. Tetap dengan tatapan datarnya. Natasha berusaha tersenyum semanis mungkin di depan Alvan. Dia mengangkat tangannya sebagai tanda perkenalan, karena kalau minta salaman dia pasti bakalan dicuekin seperti Benny. "Hai." Seperti yang tadi, Alvan juga tidak mengatatkan apa-apa dan kembali lagi melanjutkan makannya. Tapi kalau dipikir-pikir, kali ini Alvan masih jauh lebih sopan daripada saat meladeni para cewek-cewek yang nyamperin dia sebelum ini. "Sayang, ayo kita makan," ajak Benny setelah yakin acara perkenalan singkatnya dengan Alvan sudah selesai. Pada saat itu Amanda datang dengan membawa nampan berisi makan siangnya. Melihat Natasha dan Benny ternyata sedang makan dengan Alvan, Amanda tidak jadi menghampiri dan makan dengan mereka. Biasanya kalau makan siang, mereka selalu makan bertiga. Tapi untuk hari ini perkecualian untuk Amanda. Dia lebih memilih makan dengan teman yang lain daripada harus berhadapan lagi dengan cowok freak itu. --- Amanda punya ide untuk mendapatkan kembali bangkunya. Dia sengaja makan dengan cepat dan segera kembali ke kelas untuk bisa menduduki bangku itu lebih dulu. Bahkan dia rela sampai lari-larian masuk ke kelas dari kantin yang arahnya jauh banget itu. Dan akhirnya dia bisa tiba di kelas lebih dulu daripada Benny dan Natasha. Dengan cepat dia menduduki bangkunya yang sudah dua tahun ini dia tempati. "Huh, akhirnya gue bisa juga duduk lagi di bangku ini." Tapi tidak lama kemudian Benny datang dengan Natasha. Melihat Amanda menduduki bangkunya, tentu saja Benny tidak terima. "Lho? Lho? Man, ngapain lo duduk di bangku gue?" tanya Benny gusar. Dia tidak mau diusir dari sisi Natasha. Dengan penuh kemenangan Amanda pun memeluk mejanya sama seperti yang pernah dilakukan Benny. "Gue duduk di bangku gue sendiri ngapain lo nanya? Dari dulu semua orang se-Indonesia juga tahu kalo ini tuh bangku gue." "Tapi kan lo udah pindah?" "Idih ... kapan gue setuju buat pindah? OGAH! Gue nggak mau pindah dari sini. Kalo lo mau, lo pindah sana ke belakang, ke bangku lo sendiri." Benny melirik Natasha yang hanya bisa menaikkan kedua bahunya pertanda dia tidak mau ikut campur dengan urusan bangku itu. Dan Benny masih belum mau beranjak dari tempatnya berdiri di sebelah Amanda, lebih tepatnya sedang memikirkan cara untuk mengusir Amanda. Bersamaan dengan itu Alvan memasuki kelas. Dia berjalan dengan santai melewati Benny dan Amanda yang sedang melaksanakan perang barbar tanpa peduli sedikit pun. Dia berjalan santai menuju bangkunya dan duduk dengan cuek. Sampai beberapa detik kemudian suasana masih tenang-tenang saja, tapi kemudian terdengar suara teriakan Amanda yang membuat siswa-siswa yang sudah berada di dalam kelas melotot kaget dengan apa yang terjadi di depan mata mereka. Benny menggendong Amanda dengan paksa karena cewek itu nggak mau pergi dari bangku yang pengen dia duduki. Ide gila ini membuat Natasha sedikit cemburu melihat pacarnya gendong cewek lain. "Oi, oi, mau apa lo, Ben?" Amanda teriak-teriak di gendongan Benny. "Turunin gue, kampret!" Dia memukul-mukul bahu Benny. Benny menurunkan Amanda, tapi di bangku sebelah Alvan duduk pastinya. Dia menghembuskan napas lega sudah berhasil mengusir Amanda. "Udah, lo duduk di sini aja. Lebih nyaman, kok. Selamat belajar my friend." Benny pun beranjak pergi setelah melambaikan tangan ke arah Amanda dan juga Alvan yang masih malas untuk menoleh. Bel tanda masuk kelas pun berbunyi. Semua anak-anak mulai berdatangan memasuki kelas menuju tempat duduk mereka masing-masing. Sedangkan Amanda? Dia tetap tidak bisa pergi dari tempat duduk laknat itu. Dia masih harus bertahan berada di samping cowok menyebalkan di sebelahnya itu selama dia memikirkan cara untuk mengusir Benny bagaimana pun caranya. *** Semalaman Amanda berpikir dan berpikir, mengabaikan segala hal yang mengganggunya. Bahkan dia mengabaikan si kembar yang berusaha menjahilinya, membuat si kembar heran sebenarnya apa yang sedang dipikirkan Amanda sampai-sampai tidak konsen sama kejahilan mereka berdua. Bagaimana dia bisa konsen? Kalau Amanda tidak secepatnya dapat ide buat kembali ke bangkunya semula, dia bakalan berada di sebelah Alvan selama sekitar enam bulan ke depan. Hanya kelulusan SMA yang bisa membebaskannya dari cowok itu. Dan Amanda tidak mau kalau semua itu terjadi. Duduk sehari saja sudah membuatnya gondok setengah mati, bagaimana kalau enam bulan? Bisa-bisa Amanda stres duluan sebelum lulus sekolah, atau yang paling parah dia bisa ketularan freak seperti Alvan. Jauh lebih menakutkan dibandingkan kalau Amanda harus menerima keusilan si kembar. Benar-benar mimpi buruk. *** Akhirnya Amanda berhasil mendapatkan ide yang menurutnya cukup cemerlang. Demi mempraktekkan ide itu, Amanda sampai rela bangun subuh-subuh sebelum jam beker bunyi, sebelum si kembar berhasil mengerjainya lagi, dan sebelum mama sama papa bangun. Bi Minah aja masih belekan dan berpenampilan menakutkan baru bangun tidur saat Amanda sudah rapi mengenakan seragam sekolahnya. Hari ini benar-benar kilat untuk Amanda. Dia berpikir harus berangkat sekolah pagi dan segera menduduki bangkunya lebih dulu daripada Benny. Kalau sampai Benny berani menggendongnya tanpa izin seperti kemarin, Amanda juga sudah menyiapkan jurus jitu untuk pencegahan. Dia mau melapor ke kepala sekolah kalau terjadi tindakan nggak menyenangkan di kelas dan tidak segan-segan akan melaporkan Benny. Setidaknya itu yang sekarang ini ada di pikiran Amanda. Biarlah dibilang tukang ngadu, yang penting Amanda bisa mendapatkan bangkunya kembali dan terbebas dari ... Amanda malas memikirkan cowok itu.Amanda menyapa pak satpam yang kebingungan karena hari ini Amanda datangnya pagi sekali. Suasana sekolah masih sepi, cuma ada beberapa anak saja yang sudah datang. Dan Benny? Amanda yakin cowok belum datang. Benny itu selain terkenal bawel dia juga terkenal sebagai tukang ngaret. Natasha aja hampir puluhan kali mau mutusin dia gara-gara telat datang ke tempat janjian. "Tumben Neng, datengnya pagi banget?" tanya pak satpam. Amanda nyengir saja menAlvanpinya. "Iya dong, Pak. Saya ini kan murid teladan di sekolah ini. Tadi aja saya naik bus masih sepi, belum pada bangun semua orang. Hehehehe .... " Pak satpam ikut tertawa mendengarnya. "Selamat belajar ya, Neng." "Makasih, Pak." Amanda tidak mau terlalu lama menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan pak satpam. Sekarang dia harus cepat berlari menuju kelasnya untuk menduduki bangku kesayangannya. Langkahnya pun berhenti di depan kelas 12 IPA 2. Tapi saat dia akan membuka pintu kelas, pintunya tidak bisa dibuka. Masih terkunci? Ti
Sore ini Amanda mendatangi sebuah makam di pemakaman umum. Sebuah batu nisan bertuliskan Hafiz Revaldy Ardiansyah dia pandangi sejak kedatangannya ke tempat itu. Dia berjongkok lumayan lama sejak meletakkan sebuah buket bunga mawar di atas makam itu. Suasana perkuburan yang sangat sepi serta angin semilir membuat suasana sedikit mistis. Namun tidak membuat Amanda untuk segera pergi meninggalkan tempat tersebut. Sudah lama dia tak datang berkunjung ke makam itu dan dia ingin sedikit lebih lama berada di sana. Tersirat ada sebuah kesedihan di wajahnya, tapi sebisa mungkin dia menutupinya dengan sebuah senyuman. Amanda tahu, orang yang dikunjunginya tidak pernah senang melihatnya bersedih atau pun menangis. “Maaf udah lama nggak jenguk kamu,” ujar Amanda pada makam itu. “Aku kangen banget sama kamu, Al. Nggak kerasa ini udah satu tahun sejak hari itu. Dan aku masih tetap tepatin janji aku, kok.” Semilir angin menggerak-gerakkan surai panjang Amanda yang tergerai. Amanda merasakan u
Siang ini, Bagas---salah satu kakak kembar Amanda menelepon bahwa dia tidak bisa menjemput sang adik ke sekolah karena mereka ada pelajaran tambahan. Bukan semacam kursus atau semacamnya, tapi merupakan hukuman untuk mereka karena ketahuan lagi ngejahilin teman sekelas sampai pingsan. Benar-benar keusilan tingkat tinggi mereka. Karena tidak ada jemputan, Amanda terpaksa naik bus kota yang penuh sesak dengan anak-anak SMA juga sama sepertinya. Untuk beberapa saat Amanda pun heran, apa dari ratusan bahkan ribuan anak sekolah di Jakarta ini semuanya naik bus kalau pulang sekolah? Kenapa bus selalu penuh begini? Dan kenapa juga pemerintah tidak menambah jasa angkutan bus umum saja? Berdesak-desakan dengan orang-orang di dalam bus membuat Amanda merasa sesak dan juga panas. Apalagi bukan sekali atau dua kali kakinya keinjek sama orang lain. Maklumlah, kalau suasana bus yang penuh sesak itu pasti semua orang tersiksa di dalamnya. Amanda adalah salah satu penumpang yang tidak beruntung
Setelah ulangan selesai, Bu Wanda menyuruh siswa yang duduk di barisan paling depan untuk mengumpulkan kertas ulangan teman-temannya lalu mengumpulkannya ke meja guru. Tepat setelah semua kertas ulangan terkumpul di meja Bu Wanda, bel tanda istirahat pun berbunyi. Bu Wanda berpamitan dan berjalan keluar kelas. Semua siswa langsung lemas seketika, mereka tidak berniat keluar kelas untuk sekedar makan siang untuk isi perut. Mengistirahatkan otak mereka dengan tidur sebentar jauh lebih baik daripada berdesak-desakan di kantin untuk memesan makanan. Toh mereka tidak akan mati hanya karena tidak makan siang sehari saja. Tapi mereka akan mati kalau otak mereka terus bekerja tanpa istirahat. Dan mereka pun memilih pilihan kedua untuk tidur sebentar di kelas sampai jam istirahat habis. Amanda menyangga kepalanya yang rasanya mau pecah. Dia pasrah saja apa yang akan terjadi dengan ulangan kimia nya hari ini. Semua soal terlihat blank di otaknya, dan semuanya hanya dia kerjakan secara asal
Semenjak kehadiran Alvan di sekolah, membuat Amanda menjadi malas untuk berangkat ke sekolah. Mengingat hal-hal buruk apa dan ejekan-ejekan apa lagi yang bakal diterimanya dari cowok itu, bahkan untuk bangun pagi pun sekarang Amanda malas. Lebih baik dia seharian di rumah daripada harus melihat wajah judes tuh cowok. Tapi Amanda tahu semua itu tidak mungkin dia lakukan, karena Laras---sang mama pasti akan marah-marah dan mengancam akan memasukkan Amanda ke asrama. Jelas Amanda tidak mau dan terpaksa memilih untuk tetap berangkat ke sekolah meskipun harus bertemu lagi dengan Alvan. Satu bangku pula. Natasha sih enak, dia satu bangku sama pacar sendiri. Sementara Amanda? Dia harus duduk sebangku sama teroris yang kabur dari tahanan gara-gara mempunyai kelainan mental. Baru kali ini juga Amanda merasa kalau Natasha dan Benny benar-benar berbahagia di atas penderitaannya. Salah satu alasan Amanda malas ke sekolah hari ini adalah, karena Bu Wanda akan membagikan hasil ulangan K
Mata besar Bu Lily yang galak itu langsung menatap langsung ke arah Amanda, membuat Amanda kebingungan. “Amanda, apa yang kamu lakukan? Benar kamu nggak fokus sama pelajaran saya?” “Hah? Enggak kok, Bu. Saya mendengarkan dengan sungguh-sungguh, kok. Dia aja yang ngasal, Bu.” Amanda berusaha menutupi kegugupannya dengan tersenyum semanis mungkin, biarpun dia tahu hasil senyumannya tidak bisa benar-benar manis dalam keadaan genting seperti ini. Bu Lily pun mengetes Amanda dengan memberinya pertanyaan sebagai bukti Amanda mendengarkan pelajarannya atau tidak. Dan jelas saja Amanda tidak bisa menjawab pertanyaan Bu Lily, orang sejak tadi dia memikirkan hal lain yang tidak ada hubungannya sama pelajaran. Bu Lily langsung marah dan menyuruh Amanda untuk membuat kliping tentang kebudayaan dengan bahasa Inggris minimal 20 halaman yang harus dia kumpulkan minggu depan. Hukuman akan ditambah kalau Amanda tidak mengerjakan tugas itu. Pada saat Amanda melirik Alvan, dilihatnya cowok
Senyuman di wajah Amanda yang sudah sejak tadi dia pamerkan ke seluruh teman-temannya, mendadak mulai lenyap. Bisa-bisanya si Botol Kecap itu menolak keinginannya---setelah semua usaha yang Amanda lakukan untuk bangun pagi dan membuatkan omelet spesial. Meskipun sebenarnya berat sekali melepaskan traktiran gratis setahun itu, tapi Benny tetap pada pendiriannya untuk tidak akan pernah pindah dari bangkunya. Bahkan dia terlihat sangat menikmati duduk di bangku yang sudah lama ingin didapatkan Amanda lagi itu. “Gue nggak bakal pindah. Apa pun yang terjadi. Gue akan selalu ada di dekat pacar gue tersayang.” Benny dengan bAlvannya merangkul Natasha yang menatap khawatir pada Amanda karena Amanda pasti marah besar. “Kenapa sih, lo ngotot banget tetep mau duduk di sini?” Amanda mulai kesal. “Lo sengaja mau bikin gue marah, ya?” Semua teman-teman yakin pasti akan ada kejadian heboh antara Amanda dan Benny kalau saja bel tanda masuk kelas tidak berbunyi. Untung saja bel penyelamat kekac
“Bisa nggak Pak, kalo saya kerjanya sendiri aja? Saya bisa kok Pak, kerja sendiri. Dan saya akan berusaha mengerjakan tugas ini sebaik mungkin. Asal saya dibolehin kerja sendiri ya, Pak?” pinta Amanda dengan penuh harapan. Amanda benar-benar tidak mau satu kelompok dengan Alvan. Membayangkannya saja membuatnya merinding, apalagi harus menjalaninya. Alvan menoleh mendengar Amanda mengajukan protes. Dia sudah tahu hal ini akan terjadi. “Apa maksud kamu dengan kerja sendiri, Amanda?” tanya Pak Geral mulai geram. Natasha hanya bisa tepok jidat melihat kelakuan Amanda yang nekat sekali itu. 'Ya ampun, Amanda. Udah tahu Pak Geral itu orangnya kayak gimana? Eh masih nekat saja tuh anak.' “Kamu nggak menghargai keputusan saya?” “Bukan begitu, Pak. Tapi saya pikir saya bisa bekerja sendiri tanpa partner.” Pak Geral membetulkan letak kacamatanya, menatap Amanda dengan tatapan penuh pertimbangan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Pak Geral, tapi Amanda berharap permintaannya akan