Senyuman di wajah Amanda yang sudah sejak tadi dia pamerkan ke seluruh teman-temannya, mendadak mulai lenyap. Bisa-bisanya si Botol Kecap itu menolak keinginannya---setelah semua usaha yang Amanda lakukan untuk bangun pagi dan membuatkan omelet spesial.
Meskipun sebenarnya berat sekali melepaskan traktiran gratis setahun itu, tapi Benny tetap pada pendiriannya untuk tidak akan pernah pindah dari bangkunya. Bahkan dia terlihat sangat menikmati duduk di bangku yang sudah lama ingin didapatkan Amanda lagi itu. “Gue nggak bakal pindah. Apa pun yang terjadi. Gue akan selalu ada di dekat pacar gue tersayang.” Benny dengan bAlvannya merangkul Natasha yang menatap khawatir pada Amanda karena Amanda pasti marah besar. “Kenapa sih, lo ngotot banget tetep mau duduk di sini?” Amanda mulai kesal. “Lo sengaja mau bikin gue marah, ya?” Semua teman-teman yakin pasti akan ada kejadian heboh antara Amanda dan Benny kalau saja bel tanda masuk kelas tidak berbunyi. Untung saja bel penyelamat kekacauan itu segera berbunyi sehingga Amanda tidak jadi marah-marah pada Benny. Dia berjalan melewati Benny dan melemparkan bekal makanan ke meja Ricko. “Ini buat apaan, Man?” tanya Ricko heran dengan kotak bekal di mejanya. “Buat lo,” sahut Amanda judes sambil duduk di bangku yang sepertinya selamanya akan menjadi bangkunya. Karena Amanda sudah kehabisan akal untuk pindah dari sana. Ricko pun langsung senang mendapatkan bekal itu. “Wah ... makasih ya, Man. Lumayan banget nih, buat ngirit uang jajan gue hari ini.” Amanda duduk dengan muka ditekuk dan bibir manyun. Alvan memanfaatkan kesempatan ini untuk kembali melontarkan ledekan-ledekan menyebalkan untuk Amanda. “Kenapa? Kesel, ya?” Di dunia ini ada beberapa hal yang malas Amanda lakukan. Dan salah satunya adalah membalas ucapan cowok menyebalkan di sebelahnya itu. Amanda hanya melirik sinis ke arahnya seperti biasanya. Dia tahu pasti cowok itu sekarang senang melihatnya gagal dalam rencana. “Ternyata selain malas belajar dan tukang nyontek, lo juga tukang nyogok, ya? Sukanya menyuap dan merayu orang lain buat ngedapetin apa yang lo mau.” Amanda mendelikkan matanya. Lagi-lagi berusaha menahan amarahnya. Lagi tidak mood untuk berantem. Kalau diteruskan, dia akan jadi bete seharian. Amanda capek bête terus. Alvan semakin senang karena melihat Amanda termakan ejekannya. “Kalo lo nggak mau duduk sama gue, ya silahkan aja lo duduk dimana aja yang lo mau. Lo boleh kok, duduk lesehan di lantai kelas ini.” Sepertinya Amanda gagal untuk menahan dirinya hari ini, terpaksa dia pun meladeni Alvan. “Lo kenapa sih, satu hari aja nggak bersikap nyebelin sama gue emangnya hidup lo nggak tenang, ya?” “Kalo iya emang kenapa?” Alvan justru menantang Amanda untuk melanjutkan perdebatan mereka. “Lo--“ Amanda sudah hampir mengeluarkan sumpah serapahnya tapi terpaksa harus tertunda karena terdengar suara Pak Geral memasuki ruangan kelas. “Selamat pagi, anak-anak!” sapa Pak Geral. “Pagi, Paaaaakkkkkk!” *** Dikarenakan telah gagal dalam segala usaha untuk merebut kembali bangkunya, Amanda terpaksa menyerah dan berusaha menerima keadaan bahwa dia akan terus sebangku dengan Alvan si cowok freak yang menyebalkan. Kalau dipikir-pikir tidak sampai enam bulan juga dia harus duduk di sebelah cowok itu sampai Ujian Akhir Nasional dimulai. Tentu saja Amanda sudah menyiapkan berbagai persiapan untuk menangani sikap menyebalkan Alvan yang selalu saja mengejeknya dan membuatnya jengkel. Untuk menghindari perkelahian dan pertumpahan darah di kelas 12 IPA 2, Amanda hanya berusaha menahan diri dan membalas sapaan ‘ramah’ dari cowok itu dengan cukup melempar tatapan sinis tiap kali Amanda melakukan sesuatu. Seperti pagi ini Amanda terlambat datang ke sekolah gara-gara mobil si kembar macet di jalanan. Semua bus kota dan angkutan umum penuh karena jamnya anak-anak dan orang dewasa berangkat memulai kegiatan rutin mereka. Alhasil, mereka baru mendapatkan angkutan umum setelah beberapa lama menunggu. Bukan hanya Amanda saja yang telat masuk sekolah, si kembar pasti juga sama. Mendengarkan omelan-omelan guru BK dan juga tanda peringatan tertulis pun pasti mereka terima hari ini. “Kenapa nggak sekalian aja nunggu sekolah bubar baru lo datang?” Alvan berkata dengan sinisnya saat Amanda baru saja masuk ke dalam kelas setelah diomeli guru BP. “Jadi anak sekolah tapi nggak punya kedisiplinan sama sekali. Ck ck ck ....” Cowok itu berdecak pura-pura heran padahal sebenarnya dia selalu menikmati kalau Amanda sedang ada masalah seperti ini. Amanda menggunakan jurusnya, melirik kesal ke arah Alvan dengan tatapan mata pembunuh. Amanda yakin, kalau saja tatapan mata bisa membunuh, pasti sekarang ini Alvan sudah mati di depan matanya. “Baiklah anak-anak, saya mau menyampaikan sesuatu kepada kalian semua.” Pak Geral berbicara di depan kelas. Semua siswa pun serius mendengarkan Pak Geral karena kelihatannya mereka akan menerima tugas atau sebuah pengumuman yang penting. “Minggu depan sekolah kita akan mengadakan study tour ke Puncak--“ Seketika pun suara teriakan dan sorakan bahagia membahana dari setiap sudut kelas. Beginilah mereka kalau mendengar tentang liburan, pasti langsung heboh duluan bahkan sebelum Pak Geral selesai bicara. BRAK! BRAK! BRAK! Pak Geral menggebrak-gebrak mejanya untuk menyuruh semua anak didiknya itu diam. Dan usaha Pak Geral pun berhasil. Semua siswa yang tadinya berisik langsung diam seketika. “Saya ini belum selesai bicara kalian main heboh saja?” tegur Pak Geral dengan kesal. Setelah menghela napas untuk menenangkan dirinya yang sempat darah tinggi sesaat, Pak Geral pun kembali melanjutkan bicaranya. “Kita akan mengadakan perjalanan ke Puncak selama satu hari dan bukan untuk senang-senang saja, kalian akan mendapatkan tugas dari sekolah untuk membuat laporan perihal segala hal yang berhubungan dengan tanaman teh. Laporan ini adalah salah satu syarat untuk melengkapi nilai kalian dalam Ujian Akhir Nasional nanti, jadi saya harap kalian akan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.” “Baik, Paaaaakkkkkk!!!!” Pak Geral mengambil bukunya dan membukanya, membaca sesuatu di buku itu. “Karena ini adalah tugas kelompok, saya akan membagi kelompok untuk kalian. Masing-masing kelompok terdiri dari dua orang dan saya sudah menentukan teman sekelompok kalian adalah teman sebangku kalian masing-masing.” 'WHAT????' Amanda seketika melotot mendengar apa yang dikatakan pak Geral. Kelompok dengan teman sebangku? Dia dan Alvan bekerja sama untuk membuat laporan? Yang benar saja, dong! “Pak Geral!” Amanda tidak mau membuang-buang waktu dan langsung mengajukan protes. “Iya, Amanda. Ada apa?”“Bisa nggak Pak, kalo saya kerjanya sendiri aja? Saya bisa kok Pak, kerja sendiri. Dan saya akan berusaha mengerjakan tugas ini sebaik mungkin. Asal saya dibolehin kerja sendiri ya, Pak?” pinta Amanda dengan penuh harapan. Amanda benar-benar tidak mau satu kelompok dengan Alvan. Membayangkannya saja membuatnya merinding, apalagi harus menjalaninya. Alvan menoleh mendengar Amanda mengajukan protes. Dia sudah tahu hal ini akan terjadi. “Apa maksud kamu dengan kerja sendiri, Amanda?” tanya Pak Geral mulai geram. Natasha hanya bisa tepok jidat melihat kelakuan Amanda yang nekat sekali itu. 'Ya ampun, Amanda. Udah tahu Pak Geral itu orangnya kayak gimana? Eh masih nekat saja tuh anak.' “Kamu nggak menghargai keputusan saya?” “Bukan begitu, Pak. Tapi saya pikir saya bisa bekerja sendiri tanpa partner.” Pak Geral membetulkan letak kacamatanya, menatap Amanda dengan tatapan penuh pertimbangan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Pak Geral, tapi Amanda berharap permintaannya akan
Alvan memasuki sebuah halaman rumah mewah dan besar bercat putih. Di depan rumah terdapat beberapa tanaman bunga dan pohon berdaun lebat yang menjadikan halaman itu terlihat lebih sejuk. Selain itu juga ada sebuah mobil terpakir manis di garasi sebelah rumah. Pemandangan seperti itu sudah biasa untuk Alvan, jadi Alvan tidak perlu lagi untuk menoleh atau memandangi tanaman atau pun mobil di garasi tersebut. Dia berjalan dengan santai dan langsung memasuki rumah itu. Alvan berjalan menuju ruang tengah. Suasana rumah masih sepi seperti biasanya. Tidak lama kemudian dia disambut hangat oleh seorang anak laki-laki berumur lima tahun-an yang langsung berlari dengan wajah cerianya ke arahnya dan memeluk pinggangnya. “Kakak udah pulang?” sapa Arga – adik Alvan dengan wajah berseri-seri. Bukannya membalas sapaan Arga, Alvan justru diam saja dengan tetap memasang wajah datar. Dia juga tidak mempedulikan Arga yang sedang memeluk tubuhnya. “Kak Alvan ayo kita main, Kak,” ajak Arga dengan p
Hari Sabtu ini pagi-pagi buta seluruh siswa kelas 12 SMA Kasuari berangkat ke Puncak dalam acara study tour mereka. Pihak sekolah memutuskan berangkat hari Sabtu karena menghindari terjebak macet jika berangkat hari Minggu. Tiap kelas mendapatkan jatah satu bus dan ada banyak bus yang membawa mereka semua untuk berangkat pagi ini. Untuk jurusan yang lain, mereka melakukan study tour ke tempat lain sesuai praktik apa yang akan dilakukan. Perjalanan sangat lancar bahkan semua anak menikmati perjalanan mereka yang menyenangkan. Karena para guru-guru sepakat berangkat pagi sekali, udara di perjalanan juga masih sangat sejuk. Meskipun mereka berada di dalam bus yang ber-AC, tentu saja hanya dengan melihat pemandangan di luar lewat jendela saja sudah bisa ikut merasakan bagaimana sejuknya udara pagi ini. Semua orang menyanyi-nyanyi riang, ada juga yang sengaja membawa gitar dam memainkannya di dalam bus. Semuanya senang, semuanya bahagia, dan semuanya penuh tawa dan canda. Kecuali dua
Berbeda dengan semua teman-temannya yang saling bekerjasama untuk mencatat laporan, melakukan wawancara, dan meneliti daun teh, mereka berdua bekerja sendiri-sendiri dan saling tak menghiraukan satu sama lain. Kalau tanpa sengaja mereka saling bertemu pandang, Amanda akan melemparkan sesuatu ke Alvan begitu juga sebaliknya. Alvan pun sempat hampir melemparkan sepatunya ke arah Amanda karena cewek itu menjulurkan lidahnya ke arahnya. “Ayo, lempar aja! Lempar!” tantang Amanda tanpa rasa takut. “Lo pikir gue takut sama lo?” Tapi Alvan memakai sepatunya lagi dan jadi kekurangan minat untuk bertengkar dengan Amanda. "Males gue berdebat sama lo," ujarnya sambil melangkah ke tempat lain dan dia menemui salah satu buruh pemetik teh dan mewawancarai mereka. Melihat Alvan yang ternyata juga serius mengerjakan tugas kelompok mereka, membuat Amanda merasa sedikit tenang karena tidak lagi harus berdebat dengan cowok itu. Amanda pun menyelesaikan tugasnya mencatat dan meneliti daun teh.
Sementara Amanda yang awalnya berjalan dengan penuh tekad, tiba-tiba menghentikan langkahnya karena terdengar suara-suara aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dia menengadah ke langit dan sama sekali tidak bisa melihat langit dari bawah sana karena dedaunan lebat yang ada di atas kepalanya. Suasananya memang sudah mendung sejak tadi, tapi berada di tengah hutan seperti sekarang ini membuatnya takut. KOAK! KOAK! KOAK! Terdengar suara burung-burung yang Amanda tidak bisa melihatnya. Membuat Amanda semakin ketakutan sendirian di hutan itu. Setelah berpikir lagi akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke tempat Alvan dengan berlari. Tidak jadi pergi sendirian. Alvan yang berjalan sendirian sayup-sayup mendengar suara orang berlari ke arahnya. Dia menoleh dan melihat Amanda berlari seperti orang dikejar setan. Mau tidak mau dia berhenti untuk menunggunya karena pasti Amanda mengejarnya. “Ada apa? Ngapain balik lagi?” tanya Alvan jutek. “Van, kita balik aja ke perkebunan, yuk. Gue
“Kita main aja, yuk! Main air asyik banget lho.” Amanda menyiprat-nyipratkan air dengan sengaja ke arah Alvan. Alvan melindungi cipratan air dari Amanda dengan kedua tangannya. “Eh, jangan macem-macem lo!” “Makanya ayo sini!” “Gue nggak bakalan ngelakuin hal-hal konyol kayak gitu. Kayak anak kecil aja,” ejek Alvan. Amanda cemberut dan memanyunkan bibirnya sepanjang yang dia bisa. Lalu dia pun berjalan ke pinggir dan memilih sebuah batu besar di sebelah Alvan untuk dia duduki. Sebagian besar bajunya basah setelah bermain air tadi. Sekarang Amanda benar-benar istirahat. Meskipun rasa capeknya belum hilang, tapi cukup bisa menghilangkan kebeteannya setelah jalan jauh di hutan. Sementara Amanda melepas lelah setelah bermain air, Alvan tetap diam di tempat tanpa melakukan apa pun. Dia hanya menengadahkan kepalanya menyapu seluruh tempat dan memandangi apa saja yang ada di sana. Tidak ada hal-hal menarik yang berhasil dia temukan selain barisan pepohonan lebat, sungai jer
Hari semakin sore dan dalam suasana mendung seperti ini akan jauh lebih cepat gelap dibandingkan kalau hari ini cerah. Suasana malam di tengah hutan juga akan jauh lebih menakutkan daripada siang hari. Amanda tidak mau membayangkan kalau sampai mereka berdua tidak bisa keluar hutan sampai malam, atau bahkan sampai esok harinya. Iya kalau tidak ada binatang buas yang menerkam mereka, kalau tiba-tiba muncul macan atau harimau, bisa-bisa kalau tiba besok pagi mereka sudah menjadi tinggal nama saja. “Van, lo tahu jalannya apa nggak sih, sebenernya? Kenapa dari tadi kita nggak keluar hutan juga?” celoteh Amanda yang sudah merasa lelah berjalan terus. Alvan tidak menjawab dan wajahnya mulai memperlihatkan kebingungannya. Dia tetap berusaha mencari jalan dengan menatap seluruh tempat, siapa tahu menemukan sebuah petunjuk untuk keluar hutan. “Jangan-jangan lo juga nggak tahu jalan keluarnya, ya?”Amanda pun mulai curiga karena cowok itu terlihat bingung sama seperti dia. “Berisik b
Alvan menatap kasihan pada Amanda yang kelihatannya kesakitan banget itu. Lalu dia kembali berjongkok. “Coba sini gue lihat kaki lo.” Karena tidak tahu harus berbuat apa, Amanda pun membiarkan Alvan memeriksa kakinya. Cowok itu memegang tepat di bagian kaki yang sakit sehingga membuat Amanda berteriak seketika. Untuk langkah selanjutnya, Alvan lebih berhati-hati lagi untuk memeriksa kaki Amanda. “Bakalan sedikit sakit, sih. Tapi tahan bentar, ya?” Amanda cuma ngangguk-ngangguk saja. Pasrah. Alvan memijat pergelangan kaki Amanda, menariknya ke sana kemari membuat Amanda berteriak-teriak kesakitan, bahkan dia sempat menampar Alvan secara refleks. “Woi, lo mau menganiaya gue?!" Alvan kesal karena Amanda malah menampar-nampar dia. “Ya, maaf. Abis sakit banget kaki gue.” Tapi ucapan maaf Amanda dan tamparan Amanda yang katanya refleks itu tidak menghentikan Alvan untuk melanjutkan memijat pergelangan kaki Amanda sampai menurutnya benar-benar sudah baik-baik saja. Untuk