“Kita main aja, yuk! Main air asyik banget lho.” Amanda menyiprat-nyipratkan air dengan sengaja ke arah Alvan. Alvan melindungi cipratan air dari Amanda dengan kedua tangannya. “Eh, jangan macem-macem lo!” “Makanya ayo sini!” “Gue nggak bakalan ngelakuin hal-hal konyol kayak gitu. Kayak anak kecil aja,” ejek Alvan. Amanda cemberut dan memanyunkan bibirnya sepanjang yang dia bisa. Lalu dia pun berjalan ke pinggir dan memilih sebuah batu besar di sebelah Alvan untuk dia duduki. Sebagian besar bajunya basah setelah bermain air tadi. Sekarang Amanda benar-benar istirahat. Meskipun rasa capeknya belum hilang, tapi cukup bisa menghilangkan kebeteannya setelah jalan jauh di hutan. Sementara Amanda melepas lelah setelah bermain air, Alvan tetap diam di tempat tanpa melakukan apa pun. Dia hanya menengadahkan kepalanya menyapu seluruh tempat dan memandangi apa saja yang ada di sana. Tidak ada hal-hal menarik yang berhasil dia temukan selain barisan pepohonan lebat, sungai jer
Hari semakin sore dan dalam suasana mendung seperti ini akan jauh lebih cepat gelap dibandingkan kalau hari ini cerah. Suasana malam di tengah hutan juga akan jauh lebih menakutkan daripada siang hari. Amanda tidak mau membayangkan kalau sampai mereka berdua tidak bisa keluar hutan sampai malam, atau bahkan sampai esok harinya. Iya kalau tidak ada binatang buas yang menerkam mereka, kalau tiba-tiba muncul macan atau harimau, bisa-bisa kalau tiba besok pagi mereka sudah menjadi tinggal nama saja. “Van, lo tahu jalannya apa nggak sih, sebenernya? Kenapa dari tadi kita nggak keluar hutan juga?” celoteh Amanda yang sudah merasa lelah berjalan terus. Alvan tidak menjawab dan wajahnya mulai memperlihatkan kebingungannya. Dia tetap berusaha mencari jalan dengan menatap seluruh tempat, siapa tahu menemukan sebuah petunjuk untuk keluar hutan. “Jangan-jangan lo juga nggak tahu jalan keluarnya, ya?”Amanda pun mulai curiga karena cowok itu terlihat bingung sama seperti dia. “Berisik b
Alvan menatap kasihan pada Amanda yang kelihatannya kesakitan banget itu. Lalu dia kembali berjongkok. “Coba sini gue lihat kaki lo.” Karena tidak tahu harus berbuat apa, Amanda pun membiarkan Alvan memeriksa kakinya. Cowok itu memegang tepat di bagian kaki yang sakit sehingga membuat Amanda berteriak seketika. Untuk langkah selanjutnya, Alvan lebih berhati-hati lagi untuk memeriksa kaki Amanda. “Bakalan sedikit sakit, sih. Tapi tahan bentar, ya?” Amanda cuma ngangguk-ngangguk saja. Pasrah. Alvan memijat pergelangan kaki Amanda, menariknya ke sana kemari membuat Amanda berteriak-teriak kesakitan, bahkan dia sempat menampar Alvan secara refleks. “Woi, lo mau menganiaya gue?!" Alvan kesal karena Amanda malah menampar-nampar dia. “Ya, maaf. Abis sakit banget kaki gue.” Tapi ucapan maaf Amanda dan tamparan Amanda yang katanya refleks itu tidak menghentikan Alvan untuk melanjutkan memijat pergelangan kaki Amanda sampai menurutnya benar-benar sudah baik-baik saja. Untuk
Tak membutuhkan waktu sampai satu jam saat langit berubah gelap. Hari sudah malam dan suasana di hutan sangat gelap. Untung saja malam ini tidak mendung seperti tadi siang. Malam ini sangat cerah. Sinar bulan dan bintang pun terlihat sehingga ada sedikit cahaya yang menyinari hutan yang lebat itu. Meskipun tidak cukup terang, tapi setidaknya masih bisa melihat di dalam hutan yang hanya ada cahaya remang-remang dari sinar bulan. Alvan dan Amanda masih belum berhasil menemukan jalan keluar. Sepertinya mereka justru berjalan semakin masuk ke dalam hutan makanya jalan keluarnya tidak juga ketemu. Sementara itu Alvan sudah merasa lelah menggendong Amanda sejak tadi. Rasa lelahnya karena hampir setengah hari berjalan keliling hutan jadi berlipat ganda dengan berat badan Amanda yang digendongnya. “Eh, Otak Ayam. Gue capek. Lo jalan sendiri aja deh,” perintah Alvan pada Amanda yang masih berada di gendongannya. “Hah?” Amanda sedikit kaget karena tiba-tiba Alvan mengajaknya bicara, k
Setelah melalui hal-hal yang melelahkan, menggembirakan, bahkan menakutkan di dalam hutan, akhirnya Alvan dan Amanda bisa kembali ke perkebunan atas bantuan Natasha dan Benny. Terang saja, sesampainya di sana semua teman-teman langsung mengomeli mereka macam-macam. Ada yang mengatakan pergi diam-diam karena mau pacaran, ada yang bilang sengaja mau merepotkan mereka semua, dan bahkan ada yang menyumpahi mereka diterkam binatang buas di hutan. Gara-gara mencari Alvan dan Amanda, mereka semua harus berada di hutan malam-malam dan ditinggalkan oleh rombongan kelas lain yang sudah duluan pulang ke Jakarta. Tapi dibalik kegalakan dan kemarahan semua teman-teman, Amanda dan Alvan pun tahu mereka berkata demikian karena terlalu kesal. Yang bisa dilakukan Amanda dan Alvan hanya meminta maaf. Apalagi Pak Geral juga ikutan mengomeli panjang lebar. Karena biar bagaimana pun keselamatan semua muridnya adalah tanggung jawabnya. Kalau sampai terjadi apa-apa, pak Geral lah yang harus menanggung
“Memang siapa yang datang?” tanya Nicko yang merasa tak melihat orang datang ke rumah jadi penasaran. “Iya. Mama kok nggak tahu, ya?” sambung Laras. “Kan kemarin Mama sama Papa lagi keluar berdua, tuh. Cuma aku sama Bagas yang ada di rumah. Si Amanda kan juga lagi ada di Puncak kemarin.” “Oh iya, ya.” “Emangnya siapa yang nyariin aku?” tanya Amanda penasaran. “Siapa, Gas?” Bagus bertanya ke Bagas. “Soalnya gue lupa nama tuh cewek.” “Gue lupa,” jawab Bagas. “Yaela, gimana sih, lo? Kan waktu itu lo kan, yang sempet ngobrol banyak sama dia? Gue kan lo suruh buat ke dapur buatin minum gara-gara bi Minah lagi ke pasar. Udah kayak pembantu aja gue waktu itu. Image gue jatuh di depan cewek cakep gara-gara lo,” omel Bagus. “Lagian lo juga mau-mau aja gue suruh-suruh buat bikinin minum.” “Ya gimana gue nggak mau coba? Lo ngaku-ngaku sebagai kakak gue di depan tuh cewek, padahal kan lo cuma lahir tiga menit lebih dulu dari gue. Dan tuh cewek udah keburu tahu lo itu kakak gue,
“Clara???” seru si kembar bersamaan. Mereka senang bertemu lagi dengan cewek cantik yang kemarin datang ke rumah. Begitu tahu ternyata itu Clara, Amanda langsung berjalan mendekat ke mobil untuk mengobrol dengan Clara. “Kak Clara gimana kabarnya? Udah lama nggak ketemu.” “Kabar aku baik, kok. Kamu sendiri gimana?” Clara balik bertanya. “Aku juga baik-baik aja. Kapan datang dari Amerika?” “Aku baru tiga hari ini di Jakarta. Kemarin aku datang ke rumah kamu tapi kamu nya nggak ada. Oh iya, kalian ngapain di sini?” tanya Clara. “Ini nih, Kak. Ban mobilnya kayaknya bocor deh, kena paku di jalanan. Kita lagi bingung nih, gimana caranya buat berangkat ke sekolah.” “Oh ya udah. Kalian bareng sama aku aja. Nanti aku anter kalian ke sekolah, deh.” Mendengar ada tawaran yang menguntungkan dan tepat waktu itu pun membuat Amanda dan si kembar merasa seperti bertemu dewa yang akan menolong mereka dari kesusahan. Bahkan Bagas langsung mengambil kunci mobil dan mengunci mobilnya, sia
Amanda sampai di kelas 12 IPA 2, dan dia melihat kelas sudah hampir penuh karena hari juga sudah siang. Dia yakin kalau tadi tidak ada Clara pasti sekarang ini dia dan kedua kakaknya yang usil itu masih kebingungan mencari tumpangan dan belum tentu bisa sampai sekolah secepat ini. Sekali lagi dia bersyukur karena bertemu dengan Clara. Amanda melihat Alvan sudah duduk manis di bangku mereka, dengan langkah malas Amanda berjalan mendekat dan meletakkan tasnya di atas meja kemudian duduk di tempatnya biasa. Di sebelah Alvan. Meskipun masih kesal karena gagal pindah, Amanda sudah mulai terbiasa duduk di situ bersama Alvan. Suasana di antara mereka tetap sunyi seperti biasa sampai pada akhirnya sebuah buku mendadak jatuh di depan Amanda dan membuat Amanda kaget. Buku itu bukannya jatuh dari langit atau dari atas genteng, melainkan karena Alvan yang melemparnya dari samping. “Apaan, nih?” tanya Amanda sembari memegangi buku yang dilempar Alvan. Seperti buku catatan tapi Amanda mas
"Semua orang pernah mengalami rasa sakit saat kehilangan seseorang yang kita sayangi. Tapi terus-terusan menyimpan rasa sakit itu di hati, cuma bakal bikin kita terus-terusan terpuruk dalam kesedihan. Lo harus belajar buat bisa menerima semua itu meskipun tahu itu sulit.” “...” “Lo juga pasti bisa.” Amanda memegang bahu Alvan. “Yang harus lo lakuin cuma satu kok, Van. Lo harus coba buat buka hati lo untuk menerima Mama tiri lo dan juga Arga. Kalo hal itu udah bisa lo lakuin, gue yakin hal berikutnya pun lo juga pasti bisa ngelakuinnya.” “...” “Terima mereka semua yang sayang sama lo. Bikin hati lo jangan pernah menolak kasih sayang mereka semua. Dan yang paling penting lo harus bisa coba buat memaafkan diri sendiri. Selama lo belum bisa memaafkan diri lo sendiri, lo nggak bakalan bisa memaafkan orang lain.” Alvan masih diam dan membiarkan Amanda memberikan nasihat padanya. Baru kali ini Alvan menerima nasihat semacam itu dari orang lain, karena biasanya tidak ada orang
Alvan tidak menjawab pertanyaan si kembar, dia cuma menatap mereka berdua dengan wajah tidak berdosanya seolah-olah memang tidak mau menjawab pertanyaan seperti itu. Dia sudah kembali ke sifat dinginnya dengan mengabaikan pertanyaan si kembar lalu menikmati teh hangatnya untuk menghangatkan tubuhnya. Melihat sikap cuek Alvan, si kembar pun tidak kehabisan ide dan langsung bisa menafsirkan sendiri apa jawaban yang seharusnya diberikan Alvan pada mereka. Sudah diputuskan setelah keduanya saling beradu pandang sebentar, bahwa Alvan dan Amanda memang punya hubungan yang tidak biasa. “Oke, kalo emang lo nggak mau jawab,” ujar Bagas. “Gue sebagai kakaknya berhak tahu siapa-siapa aja cowok yang udah deketin dia. Gue harus tahu bibit, bebet, dan bobotnya tuh cowok, pantes apa enggak buat pacaran sama adik gue.” “Betul itu.” Bagus mengacungkan jempol tepat di depan Alvan. “Lo harus tahu dulu apa syarat-syarat yang harus dipenuhi cowok yang bakal jadi pacarnya Amanda.” “Pertama...” Ba
Cowok itu berdiri mematung di depan pintu gerbang rumah Amanda dengan hati yang hancur. Dia tidak bisa melupakan apa yang dia dengar di rumah tadi tentang kebenaran yang baru saja dia ketahui. Alvan masih belum sanggup untuk bertatap muka dengan papanya lagi karena itu cuma akan memunculkan kemarahannya saja. Alvan memutuskan untuk tidak pulang malam ini. Dan tempat yang bisa dikunjungi Alvan hanyalah rumah Amanda. Bahkan di sini pun Alvan tidak bisa melakukan apa pun meskipun cuma sekedar memanggil Amanda untuk menemuinya. Dia tetap berdiri di bawah hujan dan kilatan petir. Membiarkan tubuhnya basah kuyub diterjang hujan dan nggak peduli apakah nanti petir-petir menakutkan itu akan menyambar tubuhnya atau tidak. “Itu beneran Alvan.” Amanda sekarang benar-benar yakin dan percaya kalau orang yang dilihatnya itu adalah Alvan yang dia kenal. Amanda berlari menuju lemari di sudut ruangan dan mengambil sebuah payung berwarna kuning dari sana, lalu dengan kilat tanpa menutup pintu l
“Kamu sudah pulang?” “MAMA!” Arga berlari ke arah mamanya dan memeluknya. “Arga, kamu sudah pulang Sayang?” tanya mamanya sambil tersenyum. “Udah dong, Ma. Tadi Arga seneng banget, Ma. Arga main seharian sama Kak Alvan dan Kak Amanda.” Nayla tahu Arga begitu bahagia. Tapi melihat situasi sekarang, dia tahu tidak baik kalau Arga ada di sana melihat hal buruk yang mungkin akan terjadi antara Andra dan Alvan. “RORO! RORO!” Bi Roro datang tergopoh-gopoh dari belakang. “Iya, Nyonya.” “Kamu ajak Arga ke kamar, ya? Mandiin dia. Nanti soal makan malamnya biar saya yang suapin.” Bi Roro mengangguk. “Baik, Nyonya. Arga, ayo kita mandi.” Arga pun pergi ke belakang dengan Bi Roro. Dengan langkah berat, Andra berusaha mendekati Alvan untuk memastikan apa Alvan mendengar semuanya atau tidak. Kalau pun Alvan mendengar, apa saja yang didengarnya dan tugas Andra adalah memberikan penjelasan agar Alvan mau mengerti meskipun dia tahu itu akan sangat sulit. “Van .... “ Andra berusaha menyentuh
Setelah naik bianglala, masih banyak wahana-wahana permainan yang mereka naiki. Amanda memaksa Alvan karena Arga yang memintanya. Amanda juga menyuruh Alvan yang bayar semuanya. Tentu saja Alvan ngomel – ngomel lagi karena merasa sudah dipalak habis-habisan hari ini. Tapi semuanya masih belum selesai, mereka pun membeli es krim dan makan es krim bertiga. “Senyum!” Amanda siap memotret Alvan dan Arga. Arga tersenyum manis ke arah kamera, sedangkan Alvan tetap dengan wajah juteknya dan tidak mau melihat ke kamera. Pada saat itu Arga melihat beberapa badut sedang bernyanyi dan bergoyang dengan banyak anak kecil sambil membagikan banyak balon. Arga ingin ke sana dan Amanda memaksa Alvan untuk ikut dengan mereka. Sudah bisa dipastikan kalau Alvan pasti menolak mentah-mentah bermain dengan banyak anak kecil seperti itu, tapi Amanda memaksanya dan menariknya berlari ke arah badut. Arga gembira sekali mendapat balon dari badut. Amanda tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan satu detik pun
Amanda kaget, ternyata mereka sudah sampai ke kelas dan Amanda tidak sadar karena terlalu serius menasihati cowok itu. Dia langsung ikutan berbelok dan masuk ke dalam kelas. Tanpa paksaan apa pun, kali ini Amanda duduk dengan Alvan. “Terserah gue ya, gue mau duduk di mana.” Kali ini Amanda tidak mau ambil pusing berdebat mengenai bangku. Masalah itu sudah basi dan sekarang bagi Amanda dia mau duduk dengan siapa aja nggak masalah. “Pokoknya lo harus mau ngelakuinnya.” “Ngelakuin apa?” Alvan kesal dan jadi nggak mood untuk membuka bukunya karena cerocosan Amanda. “Gue nggak mau ngelakuin apa pun yang lo suruh. Emangnya lo siapa ngatur-ngatur gue harus gimana?” “Gue Amanda. Gue guru lo.” Alvan tertawa sinis mendengar hal konyol itu. “Guru? Guru apaan? Sejak kapan cewek berotak ayam macam lo ini bisa jadi guru gue? Nggak usah ngimpi deh, lo.” Amanda memukul Alvan dengan bukunya. “Gue ini bukan otak ayam.” “Kenapa lo mukul?” Alvan mulai sewot. “Emang lo ini suka banget
Amanda heran. Dia sempat berpikir kalau dia sedang mimpi saat mengatakan hal itu. “Kenapa gue harus marah?” Amanda speechless. “Apa aja yang udah berhasil lo pelajari dari Aldy selain kebahagiaan?” Tidak pernah dia duga sebelumnya kalau ternyata Alvan menerima ucapannya yang dia kira mimpi tadi. Alvan tidak marah dan justru tertarik dengan kata-kata Amanda tentang hal yang dia pelajari dari Aldy? Apa benar cowok ini serius ingin tahu? “Kenapa diem?” “Hah? Oh ... eh .... “ Amanda jadi salah tingkah dan tetap bingung. Tapi meskipun bingung dia senang Alvan ternyata tidak seburuk yang dia pikir. “Untuk mendapatkan kebahagiaan itu mudah, kok. Tiap orang pasti bisa melakukannya. Karena itu lo harus berubah sekarang. Dan hal pertama yang harus lo lakuin untuk mendapatkan kebahagiaan itu adalah memaafkan diri sendiri.” Memaafkan diri sendiri? Itu memang hal yang selama ini belum bisa Alvan lakukan? Karenanya dia masih belum bisa memaafkan kesalah papanya di masa lalu karena d
“Bukan gue yang suka sama pantai. Tapi orang lain.” Jawaban Amanda sukses membuat Alvan menatap cewek itu dan melupakan keindahan ombak yang dari tadi dia perhatikan. “Aldy?” Amanda mengangguk. Alvan tiba-tiba berhenti berjalan dan menarik tangan Amanda, mengajaknya duduk di atas pasir halus pantai yang sejak tadi mereka injak-injak untuk dirasakan kehalusannya. Dengan terpaksa Amanda menurut dan duduk di samping cowok itu sambil menekuk lutut dan menatap lautan lepas. Ombak masih terus datang. Suaranya yang menggelegar dan umumnya membuat orang lain yang mendengarnya merasa ngeri, tapi tidak untuk Amanda dan Alvan. Ombak itu indah dan hanya bisa mereka temui kalau mereka sedang berada di pantai saja. “Lo lagi ada masalah, ya?” Amanda sudah sejak tadi menahan dirinya untuk nggak bertanya hal ini, tapi dia sudah tidak tahan lagi. Daripada dia terus terbawa masa lalu yang mengingatkannya pada Aldy, Amanda merasa lebih baik mengobrol dengan Alvan. “Kalo pun iya gue ngga
“Duh, siapa sih nih, yang nimpukin gue pake beginian?” Amanda mengomel-ngomel sendiri sambil memegang kaleng kosong yang sudah penyok itu. “Nggak lihat ada orang lagi jalan, apa?” Mata Alvan melebar melihat Amanda berada sekitar lima puluh meter di depannya. Hebat juga tendangannya, bisa menendang kaleng sampai sejauh itu. Tapi buru-buru Alvan melupakan tentang kehebatan tendangannya itu, karena dia yakin pasti akan ada kejadian sebentar lagi. Dia tadi pergi dari rumah dengan tujuan untuk menghindari pertengkaran dengan papanya, tapi sekarang dia malah mendapat masalah baru. Bertemu dengan Amanda saat ini sudah bisa dipastikan akan memicu masalah baru. Pertengkaran yang tidak bisa dielakkan lagi. Untuk mencegah semua itu terjadi, Alvan cepat-cepat memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi Amanda. Berharap cewek itu tidak tahu kalau dia yang menendang kaleng ke arahnya. Toh Alvan juga tidak sengaja melakukannya. Dengan tegang, dia melangkahkan kakinya panjang-panjang meninggalkan Am