Sementara Amanda yang awalnya berjalan dengan penuh tekad, tiba-tiba menghentikan langkahnya karena terdengar suara-suara aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dia menengadah ke langit dan sama sekali tidak bisa melihat langit dari bawah sana karena dedaunan lebat yang ada di atas kepalanya. Suasananya memang sudah mendung sejak tadi, tapi berada di tengah hutan seperti sekarang ini membuatnya takut. KOAK! KOAK! KOAK! Terdengar suara burung-burung yang Amanda tidak bisa melihatnya. Membuat Amanda semakin ketakutan sendirian di hutan itu. Setelah berpikir lagi akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke tempat Alvan dengan berlari. Tidak jadi pergi sendirian. Alvan yang berjalan sendirian sayup-sayup mendengar suara orang berlari ke arahnya. Dia menoleh dan melihat Amanda berlari seperti orang dikejar setan. Mau tidak mau dia berhenti untuk menunggunya karena pasti Amanda mengejarnya. “Ada apa? Ngapain balik lagi?” tanya Alvan jutek. “Van, kita balik aja ke perkebunan, yuk. Gue
“Kita main aja, yuk! Main air asyik banget lho.” Amanda menyiprat-nyipratkan air dengan sengaja ke arah Alvan. Alvan melindungi cipratan air dari Amanda dengan kedua tangannya. “Eh, jangan macem-macem lo!” “Makanya ayo sini!” “Gue nggak bakalan ngelakuin hal-hal konyol kayak gitu. Kayak anak kecil aja,” ejek Alvan. Amanda cemberut dan memanyunkan bibirnya sepanjang yang dia bisa. Lalu dia pun berjalan ke pinggir dan memilih sebuah batu besar di sebelah Alvan untuk dia duduki. Sebagian besar bajunya basah setelah bermain air tadi. Sekarang Amanda benar-benar istirahat. Meskipun rasa capeknya belum hilang, tapi cukup bisa menghilangkan kebeteannya setelah jalan jauh di hutan. Sementara Amanda melepas lelah setelah bermain air, Alvan tetap diam di tempat tanpa melakukan apa pun. Dia hanya menengadahkan kepalanya menyapu seluruh tempat dan memandangi apa saja yang ada di sana. Tidak ada hal-hal menarik yang berhasil dia temukan selain barisan pepohonan lebat, sungai jer
Hari semakin sore dan dalam suasana mendung seperti ini akan jauh lebih cepat gelap dibandingkan kalau hari ini cerah. Suasana malam di tengah hutan juga akan jauh lebih menakutkan daripada siang hari. Amanda tidak mau membayangkan kalau sampai mereka berdua tidak bisa keluar hutan sampai malam, atau bahkan sampai esok harinya. Iya kalau tidak ada binatang buas yang menerkam mereka, kalau tiba-tiba muncul macan atau harimau, bisa-bisa kalau tiba besok pagi mereka sudah menjadi tinggal nama saja. “Van, lo tahu jalannya apa nggak sih, sebenernya? Kenapa dari tadi kita nggak keluar hutan juga?” celoteh Amanda yang sudah merasa lelah berjalan terus. Alvan tidak menjawab dan wajahnya mulai memperlihatkan kebingungannya. Dia tetap berusaha mencari jalan dengan menatap seluruh tempat, siapa tahu menemukan sebuah petunjuk untuk keluar hutan. “Jangan-jangan lo juga nggak tahu jalan keluarnya, ya?”Amanda pun mulai curiga karena cowok itu terlihat bingung sama seperti dia. “Berisik b
Alvan menatap kasihan pada Amanda yang kelihatannya kesakitan banget itu. Lalu dia kembali berjongkok. “Coba sini gue lihat kaki lo.” Karena tidak tahu harus berbuat apa, Amanda pun membiarkan Alvan memeriksa kakinya. Cowok itu memegang tepat di bagian kaki yang sakit sehingga membuat Amanda berteriak seketika. Untuk langkah selanjutnya, Alvan lebih berhati-hati lagi untuk memeriksa kaki Amanda. “Bakalan sedikit sakit, sih. Tapi tahan bentar, ya?” Amanda cuma ngangguk-ngangguk saja. Pasrah. Alvan memijat pergelangan kaki Amanda, menariknya ke sana kemari membuat Amanda berteriak-teriak kesakitan, bahkan dia sempat menampar Alvan secara refleks. “Woi, lo mau menganiaya gue?!" Alvan kesal karena Amanda malah menampar-nampar dia. “Ya, maaf. Abis sakit banget kaki gue.” Tapi ucapan maaf Amanda dan tamparan Amanda yang katanya refleks itu tidak menghentikan Alvan untuk melanjutkan memijat pergelangan kaki Amanda sampai menurutnya benar-benar sudah baik-baik saja. Untuk
Tak membutuhkan waktu sampai satu jam saat langit berubah gelap. Hari sudah malam dan suasana di hutan sangat gelap. Untung saja malam ini tidak mendung seperti tadi siang. Malam ini sangat cerah. Sinar bulan dan bintang pun terlihat sehingga ada sedikit cahaya yang menyinari hutan yang lebat itu. Meskipun tidak cukup terang, tapi setidaknya masih bisa melihat di dalam hutan yang hanya ada cahaya remang-remang dari sinar bulan. Alvan dan Amanda masih belum berhasil menemukan jalan keluar. Sepertinya mereka justru berjalan semakin masuk ke dalam hutan makanya jalan keluarnya tidak juga ketemu. Sementara itu Alvan sudah merasa lelah menggendong Amanda sejak tadi. Rasa lelahnya karena hampir setengah hari berjalan keliling hutan jadi berlipat ganda dengan berat badan Amanda yang digendongnya. “Eh, Otak Ayam. Gue capek. Lo jalan sendiri aja deh,” perintah Alvan pada Amanda yang masih berada di gendongannya. “Hah?” Amanda sedikit kaget karena tiba-tiba Alvan mengajaknya bicara, k
Setelah melalui hal-hal yang melelahkan, menggembirakan, bahkan menakutkan di dalam hutan, akhirnya Alvan dan Amanda bisa kembali ke perkebunan atas bantuan Natasha dan Benny. Terang saja, sesampainya di sana semua teman-teman langsung mengomeli mereka macam-macam. Ada yang mengatakan pergi diam-diam karena mau pacaran, ada yang bilang sengaja mau merepotkan mereka semua, dan bahkan ada yang menyumpahi mereka diterkam binatang buas di hutan. Gara-gara mencari Alvan dan Amanda, mereka semua harus berada di hutan malam-malam dan ditinggalkan oleh rombongan kelas lain yang sudah duluan pulang ke Jakarta. Tapi dibalik kegalakan dan kemarahan semua teman-teman, Amanda dan Alvan pun tahu mereka berkata demikian karena terlalu kesal. Yang bisa dilakukan Amanda dan Alvan hanya meminta maaf. Apalagi Pak Geral juga ikutan mengomeli panjang lebar. Karena biar bagaimana pun keselamatan semua muridnya adalah tanggung jawabnya. Kalau sampai terjadi apa-apa, pak Geral lah yang harus menanggung
“Memang siapa yang datang?” tanya Nicko yang merasa tak melihat orang datang ke rumah jadi penasaran. “Iya. Mama kok nggak tahu, ya?” sambung Laras. “Kan kemarin Mama sama Papa lagi keluar berdua, tuh. Cuma aku sama Bagas yang ada di rumah. Si Amanda kan juga lagi ada di Puncak kemarin.” “Oh iya, ya.” “Emangnya siapa yang nyariin aku?” tanya Amanda penasaran. “Siapa, Gas?” Bagus bertanya ke Bagas. “Soalnya gue lupa nama tuh cewek.” “Gue lupa,” jawab Bagas. “Yaela, gimana sih, lo? Kan waktu itu lo kan, yang sempet ngobrol banyak sama dia? Gue kan lo suruh buat ke dapur buatin minum gara-gara bi Minah lagi ke pasar. Udah kayak pembantu aja gue waktu itu. Image gue jatuh di depan cewek cakep gara-gara lo,” omel Bagus. “Lagian lo juga mau-mau aja gue suruh-suruh buat bikinin minum.” “Ya gimana gue nggak mau coba? Lo ngaku-ngaku sebagai kakak gue di depan tuh cewek, padahal kan lo cuma lahir tiga menit lebih dulu dari gue. Dan tuh cewek udah keburu tahu lo itu kakak gue,
“Clara???” seru si kembar bersamaan. Mereka senang bertemu lagi dengan cewek cantik yang kemarin datang ke rumah. Begitu tahu ternyata itu Clara, Amanda langsung berjalan mendekat ke mobil untuk mengobrol dengan Clara. “Kak Clara gimana kabarnya? Udah lama nggak ketemu.” “Kabar aku baik, kok. Kamu sendiri gimana?” Clara balik bertanya. “Aku juga baik-baik aja. Kapan datang dari Amerika?” “Aku baru tiga hari ini di Jakarta. Kemarin aku datang ke rumah kamu tapi kamu nya nggak ada. Oh iya, kalian ngapain di sini?” tanya Clara. “Ini nih, Kak. Ban mobilnya kayaknya bocor deh, kena paku di jalanan. Kita lagi bingung nih, gimana caranya buat berangkat ke sekolah.” “Oh ya udah. Kalian bareng sama aku aja. Nanti aku anter kalian ke sekolah, deh.” Mendengar ada tawaran yang menguntungkan dan tepat waktu itu pun membuat Amanda dan si kembar merasa seperti bertemu dewa yang akan menolong mereka dari kesusahan. Bahkan Bagas langsung mengambil kunci mobil dan mengunci mobilnya, sia