Alvan memasuki sebuah halaman rumah mewah dan besar bercat putih. Di depan rumah terdapat beberapa tanaman bunga dan pohon berdaun lebat yang menjadikan halaman itu terlihat lebih sejuk. Selain itu juga ada sebuah mobil terpakir manis di garasi sebelah rumah. Pemandangan seperti itu sudah biasa untuk Alvan, jadi Alvan tidak perlu lagi untuk menoleh atau memandangi tanaman atau pun mobil di garasi tersebut. Dia berjalan dengan santai dan langsung memasuki rumah itu. Alvan berjalan menuju ruang tengah. Suasana rumah masih sepi seperti biasanya. Tidak lama kemudian dia disambut hangat oleh seorang anak laki-laki berumur lima tahun-an yang langsung berlari dengan wajah cerianya ke arahnya dan memeluk pinggangnya. “Kakak udah pulang?” sapa Arga – adik Alvan dengan wajah berseri-seri. Bukannya membalas sapaan Arga, Alvan justru diam saja dengan tetap memasang wajah datar. Dia juga tidak mempedulikan Arga yang sedang memeluk tubuhnya. “Kak Alvan ayo kita main, Kak,” ajak Arga dengan p
Hari Sabtu ini pagi-pagi buta seluruh siswa kelas 12 SMA Kasuari berangkat ke Puncak dalam acara study tour mereka. Pihak sekolah memutuskan berangkat hari Sabtu karena menghindari terjebak macet jika berangkat hari Minggu. Tiap kelas mendapatkan jatah satu bus dan ada banyak bus yang membawa mereka semua untuk berangkat pagi ini. Untuk jurusan yang lain, mereka melakukan study tour ke tempat lain sesuai praktik apa yang akan dilakukan. Perjalanan sangat lancar bahkan semua anak menikmati perjalanan mereka yang menyenangkan. Karena para guru-guru sepakat berangkat pagi sekali, udara di perjalanan juga masih sangat sejuk. Meskipun mereka berada di dalam bus yang ber-AC, tentu saja hanya dengan melihat pemandangan di luar lewat jendela saja sudah bisa ikut merasakan bagaimana sejuknya udara pagi ini. Semua orang menyanyi-nyanyi riang, ada juga yang sengaja membawa gitar dam memainkannya di dalam bus. Semuanya senang, semuanya bahagia, dan semuanya penuh tawa dan canda. Kecuali dua
Berbeda dengan semua teman-temannya yang saling bekerjasama untuk mencatat laporan, melakukan wawancara, dan meneliti daun teh, mereka berdua bekerja sendiri-sendiri dan saling tak menghiraukan satu sama lain. Kalau tanpa sengaja mereka saling bertemu pandang, Amanda akan melemparkan sesuatu ke Alvan begitu juga sebaliknya. Alvan pun sempat hampir melemparkan sepatunya ke arah Amanda karena cewek itu menjulurkan lidahnya ke arahnya. “Ayo, lempar aja! Lempar!” tantang Amanda tanpa rasa takut. “Lo pikir gue takut sama lo?” Tapi Alvan memakai sepatunya lagi dan jadi kekurangan minat untuk bertengkar dengan Amanda. "Males gue berdebat sama lo," ujarnya sambil melangkah ke tempat lain dan dia menemui salah satu buruh pemetik teh dan mewawancarai mereka. Melihat Alvan yang ternyata juga serius mengerjakan tugas kelompok mereka, membuat Amanda merasa sedikit tenang karena tidak lagi harus berdebat dengan cowok itu. Amanda pun menyelesaikan tugasnya mencatat dan meneliti daun teh.
Sementara Amanda yang awalnya berjalan dengan penuh tekad, tiba-tiba menghentikan langkahnya karena terdengar suara-suara aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dia menengadah ke langit dan sama sekali tidak bisa melihat langit dari bawah sana karena dedaunan lebat yang ada di atas kepalanya. Suasananya memang sudah mendung sejak tadi, tapi berada di tengah hutan seperti sekarang ini membuatnya takut. KOAK! KOAK! KOAK! Terdengar suara burung-burung yang Amanda tidak bisa melihatnya. Membuat Amanda semakin ketakutan sendirian di hutan itu. Setelah berpikir lagi akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke tempat Alvan dengan berlari. Tidak jadi pergi sendirian. Alvan yang berjalan sendirian sayup-sayup mendengar suara orang berlari ke arahnya. Dia menoleh dan melihat Amanda berlari seperti orang dikejar setan. Mau tidak mau dia berhenti untuk menunggunya karena pasti Amanda mengejarnya. “Ada apa? Ngapain balik lagi?” tanya Alvan jutek. “Van, kita balik aja ke perkebunan, yuk. Gue
“Kita main aja, yuk! Main air asyik banget lho.” Amanda menyiprat-nyipratkan air dengan sengaja ke arah Alvan. Alvan melindungi cipratan air dari Amanda dengan kedua tangannya. “Eh, jangan macem-macem lo!” “Makanya ayo sini!” “Gue nggak bakalan ngelakuin hal-hal konyol kayak gitu. Kayak anak kecil aja,” ejek Alvan. Amanda cemberut dan memanyunkan bibirnya sepanjang yang dia bisa. Lalu dia pun berjalan ke pinggir dan memilih sebuah batu besar di sebelah Alvan untuk dia duduki. Sebagian besar bajunya basah setelah bermain air tadi. Sekarang Amanda benar-benar istirahat. Meskipun rasa capeknya belum hilang, tapi cukup bisa menghilangkan kebeteannya setelah jalan jauh di hutan. Sementara Amanda melepas lelah setelah bermain air, Alvan tetap diam di tempat tanpa melakukan apa pun. Dia hanya menengadahkan kepalanya menyapu seluruh tempat dan memandangi apa saja yang ada di sana. Tidak ada hal-hal menarik yang berhasil dia temukan selain barisan pepohonan lebat, sungai jer
Hari semakin sore dan dalam suasana mendung seperti ini akan jauh lebih cepat gelap dibandingkan kalau hari ini cerah. Suasana malam di tengah hutan juga akan jauh lebih menakutkan daripada siang hari. Amanda tidak mau membayangkan kalau sampai mereka berdua tidak bisa keluar hutan sampai malam, atau bahkan sampai esok harinya. Iya kalau tidak ada binatang buas yang menerkam mereka, kalau tiba-tiba muncul macan atau harimau, bisa-bisa kalau tiba besok pagi mereka sudah menjadi tinggal nama saja. “Van, lo tahu jalannya apa nggak sih, sebenernya? Kenapa dari tadi kita nggak keluar hutan juga?” celoteh Amanda yang sudah merasa lelah berjalan terus. Alvan tidak menjawab dan wajahnya mulai memperlihatkan kebingungannya. Dia tetap berusaha mencari jalan dengan menatap seluruh tempat, siapa tahu menemukan sebuah petunjuk untuk keluar hutan. “Jangan-jangan lo juga nggak tahu jalan keluarnya, ya?”Amanda pun mulai curiga karena cowok itu terlihat bingung sama seperti dia. “Berisik b
Alvan menatap kasihan pada Amanda yang kelihatannya kesakitan banget itu. Lalu dia kembali berjongkok. “Coba sini gue lihat kaki lo.” Karena tidak tahu harus berbuat apa, Amanda pun membiarkan Alvan memeriksa kakinya. Cowok itu memegang tepat di bagian kaki yang sakit sehingga membuat Amanda berteriak seketika. Untuk langkah selanjutnya, Alvan lebih berhati-hati lagi untuk memeriksa kaki Amanda. “Bakalan sedikit sakit, sih. Tapi tahan bentar, ya?” Amanda cuma ngangguk-ngangguk saja. Pasrah. Alvan memijat pergelangan kaki Amanda, menariknya ke sana kemari membuat Amanda berteriak-teriak kesakitan, bahkan dia sempat menampar Alvan secara refleks. “Woi, lo mau menganiaya gue?!" Alvan kesal karena Amanda malah menampar-nampar dia. “Ya, maaf. Abis sakit banget kaki gue.” Tapi ucapan maaf Amanda dan tamparan Amanda yang katanya refleks itu tidak menghentikan Alvan untuk melanjutkan memijat pergelangan kaki Amanda sampai menurutnya benar-benar sudah baik-baik saja. Untuk
Tak membutuhkan waktu sampai satu jam saat langit berubah gelap. Hari sudah malam dan suasana di hutan sangat gelap. Untung saja malam ini tidak mendung seperti tadi siang. Malam ini sangat cerah. Sinar bulan dan bintang pun terlihat sehingga ada sedikit cahaya yang menyinari hutan yang lebat itu. Meskipun tidak cukup terang, tapi setidaknya masih bisa melihat di dalam hutan yang hanya ada cahaya remang-remang dari sinar bulan. Alvan dan Amanda masih belum berhasil menemukan jalan keluar. Sepertinya mereka justru berjalan semakin masuk ke dalam hutan makanya jalan keluarnya tidak juga ketemu. Sementara itu Alvan sudah merasa lelah menggendong Amanda sejak tadi. Rasa lelahnya karena hampir setengah hari berjalan keliling hutan jadi berlipat ganda dengan berat badan Amanda yang digendongnya. “Eh, Otak Ayam. Gue capek. Lo jalan sendiri aja deh,” perintah Alvan pada Amanda yang masih berada di gendongannya. “Hah?” Amanda sedikit kaget karena tiba-tiba Alvan mengajaknya bicara, k