Share

5. Siapa Kamu?

Sore ini Amanda mendatangi sebuah makam di pemakaman umum. Sebuah batu nisan bertuliskan Hafiz Revaldy Ardiansyah dia pandangi sejak kedatangannya ke tempat itu. Dia berjongkok lumayan lama sejak meletakkan sebuah buket bunga mawar di atas makam itu.

Suasana perkuburan yang sangat sepi serta angin semilir membuat suasana sedikit mistis. Namun tidak membuat Amanda untuk segera pergi meninggalkan tempat tersebut. Sudah lama dia tak datang berkunjung ke makam itu dan dia ingin sedikit lebih lama berada di sana. Tersirat ada sebuah kesedihan di wajahnya, tapi sebisa mungkin dia menutupinya dengan sebuah senyuman. Amanda tahu, orang yang dikunjunginya tidak pernah senang melihatnya bersedih atau pun menangis.

“Maaf udah lama nggak jenguk kamu,” ujar Amanda pada makam itu. “Aku kangen banget sama kamu, Al. Nggak kerasa ini udah satu tahun sejak hari itu. Dan aku masih tetap tepatin janji aku, kok.”

Semilir angin menggerak-gerakkan surai panjang Amanda yang tergerai. Amanda merasakan udara sore ini semakin dingin, untung saja dia mengenakan sweater.

“Aku punya banyak hal yang pengen aku ceritain ke kamu. Di sekolah ada anak baru namanya Alvan. Aku sebel banget sama dia. Dia itu freak dan nyebelin banget. Selalu aja ngata-ngatain aku dan bikin aku gondok seharian. Aku pengen banget bisa menjauh sejauh-jauhnya dari dia, tapi nggak bisa. Aku nggak tahu kenapa tapi kayaknya belakangan ini semua orang jadi menyebalkan.”

Masih di tempat yang sama, kira-kira beberapa puluh meter dari tempat Amanda, Alvan juga sedang mengunjungi makam seseorang. Dia berdiri memandangi makam itu setelah meletakkan sebuket bunga lily di atas makam tersebut. Alvan mengunjungi makam mamanya.

Untuk waktu yang cukup lama, cowok itu hanya berdiri saja tanpa mengatakan apa-apa. Kesedihan terlihat jelas di wajahnya. “Aku minta maaf,” ujarnya pada makam sang mama. “Mungkin Mama bosan mendengarnya. Tapi aku benar-benar minta maaf. Tolong jangan membenci aku.”

Alvan segera memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan makam mamanya. Terlalu lama berada di sana membuat kesedihannya semakin meluap. Dan Alvan paling tidak suka situasi seperti itu.

Tapi langkahnya berhenti saat dia melihat seseorang yang dia kenal berada beberapa meter di depannya. Orang itu adalah Amanda yang masih berada di dekat makam seseorang.

'Itu bukannya Amanda?'

Mulanya Alvan mau langsung pergi tanpa peduli dengan Amanda dan apa yang dia lakukan di sana, tapi saat dia baru melangkah beberapa meter saja, pikirannya mengkhianati langkah kakinya.

Kakinya ingin terus melangkah dan pergi, tapi pikirannya ingin tetap berada di sana. Alvan pun kesal dan akhirnya dengan malas memutar balik tubuhnya dan berjalan menghampiri Amanda dikarenakan rasa penasaran yang tidak jelas dari mana asalnya itu.

Alvan sudah berada di belakang Amanda yang masih berjongkok. Dan tidak butuh waktu lama untuk Amanda menyadari ada seseorang mendekatinya.

Amanda menoleh sambil mendongakkan kepalanya dan kaget melihat siapa yang ada di belakangnya.

“Ngapain lo?” tanya Alvan tanpa ekspresi.

Amanda langsung berdiri dan masih kaget. “Lo?”

“Iya, gue. Kenapa?”

Selain kaget, Amanda juga bingung. Tidak menyangka akan bertemu dengan cowok itu di sana. Bagaimana mungkin bisa kebetulan begitu? Di sekolah mereka sudah duduk sebangku dan bertemu tiap hari, biar bagaimana pun caranya Amanda berusaha menghindar tetap saja tidak berhasil. Dan sekarang, meskipun di kuburan mereka juga masih tetap bertemu?

Amanda tidak habis pikir dengan nasib apa yang sekarang ini sedang menimpanya. “Lo ngapain di sini?” semprot Amanda yang langsung emosi melihat cowok itu. “Lo ngikutin gue, ya?”

Alvan tertawa sinis. “Apa lo bilang? Ngikutin lo? Kurang kerjaan banget gue ngikutin lo ke tempat kayak gini? Tiap hari lihat muka lo di sekolah aja gue udah bosen, ngapain juga pake ngikutin lo segala? Lo mikir, dong.”

Amanda sedang berusaha keras untuk menahan kemarahannya meskipun dia tahu itu mustahil kalau berhadapan dengan makhluk menyebalkan seperti Alvan ini.

“Ya kalo nggak ngikutin gue ngapain lo di sini? Kan lo tadi yang nyamperin gue?”

“Gue ke sini mengunjungi makam seseorang,” jawab Alvan. “Dan lo nggak perlu tanya karena gue nggak bakal kasih tahu,” tambah Alvan yang melihat Amanda mulai membuka mulutnya untuk bertanya.

“Siapa juga yang mau tanya-tanya? Itu bukan urusan gue lo mau ngunjungin makam siapa.”

“Oke,” sahut Alvan. “Gue juga nggak bakalan tanya-tanya sama lo karena itu juga bukan urusan gue.”

“Ya udah.”

“Ya udah.”

Amanda semakin kesal karena Alvan seperti sengaja memancing kemarahannya. Dia tidak mau sampai bertengkar hebat di depan makam Aldy, karena itu dia segera pergi meninggalkan cowok itu di sana. Tidak peduli itu cowok mau gali kubur atau mau mencabuti rumput di kuburan. Pokoknya Amanda tidak mau tahu.

Alvan menatap kepergian Amanda dengan senyuman sinis seperti biasanya. Sepertinya merupakan sebuah kepuasan tersendiri untuknya kalau bisa membuat cewek itu marah.

Kemudian tatapan matanya beralih ke sebuah makam yang sekarang berada tepat di depannya. Dia membaca tulisan di batu nisan ‘Hafiz Revaldy Ardiansyah’.

Alvan mengeryitkan keningnya membaca tulisan itu. Dia merasakan ada sesuatu dengan orang itu tapi tidak tahu apa. Sesuatu yang berhubungan dengan dirinya tapi Alvan tidak bisa mengartikan apa pun atas perasaannya ini.

Dia terus menatap makam itu.

“Gue nggak tahu siapa lo. Tapi kenapa gue ngerasa deket banget sama lo? Apa kita saling kenal?”

Alvan tahu itu tidak mungkin. Seingatnya dia tidak pernah punya teman yang bernama Hafiz Revaldy. Orang ini masih muda saat meninggal. Umurnya juga seumuran dengannya kalau sekarang dia masih hidup. Batin Alvan yang juga melihat ada tanggal lahir dan tanggal kematian di batu nisan itu.

“Siapa orang ini? Kakaknya? Atau pacarnya?”

Alvan bertanya-tanya sendiri sambil kembali menoleh ke arah Amanda pergi, tapi cewek itu sudah tidak kelihatan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status