Home / Fiksi Remaja / Janji Amanda / 7. Alvan Memang Rese

Share

7. Alvan Memang Rese

Setelah ulangan selesai, Bu Wanda menyuruh siswa yang duduk di barisan paling depan untuk mengumpulkan kertas ulangan teman-temannya lalu mengumpulkannya ke meja guru.

Tepat setelah semua kertas ulangan terkumpul di meja Bu Wanda, bel tanda istirahat pun berbunyi. Bu Wanda berpamitan dan berjalan keluar kelas. Semua siswa langsung lemas seketika, mereka tidak berniat keluar kelas untuk sekedar makan siang untuk isi perut. Mengistirahatkan otak mereka dengan tidur sebentar jauh lebih baik daripada berdesak-desakan di kantin untuk memesan makanan.

Toh mereka tidak akan mati hanya karena tidak makan siang sehari saja. Tapi mereka akan mati kalau otak mereka terus bekerja tanpa istirahat. Dan mereka pun memilih pilihan kedua untuk tidur sebentar di kelas sampai jam istirahat habis.

Amanda menyangga kepalanya yang rasanya mau pecah. Dia pasrah saja apa yang akan terjadi dengan ulangan kimia nya hari ini. Semua soal terlihat blank di otaknya, dan semuanya hanya dia kerjakan secara asal-asalan. Bodo amatlah akan mendapatkan nilai berapa.

Kalau dapat nilai nol paling tidak Amanda hanya akan mendapatkan omelan atau remidial dari Bu Wanda, tapi kalau otaknya benar-benar meledak, itu akan lebih bahaya lagi. Amanda lebih sayang otaknya.

“Kenapa lo?” terdengar pertanyaan sinis dan meledek dari orang terdekat Amanda. “Pusing?”

Amanda melirik sinis ke sebelahnya. Rupanya benar dugaan Amanda, pertanyaan tadi dilontarkan oleh Alvan. Dan tumben-tumbenan banget tuh cowok perhatian.

“Nggak bisa ngerjain soal karena tadi malem lo nggak belajar?” Alvan terlihat lebih semangat untuk mengejek Amanda. “Ngapain aja lo semalam nggak belajar, hah? Di rumah nggak pernah belajar, terus di sekolah kerjaannya ngelamun mulu? Sebenernya lo niat mau sekolah apa enggak, sih?”

“HEH!” Amanda menggebrak meja yang membuat semua siswa yang berencana mau tidur siang itu pun kaget dan terbangun seketika.

Natasha dan Benny pun harus segera menolehkan kepala mereka ke belakang mendengar keributan itu.

“Lo punya masalah ya, sama gue? Kenapa sih, lo nyebelin banget, hah?”

Alvan tertawa sinis, menpanggap kekesalan Amanda itu adalah sesuatu yang lucu menurutnya.

“Buat ngadepin orang males kayak lo, gue nggak perlu harus punya masalah dulu sama lo. Emang iya kan, lo itu orangnya males. Males belajar dan nggak niat buat sekolah.”

Alvan mengubah posisi duduknya berhadapan dengan Amanda. “Tadi aja lo mau nyontek punya gue, kan? Jangan dikira gue nggak tahu.”

Amanda benar-benar jengkel dengan cowok itu. Bisa-bisanya dia membeberkan masalah memalukan itu di depan semua teman-temannya. Padahal tadi Amanda tidak bermaksud untuk menyontek, hanya mau lihat sebentar dan ternyata ketahuan. Dia juga tidak sempat melihat apa-apa di kertas ulangan Alvan. Jadi hal itu tidak bisa disebut nyontek, dong.

Tapi tatapan semua teman-temannya mengisyaratkan kalau mereka percaya apa yang dikatakan Alvan.

“Apaan, sih? Gue nggak nyontek!” kata Amanda pada semua teman-temannya. “Dan lo juga nggak usah sok pinter deh, di sini!” Amanda menunjuk wajah sengak Alvan yang berada tepat di depannya. “Daripada gue nyontek lo, mendingan gue dapet nilai nol. Itu jauh lebih terhormat buat gue daripada gue harus nyontek punya lo.”

Alvan tak peduli sedikit pun, dia tetap menghadapi omongan Amanda dengan santai seperti sedang bersantai sambil minum teh. “Oh, hebat banget lo? Gue baru kali ini lho, denger ada orang yang bangga dapet nilai nol.”

Amanda kesal sekali dengan Alvan. Dia sudah ingin sekali menonjok wajah Alvan yang sengak itu sampai babak belur, tapi ditahannya. Ada saatnya nanti Amanda akan menghajar cowok itu sampai tidak bisa berkutik lagi. Itu yang ada di pikiran Amanda saat ini.

“Iya, gue bangga. Puas lo?”

“Puas banget,” jawab Alvan sambil mengangguk-angguk. “Tapi gue cuma heran aja, kenapa orang males kayak lo ini bisa masuk kelas IPA?”

GRRRRR!!!

Rupanya itu cowok masih belum kehabisan ide untuk mengejek Amanda. Tidak tahu kenapa semakin ke sini Amanda mulai terbiasa dengan sikap Alvan ini dan dia juga mulai bisa untuk menahan dirinya. Paling tidak, dia tidak akan ngamuk-ngamuk seperti saat bertengkar dengan Benny berebut bangku kemarin. Sepertinya Alvan ini bukan tipe orang yang bisa dilawan dengan kekerasan fisik.

Satu-satunya yang harus dilakukan Amanda adalah berusaha menghindar sejauh-jauhnya dari cowok itu, dengan begitu Alvan tidak akan punya kesempatan untuk meledeknya lagi, dan hal itu bisa dilakukan kalau Amanda bisa mendapatkan bangkunya kembali.

Tapi bagaimana caranya mengusir Benny? Belakangan ini Benny juga mendadak berubah menjadi menyebalkan. Cowok cungkring itu selalu saja punya seribu satu cara untuk menggagalkan rencananya, seolah-olah semua ide di kepala Amanda bisa terbaca olehnya.

Sementara Amanda dan Alvan bertengkar adu mulut, semua teman-teman mereka matanya pada melek semua, tidak jadi ngantuk. Otak juga mulai fresh lagi melihat ‘hiburan’ di kelas mereka. Lumayan, bisa menjadi tontonan segar setelah pusing memikirkan soal-soal Kimia yang bikin kepala hampir meledak.

***

Amanda masih kesal teringat kejadian di sekolah hari ini. Dimana Alvan sudah berhasil mempermalukannya di depan semua teman-teman. Kebetean Amanda masih belum hilang sampai si kembar menjemputnya untuk pulang.

“Kak Bagas, Kak Bagus. Kalian berdua harus inget, ya! Inget-inget hal ini dan jangan sampe lupa!” Amanda memberikan wanti-wanti akan sesuatu dan kelihatannya penting banget.

“Inget apa?” tanya Bagas mewakili Bagus juga.

“Mulai sekarang kalian nggak boleh lagi absen buat jemput aku pulang sekolah. Aku nggak mau lagi harus pulang sekolah naik bus terus ketemu lagi sama cowok gila itu.”

“Cowok siapa?” Bagus penasaran akut, dan dia kembali menolehkan kepalanya ke belakang.

“Kamu punya gebetan baru di sekolah, Man? Aduh!” Bagus mengelus kepalanya yang habis dijitak oleh Amanda tanpa alasan yang jelas. “Kok dipukul, sih?”

Bagas tertawa melihat adik kembarnya dijitak oleh Amanda karena gebleknya kumat lagi.

Sudah jelas-jelas Amanda sedang membicarakan tentang cowok yang dia benci di sekolah, eh Bagus malah bertanya tentang gebetan.

“Gebetan apanya? Nggak ada gebetan!” bentak Amanda dengan tampang penuh kemarahan.

“Pokoknya aku nggak mau terima alasan apa pun ya, Kak. Kakak nggak boleh absen lagi buat jemput aku. Aku nggak mau naik bus lagi, jalan kaki jauh – jauh, kecapekan, lupa belajar, nggak bisa ngerjain ulangan, dan dapat kuliahan dari cowok nggak penting itu. Ngerti?”

Bagus sudah mulai membuka mulutnya saat Amanda menunjuk tepat di depan mukanya.

“Nggak usah tanya apa-apa karena aku nggak bakal mau jawab.” Amanda menolak mendapat pertanyaan apa pun dari Bagus.

Bagus menutup mulutnya lagi. Tak jadi bertanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status