Setelah ulangan selesai, Bu Wanda menyuruh siswa yang duduk di barisan paling depan untuk mengumpulkan kertas ulangan teman-temannya lalu mengumpulkannya ke meja guru.
Tepat setelah semua kertas ulangan terkumpul di meja Bu Wanda, bel tanda istirahat pun berbunyi. Bu Wanda berpamitan dan berjalan keluar kelas. Semua siswa langsung lemas seketika, mereka tidak berniat keluar kelas untuk sekedar makan siang untuk isi perut. Mengistirahatkan otak mereka dengan tidur sebentar jauh lebih baik daripada berdesak-desakan di kantin untuk memesan makanan. Toh mereka tidak akan mati hanya karena tidak makan siang sehari saja. Tapi mereka akan mati kalau otak mereka terus bekerja tanpa istirahat. Dan mereka pun memilih pilihan kedua untuk tidur sebentar di kelas sampai jam istirahat habis. Amanda menyangga kepalanya yang rasanya mau pecah. Dia pasrah saja apa yang akan terjadi dengan ulangan kimia nya hari ini. Semua soal terlihat blank di otaknya, dan semuanya hanya dia kerjakan secara asal-asalan. Bodo amatlah akan mendapatkan nilai berapa. Kalau dapat nilai nol paling tidak Amanda hanya akan mendapatkan omelan atau remidial dari Bu Wanda, tapi kalau otaknya benar-benar meledak, itu akan lebih bahaya lagi. Amanda lebih sayang otaknya. “Kenapa lo?” terdengar pertanyaan sinis dan meledek dari orang terdekat Amanda. “Pusing?” Amanda melirik sinis ke sebelahnya. Rupanya benar dugaan Amanda, pertanyaan tadi dilontarkan oleh Alvan. Dan tumben-tumbenan banget tuh cowok perhatian. “Nggak bisa ngerjain soal karena tadi malem lo nggak belajar?” Alvan terlihat lebih semangat untuk mengejek Amanda. “Ngapain aja lo semalam nggak belajar, hah? Di rumah nggak pernah belajar, terus di sekolah kerjaannya ngelamun mulu? Sebenernya lo niat mau sekolah apa enggak, sih?” “HEH!” Amanda menggebrak meja yang membuat semua siswa yang berencana mau tidur siang itu pun kaget dan terbangun seketika. Natasha dan Benny pun harus segera menolehkan kepala mereka ke belakang mendengar keributan itu. “Lo punya masalah ya, sama gue? Kenapa sih, lo nyebelin banget, hah?” Alvan tertawa sinis, menpanggap kekesalan Amanda itu adalah sesuatu yang lucu menurutnya. “Buat ngadepin orang males kayak lo, gue nggak perlu harus punya masalah dulu sama lo. Emang iya kan, lo itu orangnya males. Males belajar dan nggak niat buat sekolah.” Alvan mengubah posisi duduknya berhadapan dengan Amanda. “Tadi aja lo mau nyontek punya gue, kan? Jangan dikira gue nggak tahu.” Amanda benar-benar jengkel dengan cowok itu. Bisa-bisanya dia membeberkan masalah memalukan itu di depan semua teman-temannya. Padahal tadi Amanda tidak bermaksud untuk menyontek, hanya mau lihat sebentar dan ternyata ketahuan. Dia juga tidak sempat melihat apa-apa di kertas ulangan Alvan. Jadi hal itu tidak bisa disebut nyontek, dong. Tapi tatapan semua teman-temannya mengisyaratkan kalau mereka percaya apa yang dikatakan Alvan. “Apaan, sih? Gue nggak nyontek!” kata Amanda pada semua teman-temannya. “Dan lo juga nggak usah sok pinter deh, di sini!” Amanda menunjuk wajah sengak Alvan yang berada tepat di depannya. “Daripada gue nyontek lo, mendingan gue dapet nilai nol. Itu jauh lebih terhormat buat gue daripada gue harus nyontek punya lo.” Alvan tak peduli sedikit pun, dia tetap menghadapi omongan Amanda dengan santai seperti sedang bersantai sambil minum teh. “Oh, hebat banget lo? Gue baru kali ini lho, denger ada orang yang bangga dapet nilai nol.” Amanda kesal sekali dengan Alvan. Dia sudah ingin sekali menonjok wajah Alvan yang sengak itu sampai babak belur, tapi ditahannya. Ada saatnya nanti Amanda akan menghajar cowok itu sampai tidak bisa berkutik lagi. Itu yang ada di pikiran Amanda saat ini. “Iya, gue bangga. Puas lo?” “Puas banget,” jawab Alvan sambil mengangguk-angguk. “Tapi gue cuma heran aja, kenapa orang males kayak lo ini bisa masuk kelas IPA?” GRRRRR!!! Rupanya itu cowok masih belum kehabisan ide untuk mengejek Amanda. Tidak tahu kenapa semakin ke sini Amanda mulai terbiasa dengan sikap Alvan ini dan dia juga mulai bisa untuk menahan dirinya. Paling tidak, dia tidak akan ngamuk-ngamuk seperti saat bertengkar dengan Benny berebut bangku kemarin. Sepertinya Alvan ini bukan tipe orang yang bisa dilawan dengan kekerasan fisik. Satu-satunya yang harus dilakukan Amanda adalah berusaha menghindar sejauh-jauhnya dari cowok itu, dengan begitu Alvan tidak akan punya kesempatan untuk meledeknya lagi, dan hal itu bisa dilakukan kalau Amanda bisa mendapatkan bangkunya kembali. Tapi bagaimana caranya mengusir Benny? Belakangan ini Benny juga mendadak berubah menjadi menyebalkan. Cowok cungkring itu selalu saja punya seribu satu cara untuk menggagalkan rencananya, seolah-olah semua ide di kepala Amanda bisa terbaca olehnya. Sementara Amanda dan Alvan bertengkar adu mulut, semua teman-teman mereka matanya pada melek semua, tidak jadi ngantuk. Otak juga mulai fresh lagi melihat ‘hiburan’ di kelas mereka. Lumayan, bisa menjadi tontonan segar setelah pusing memikirkan soal-soal Kimia yang bikin kepala hampir meledak. *** Amanda masih kesal teringat kejadian di sekolah hari ini. Dimana Alvan sudah berhasil mempermalukannya di depan semua teman-teman. Kebetean Amanda masih belum hilang sampai si kembar menjemputnya untuk pulang. “Kak Bagas, Kak Bagus. Kalian berdua harus inget, ya! Inget-inget hal ini dan jangan sampe lupa!” Amanda memberikan wanti-wanti akan sesuatu dan kelihatannya penting banget. “Inget apa?” tanya Bagas mewakili Bagus juga. “Mulai sekarang kalian nggak boleh lagi absen buat jemput aku pulang sekolah. Aku nggak mau lagi harus pulang sekolah naik bus terus ketemu lagi sama cowok gila itu.” “Cowok siapa?” Bagus penasaran akut, dan dia kembali menolehkan kepalanya ke belakang. “Kamu punya gebetan baru di sekolah, Man? Aduh!” Bagus mengelus kepalanya yang habis dijitak oleh Amanda tanpa alasan yang jelas. “Kok dipukul, sih?” Bagas tertawa melihat adik kembarnya dijitak oleh Amanda karena gebleknya kumat lagi. Sudah jelas-jelas Amanda sedang membicarakan tentang cowok yang dia benci di sekolah, eh Bagus malah bertanya tentang gebetan. “Gebetan apanya? Nggak ada gebetan!” bentak Amanda dengan tampang penuh kemarahan. “Pokoknya aku nggak mau terima alasan apa pun ya, Kak. Kakak nggak boleh absen lagi buat jemput aku. Aku nggak mau naik bus lagi, jalan kaki jauh – jauh, kecapekan, lupa belajar, nggak bisa ngerjain ulangan, dan dapat kuliahan dari cowok nggak penting itu. Ngerti?” Bagus sudah mulai membuka mulutnya saat Amanda menunjuk tepat di depan mukanya. “Nggak usah tanya apa-apa karena aku nggak bakal mau jawab.” Amanda menolak mendapat pertanyaan apa pun dari Bagus. Bagus menutup mulutnya lagi. Tak jadi bertanya.Semenjak kehadiran Alvan di sekolah, membuat Amanda menjadi malas untuk berangkat ke sekolah. Mengingat hal-hal buruk apa dan ejekan-ejekan apa lagi yang bakal diterimanya dari cowok itu, bahkan untuk bangun pagi pun sekarang Amanda malas. Lebih baik dia seharian di rumah daripada harus melihat wajah judes tuh cowok. Tapi Amanda tahu semua itu tidak mungkin dia lakukan, karena Laras---sang mama pasti akan marah-marah dan mengancam akan memasukkan Amanda ke asrama. Jelas Amanda tidak mau dan terpaksa memilih untuk tetap berangkat ke sekolah meskipun harus bertemu lagi dengan Alvan. Satu bangku pula. Natasha sih enak, dia satu bangku sama pacar sendiri. Sementara Amanda? Dia harus duduk sebangku sama teroris yang kabur dari tahanan gara-gara mempunyai kelainan mental. Baru kali ini juga Amanda merasa kalau Natasha dan Benny benar-benar berbahagia di atas penderitaannya. Salah satu alasan Amanda malas ke sekolah hari ini adalah, karena Bu Wanda akan membagikan hasil ulangan K
Mata besar Bu Lily yang galak itu langsung menatap langsung ke arah Amanda, membuat Amanda kebingungan. “Amanda, apa yang kamu lakukan? Benar kamu nggak fokus sama pelajaran saya?” “Hah? Enggak kok, Bu. Saya mendengarkan dengan sungguh-sungguh, kok. Dia aja yang ngasal, Bu.” Amanda berusaha menutupi kegugupannya dengan tersenyum semanis mungkin, biarpun dia tahu hasil senyumannya tidak bisa benar-benar manis dalam keadaan genting seperti ini. Bu Lily pun mengetes Amanda dengan memberinya pertanyaan sebagai bukti Amanda mendengarkan pelajarannya atau tidak. Dan jelas saja Amanda tidak bisa menjawab pertanyaan Bu Lily, orang sejak tadi dia memikirkan hal lain yang tidak ada hubungannya sama pelajaran. Bu Lily langsung marah dan menyuruh Amanda untuk membuat kliping tentang kebudayaan dengan bahasa Inggris minimal 20 halaman yang harus dia kumpulkan minggu depan. Hukuman akan ditambah kalau Amanda tidak mengerjakan tugas itu. Pada saat Amanda melirik Alvan, dilihatnya cowok
Senyuman di wajah Amanda yang sudah sejak tadi dia pamerkan ke seluruh teman-temannya, mendadak mulai lenyap. Bisa-bisanya si Botol Kecap itu menolak keinginannya---setelah semua usaha yang Amanda lakukan untuk bangun pagi dan membuatkan omelet spesial. Meskipun sebenarnya berat sekali melepaskan traktiran gratis setahun itu, tapi Benny tetap pada pendiriannya untuk tidak akan pernah pindah dari bangkunya. Bahkan dia terlihat sangat menikmati duduk di bangku yang sudah lama ingin didapatkan Amanda lagi itu. “Gue nggak bakal pindah. Apa pun yang terjadi. Gue akan selalu ada di dekat pacar gue tersayang.” Benny dengan bAlvannya merangkul Natasha yang menatap khawatir pada Amanda karena Amanda pasti marah besar. “Kenapa sih, lo ngotot banget tetep mau duduk di sini?” Amanda mulai kesal. “Lo sengaja mau bikin gue marah, ya?” Semua teman-teman yakin pasti akan ada kejadian heboh antara Amanda dan Benny kalau saja bel tanda masuk kelas tidak berbunyi. Untung saja bel penyelamat kekac
“Bisa nggak Pak, kalo saya kerjanya sendiri aja? Saya bisa kok Pak, kerja sendiri. Dan saya akan berusaha mengerjakan tugas ini sebaik mungkin. Asal saya dibolehin kerja sendiri ya, Pak?” pinta Amanda dengan penuh harapan. Amanda benar-benar tidak mau satu kelompok dengan Alvan. Membayangkannya saja membuatnya merinding, apalagi harus menjalaninya. Alvan menoleh mendengar Amanda mengajukan protes. Dia sudah tahu hal ini akan terjadi. “Apa maksud kamu dengan kerja sendiri, Amanda?” tanya Pak Geral mulai geram. Natasha hanya bisa tepok jidat melihat kelakuan Amanda yang nekat sekali itu. 'Ya ampun, Amanda. Udah tahu Pak Geral itu orangnya kayak gimana? Eh masih nekat saja tuh anak.' “Kamu nggak menghargai keputusan saya?” “Bukan begitu, Pak. Tapi saya pikir saya bisa bekerja sendiri tanpa partner.” Pak Geral membetulkan letak kacamatanya, menatap Amanda dengan tatapan penuh pertimbangan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Pak Geral, tapi Amanda berharap permintaannya akan
Alvan memasuki sebuah halaman rumah mewah dan besar bercat putih. Di depan rumah terdapat beberapa tanaman bunga dan pohon berdaun lebat yang menjadikan halaman itu terlihat lebih sejuk. Selain itu juga ada sebuah mobil terpakir manis di garasi sebelah rumah. Pemandangan seperti itu sudah biasa untuk Alvan, jadi Alvan tidak perlu lagi untuk menoleh atau memandangi tanaman atau pun mobil di garasi tersebut. Dia berjalan dengan santai dan langsung memasuki rumah itu. Alvan berjalan menuju ruang tengah. Suasana rumah masih sepi seperti biasanya. Tidak lama kemudian dia disambut hangat oleh seorang anak laki-laki berumur lima tahun-an yang langsung berlari dengan wajah cerianya ke arahnya dan memeluk pinggangnya. “Kakak udah pulang?” sapa Arga – adik Alvan dengan wajah berseri-seri. Bukannya membalas sapaan Arga, Alvan justru diam saja dengan tetap memasang wajah datar. Dia juga tidak mempedulikan Arga yang sedang memeluk tubuhnya. “Kak Alvan ayo kita main, Kak,” ajak Arga dengan p
Hari Sabtu ini pagi-pagi buta seluruh siswa kelas 12 SMA Kasuari berangkat ke Puncak dalam acara study tour mereka. Pihak sekolah memutuskan berangkat hari Sabtu karena menghindari terjebak macet jika berangkat hari Minggu. Tiap kelas mendapatkan jatah satu bus dan ada banyak bus yang membawa mereka semua untuk berangkat pagi ini. Untuk jurusan yang lain, mereka melakukan study tour ke tempat lain sesuai praktik apa yang akan dilakukan. Perjalanan sangat lancar bahkan semua anak menikmati perjalanan mereka yang menyenangkan. Karena para guru-guru sepakat berangkat pagi sekali, udara di perjalanan juga masih sangat sejuk. Meskipun mereka berada di dalam bus yang ber-AC, tentu saja hanya dengan melihat pemandangan di luar lewat jendela saja sudah bisa ikut merasakan bagaimana sejuknya udara pagi ini. Semua orang menyanyi-nyanyi riang, ada juga yang sengaja membawa gitar dam memainkannya di dalam bus. Semuanya senang, semuanya bahagia, dan semuanya penuh tawa dan canda. Kecuali dua
Berbeda dengan semua teman-temannya yang saling bekerjasama untuk mencatat laporan, melakukan wawancara, dan meneliti daun teh, mereka berdua bekerja sendiri-sendiri dan saling tak menghiraukan satu sama lain. Kalau tanpa sengaja mereka saling bertemu pandang, Amanda akan melemparkan sesuatu ke Alvan begitu juga sebaliknya. Alvan pun sempat hampir melemparkan sepatunya ke arah Amanda karena cewek itu menjulurkan lidahnya ke arahnya. “Ayo, lempar aja! Lempar!” tantang Amanda tanpa rasa takut. “Lo pikir gue takut sama lo?” Tapi Alvan memakai sepatunya lagi dan jadi kekurangan minat untuk bertengkar dengan Amanda. "Males gue berdebat sama lo," ujarnya sambil melangkah ke tempat lain dan dia menemui salah satu buruh pemetik teh dan mewawancarai mereka. Melihat Alvan yang ternyata juga serius mengerjakan tugas kelompok mereka, membuat Amanda merasa sedikit tenang karena tidak lagi harus berdebat dengan cowok itu. Amanda pun menyelesaikan tugasnya mencatat dan meneliti daun teh.
Sementara Amanda yang awalnya berjalan dengan penuh tekad, tiba-tiba menghentikan langkahnya karena terdengar suara-suara aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dia menengadah ke langit dan sama sekali tidak bisa melihat langit dari bawah sana karena dedaunan lebat yang ada di atas kepalanya. Suasananya memang sudah mendung sejak tadi, tapi berada di tengah hutan seperti sekarang ini membuatnya takut. KOAK! KOAK! KOAK! Terdengar suara burung-burung yang Amanda tidak bisa melihatnya. Membuat Amanda semakin ketakutan sendirian di hutan itu. Setelah berpikir lagi akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke tempat Alvan dengan berlari. Tidak jadi pergi sendirian. Alvan yang berjalan sendirian sayup-sayup mendengar suara orang berlari ke arahnya. Dia menoleh dan melihat Amanda berlari seperti orang dikejar setan. Mau tidak mau dia berhenti untuk menunggunya karena pasti Amanda mengejarnya. “Ada apa? Ngapain balik lagi?” tanya Alvan jutek. “Van, kita balik aja ke perkebunan, yuk. Gue