Semenjak kehadiran Alvan di sekolah, membuat Amanda menjadi malas untuk berangkat ke sekolah. Mengingat hal-hal buruk apa dan ejekan-ejekan apa lagi yang bakal diterimanya dari cowok itu, bahkan untuk bangun pagi pun sekarang Amanda malas.
Lebih baik dia seharian di rumah daripada harus melihat wajah judes tuh cowok. Tapi Amanda tahu semua itu tidak mungkin dia lakukan, karena Laras---sang mama pasti akan marah-marah dan mengancam akan memasukkan Amanda ke asrama. Jelas Amanda tidak mau dan terpaksa memilih untuk tetap berangkat ke sekolah meskipun harus bertemu lagi dengan Alvan. Satu bangku pula. Natasha sih enak, dia satu bangku sama pacar sendiri. Sementara Amanda? Dia harus duduk sebangku sama teroris yang kabur dari tahanan gara-gara mempunyai kelainan mental. Baru kali ini juga Amanda merasa kalau Natasha dan Benny benar-benar berbahagia di atas penderitaannya. Salah satu alasan Amanda malas ke sekolah hari ini adalah, karena Bu Wanda akan membagikan hasil ulangan Kimia kemarin. Dan Amanda tidak yakin dengan nilai yang akan dia dapat. Kemungkinan mendapat nilai di atas angka 20 adalah 10%, sedangkan kemungkinan mendapat nilai nol adalah 90%. Gimana nggak puyeng tuh? Apalagi nanti pasti si cowok freak itu akan kembali mengejeknya begitu tahu Amanda mendapat nilai jelek. Benar saja, saat semua hasil ulangan dibagikan, Amanda mendapatkan nilai yang jelek sekali. Bisa dibilang angkanya itu bentuknya mirip-mirip sama kursi lah. Yap, Amanda mendapatkan nilai 40, sebuah nilai yang jauh lebih bagus dari yang diperkirakannya sebelumnya. Masih lebih lumayan daripada dapat nilai nol karena Amanda mengerjalan soalnya waktu itu hanya asal-asalan. Bukannya itu namanya keberuntungan dia bisa dapat nilai 40. Tapi ... tetep aja dia pasti akan mendapat ejekan dari ‘teman’ sebangkunya yang sekarang ini sedang tersenyum puas karena mendapat nilai bulat yaitu 100. Bagaimana Amanda bisa tahu nilainya 100? Terang saja, dia dengan sengaja dan dengan bAlvannya mengibar-ngibarkan kertas ulangannya tepat di depan mata Amanda. Dan Amanda bisa melihat dengan jelas bahwa ada nilai 100 di kertas itu. 'Dasar sombong!' “Makanya belajar,” ejek Alvan dengan penuh senyuman kemenangan atas nilai sempurna yang didapatnya. Amanda hanya membalas ejekan itu dengan lirikan sinis dan cibiran. “Kalo di dalam kelas tuh jangan kebanyakan ngelamun. Gitu kan akibatnya. Dapet nilai jelek. 40? Seorang anak IPA dapet nilai 40? Lo nggak malu?” ejeknya lagi. Amanda menghela napas menahan seluruh kemarahannya. Memangnya kenapa kalau dia dapat nilai 40? Lagipula juga tidak ada Undang-Undang di negara ini yang melarang anak IPA mendapat nilai 40. Meskipun ini pendapat yang GILA, tapi Amanda berpikir selama dapat nilai 40 tidak melanggar hukum dan membuatnya masuk ke penjara, dia tidak akan merasa bersalah. Dan juga yang dapat nilai jelek di kelas itu bukan hanya Amanda saja. Ricko saja tadi Amanda sempat dengar dia dapat nilai 25, lalu kenapa hanya dia yang jadi korban ejekannya Alvan? 'MENYEBALKAN.' “Gue saranin mendingan lo cari guru les privat, deh. Daripada ntar lo nggak lulus kalo nilai lo aja kayak gitu.” 'Sabar Amanda! Sabarrrrr....' “Tapi kalo pun lo ngikutin les privat gue yakin bakalan sia-sia buat lo. Lo kan hobi banget ngelamun. Gue yakin kalo ada perlombaan ngelamun, pasti lo bakalan menang.” Amanda meremas kertas ulangannya. Kesabarannya mulai habis. “Ya udah, ngelamun aja terus. Nggak usah belajar. Emang lo nggak punya niat sedikit pun buat belajar, kan? Nggak usah sekolah aja sekalian kalo nggak pernah mau serius buat belajar.” Amanda yakin Alvan masih punya banyak kuliahan menyebalkan untuknya. Kelihatannya cowok itu memang mempunyai keahlian membuat orang lain dongkol. “Musibah banget buat gue bisa sebangku sama orang yang nggak punya motivasi belajar sama sekali.” “HEH!” teriak Amanda pada Alvan, yang lagi-lagi suara teriakan Amanda menggema di seluruh sudut kelas pada jam istirahat tersebut. Semua teman-temannya langsung menghentikan berbagai kegiatan untuk menonton ‘hiburan’ lagi di kelas mereka. “Lo pikir gue seneng gitu sebangku sama lo? Ngimpi aja deh, lo! Nyokap gue aja nggak pernah mempermasalahin gue mau belajar apa enggak, dapet nilai jelek apa enggak. Kenapa lo harus repot-repot buat nasihatin gue?” semprot Amanda kesal. Natasha mencolek-colek lengan Benny, seperti mengisyaratkan sesuatu. Dia khawatir melihat sahabatnya tiap hari harus berantem seperti itu dengan teman sebangkunya. Tapi Benny hanya mengangkat kedua bahunya saja. “Mau gue dapet nilai nol atau berapa kek, itu urusan gue. Apa hak lo ngehina-hina gue kayak gitu?” Amanda pun keluar kelas setelah menggebrak mejanya sendiri dan sukses membuat semua teman sekelas berjingkat kaget. Tapi Alvan? Terlihat santai-santai saja dan bahkan tersenyum mengejek melihat kemarahan Amanda. Seolah-olah dia tidak peduli mau seberapa marahnya cewek itu, yang penting dia sudah berhasil melontarkan ejekan-ejekannya. Pelajaran berikutnya adalah Bu Lily yang mengajar Bahasa Inggris. Beliau sedang serius menerangkan materi pelajaran sambil sesekali menuliskan hal-hal penting di depan kelas. Semua siswa memperhatikannya dengan seksama. Karena bu Lily ini termasuk guru yang killer, akan bahaya sekali kalau ada salah satu dari mereka yang kepergok tidak konsentrasi. Hukuman pasti menanti di depan mata mereka. Namun kelihatannya semua ketakutan itu masih tidak berlaku untuk Amanda. Di saat semua teman-temannya serius duduk tegap di bangku masing-masing dengan pandangan lurus ke depan, Amanda justru melamun dan pikirannya melayang ke mana-mana. Dia teringat kejadian bersejarah dalam hidupnya tepatnya satu tahun yang lalu, dimana di kelasnya ada seorang anak baru cowok yang ganteng bernama Aldy. Dan Aldy ini lah yang pada akhirnya berhasil mendapatkan hati Amanda. Cowok pertama yang berhasil membuat Amanda jatuh cinta, cowok pertama yang membuat Amanda merasa bahagia karena dicintai, sekaligus cowok pertama yang berhasil membuatnya menangis semalaman karena suatu hal yang menyakitkan. Amanda sedikit melirik ke sebelah, melihat Alvan juga sedang serius mendengarkan guru dengan badan tegap meskipun kalau dilihat dari ekepresi wajahnya dia tetap kelihatan santai. Beda sekali Aldy dengan cowok di sebelahnya itu. Lalu tanpa sadar, Amanda pun mulai bertopang dagu sambil memandangi Alvan dan mengait-ngaitkan segala sesuatu tentang Alvan dengan Aldy. 'Anak baru, ya?' Amanda mulai memikirkan hal-hal konyol misalnya saja inisial nama mereka sama yaitu ‘A’ , pinter, ganteng, tinggi badannya juga hampir sama, tapi sifat mereka yang beda. Aura-auranya juga beda. Dulu Amanda meskipun sangat membenci Aldy, tapi dia selalu merasa nyaman ada di deket dia karena dia selalu ngelindungin Amanda. Senyumannya juga hangat. Tapi Alvan? Apa-apaan cowok ini? Satu-satunya nilai plus yang dia punya hanya wajahnya saja yang lumayan ganteng. Sikapnya buruk sekali, bisa dibilang makhluk yang paling buruk di planet. Jangankan ngerasa nyaman, Amanda serasa ada di kutub utara tiap kali ada di deket nih cowok. Dinginnya sedingin es. “Bu Lily. “ Alvan tiba-tiba mengangkat tangannya. Amanda sedikit tergeragap dan terbangun dari lamunannya yang menurutnya tidak berdasar itu. “Iya, Alvan. Ada yang mau kamu tanyakan?” tanya Bu Lily dari depan kelas. “Orang di sebelah saya ini dari tadi nggak fokus sama pelajaran Ibu. Dia melamun terus, Bu.” Alvan mengadukan Amanda. Amanda jelas kaget, apalagi sekarang ini semua mata tertuju padanya. Dia seperti orang linglung, celingak-celinguk tidak jelas. “Hah?”Mata besar Bu Lily yang galak itu langsung menatap langsung ke arah Amanda, membuat Amanda kebingungan. “Amanda, apa yang kamu lakukan? Benar kamu nggak fokus sama pelajaran saya?” “Hah? Enggak kok, Bu. Saya mendengarkan dengan sungguh-sungguh, kok. Dia aja yang ngasal, Bu.” Amanda berusaha menutupi kegugupannya dengan tersenyum semanis mungkin, biarpun dia tahu hasil senyumannya tidak bisa benar-benar manis dalam keadaan genting seperti ini. Bu Lily pun mengetes Amanda dengan memberinya pertanyaan sebagai bukti Amanda mendengarkan pelajarannya atau tidak. Dan jelas saja Amanda tidak bisa menjawab pertanyaan Bu Lily, orang sejak tadi dia memikirkan hal lain yang tidak ada hubungannya sama pelajaran. Bu Lily langsung marah dan menyuruh Amanda untuk membuat kliping tentang kebudayaan dengan bahasa Inggris minimal 20 halaman yang harus dia kumpulkan minggu depan. Hukuman akan ditambah kalau Amanda tidak mengerjakan tugas itu. Pada saat Amanda melirik Alvan, dilihatnya cowok
Senyuman di wajah Amanda yang sudah sejak tadi dia pamerkan ke seluruh teman-temannya, mendadak mulai lenyap. Bisa-bisanya si Botol Kecap itu menolak keinginannya---setelah semua usaha yang Amanda lakukan untuk bangun pagi dan membuatkan omelet spesial. Meskipun sebenarnya berat sekali melepaskan traktiran gratis setahun itu, tapi Benny tetap pada pendiriannya untuk tidak akan pernah pindah dari bangkunya. Bahkan dia terlihat sangat menikmati duduk di bangku yang sudah lama ingin didapatkan Amanda lagi itu. “Gue nggak bakal pindah. Apa pun yang terjadi. Gue akan selalu ada di dekat pacar gue tersayang.” Benny dengan bAlvannya merangkul Natasha yang menatap khawatir pada Amanda karena Amanda pasti marah besar. “Kenapa sih, lo ngotot banget tetep mau duduk di sini?” Amanda mulai kesal. “Lo sengaja mau bikin gue marah, ya?” Semua teman-teman yakin pasti akan ada kejadian heboh antara Amanda dan Benny kalau saja bel tanda masuk kelas tidak berbunyi. Untung saja bel penyelamat kekac
“Bisa nggak Pak, kalo saya kerjanya sendiri aja? Saya bisa kok Pak, kerja sendiri. Dan saya akan berusaha mengerjakan tugas ini sebaik mungkin. Asal saya dibolehin kerja sendiri ya, Pak?” pinta Amanda dengan penuh harapan. Amanda benar-benar tidak mau satu kelompok dengan Alvan. Membayangkannya saja membuatnya merinding, apalagi harus menjalaninya. Alvan menoleh mendengar Amanda mengajukan protes. Dia sudah tahu hal ini akan terjadi. “Apa maksud kamu dengan kerja sendiri, Amanda?” tanya Pak Geral mulai geram. Natasha hanya bisa tepok jidat melihat kelakuan Amanda yang nekat sekali itu. 'Ya ampun, Amanda. Udah tahu Pak Geral itu orangnya kayak gimana? Eh masih nekat saja tuh anak.' “Kamu nggak menghargai keputusan saya?” “Bukan begitu, Pak. Tapi saya pikir saya bisa bekerja sendiri tanpa partner.” Pak Geral membetulkan letak kacamatanya, menatap Amanda dengan tatapan penuh pertimbangan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Pak Geral, tapi Amanda berharap permintaannya akan
Alvan memasuki sebuah halaman rumah mewah dan besar bercat putih. Di depan rumah terdapat beberapa tanaman bunga dan pohon berdaun lebat yang menjadikan halaman itu terlihat lebih sejuk. Selain itu juga ada sebuah mobil terpakir manis di garasi sebelah rumah. Pemandangan seperti itu sudah biasa untuk Alvan, jadi Alvan tidak perlu lagi untuk menoleh atau memandangi tanaman atau pun mobil di garasi tersebut. Dia berjalan dengan santai dan langsung memasuki rumah itu. Alvan berjalan menuju ruang tengah. Suasana rumah masih sepi seperti biasanya. Tidak lama kemudian dia disambut hangat oleh seorang anak laki-laki berumur lima tahun-an yang langsung berlari dengan wajah cerianya ke arahnya dan memeluk pinggangnya. “Kakak udah pulang?” sapa Arga – adik Alvan dengan wajah berseri-seri. Bukannya membalas sapaan Arga, Alvan justru diam saja dengan tetap memasang wajah datar. Dia juga tidak mempedulikan Arga yang sedang memeluk tubuhnya. “Kak Alvan ayo kita main, Kak,” ajak Arga dengan p
Hari Sabtu ini pagi-pagi buta seluruh siswa kelas 12 SMA Kasuari berangkat ke Puncak dalam acara study tour mereka. Pihak sekolah memutuskan berangkat hari Sabtu karena menghindari terjebak macet jika berangkat hari Minggu. Tiap kelas mendapatkan jatah satu bus dan ada banyak bus yang membawa mereka semua untuk berangkat pagi ini. Untuk jurusan yang lain, mereka melakukan study tour ke tempat lain sesuai praktik apa yang akan dilakukan. Perjalanan sangat lancar bahkan semua anak menikmati perjalanan mereka yang menyenangkan. Karena para guru-guru sepakat berangkat pagi sekali, udara di perjalanan juga masih sangat sejuk. Meskipun mereka berada di dalam bus yang ber-AC, tentu saja hanya dengan melihat pemandangan di luar lewat jendela saja sudah bisa ikut merasakan bagaimana sejuknya udara pagi ini. Semua orang menyanyi-nyanyi riang, ada juga yang sengaja membawa gitar dam memainkannya di dalam bus. Semuanya senang, semuanya bahagia, dan semuanya penuh tawa dan canda. Kecuali dua
Berbeda dengan semua teman-temannya yang saling bekerjasama untuk mencatat laporan, melakukan wawancara, dan meneliti daun teh, mereka berdua bekerja sendiri-sendiri dan saling tak menghiraukan satu sama lain. Kalau tanpa sengaja mereka saling bertemu pandang, Amanda akan melemparkan sesuatu ke Alvan begitu juga sebaliknya. Alvan pun sempat hampir melemparkan sepatunya ke arah Amanda karena cewek itu menjulurkan lidahnya ke arahnya. “Ayo, lempar aja! Lempar!” tantang Amanda tanpa rasa takut. “Lo pikir gue takut sama lo?” Tapi Alvan memakai sepatunya lagi dan jadi kekurangan minat untuk bertengkar dengan Amanda. "Males gue berdebat sama lo," ujarnya sambil melangkah ke tempat lain dan dia menemui salah satu buruh pemetik teh dan mewawancarai mereka. Melihat Alvan yang ternyata juga serius mengerjakan tugas kelompok mereka, membuat Amanda merasa sedikit tenang karena tidak lagi harus berdebat dengan cowok itu. Amanda pun menyelesaikan tugasnya mencatat dan meneliti daun teh.
Sementara Amanda yang awalnya berjalan dengan penuh tekad, tiba-tiba menghentikan langkahnya karena terdengar suara-suara aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dia menengadah ke langit dan sama sekali tidak bisa melihat langit dari bawah sana karena dedaunan lebat yang ada di atas kepalanya. Suasananya memang sudah mendung sejak tadi, tapi berada di tengah hutan seperti sekarang ini membuatnya takut. KOAK! KOAK! KOAK! Terdengar suara burung-burung yang Amanda tidak bisa melihatnya. Membuat Amanda semakin ketakutan sendirian di hutan itu. Setelah berpikir lagi akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke tempat Alvan dengan berlari. Tidak jadi pergi sendirian. Alvan yang berjalan sendirian sayup-sayup mendengar suara orang berlari ke arahnya. Dia menoleh dan melihat Amanda berlari seperti orang dikejar setan. Mau tidak mau dia berhenti untuk menunggunya karena pasti Amanda mengejarnya. “Ada apa? Ngapain balik lagi?” tanya Alvan jutek. “Van, kita balik aja ke perkebunan, yuk. Gue
“Kita main aja, yuk! Main air asyik banget lho.” Amanda menyiprat-nyipratkan air dengan sengaja ke arah Alvan. Alvan melindungi cipratan air dari Amanda dengan kedua tangannya. “Eh, jangan macem-macem lo!” “Makanya ayo sini!” “Gue nggak bakalan ngelakuin hal-hal konyol kayak gitu. Kayak anak kecil aja,” ejek Alvan. Amanda cemberut dan memanyunkan bibirnya sepanjang yang dia bisa. Lalu dia pun berjalan ke pinggir dan memilih sebuah batu besar di sebelah Alvan untuk dia duduki. Sebagian besar bajunya basah setelah bermain air tadi. Sekarang Amanda benar-benar istirahat. Meskipun rasa capeknya belum hilang, tapi cukup bisa menghilangkan kebeteannya setelah jalan jauh di hutan. Sementara Amanda melepas lelah setelah bermain air, Alvan tetap diam di tempat tanpa melakukan apa pun. Dia hanya menengadahkan kepalanya menyapu seluruh tempat dan memandangi apa saja yang ada di sana. Tidak ada hal-hal menarik yang berhasil dia temukan selain barisan pepohonan lebat, sungai jer