Home / Fiksi Remaja / Janji Amanda / 8. Asal Bukan Nol

Share

8. Asal Bukan Nol

Semenjak kehadiran Alvan di sekolah, membuat Amanda menjadi malas untuk berangkat ke sekolah. Mengingat hal-hal buruk apa dan ejekan-ejekan apa lagi yang bakal diterimanya dari cowok itu, bahkan untuk bangun pagi pun sekarang Amanda malas.

Lebih baik dia seharian di rumah daripada harus melihat wajah judes tuh cowok. Tapi Amanda tahu semua itu tidak mungkin dia lakukan, karena Laras---sang mama pasti akan marah-marah dan mengancam akan memasukkan Amanda ke asrama.

Jelas Amanda tidak mau dan terpaksa memilih untuk tetap berangkat ke sekolah meskipun harus bertemu lagi dengan Alvan. Satu bangku pula.

Natasha sih enak, dia satu bangku sama pacar sendiri. Sementara Amanda? Dia harus duduk sebangku sama teroris yang kabur dari tahanan gara-gara mempunyai kelainan mental. Baru kali ini juga Amanda merasa kalau Natasha dan Benny benar-benar berbahagia di atas penderitaannya.

Salah satu alasan Amanda malas ke sekolah hari ini adalah, karena Bu Wanda akan membagikan hasil ulangan Kimia kemarin. Dan Amanda tidak yakin dengan nilai yang akan dia dapat.

Kemungkinan mendapat nilai di atas angka 20 adalah 10%, sedangkan kemungkinan mendapat nilai nol adalah 90%. Gimana nggak puyeng tuh? Apalagi nanti pasti si cowok freak itu akan kembali mengejeknya begitu tahu Amanda mendapat nilai jelek.

Benar saja, saat semua hasil ulangan dibagikan, Amanda mendapatkan nilai yang jelek sekali. Bisa dibilang angkanya itu bentuknya mirip-mirip sama kursi lah. Yap, Amanda mendapatkan nilai 40, sebuah nilai yang jauh lebih bagus dari yang diperkirakannya sebelumnya. Masih lebih lumayan daripada dapat nilai nol karena Amanda mengerjalan soalnya waktu itu hanya asal-asalan.

Bukannya itu namanya keberuntungan dia bisa dapat nilai 40. Tapi ... tetep aja dia pasti akan mendapat ejekan dari ‘teman’ sebangkunya yang sekarang ini sedang tersenyum puas karena mendapat nilai bulat yaitu 100.

Bagaimana Amanda bisa tahu nilainya 100? Terang saja, dia dengan sengaja dan dengan bAlvannya mengibar-ngibarkan kertas ulangannya tepat di depan mata Amanda. Dan Amanda bisa melihat dengan jelas bahwa ada nilai 100 di kertas itu.

'Dasar sombong!'

“Makanya belajar,” ejek Alvan dengan penuh senyuman kemenangan atas nilai sempurna yang didapatnya.

Amanda hanya membalas ejekan itu dengan lirikan sinis dan cibiran.

“Kalo di dalam kelas tuh jangan kebanyakan ngelamun. Gitu kan akibatnya. Dapet nilai jelek. 40? Seorang anak IPA dapet nilai 40? Lo nggak malu?” ejeknya lagi.

Amanda menghela napas menahan seluruh kemarahannya. Memangnya kenapa kalau dia dapat nilai 40? Lagipula juga tidak ada Undang-Undang di negara ini yang melarang anak IPA mendapat nilai 40. Meskipun ini pendapat yang GILA, tapi Amanda berpikir selama dapat nilai 40 tidak melanggar hukum dan membuatnya masuk ke penjara, dia tidak akan merasa bersalah.

Dan juga yang dapat nilai jelek di kelas itu bukan hanya Amanda saja. Ricko saja tadi Amanda sempat dengar dia dapat nilai 25, lalu kenapa hanya dia yang jadi korban ejekannya Alvan?

'MENYEBALKAN.'

“Gue saranin mendingan lo cari guru les privat, deh. Daripada ntar lo nggak lulus kalo nilai lo aja kayak gitu.”

'Sabar Amanda! Sabarrrrr....'

“Tapi kalo pun lo ngikutin les privat gue yakin bakalan sia-sia buat lo. Lo kan hobi banget ngelamun. Gue yakin kalo ada perlombaan ngelamun, pasti lo bakalan menang.”

Amanda meremas kertas ulangannya. Kesabarannya mulai habis.

“Ya udah, ngelamun aja terus. Nggak usah belajar. Emang lo nggak punya niat sedikit pun buat belajar, kan? Nggak usah sekolah aja sekalian kalo nggak pernah mau serius buat belajar.”

Amanda yakin Alvan masih punya banyak kuliahan menyebalkan untuknya. Kelihatannya cowok itu memang mempunyai keahlian membuat orang lain dongkol.

“Musibah banget buat gue bisa sebangku sama orang yang nggak punya motivasi belajar sama sekali.”

“HEH!” teriak Amanda pada Alvan, yang lagi-lagi suara teriakan Amanda menggema di seluruh sudut kelas pada jam istirahat tersebut.

Semua teman-temannya langsung menghentikan berbagai kegiatan untuk menonton ‘hiburan’ lagi di kelas mereka.

“Lo pikir gue seneng gitu sebangku sama lo? Ngimpi aja deh, lo! Nyokap gue aja nggak pernah mempermasalahin gue mau belajar apa enggak, dapet nilai jelek apa enggak. Kenapa lo harus repot-repot buat nasihatin gue?” semprot Amanda kesal.

Natasha mencolek-colek lengan Benny, seperti mengisyaratkan sesuatu. Dia khawatir melihat sahabatnya tiap hari harus berantem seperti itu dengan teman sebangkunya. Tapi Benny hanya mengangkat kedua bahunya saja.

“Mau gue dapet nilai nol atau berapa kek, itu urusan gue. Apa hak lo ngehina-hina gue kayak gitu?” Amanda pun keluar kelas setelah menggebrak mejanya sendiri dan sukses membuat semua teman sekelas berjingkat kaget.

Tapi Alvan? Terlihat santai-santai saja dan bahkan tersenyum mengejek melihat kemarahan Amanda. Seolah-olah dia tidak peduli mau seberapa marahnya cewek itu, yang penting dia sudah berhasil melontarkan ejekan-ejekannya.

Pelajaran berikutnya adalah Bu Lily yang mengajar Bahasa Inggris. Beliau sedang serius menerangkan materi pelajaran sambil sesekali menuliskan hal-hal penting di depan kelas.

Semua siswa memperhatikannya dengan seksama. Karena bu Lily ini termasuk guru yang killer, akan bahaya sekali kalau ada salah satu dari mereka yang kepergok tidak konsentrasi. Hukuman pasti menanti di depan mata mereka.

Namun kelihatannya semua ketakutan itu masih tidak berlaku untuk Amanda. Di saat semua teman-temannya serius duduk tegap di bangku masing-masing dengan pandangan lurus ke depan, Amanda justru melamun dan pikirannya melayang ke mana-mana.

Dia teringat kejadian bersejarah dalam hidupnya tepatnya satu tahun yang lalu, dimana di kelasnya ada seorang anak baru cowok yang ganteng bernama Aldy. Dan Aldy ini lah yang pada akhirnya berhasil mendapatkan hati Amanda. Cowok pertama yang berhasil membuat Amanda jatuh cinta, cowok pertama yang membuat Amanda merasa bahagia karena dicintai, sekaligus cowok pertama yang berhasil membuatnya menangis semalaman karena suatu hal yang menyakitkan.

Amanda sedikit melirik ke sebelah, melihat Alvan juga sedang serius mendengarkan guru dengan badan tegap meskipun kalau dilihat dari ekepresi wajahnya dia tetap kelihatan santai.

Beda sekali Aldy dengan cowok di sebelahnya itu. Lalu tanpa sadar, Amanda pun mulai bertopang dagu sambil memandangi Alvan dan mengait-ngaitkan segala sesuatu tentang Alvan dengan Aldy.

'Anak baru, ya?'

Amanda mulai memikirkan hal-hal konyol misalnya saja inisial nama mereka sama yaitu ‘A’ , pinter, ganteng, tinggi badannya juga hampir sama, tapi sifat mereka yang beda. Aura-auranya juga beda.

Dulu Amanda meskipun sangat membenci Aldy, tapi dia selalu merasa nyaman ada di deket dia karena dia selalu ngelindungin Amanda. Senyumannya juga hangat.

Tapi Alvan? Apa-apaan cowok ini? Satu-satunya nilai plus yang dia punya hanya wajahnya saja yang lumayan ganteng. Sikapnya buruk sekali, bisa dibilang makhluk yang paling buruk di planet. Jangankan ngerasa nyaman, Amanda serasa ada di kutub utara tiap kali ada di deket nih cowok. Dinginnya sedingin es.

“Bu Lily. “ Alvan tiba-tiba mengangkat tangannya.

Amanda sedikit tergeragap dan terbangun dari lamunannya yang menurutnya tidak berdasar itu.

“Iya, Alvan. Ada yang mau kamu tanyakan?” tanya Bu Lily dari depan kelas.

“Orang di sebelah saya ini dari tadi nggak fokus sama pelajaran Ibu. Dia melamun terus, Bu.” Alvan mengadukan Amanda.

Amanda jelas kaget, apalagi sekarang ini semua mata tertuju padanya. Dia seperti orang linglung, celingak-celinguk tidak jelas. “Hah?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status