Semenjak kehadiran Alvan di sekolah, membuat Amanda menjadi malas untuk berangkat ke sekolah. Mengingat hal-hal buruk apa dan ejekan-ejekan apa lagi yang bakal diterimanya dari cowok itu, bahkan untuk bangun pagi pun sekarang Amanda malas.
Lebih baik dia seharian di rumah daripada harus melihat wajah judes tuh cowok. Tapi Amanda tahu semua itu tidak mungkin dia lakukan, karena Laras---sang mama pasti akan marah-marah dan mengancam akan memasukkan Amanda ke asrama. Jelas Amanda tidak mau dan terpaksa memilih untuk tetap berangkat ke sekolah meskipun harus bertemu lagi dengan Alvan. Satu bangku pula. Natasha sih enak, dia satu bangku sama pacar sendiri. Sementara Amanda? Dia harus duduk sebangku sama teroris yang kabur dari tahanan gara-gara mempunyai kelainan mental. Baru kali ini juga Amanda merasa kalau Natasha dan Benny benar-benar berbahagia di atas penderitaannya. Salah satu alasan Amanda malas ke sekolah hari ini adalah, karena Bu Wanda akan membagikan hasil ulangan Kimia kemarin. Dan Amanda tidak yakin dengan nilai yang akan dia dapat. Kemungkinan mendapat nilai di atas angka 20 adalah 10%, sedangkan kemungkinan mendapat nilai nol adalah 90%. Gimana nggak puyeng tuh? Apalagi nanti pasti si cowok freak itu akan kembali mengejeknya begitu tahu Amanda mendapat nilai jelek. Benar saja, saat semua hasil ulangan dibagikan, Amanda mendapatkan nilai yang jelek sekali. Bisa dibilang angkanya itu bentuknya mirip-mirip sama kursi lah. Yap, Amanda mendapatkan nilai 40, sebuah nilai yang jauh lebih bagus dari yang diperkirakannya sebelumnya. Masih lebih lumayan daripada dapat nilai nol karena Amanda mengerjalan soalnya waktu itu hanya asal-asalan. Bukannya itu namanya keberuntungan dia bisa dapat nilai 40. Tapi ... tetep aja dia pasti akan mendapat ejekan dari ‘teman’ sebangkunya yang sekarang ini sedang tersenyum puas karena mendapat nilai bulat yaitu 100. Bagaimana Amanda bisa tahu nilainya 100? Terang saja, dia dengan sengaja dan dengan bAlvannya mengibar-ngibarkan kertas ulangannya tepat di depan mata Amanda. Dan Amanda bisa melihat dengan jelas bahwa ada nilai 100 di kertas itu. 'Dasar sombong!' “Makanya belajar,” ejek Alvan dengan penuh senyuman kemenangan atas nilai sempurna yang didapatnya. Amanda hanya membalas ejekan itu dengan lirikan sinis dan cibiran. “Kalo di dalam kelas tuh jangan kebanyakan ngelamun. Gitu kan akibatnya. Dapet nilai jelek. 40? Seorang anak IPA dapet nilai 40? Lo nggak malu?” ejeknya lagi. Amanda menghela napas menahan seluruh kemarahannya. Memangnya kenapa kalau dia dapat nilai 40? Lagipula juga tidak ada Undang-Undang di negara ini yang melarang anak IPA mendapat nilai 40. Meskipun ini pendapat yang GILA, tapi Amanda berpikir selama dapat nilai 40 tidak melanggar hukum dan membuatnya masuk ke penjara, dia tidak akan merasa bersalah. Dan juga yang dapat nilai jelek di kelas itu bukan hanya Amanda saja. Ricko saja tadi Amanda sempat dengar dia dapat nilai 25, lalu kenapa hanya dia yang jadi korban ejekannya Alvan? 'MENYEBALKAN.' “Gue saranin mendingan lo cari guru les privat, deh. Daripada ntar lo nggak lulus kalo nilai lo aja kayak gitu.” 'Sabar Amanda! Sabarrrrr....' “Tapi kalo pun lo ngikutin les privat gue yakin bakalan sia-sia buat lo. Lo kan hobi banget ngelamun. Gue yakin kalo ada perlombaan ngelamun, pasti lo bakalan menang.” Amanda meremas kertas ulangannya. Kesabarannya mulai habis. “Ya udah, ngelamun aja terus. Nggak usah belajar. Emang lo nggak punya niat sedikit pun buat belajar, kan? Nggak usah sekolah aja sekalian kalo nggak pernah mau serius buat belajar.” Amanda yakin Alvan masih punya banyak kuliahan menyebalkan untuknya. Kelihatannya cowok itu memang mempunyai keahlian membuat orang lain dongkol. “Musibah banget buat gue bisa sebangku sama orang yang nggak punya motivasi belajar sama sekali.” “HEH!” teriak Amanda pada Alvan, yang lagi-lagi suara teriakan Amanda menggema di seluruh sudut kelas pada jam istirahat tersebut. Semua teman-temannya langsung menghentikan berbagai kegiatan untuk menonton ‘hiburan’ lagi di kelas mereka. “Lo pikir gue seneng gitu sebangku sama lo? Ngimpi aja deh, lo! Nyokap gue aja nggak pernah mempermasalahin gue mau belajar apa enggak, dapet nilai jelek apa enggak. Kenapa lo harus repot-repot buat nasihatin gue?” semprot Amanda kesal. Natasha mencolek-colek lengan Benny, seperti mengisyaratkan sesuatu. Dia khawatir melihat sahabatnya tiap hari harus berantem seperti itu dengan teman sebangkunya. Tapi Benny hanya mengangkat kedua bahunya saja. “Mau gue dapet nilai nol atau berapa kek, itu urusan gue. Apa hak lo ngehina-hina gue kayak gitu?” Amanda pun keluar kelas setelah menggebrak mejanya sendiri dan sukses membuat semua teman sekelas berjingkat kaget. Tapi Alvan? Terlihat santai-santai saja dan bahkan tersenyum mengejek melihat kemarahan Amanda. Seolah-olah dia tidak peduli mau seberapa marahnya cewek itu, yang penting dia sudah berhasil melontarkan ejekan-ejekannya. Pelajaran berikutnya adalah Bu Lily yang mengajar Bahasa Inggris. Beliau sedang serius menerangkan materi pelajaran sambil sesekali menuliskan hal-hal penting di depan kelas. Semua siswa memperhatikannya dengan seksama. Karena bu Lily ini termasuk guru yang killer, akan bahaya sekali kalau ada salah satu dari mereka yang kepergok tidak konsentrasi. Hukuman pasti menanti di depan mata mereka. Namun kelihatannya semua ketakutan itu masih tidak berlaku untuk Amanda. Di saat semua teman-temannya serius duduk tegap di bangku masing-masing dengan pandangan lurus ke depan, Amanda justru melamun dan pikirannya melayang ke mana-mana. Dia teringat kejadian bersejarah dalam hidupnya tepatnya satu tahun yang lalu, dimana di kelasnya ada seorang anak baru cowok yang ganteng bernama Aldy. Dan Aldy ini lah yang pada akhirnya berhasil mendapatkan hati Amanda. Cowok pertama yang berhasil membuat Amanda jatuh cinta, cowok pertama yang membuat Amanda merasa bahagia karena dicintai, sekaligus cowok pertama yang berhasil membuatnya menangis semalaman karena suatu hal yang menyakitkan. Amanda sedikit melirik ke sebelah, melihat Alvan juga sedang serius mendengarkan guru dengan badan tegap meskipun kalau dilihat dari ekepresi wajahnya dia tetap kelihatan santai. Beda sekali Aldy dengan cowok di sebelahnya itu. Lalu tanpa sadar, Amanda pun mulai bertopang dagu sambil memandangi Alvan dan mengait-ngaitkan segala sesuatu tentang Alvan dengan Aldy. 'Anak baru, ya?' Amanda mulai memikirkan hal-hal konyol misalnya saja inisial nama mereka sama yaitu ‘A’ , pinter, ganteng, tinggi badannya juga hampir sama, tapi sifat mereka yang beda. Aura-auranya juga beda. Dulu Amanda meskipun sangat membenci Aldy, tapi dia selalu merasa nyaman ada di deket dia karena dia selalu ngelindungin Amanda. Senyumannya juga hangat. Tapi Alvan? Apa-apaan cowok ini? Satu-satunya nilai plus yang dia punya hanya wajahnya saja yang lumayan ganteng. Sikapnya buruk sekali, bisa dibilang makhluk yang paling buruk di planet. Jangankan ngerasa nyaman, Amanda serasa ada di kutub utara tiap kali ada di deket nih cowok. Dinginnya sedingin es. “Bu Lily. “ Alvan tiba-tiba mengangkat tangannya. Amanda sedikit tergeragap dan terbangun dari lamunannya yang menurutnya tidak berdasar itu. “Iya, Alvan. Ada yang mau kamu tanyakan?” tanya Bu Lily dari depan kelas. “Orang di sebelah saya ini dari tadi nggak fokus sama pelajaran Ibu. Dia melamun terus, Bu.” Alvan mengadukan Amanda. Amanda jelas kaget, apalagi sekarang ini semua mata tertuju padanya. Dia seperti orang linglung, celingak-celinguk tidak jelas. “Hah?”Mata besar Bu Lily yang galak itu langsung menatap langsung ke arah Amanda, membuat Amanda kebingungan. “Amanda, apa yang kamu lakukan? Benar kamu nggak fokus sama pelajaran saya?” “Hah? Enggak kok, Bu. Saya mendengarkan dengan sungguh-sungguh, kok. Dia aja yang ngasal, Bu.” Amanda berusaha menutupi kegugupannya dengan tersenyum semanis mungkin, biarpun dia tahu hasil senyumannya tidak bisa benar-benar manis dalam keadaan genting seperti ini. Bu Lily pun mengetes Amanda dengan memberinya pertanyaan sebagai bukti Amanda mendengarkan pelajarannya atau tidak. Dan jelas saja Amanda tidak bisa menjawab pertanyaan Bu Lily, orang sejak tadi dia memikirkan hal lain yang tidak ada hubungannya sama pelajaran. Bu Lily langsung marah dan menyuruh Amanda untuk membuat kliping tentang kebudayaan dengan bahasa Inggris minimal 20 halaman yang harus dia kumpulkan minggu depan. Hukuman akan ditambah kalau Amanda tidak mengerjakan tugas itu. Pada saat Amanda melirik Alvan, dilihatnya cowok
Senyuman di wajah Amanda yang sudah sejak tadi dia pamerkan ke seluruh teman-temannya, mendadak mulai lenyap. Bisa-bisanya si Botol Kecap itu menolak keinginannya---setelah semua usaha yang Amanda lakukan untuk bangun pagi dan membuatkan omelet spesial. Meskipun sebenarnya berat sekali melepaskan traktiran gratis setahun itu, tapi Benny tetap pada pendiriannya untuk tidak akan pernah pindah dari bangkunya. Bahkan dia terlihat sangat menikmati duduk di bangku yang sudah lama ingin didapatkan Amanda lagi itu. “Gue nggak bakal pindah. Apa pun yang terjadi. Gue akan selalu ada di dekat pacar gue tersayang.” Benny dengan bAlvannya merangkul Natasha yang menatap khawatir pada Amanda karena Amanda pasti marah besar. “Kenapa sih, lo ngotot banget tetep mau duduk di sini?” Amanda mulai kesal. “Lo sengaja mau bikin gue marah, ya?” Semua teman-teman yakin pasti akan ada kejadian heboh antara Amanda dan Benny kalau saja bel tanda masuk kelas tidak berbunyi. Untung saja bel penyelamat kekac
“Bisa nggak Pak, kalo saya kerjanya sendiri aja? Saya bisa kok Pak, kerja sendiri. Dan saya akan berusaha mengerjakan tugas ini sebaik mungkin. Asal saya dibolehin kerja sendiri ya, Pak?” pinta Amanda dengan penuh harapan. Amanda benar-benar tidak mau satu kelompok dengan Alvan. Membayangkannya saja membuatnya merinding, apalagi harus menjalaninya. Alvan menoleh mendengar Amanda mengajukan protes. Dia sudah tahu hal ini akan terjadi. “Apa maksud kamu dengan kerja sendiri, Amanda?” tanya Pak Geral mulai geram. Natasha hanya bisa tepok jidat melihat kelakuan Amanda yang nekat sekali itu. 'Ya ampun, Amanda. Udah tahu Pak Geral itu orangnya kayak gimana? Eh masih nekat saja tuh anak.' “Kamu nggak menghargai keputusan saya?” “Bukan begitu, Pak. Tapi saya pikir saya bisa bekerja sendiri tanpa partner.” Pak Geral membetulkan letak kacamatanya, menatap Amanda dengan tatapan penuh pertimbangan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Pak Geral, tapi Amanda berharap permintaannya akan
Alvan memasuki sebuah halaman rumah mewah dan besar bercat putih. Di depan rumah terdapat beberapa tanaman bunga dan pohon berdaun lebat yang menjadikan halaman itu terlihat lebih sejuk. Selain itu juga ada sebuah mobil terpakir manis di garasi sebelah rumah. Pemandangan seperti itu sudah biasa untuk Alvan, jadi Alvan tidak perlu lagi untuk menoleh atau memandangi tanaman atau pun mobil di garasi tersebut. Dia berjalan dengan santai dan langsung memasuki rumah itu. Alvan berjalan menuju ruang tengah. Suasana rumah masih sepi seperti biasanya. Tidak lama kemudian dia disambut hangat oleh seorang anak laki-laki berumur lima tahun-an yang langsung berlari dengan wajah cerianya ke arahnya dan memeluk pinggangnya. “Kakak udah pulang?” sapa Arga – adik Alvan dengan wajah berseri-seri. Bukannya membalas sapaan Arga, Alvan justru diam saja dengan tetap memasang wajah datar. Dia juga tidak mempedulikan Arga yang sedang memeluk tubuhnya. “Kak Alvan ayo kita main, Kak,” ajak Arga dengan p
Hari Sabtu ini pagi-pagi buta seluruh siswa kelas 12 SMA Kasuari berangkat ke Puncak dalam acara study tour mereka. Pihak sekolah memutuskan berangkat hari Sabtu karena menghindari terjebak macet jika berangkat hari Minggu. Tiap kelas mendapatkan jatah satu bus dan ada banyak bus yang membawa mereka semua untuk berangkat pagi ini. Untuk jurusan yang lain, mereka melakukan study tour ke tempat lain sesuai praktik apa yang akan dilakukan. Perjalanan sangat lancar bahkan semua anak menikmati perjalanan mereka yang menyenangkan. Karena para guru-guru sepakat berangkat pagi sekali, udara di perjalanan juga masih sangat sejuk. Meskipun mereka berada di dalam bus yang ber-AC, tentu saja hanya dengan melihat pemandangan di luar lewat jendela saja sudah bisa ikut merasakan bagaimana sejuknya udara pagi ini. Semua orang menyanyi-nyanyi riang, ada juga yang sengaja membawa gitar dam memainkannya di dalam bus. Semuanya senang, semuanya bahagia, dan semuanya penuh tawa dan canda. Kecuali dua
Berbeda dengan semua teman-temannya yang saling bekerjasama untuk mencatat laporan, melakukan wawancara, dan meneliti daun teh, mereka berdua bekerja sendiri-sendiri dan saling tak menghiraukan satu sama lain. Kalau tanpa sengaja mereka saling bertemu pandang, Amanda akan melemparkan sesuatu ke Alvan begitu juga sebaliknya. Alvan pun sempat hampir melemparkan sepatunya ke arah Amanda karena cewek itu menjulurkan lidahnya ke arahnya. “Ayo, lempar aja! Lempar!” tantang Amanda tanpa rasa takut. “Lo pikir gue takut sama lo?” Tapi Alvan memakai sepatunya lagi dan jadi kekurangan minat untuk bertengkar dengan Amanda. "Males gue berdebat sama lo," ujarnya sambil melangkah ke tempat lain dan dia menemui salah satu buruh pemetik teh dan mewawancarai mereka. Melihat Alvan yang ternyata juga serius mengerjakan tugas kelompok mereka, membuat Amanda merasa sedikit tenang karena tidak lagi harus berdebat dengan cowok itu. Amanda pun menyelesaikan tugasnya mencatat dan meneliti daun teh.
Sementara Amanda yang awalnya berjalan dengan penuh tekad, tiba-tiba menghentikan langkahnya karena terdengar suara-suara aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dia menengadah ke langit dan sama sekali tidak bisa melihat langit dari bawah sana karena dedaunan lebat yang ada di atas kepalanya. Suasananya memang sudah mendung sejak tadi, tapi berada di tengah hutan seperti sekarang ini membuatnya takut. KOAK! KOAK! KOAK! Terdengar suara burung-burung yang Amanda tidak bisa melihatnya. Membuat Amanda semakin ketakutan sendirian di hutan itu. Setelah berpikir lagi akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke tempat Alvan dengan berlari. Tidak jadi pergi sendirian. Alvan yang berjalan sendirian sayup-sayup mendengar suara orang berlari ke arahnya. Dia menoleh dan melihat Amanda berlari seperti orang dikejar setan. Mau tidak mau dia berhenti untuk menunggunya karena pasti Amanda mengejarnya. “Ada apa? Ngapain balik lagi?” tanya Alvan jutek. “Van, kita balik aja ke perkebunan, yuk. Gue
“Kita main aja, yuk! Main air asyik banget lho.” Amanda menyiprat-nyipratkan air dengan sengaja ke arah Alvan. Alvan melindungi cipratan air dari Amanda dengan kedua tangannya. “Eh, jangan macem-macem lo!” “Makanya ayo sini!” “Gue nggak bakalan ngelakuin hal-hal konyol kayak gitu. Kayak anak kecil aja,” ejek Alvan. Amanda cemberut dan memanyunkan bibirnya sepanjang yang dia bisa. Lalu dia pun berjalan ke pinggir dan memilih sebuah batu besar di sebelah Alvan untuk dia duduki. Sebagian besar bajunya basah setelah bermain air tadi. Sekarang Amanda benar-benar istirahat. Meskipun rasa capeknya belum hilang, tapi cukup bisa menghilangkan kebeteannya setelah jalan jauh di hutan. Sementara Amanda melepas lelah setelah bermain air, Alvan tetap diam di tempat tanpa melakukan apa pun. Dia hanya menengadahkan kepalanya menyapu seluruh tempat dan memandangi apa saja yang ada di sana. Tidak ada hal-hal menarik yang berhasil dia temukan selain barisan pepohonan lebat, sungai jer
"Semua orang pernah mengalami rasa sakit saat kehilangan seseorang yang kita sayangi. Tapi terus-terusan menyimpan rasa sakit itu di hati, cuma bakal bikin kita terus-terusan terpuruk dalam kesedihan. Lo harus belajar buat bisa menerima semua itu meskipun tahu itu sulit.” “...” “Lo juga pasti bisa.” Amanda memegang bahu Alvan. “Yang harus lo lakuin cuma satu kok, Van. Lo harus coba buat buka hati lo untuk menerima Mama tiri lo dan juga Arga. Kalo hal itu udah bisa lo lakuin, gue yakin hal berikutnya pun lo juga pasti bisa ngelakuinnya.” “...” “Terima mereka semua yang sayang sama lo. Bikin hati lo jangan pernah menolak kasih sayang mereka semua. Dan yang paling penting lo harus bisa coba buat memaafkan diri sendiri. Selama lo belum bisa memaafkan diri lo sendiri, lo nggak bakalan bisa memaafkan orang lain.” Alvan masih diam dan membiarkan Amanda memberikan nasihat padanya. Baru kali ini Alvan menerima nasihat semacam itu dari orang lain, karena biasanya tidak ada orang
Alvan tidak menjawab pertanyaan si kembar, dia cuma menatap mereka berdua dengan wajah tidak berdosanya seolah-olah memang tidak mau menjawab pertanyaan seperti itu. Dia sudah kembali ke sifat dinginnya dengan mengabaikan pertanyaan si kembar lalu menikmati teh hangatnya untuk menghangatkan tubuhnya. Melihat sikap cuek Alvan, si kembar pun tidak kehabisan ide dan langsung bisa menafsirkan sendiri apa jawaban yang seharusnya diberikan Alvan pada mereka. Sudah diputuskan setelah keduanya saling beradu pandang sebentar, bahwa Alvan dan Amanda memang punya hubungan yang tidak biasa. “Oke, kalo emang lo nggak mau jawab,” ujar Bagas. “Gue sebagai kakaknya berhak tahu siapa-siapa aja cowok yang udah deketin dia. Gue harus tahu bibit, bebet, dan bobotnya tuh cowok, pantes apa enggak buat pacaran sama adik gue.” “Betul itu.” Bagus mengacungkan jempol tepat di depan Alvan. “Lo harus tahu dulu apa syarat-syarat yang harus dipenuhi cowok yang bakal jadi pacarnya Amanda.” “Pertama...” Ba
Cowok itu berdiri mematung di depan pintu gerbang rumah Amanda dengan hati yang hancur. Dia tidak bisa melupakan apa yang dia dengar di rumah tadi tentang kebenaran yang baru saja dia ketahui. Alvan masih belum sanggup untuk bertatap muka dengan papanya lagi karena itu cuma akan memunculkan kemarahannya saja. Alvan memutuskan untuk tidak pulang malam ini. Dan tempat yang bisa dikunjungi Alvan hanyalah rumah Amanda. Bahkan di sini pun Alvan tidak bisa melakukan apa pun meskipun cuma sekedar memanggil Amanda untuk menemuinya. Dia tetap berdiri di bawah hujan dan kilatan petir. Membiarkan tubuhnya basah kuyub diterjang hujan dan nggak peduli apakah nanti petir-petir menakutkan itu akan menyambar tubuhnya atau tidak. “Itu beneran Alvan.” Amanda sekarang benar-benar yakin dan percaya kalau orang yang dilihatnya itu adalah Alvan yang dia kenal. Amanda berlari menuju lemari di sudut ruangan dan mengambil sebuah payung berwarna kuning dari sana, lalu dengan kilat tanpa menutup pintu l
“Kamu sudah pulang?” “MAMA!” Arga berlari ke arah mamanya dan memeluknya. “Arga, kamu sudah pulang Sayang?” tanya mamanya sambil tersenyum. “Udah dong, Ma. Tadi Arga seneng banget, Ma. Arga main seharian sama Kak Alvan dan Kak Amanda.” Nayla tahu Arga begitu bahagia. Tapi melihat situasi sekarang, dia tahu tidak baik kalau Arga ada di sana melihat hal buruk yang mungkin akan terjadi antara Andra dan Alvan. “RORO! RORO!” Bi Roro datang tergopoh-gopoh dari belakang. “Iya, Nyonya.” “Kamu ajak Arga ke kamar, ya? Mandiin dia. Nanti soal makan malamnya biar saya yang suapin.” Bi Roro mengangguk. “Baik, Nyonya. Arga, ayo kita mandi.” Arga pun pergi ke belakang dengan Bi Roro. Dengan langkah berat, Andra berusaha mendekati Alvan untuk memastikan apa Alvan mendengar semuanya atau tidak. Kalau pun Alvan mendengar, apa saja yang didengarnya dan tugas Andra adalah memberikan penjelasan agar Alvan mau mengerti meskipun dia tahu itu akan sangat sulit. “Van .... “ Andra berusaha menyentuh
Setelah naik bianglala, masih banyak wahana-wahana permainan yang mereka naiki. Amanda memaksa Alvan karena Arga yang memintanya. Amanda juga menyuruh Alvan yang bayar semuanya. Tentu saja Alvan ngomel – ngomel lagi karena merasa sudah dipalak habis-habisan hari ini. Tapi semuanya masih belum selesai, mereka pun membeli es krim dan makan es krim bertiga. “Senyum!” Amanda siap memotret Alvan dan Arga. Arga tersenyum manis ke arah kamera, sedangkan Alvan tetap dengan wajah juteknya dan tidak mau melihat ke kamera. Pada saat itu Arga melihat beberapa badut sedang bernyanyi dan bergoyang dengan banyak anak kecil sambil membagikan banyak balon. Arga ingin ke sana dan Amanda memaksa Alvan untuk ikut dengan mereka. Sudah bisa dipastikan kalau Alvan pasti menolak mentah-mentah bermain dengan banyak anak kecil seperti itu, tapi Amanda memaksanya dan menariknya berlari ke arah badut. Arga gembira sekali mendapat balon dari badut. Amanda tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan satu detik pun
Amanda kaget, ternyata mereka sudah sampai ke kelas dan Amanda tidak sadar karena terlalu serius menasihati cowok itu. Dia langsung ikutan berbelok dan masuk ke dalam kelas. Tanpa paksaan apa pun, kali ini Amanda duduk dengan Alvan. “Terserah gue ya, gue mau duduk di mana.” Kali ini Amanda tidak mau ambil pusing berdebat mengenai bangku. Masalah itu sudah basi dan sekarang bagi Amanda dia mau duduk dengan siapa aja nggak masalah. “Pokoknya lo harus mau ngelakuinnya.” “Ngelakuin apa?” Alvan kesal dan jadi nggak mood untuk membuka bukunya karena cerocosan Amanda. “Gue nggak mau ngelakuin apa pun yang lo suruh. Emangnya lo siapa ngatur-ngatur gue harus gimana?” “Gue Amanda. Gue guru lo.” Alvan tertawa sinis mendengar hal konyol itu. “Guru? Guru apaan? Sejak kapan cewek berotak ayam macam lo ini bisa jadi guru gue? Nggak usah ngimpi deh, lo.” Amanda memukul Alvan dengan bukunya. “Gue ini bukan otak ayam.” “Kenapa lo mukul?” Alvan mulai sewot. “Emang lo ini suka banget
Amanda heran. Dia sempat berpikir kalau dia sedang mimpi saat mengatakan hal itu. “Kenapa gue harus marah?” Amanda speechless. “Apa aja yang udah berhasil lo pelajari dari Aldy selain kebahagiaan?” Tidak pernah dia duga sebelumnya kalau ternyata Alvan menerima ucapannya yang dia kira mimpi tadi. Alvan tidak marah dan justru tertarik dengan kata-kata Amanda tentang hal yang dia pelajari dari Aldy? Apa benar cowok ini serius ingin tahu? “Kenapa diem?” “Hah? Oh ... eh .... “ Amanda jadi salah tingkah dan tetap bingung. Tapi meskipun bingung dia senang Alvan ternyata tidak seburuk yang dia pikir. “Untuk mendapatkan kebahagiaan itu mudah, kok. Tiap orang pasti bisa melakukannya. Karena itu lo harus berubah sekarang. Dan hal pertama yang harus lo lakuin untuk mendapatkan kebahagiaan itu adalah memaafkan diri sendiri.” Memaafkan diri sendiri? Itu memang hal yang selama ini belum bisa Alvan lakukan? Karenanya dia masih belum bisa memaafkan kesalah papanya di masa lalu karena d
“Bukan gue yang suka sama pantai. Tapi orang lain.” Jawaban Amanda sukses membuat Alvan menatap cewek itu dan melupakan keindahan ombak yang dari tadi dia perhatikan. “Aldy?” Amanda mengangguk. Alvan tiba-tiba berhenti berjalan dan menarik tangan Amanda, mengajaknya duduk di atas pasir halus pantai yang sejak tadi mereka injak-injak untuk dirasakan kehalusannya. Dengan terpaksa Amanda menurut dan duduk di samping cowok itu sambil menekuk lutut dan menatap lautan lepas. Ombak masih terus datang. Suaranya yang menggelegar dan umumnya membuat orang lain yang mendengarnya merasa ngeri, tapi tidak untuk Amanda dan Alvan. Ombak itu indah dan hanya bisa mereka temui kalau mereka sedang berada di pantai saja. “Lo lagi ada masalah, ya?” Amanda sudah sejak tadi menahan dirinya untuk nggak bertanya hal ini, tapi dia sudah tidak tahan lagi. Daripada dia terus terbawa masa lalu yang mengingatkannya pada Aldy, Amanda merasa lebih baik mengobrol dengan Alvan. “Kalo pun iya gue ngga
“Duh, siapa sih nih, yang nimpukin gue pake beginian?” Amanda mengomel-ngomel sendiri sambil memegang kaleng kosong yang sudah penyok itu. “Nggak lihat ada orang lagi jalan, apa?” Mata Alvan melebar melihat Amanda berada sekitar lima puluh meter di depannya. Hebat juga tendangannya, bisa menendang kaleng sampai sejauh itu. Tapi buru-buru Alvan melupakan tentang kehebatan tendangannya itu, karena dia yakin pasti akan ada kejadian sebentar lagi. Dia tadi pergi dari rumah dengan tujuan untuk menghindari pertengkaran dengan papanya, tapi sekarang dia malah mendapat masalah baru. Bertemu dengan Amanda saat ini sudah bisa dipastikan akan memicu masalah baru. Pertengkaran yang tidak bisa dielakkan lagi. Untuk mencegah semua itu terjadi, Alvan cepat-cepat memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi Amanda. Berharap cewek itu tidak tahu kalau dia yang menendang kaleng ke arahnya. Toh Alvan juga tidak sengaja melakukannya. Dengan tegang, dia melangkahkan kakinya panjang-panjang meninggalkan Am