Amanda menyapa pak satpam yang kebingungan karena hari ini Amanda datangnya pagi sekali.
Suasana sekolah masih sepi, cuma ada beberapa anak saja yang sudah datang. Dan Benny? Amanda yakin cowok belum datang. Benny itu selain terkenal bawel dia juga terkenal sebagai tukang ngaret. Natasha aja hampir puluhan kali mau mutusin dia gara-gara telat datang ke tempat janjian. "Tumben Neng, datengnya pagi banget?" tanya pak satpam. Amanda nyengir saja menAlvanpinya. "Iya dong, Pak. Saya ini kan murid teladan di sekolah ini. Tadi aja saya naik bus masih sepi, belum pada bangun semua orang. Hehehehe .... " Pak satpam ikut tertawa mendengarnya. "Selamat belajar ya, Neng." "Makasih, Pak." Amanda tidak mau terlalu lama menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan pak satpam. Sekarang dia harus cepat berlari menuju kelasnya untuk menduduki bangku kesayangannya. Langkahnya pun berhenti di depan kelas 12 IPA 2. Tapi saat dia akan membuka pintu kelas, pintunya tidak bisa dibuka. Masih terkunci? Tidak mungkin! "Lho? Kok nggak bisa dibuka, sih?" Amanda heran sendiri. Apalagi saat dia menengok ke kelas sebelah, pintunya sudah pada terbuka semuanya. Dan jam segini biasanya Pak Oding--si tukang kebun sekolah sudah membuka semua kelas untuk berjaga-jaga kalau ada siswa yang piket dan datang pagi. Tapi hari ini kok lain? "Kenapa, Man?" Ricko, salah satu teman sekelas Amanda kebetulan datang dan heran melihat Amanda berdiri di depan kelas. "Eh, Rick. Lo kok pagi banget sih, datengnya?" "Gue ada piket hari ini," jawab Ricko. "Nah, lo sendiri tumben banget jam segini udah datang? Kayaknya hari ini bukan jadwal piket lo, deh?" "Ya suka-suka gue dong mau datang kapan." Amanda mulai sewot dikatain 'tumben' melulu dari tadi. Tidak pak satpam, tidak Ricko semuanya sama saja. "Tapi lo ngapain di sini aja? Nggak masuk?" tanya Ricko lagi. "Gimana gue mau masuk coba? Nih, pintunya nggak bisa dibuka." Ricko melongo, heran. Jelas saja dia heran. Ini memang tidak seperti biasanya pintunya belum terbuka jam segini. Karena kurang percaya dan penasaran, Ricko mengambil alih memegang knop pintu dan berusaha membukanya. Tapi tetap tidak bisa dibuka. "Kayaknya masih dikunci nih, Man." Amanda melongok ke arah jendela dan berusaha membuka jendela yang juga masih terkunci dari dalam. Jelas jendela belum terbuka, pintunya saja masih dikunci. Cewek itu pun memaki kebegoannya dengan berpikir bisa masuk lewat jendela. Beberapa lama kemudian, para siswa mulai berdatangan dan karena mereka tidak bisa masuk kelas, mereka cuma berdiri saja di depan pintu seperti gerombolan orang yang mau demo. Siswa-siswa kelas lain yang lewat pun menatap heran pada mereka yang masih berdiri saja di depan kelas. Bahkan beberapa dari mereka ada yang meledek. "Ngapain berdiri aja di depan kelas? Kehabisan tiket buat masuk?" "Udah, pulang aja sana. Atau kalian belajar aja di halaman depan noh, luas banget." Berbagai ledekan pun masih terus berdatangan, membuat Amanda dan kawan-kawannya kesal sekali. Sebenarnya siapa sih yang memegang kunci kelas mereka? Sampai-sampai mereka harus menunggu seperti orang kurang kerjaan untuk masuk ke kelas. "Hello ... hello teman-teman kesayangan gue!" Suara cempereng yang sangat dikenal sama Amanda akhirnya terdengar. Si Benny biang kerok akhirnya datang juga tanpa diharapkan kehadirannya. Benny datang bersama dengan Natasha. Mereka jelas berangkat sekolah bareng. Berbeda dengan Benny yang terlihat ingin tertawa melihat semua teman-temannya jongkok-jongkok di depan kelas, Natasha justru kebingungan. "Lho? Kalian kenapa nggak masuk kelas?" "Gimana mau masuk kelas, Nat? Pintunya aja terkunci," jawab Ricko yang sudah mulai bête. "Hah?" Natasha kebingungan. "Tenang aja. Nih kuncinya." Benny dengan bAlvan memperlihatkan kunci yang dia keluarkan dari saku celananya. Semua orang melotot heran karena Benny mempunya kunci kelas mereka. Bagaimana mungkin? Bukannya harusnya Pak Oding yang megang kunci seluruh kelas di sekolah itu? Sementara Amanda yang terlihat paling kesal. "Jadi lo yang bawa kuncinya?" Benny tersenyum dan manggut-manggut penuh kemenangan. "Iya. Gue tahu lo pasti bakalan datang pagi-pagi kan, buat bisa duduk di bangku lo. Makanya gue pinjem nih kunci dari Pak Oding. Ya, buat jaga-jaga aja, Man. Hehehehe ... Gue pinter, kan?" "BENNY!!!" teriak Amanda kesal. Tragedi perebutan bangku masih belum menemukan titik terang juga sampai jam istirahat. Amanda yang begitu bel istirahat berbunyi langsung menubruk Benny dan mendorongnya sampai dia jatuh dari kursi, lalu dia segera menduduki kursinya. Benny yang tak terima dan langsung kembali menggendong Amanda kemudian memindahkannya ke bangku belakang di sebelah Alvan yang masih cuek dengan apa yang terjadi. Semua teman-teman mereka pun masih keheran-heranan dengan tragedi bangku yang masih terus berlanjut itu. Mereka berpikir, pasti Amanda tidak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. "Kurang ajar lo, Ben! Berani-beraninya lo ngegendong gue lagi!" Amanda marah banget dan memukul-mukul cowok bertubuh cungkring itu dengan sepatunya. Benny melindungi pukulan Amanda dengan menyambar tas Ginna, yang letaknya berada tepat di sebelah bangku Amanda. Membuat Ginna mencak-mencak. "Oi, Ben. Balikin tas gue!" Ginna merebut dengan paksa tas yang dijadikan tameng pukulan sepatu Amanda oleh Benny. "Tas mahal, nih. Belinya aja di LA. Kalo sampe lecet-lecet, lo harus beliin gue tas yang baru di LA mau lo?" Pukulan bertubi-tubi Amanda masih terus berlanjut sampai Natasha pun akhirnya turun tangan untuk melindungi pacarnya yang hampir bonyok digebukin sepatu sama sahabatnya sendiri. "Eh, eh, eh! Udah, udah!" Natasha berada di tengah-tengah mereka, melerai pertarungan, menghentikan kemarahan Amanda. "Aduh, kalian ini kayak anak kecil aja, deh." "Cowok lo tuh nyebelin banget, Nat. Gue kan cuma mau minta pindah, eh dianya malah ngeselin. Pake bawa-bawa kunci kelas segala lagi? Kemarin aja gue dengan suka rela mau pindah tempat duduk karena dia bilang mau duduk sama lo, nah sekarang giliran gue mau minta balik dia malah nggak mau?" Amanda benar-benar marah dan merasa dipermainkan kali ini. Bagaimana tidak marah, sudah dibela-belain bangun subuh dan berangat sekolah pagi-pagi, eh ternyata justru tidak bisa masuk kelas lebih dulu. Benar-benar kurang ajar. Namun Benny hanya menganggap santai kemarahan Amanda itu. "Yeee ... Salah lo sendiri kenapa kemarin lo mau-mau aja gue suruh pindah ke belakang?" "Dasar lo, ya!" Amanda mengangkat lagi sepatunya untuk memukul Benny. Benny sudah pasang kuda-kuda untuk berlari saat Natasha kembali berhasil menahannya. "Ya ampun, udah dong, Man." "Oke, oke, gue pindah," kata Benny akhirnya yang membuat Amanda mulai merasa lega, dan membuat semua teman-temannya heran. Apa Benny segitu mudahnya menyerah? "Oke." Amanda kembali memakai sepatunya yang tadi dia pakai buat senjata melawan Benny. Dia juga mulai meredam seluruh kekesalannya. "Gue sama Natasha bakalan pindah ke belakang, terus lo sama Alvan pindah ke depan. Gimana? Setuju, kan?" GRRRR... Apa tuh maksudnya? Mendengar ucapan Benny yang menurutnya memang sengaja mengerjainya itu membuat Amanda semakin kesal. "Itu sih, sama aja bego. Tetep aja gue duduk sama dia." Amanda menunjuk Alvan yang duduk di dekatnya, dan jari telunjuknya tepat berada di depan wajah Alvan karena cowok itu secara kebetulan melihat ke arahnya. Membuat Amanda cukup kaget. Alvan menepis jari telunjuk Amanda yang berada di depan wajahnya. Karena suasana sudah memanas, Natasha berpikir dia sepertinya harus mengajak salah satu dari mereka untuk pergi sebelum terjadi pertarungan yang semakin sengit untuk kedua kalinya. "Man, kita ke kantin aja, yuk. Temenin gue makan siang." Natasha menggandeng Amanda dan menariknya keluar kelas dengan paksa. Tidak lama kemudian, Alvan juga berdiri dan pergi meninggalkan kelas. Lalu Benny? Dia merasa ngeri sekali teringat kemarahan Amanda tadi. "Bushet, deh. Si Amanda kalo lagi marah nyeremin banget, sih?" Benny bergidik ngeri membayangkan bagaimana kalau Amanda lebih marah lagi. Pasti bisa lebih menyeramkan daripada vampir atau sejenisnya. *** Menyebalkan. Cuma itu satu kata yang ada di kepala Amanda hari ini. Bukan cuma Benny yang membuatnya kesal hari ini, juga bukan Alvan yang membuatnya gondok karena sikap dinginnya, tapi juga Pak Geral. Saat Amanda berusaha melaporkan Benny yang menggendongnya dua kali tanpa izin, Amanda merasa dirugikan dan berniat meminta bantuan pada Pak Geral. Tapi setelah Amanda menjelaskan duduk persoalannya, apa kata Pak Geral? "Lagian kamu juga yang salah, Amanda," kata Pak Geral. "Masalah tempat duduk saja dipersoalkan. Saya pikir tidak masalah kamu mau duduk sama siapa di kelas. Yang paling penting kamu tetap rajin belajar. Kalau menurut saya, Alvan itu masih malu-malu karena dia masih murid baru di kelas. Jadi sudah menjadi kewajiban kamu untuk membantunya menyesuaikan diri dengan semua teman-temannya." Begitulah jawaban yang didapat Amanda dari Pak Geral. Bagaimana tidak tambah gondok coba? Bayangkan saja, kata Pak Geral si Alvan itu malu-malu? Malu-malu apanya? Menyebalkan iya. Terus Amanda juga harus membantu dia menyesuaikan diri? Idih, siapa yang mau? Baru melihat wajahnya yang sengak itu saja sudah membuat Amanda keki sekali dan sangat ingin menonjok wajahnya. Rencana yang sudah dia pikir akan berhasil ternyata gagal juga.Sore ini Amanda mendatangi sebuah makam di pemakaman umum. Sebuah batu nisan bertuliskan Hafiz Revaldy Ardiansyah dia pandangi sejak kedatangannya ke tempat itu. Dia berjongkok lumayan lama sejak meletakkan sebuah buket bunga mawar di atas makam itu. Suasana perkuburan yang sangat sepi serta angin semilir membuat suasana sedikit mistis. Namun tidak membuat Amanda untuk segera pergi meninggalkan tempat tersebut. Sudah lama dia tak datang berkunjung ke makam itu dan dia ingin sedikit lebih lama berada di sana. Tersirat ada sebuah kesedihan di wajahnya, tapi sebisa mungkin dia menutupinya dengan sebuah senyuman. Amanda tahu, orang yang dikunjunginya tidak pernah senang melihatnya bersedih atau pun menangis. “Maaf udah lama nggak jenguk kamu,” ujar Amanda pada makam itu. “Aku kangen banget sama kamu, Al. Nggak kerasa ini udah satu tahun sejak hari itu. Dan aku masih tetap tepatin janji aku, kok.” Semilir angin menggerak-gerakkan surai panjang Amanda yang tergerai. Amanda merasakan u
Siang ini, Bagas---salah satu kakak kembar Amanda menelepon bahwa dia tidak bisa menjemput sang adik ke sekolah karena mereka ada pelajaran tambahan. Bukan semacam kursus atau semacamnya, tapi merupakan hukuman untuk mereka karena ketahuan lagi ngejahilin teman sekelas sampai pingsan. Benar-benar keusilan tingkat tinggi mereka. Karena tidak ada jemputan, Amanda terpaksa naik bus kota yang penuh sesak dengan anak-anak SMA juga sama sepertinya. Untuk beberapa saat Amanda pun heran, apa dari ratusan bahkan ribuan anak sekolah di Jakarta ini semuanya naik bus kalau pulang sekolah? Kenapa bus selalu penuh begini? Dan kenapa juga pemerintah tidak menambah jasa angkutan bus umum saja? Berdesak-desakan dengan orang-orang di dalam bus membuat Amanda merasa sesak dan juga panas. Apalagi bukan sekali atau dua kali kakinya keinjek sama orang lain. Maklumlah, kalau suasana bus yang penuh sesak itu pasti semua orang tersiksa di dalamnya. Amanda adalah salah satu penumpang yang tidak beruntung
Setelah ulangan selesai, Bu Wanda menyuruh siswa yang duduk di barisan paling depan untuk mengumpulkan kertas ulangan teman-temannya lalu mengumpulkannya ke meja guru. Tepat setelah semua kertas ulangan terkumpul di meja Bu Wanda, bel tanda istirahat pun berbunyi. Bu Wanda berpamitan dan berjalan keluar kelas. Semua siswa langsung lemas seketika, mereka tidak berniat keluar kelas untuk sekedar makan siang untuk isi perut. Mengistirahatkan otak mereka dengan tidur sebentar jauh lebih baik daripada berdesak-desakan di kantin untuk memesan makanan. Toh mereka tidak akan mati hanya karena tidak makan siang sehari saja. Tapi mereka akan mati kalau otak mereka terus bekerja tanpa istirahat. Dan mereka pun memilih pilihan kedua untuk tidur sebentar di kelas sampai jam istirahat habis. Amanda menyangga kepalanya yang rasanya mau pecah. Dia pasrah saja apa yang akan terjadi dengan ulangan kimia nya hari ini. Semua soal terlihat blank di otaknya, dan semuanya hanya dia kerjakan secara asal
Semenjak kehadiran Alvan di sekolah, membuat Amanda menjadi malas untuk berangkat ke sekolah. Mengingat hal-hal buruk apa dan ejekan-ejekan apa lagi yang bakal diterimanya dari cowok itu, bahkan untuk bangun pagi pun sekarang Amanda malas. Lebih baik dia seharian di rumah daripada harus melihat wajah judes tuh cowok. Tapi Amanda tahu semua itu tidak mungkin dia lakukan, karena Laras---sang mama pasti akan marah-marah dan mengancam akan memasukkan Amanda ke asrama. Jelas Amanda tidak mau dan terpaksa memilih untuk tetap berangkat ke sekolah meskipun harus bertemu lagi dengan Alvan. Satu bangku pula. Natasha sih enak, dia satu bangku sama pacar sendiri. Sementara Amanda? Dia harus duduk sebangku sama teroris yang kabur dari tahanan gara-gara mempunyai kelainan mental. Baru kali ini juga Amanda merasa kalau Natasha dan Benny benar-benar berbahagia di atas penderitaannya. Salah satu alasan Amanda malas ke sekolah hari ini adalah, karena Bu Wanda akan membagikan hasil ulangan K
Mata besar Bu Lily yang galak itu langsung menatap langsung ke arah Amanda, membuat Amanda kebingungan. “Amanda, apa yang kamu lakukan? Benar kamu nggak fokus sama pelajaran saya?” “Hah? Enggak kok, Bu. Saya mendengarkan dengan sungguh-sungguh, kok. Dia aja yang ngasal, Bu.” Amanda berusaha menutupi kegugupannya dengan tersenyum semanis mungkin, biarpun dia tahu hasil senyumannya tidak bisa benar-benar manis dalam keadaan genting seperti ini. Bu Lily pun mengetes Amanda dengan memberinya pertanyaan sebagai bukti Amanda mendengarkan pelajarannya atau tidak. Dan jelas saja Amanda tidak bisa menjawab pertanyaan Bu Lily, orang sejak tadi dia memikirkan hal lain yang tidak ada hubungannya sama pelajaran. Bu Lily langsung marah dan menyuruh Amanda untuk membuat kliping tentang kebudayaan dengan bahasa Inggris minimal 20 halaman yang harus dia kumpulkan minggu depan. Hukuman akan ditambah kalau Amanda tidak mengerjakan tugas itu. Pada saat Amanda melirik Alvan, dilihatnya cowok
Senyuman di wajah Amanda yang sudah sejak tadi dia pamerkan ke seluruh teman-temannya, mendadak mulai lenyap. Bisa-bisanya si Botol Kecap itu menolak keinginannya---setelah semua usaha yang Amanda lakukan untuk bangun pagi dan membuatkan omelet spesial. Meskipun sebenarnya berat sekali melepaskan traktiran gratis setahun itu, tapi Benny tetap pada pendiriannya untuk tidak akan pernah pindah dari bangkunya. Bahkan dia terlihat sangat menikmati duduk di bangku yang sudah lama ingin didapatkan Amanda lagi itu. “Gue nggak bakal pindah. Apa pun yang terjadi. Gue akan selalu ada di dekat pacar gue tersayang.” Benny dengan bAlvannya merangkul Natasha yang menatap khawatir pada Amanda karena Amanda pasti marah besar. “Kenapa sih, lo ngotot banget tetep mau duduk di sini?” Amanda mulai kesal. “Lo sengaja mau bikin gue marah, ya?” Semua teman-teman yakin pasti akan ada kejadian heboh antara Amanda dan Benny kalau saja bel tanda masuk kelas tidak berbunyi. Untung saja bel penyelamat kekac
“Bisa nggak Pak, kalo saya kerjanya sendiri aja? Saya bisa kok Pak, kerja sendiri. Dan saya akan berusaha mengerjakan tugas ini sebaik mungkin. Asal saya dibolehin kerja sendiri ya, Pak?” pinta Amanda dengan penuh harapan. Amanda benar-benar tidak mau satu kelompok dengan Alvan. Membayangkannya saja membuatnya merinding, apalagi harus menjalaninya. Alvan menoleh mendengar Amanda mengajukan protes. Dia sudah tahu hal ini akan terjadi. “Apa maksud kamu dengan kerja sendiri, Amanda?” tanya Pak Geral mulai geram. Natasha hanya bisa tepok jidat melihat kelakuan Amanda yang nekat sekali itu. 'Ya ampun, Amanda. Udah tahu Pak Geral itu orangnya kayak gimana? Eh masih nekat saja tuh anak.' “Kamu nggak menghargai keputusan saya?” “Bukan begitu, Pak. Tapi saya pikir saya bisa bekerja sendiri tanpa partner.” Pak Geral membetulkan letak kacamatanya, menatap Amanda dengan tatapan penuh pertimbangan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Pak Geral, tapi Amanda berharap permintaannya akan
Alvan memasuki sebuah halaman rumah mewah dan besar bercat putih. Di depan rumah terdapat beberapa tanaman bunga dan pohon berdaun lebat yang menjadikan halaman itu terlihat lebih sejuk. Selain itu juga ada sebuah mobil terpakir manis di garasi sebelah rumah. Pemandangan seperti itu sudah biasa untuk Alvan, jadi Alvan tidak perlu lagi untuk menoleh atau memandangi tanaman atau pun mobil di garasi tersebut. Dia berjalan dengan santai dan langsung memasuki rumah itu. Alvan berjalan menuju ruang tengah. Suasana rumah masih sepi seperti biasanya. Tidak lama kemudian dia disambut hangat oleh seorang anak laki-laki berumur lima tahun-an yang langsung berlari dengan wajah cerianya ke arahnya dan memeluk pinggangnya. “Kakak udah pulang?” sapa Arga – adik Alvan dengan wajah berseri-seri. Bukannya membalas sapaan Arga, Alvan justru diam saja dengan tetap memasang wajah datar. Dia juga tidak mempedulikan Arga yang sedang memeluk tubuhnya. “Kak Alvan ayo kita main, Kak,” ajak Arga dengan p
"Semua orang pernah mengalami rasa sakit saat kehilangan seseorang yang kita sayangi. Tapi terus-terusan menyimpan rasa sakit itu di hati, cuma bakal bikin kita terus-terusan terpuruk dalam kesedihan. Lo harus belajar buat bisa menerima semua itu meskipun tahu itu sulit.” “...” “Lo juga pasti bisa.” Amanda memegang bahu Alvan. “Yang harus lo lakuin cuma satu kok, Van. Lo harus coba buat buka hati lo untuk menerima Mama tiri lo dan juga Arga. Kalo hal itu udah bisa lo lakuin, gue yakin hal berikutnya pun lo juga pasti bisa ngelakuinnya.” “...” “Terima mereka semua yang sayang sama lo. Bikin hati lo jangan pernah menolak kasih sayang mereka semua. Dan yang paling penting lo harus bisa coba buat memaafkan diri sendiri. Selama lo belum bisa memaafkan diri lo sendiri, lo nggak bakalan bisa memaafkan orang lain.” Alvan masih diam dan membiarkan Amanda memberikan nasihat padanya. Baru kali ini Alvan menerima nasihat semacam itu dari orang lain, karena biasanya tidak ada orang
Alvan tidak menjawab pertanyaan si kembar, dia cuma menatap mereka berdua dengan wajah tidak berdosanya seolah-olah memang tidak mau menjawab pertanyaan seperti itu. Dia sudah kembali ke sifat dinginnya dengan mengabaikan pertanyaan si kembar lalu menikmati teh hangatnya untuk menghangatkan tubuhnya. Melihat sikap cuek Alvan, si kembar pun tidak kehabisan ide dan langsung bisa menafsirkan sendiri apa jawaban yang seharusnya diberikan Alvan pada mereka. Sudah diputuskan setelah keduanya saling beradu pandang sebentar, bahwa Alvan dan Amanda memang punya hubungan yang tidak biasa. “Oke, kalo emang lo nggak mau jawab,” ujar Bagas. “Gue sebagai kakaknya berhak tahu siapa-siapa aja cowok yang udah deketin dia. Gue harus tahu bibit, bebet, dan bobotnya tuh cowok, pantes apa enggak buat pacaran sama adik gue.” “Betul itu.” Bagus mengacungkan jempol tepat di depan Alvan. “Lo harus tahu dulu apa syarat-syarat yang harus dipenuhi cowok yang bakal jadi pacarnya Amanda.” “Pertama...” Ba
Cowok itu berdiri mematung di depan pintu gerbang rumah Amanda dengan hati yang hancur. Dia tidak bisa melupakan apa yang dia dengar di rumah tadi tentang kebenaran yang baru saja dia ketahui. Alvan masih belum sanggup untuk bertatap muka dengan papanya lagi karena itu cuma akan memunculkan kemarahannya saja. Alvan memutuskan untuk tidak pulang malam ini. Dan tempat yang bisa dikunjungi Alvan hanyalah rumah Amanda. Bahkan di sini pun Alvan tidak bisa melakukan apa pun meskipun cuma sekedar memanggil Amanda untuk menemuinya. Dia tetap berdiri di bawah hujan dan kilatan petir. Membiarkan tubuhnya basah kuyub diterjang hujan dan nggak peduli apakah nanti petir-petir menakutkan itu akan menyambar tubuhnya atau tidak. “Itu beneran Alvan.” Amanda sekarang benar-benar yakin dan percaya kalau orang yang dilihatnya itu adalah Alvan yang dia kenal. Amanda berlari menuju lemari di sudut ruangan dan mengambil sebuah payung berwarna kuning dari sana, lalu dengan kilat tanpa menutup pintu l
“Kamu sudah pulang?” “MAMA!” Arga berlari ke arah mamanya dan memeluknya. “Arga, kamu sudah pulang Sayang?” tanya mamanya sambil tersenyum. “Udah dong, Ma. Tadi Arga seneng banget, Ma. Arga main seharian sama Kak Alvan dan Kak Amanda.” Nayla tahu Arga begitu bahagia. Tapi melihat situasi sekarang, dia tahu tidak baik kalau Arga ada di sana melihat hal buruk yang mungkin akan terjadi antara Andra dan Alvan. “RORO! RORO!” Bi Roro datang tergopoh-gopoh dari belakang. “Iya, Nyonya.” “Kamu ajak Arga ke kamar, ya? Mandiin dia. Nanti soal makan malamnya biar saya yang suapin.” Bi Roro mengangguk. “Baik, Nyonya. Arga, ayo kita mandi.” Arga pun pergi ke belakang dengan Bi Roro. Dengan langkah berat, Andra berusaha mendekati Alvan untuk memastikan apa Alvan mendengar semuanya atau tidak. Kalau pun Alvan mendengar, apa saja yang didengarnya dan tugas Andra adalah memberikan penjelasan agar Alvan mau mengerti meskipun dia tahu itu akan sangat sulit. “Van .... “ Andra berusaha menyentuh
Setelah naik bianglala, masih banyak wahana-wahana permainan yang mereka naiki. Amanda memaksa Alvan karena Arga yang memintanya. Amanda juga menyuruh Alvan yang bayar semuanya. Tentu saja Alvan ngomel – ngomel lagi karena merasa sudah dipalak habis-habisan hari ini. Tapi semuanya masih belum selesai, mereka pun membeli es krim dan makan es krim bertiga. “Senyum!” Amanda siap memotret Alvan dan Arga. Arga tersenyum manis ke arah kamera, sedangkan Alvan tetap dengan wajah juteknya dan tidak mau melihat ke kamera. Pada saat itu Arga melihat beberapa badut sedang bernyanyi dan bergoyang dengan banyak anak kecil sambil membagikan banyak balon. Arga ingin ke sana dan Amanda memaksa Alvan untuk ikut dengan mereka. Sudah bisa dipastikan kalau Alvan pasti menolak mentah-mentah bermain dengan banyak anak kecil seperti itu, tapi Amanda memaksanya dan menariknya berlari ke arah badut. Arga gembira sekali mendapat balon dari badut. Amanda tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan satu detik pun
Amanda kaget, ternyata mereka sudah sampai ke kelas dan Amanda tidak sadar karena terlalu serius menasihati cowok itu. Dia langsung ikutan berbelok dan masuk ke dalam kelas. Tanpa paksaan apa pun, kali ini Amanda duduk dengan Alvan. “Terserah gue ya, gue mau duduk di mana.” Kali ini Amanda tidak mau ambil pusing berdebat mengenai bangku. Masalah itu sudah basi dan sekarang bagi Amanda dia mau duduk dengan siapa aja nggak masalah. “Pokoknya lo harus mau ngelakuinnya.” “Ngelakuin apa?” Alvan kesal dan jadi nggak mood untuk membuka bukunya karena cerocosan Amanda. “Gue nggak mau ngelakuin apa pun yang lo suruh. Emangnya lo siapa ngatur-ngatur gue harus gimana?” “Gue Amanda. Gue guru lo.” Alvan tertawa sinis mendengar hal konyol itu. “Guru? Guru apaan? Sejak kapan cewek berotak ayam macam lo ini bisa jadi guru gue? Nggak usah ngimpi deh, lo.” Amanda memukul Alvan dengan bukunya. “Gue ini bukan otak ayam.” “Kenapa lo mukul?” Alvan mulai sewot. “Emang lo ini suka banget
Amanda heran. Dia sempat berpikir kalau dia sedang mimpi saat mengatakan hal itu. “Kenapa gue harus marah?” Amanda speechless. “Apa aja yang udah berhasil lo pelajari dari Aldy selain kebahagiaan?” Tidak pernah dia duga sebelumnya kalau ternyata Alvan menerima ucapannya yang dia kira mimpi tadi. Alvan tidak marah dan justru tertarik dengan kata-kata Amanda tentang hal yang dia pelajari dari Aldy? Apa benar cowok ini serius ingin tahu? “Kenapa diem?” “Hah? Oh ... eh .... “ Amanda jadi salah tingkah dan tetap bingung. Tapi meskipun bingung dia senang Alvan ternyata tidak seburuk yang dia pikir. “Untuk mendapatkan kebahagiaan itu mudah, kok. Tiap orang pasti bisa melakukannya. Karena itu lo harus berubah sekarang. Dan hal pertama yang harus lo lakuin untuk mendapatkan kebahagiaan itu adalah memaafkan diri sendiri.” Memaafkan diri sendiri? Itu memang hal yang selama ini belum bisa Alvan lakukan? Karenanya dia masih belum bisa memaafkan kesalah papanya di masa lalu karena d
“Bukan gue yang suka sama pantai. Tapi orang lain.” Jawaban Amanda sukses membuat Alvan menatap cewek itu dan melupakan keindahan ombak yang dari tadi dia perhatikan. “Aldy?” Amanda mengangguk. Alvan tiba-tiba berhenti berjalan dan menarik tangan Amanda, mengajaknya duduk di atas pasir halus pantai yang sejak tadi mereka injak-injak untuk dirasakan kehalusannya. Dengan terpaksa Amanda menurut dan duduk di samping cowok itu sambil menekuk lutut dan menatap lautan lepas. Ombak masih terus datang. Suaranya yang menggelegar dan umumnya membuat orang lain yang mendengarnya merasa ngeri, tapi tidak untuk Amanda dan Alvan. Ombak itu indah dan hanya bisa mereka temui kalau mereka sedang berada di pantai saja. “Lo lagi ada masalah, ya?” Amanda sudah sejak tadi menahan dirinya untuk nggak bertanya hal ini, tapi dia sudah tidak tahan lagi. Daripada dia terus terbawa masa lalu yang mengingatkannya pada Aldy, Amanda merasa lebih baik mengobrol dengan Alvan. “Kalo pun iya gue ngga
“Duh, siapa sih nih, yang nimpukin gue pake beginian?” Amanda mengomel-ngomel sendiri sambil memegang kaleng kosong yang sudah penyok itu. “Nggak lihat ada orang lagi jalan, apa?” Mata Alvan melebar melihat Amanda berada sekitar lima puluh meter di depannya. Hebat juga tendangannya, bisa menendang kaleng sampai sejauh itu. Tapi buru-buru Alvan melupakan tentang kehebatan tendangannya itu, karena dia yakin pasti akan ada kejadian sebentar lagi. Dia tadi pergi dari rumah dengan tujuan untuk menghindari pertengkaran dengan papanya, tapi sekarang dia malah mendapat masalah baru. Bertemu dengan Amanda saat ini sudah bisa dipastikan akan memicu masalah baru. Pertengkaran yang tidak bisa dielakkan lagi. Untuk mencegah semua itu terjadi, Alvan cepat-cepat memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi Amanda. Berharap cewek itu tidak tahu kalau dia yang menendang kaleng ke arahnya. Toh Alvan juga tidak sengaja melakukannya. Dengan tegang, dia melangkahkan kakinya panjang-panjang meninggalkan Am