Beranda / Fiksi Remaja / Janji Amanda / 4. Kenapa Semuanya Menyebalkan?

Share

4. Kenapa Semuanya Menyebalkan?

Amanda menyapa pak satpam yang kebingungan karena hari ini Amanda datangnya pagi sekali.

Suasana sekolah masih sepi, cuma ada beberapa anak saja yang sudah datang. Dan Benny? Amanda yakin cowok belum datang.

Benny itu selain terkenal bawel dia juga terkenal sebagai tukang ngaret. Natasha aja hampir puluhan kali mau mutusin dia gara-gara telat datang ke tempat janjian.

"Tumben Neng, datengnya pagi banget?" tanya pak satpam.

Amanda nyengir saja menAlvanpinya. "Iya dong, Pak. Saya ini kan murid teladan di sekolah ini. Tadi aja saya naik bus masih sepi, belum pada bangun semua orang. Hehehehe .... "

Pak satpam ikut tertawa mendengarnya. "Selamat belajar ya, Neng."

"Makasih, Pak."

Amanda tidak mau terlalu lama menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan pak satpam. Sekarang dia harus cepat berlari menuju kelasnya untuk menduduki bangku kesayangannya.

Langkahnya pun berhenti di depan kelas 12 IPA 2. Tapi saat dia akan membuka pintu kelas, pintunya tidak bisa dibuka. Masih terkunci? Tidak mungkin!

"Lho? Kok nggak bisa dibuka, sih?" Amanda heran sendiri. Apalagi saat dia menengok ke kelas sebelah, pintunya sudah pada terbuka semuanya.

Dan jam segini biasanya Pak Oding--si tukang kebun sekolah sudah membuka semua kelas untuk berjaga-jaga kalau ada siswa yang piket dan datang pagi. Tapi hari ini kok lain?

"Kenapa, Man?" Ricko, salah satu teman sekelas Amanda kebetulan datang dan heran melihat Amanda berdiri di depan kelas.

"Eh, Rick. Lo kok pagi banget sih, datengnya?"

"Gue ada piket hari ini," jawab Ricko. "Nah, lo sendiri tumben banget jam segini udah datang? Kayaknya hari ini bukan jadwal piket lo, deh?"

"Ya suka-suka gue dong mau datang kapan." Amanda mulai sewot dikatain 'tumben' melulu dari tadi. Tidak pak satpam, tidak Ricko semuanya sama saja.

"Tapi lo ngapain di sini aja? Nggak masuk?" tanya Ricko lagi.

"Gimana gue mau masuk coba? Nih, pintunya nggak bisa dibuka."

Ricko melongo, heran. Jelas saja dia heran. Ini memang tidak seperti biasanya pintunya belum terbuka jam segini. Karena kurang percaya dan penasaran, Ricko mengambil alih memegang knop pintu dan berusaha membukanya. Tapi tetap tidak bisa dibuka.

"Kayaknya masih dikunci nih, Man."

Amanda melongok ke arah jendela dan berusaha membuka jendela yang juga masih terkunci dari dalam. Jelas jendela belum terbuka, pintunya saja masih dikunci.

Cewek itu pun memaki kebegoannya dengan berpikir bisa masuk lewat jendela.

Beberapa lama kemudian, para siswa mulai berdatangan dan karena mereka tidak bisa masuk kelas, mereka cuma berdiri saja di depan pintu seperti gerombolan orang yang mau demo.

Siswa-siswa kelas lain yang lewat pun menatap heran pada mereka yang masih berdiri saja di depan kelas. Bahkan beberapa dari mereka ada yang meledek.

"Ngapain berdiri aja di depan kelas? Kehabisan tiket buat masuk?"

"Udah, pulang aja sana. Atau kalian belajar aja di halaman depan noh, luas banget."

Berbagai ledekan pun masih terus berdatangan, membuat Amanda dan kawan-kawannya kesal sekali.

Sebenarnya siapa sih yang memegang kunci kelas mereka? Sampai-sampai mereka harus menunggu seperti orang kurang kerjaan untuk masuk ke kelas.

"Hello ... hello teman-teman kesayangan gue!"

Suara cempereng yang sangat dikenal sama Amanda akhirnya terdengar. Si Benny biang kerok akhirnya datang juga tanpa diharapkan kehadirannya.

Benny datang bersama dengan Natasha. Mereka jelas berangkat sekolah bareng.

Berbeda dengan Benny yang terlihat ingin tertawa melihat semua teman-temannya jongkok-jongkok di depan kelas, Natasha justru kebingungan.

"Lho? Kalian kenapa nggak masuk kelas?"

"Gimana mau masuk kelas, Nat? Pintunya aja terkunci," jawab Ricko yang sudah mulai bête.

"Hah?" Natasha kebingungan.

"Tenang aja. Nih kuncinya." Benny dengan bAlvan memperlihatkan kunci yang dia keluarkan dari saku celananya.

Semua orang melotot heran karena Benny mempunya kunci kelas mereka. Bagaimana mungkin? Bukannya harusnya Pak Oding yang megang kunci seluruh kelas di sekolah itu?

Sementara Amanda yang terlihat paling kesal.

"Jadi lo yang bawa kuncinya?"

Benny tersenyum dan manggut-manggut penuh kemenangan. "Iya. Gue tahu lo pasti bakalan datang pagi-pagi kan, buat bisa duduk di bangku lo. Makanya gue pinjem nih kunci dari Pak Oding. Ya, buat jaga-jaga aja, Man. Hehehehe ... Gue pinter, kan?"

"BENNY!!!" teriak Amanda kesal.

Tragedi perebutan bangku masih belum menemukan titik terang juga sampai jam istirahat.

Amanda yang begitu bel istirahat berbunyi langsung menubruk Benny dan mendorongnya sampai dia jatuh dari kursi, lalu dia segera menduduki kursinya.

Benny yang tak terima dan langsung kembali menggendong Amanda kemudian memindahkannya ke bangku belakang di sebelah Alvan yang masih cuek dengan apa yang terjadi.

Semua teman-teman mereka pun masih keheran-heranan dengan tragedi bangku yang masih terus berlanjut itu. Mereka berpikir, pasti Amanda tidak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Kurang ajar lo, Ben! Berani-beraninya lo ngegendong gue lagi!" Amanda marah banget dan memukul-mukul cowok bertubuh cungkring itu dengan sepatunya.

Benny melindungi pukulan Amanda dengan menyambar tas Ginna, yang letaknya berada tepat di sebelah bangku Amanda. Membuat Ginna mencak-mencak.

"Oi, Ben. Balikin tas gue!" Ginna merebut dengan paksa tas yang dijadikan tameng pukulan sepatu Amanda oleh Benny.

"Tas mahal, nih. Belinya aja di LA. Kalo sampe lecet-lecet, lo harus beliin gue tas yang baru di LA mau lo?"

Pukulan bertubi-tubi Amanda masih terus berlanjut sampai Natasha pun akhirnya turun tangan untuk melindungi pacarnya yang hampir bonyok digebukin sepatu sama sahabatnya sendiri.

"Eh, eh, eh! Udah, udah!" Natasha berada di tengah-tengah mereka, melerai pertarungan, menghentikan kemarahan Amanda. "Aduh, kalian ini kayak anak kecil aja, deh."

"Cowok lo tuh nyebelin banget, Nat. Gue kan cuma mau minta pindah, eh dianya malah ngeselin. Pake bawa-bawa kunci kelas segala lagi? Kemarin aja gue dengan suka rela mau pindah tempat duduk karena dia bilang mau duduk sama lo, nah sekarang giliran gue mau minta balik dia malah nggak mau?"

Amanda benar-benar marah dan merasa dipermainkan kali ini. Bagaimana tidak marah, sudah dibela-belain bangun subuh dan berangat sekolah pagi-pagi, eh ternyata justru tidak bisa masuk kelas lebih dulu. Benar-benar kurang ajar.

Namun Benny hanya menganggap santai kemarahan Amanda itu. "Yeee ... Salah lo sendiri kenapa kemarin lo mau-mau aja gue suruh pindah ke belakang?"

"Dasar lo, ya!" Amanda mengangkat lagi sepatunya untuk memukul Benny.

Benny sudah pasang kuda-kuda untuk berlari saat Natasha kembali berhasil menahannya.

"Ya ampun, udah dong, Man."

"Oke, oke, gue pindah," kata Benny akhirnya yang membuat Amanda mulai merasa lega, dan membuat semua teman-temannya heran.

Apa Benny segitu mudahnya menyerah?

"Oke." Amanda kembali memakai sepatunya yang tadi dia pakai buat senjata melawan Benny. Dia juga mulai meredam seluruh kekesalannya.

"Gue sama Natasha bakalan pindah ke belakang, terus lo sama Alvan pindah ke depan. Gimana? Setuju, kan?"

GRRRR...

Apa tuh maksudnya?

Mendengar ucapan Benny yang menurutnya memang sengaja mengerjainya itu membuat Amanda semakin kesal.

"Itu sih, sama aja bego. Tetep aja gue duduk sama dia." Amanda menunjuk Alvan yang duduk di dekatnya, dan jari telunjuknya tepat berada di depan wajah Alvan karena cowok itu secara kebetulan melihat ke arahnya. Membuat Amanda cukup kaget.

Alvan menepis jari telunjuk Amanda yang berada di depan wajahnya.

Karena suasana sudah memanas, Natasha berpikir dia sepertinya harus mengajak salah satu dari mereka untuk pergi sebelum terjadi pertarungan yang semakin sengit untuk kedua kalinya.

"Man, kita ke kantin aja, yuk. Temenin gue makan siang."

Natasha menggandeng Amanda dan menariknya keluar kelas dengan paksa.

Tidak lama kemudian, Alvan juga berdiri dan pergi meninggalkan kelas.

Lalu Benny? Dia merasa ngeri sekali teringat kemarahan Amanda tadi.

"Bushet, deh. Si Amanda kalo lagi marah nyeremin banget, sih?" Benny bergidik ngeri membayangkan bagaimana kalau Amanda lebih marah lagi. Pasti bisa lebih menyeramkan daripada vampir atau sejenisnya.

***

Menyebalkan. Cuma itu satu kata yang ada di kepala Amanda hari ini. Bukan cuma Benny yang membuatnya kesal hari ini, juga bukan Alvan yang membuatnya gondok karena sikap dinginnya, tapi juga Pak Geral.

Saat Amanda berusaha melaporkan Benny yang menggendongnya dua kali tanpa izin, Amanda merasa dirugikan dan berniat meminta bantuan pada Pak Geral. Tapi setelah Amanda menjelaskan duduk persoalannya, apa kata Pak Geral?

"Lagian kamu juga yang salah, Amanda," kata Pak Geral. "Masalah tempat duduk saja dipersoalkan. Saya pikir tidak masalah kamu mau duduk sama siapa di kelas. Yang paling penting kamu tetap rajin belajar. Kalau menurut saya, Alvan itu masih malu-malu karena dia masih murid baru di kelas. Jadi sudah menjadi kewajiban kamu untuk membantunya menyesuaikan diri dengan semua teman-temannya."

Begitulah jawaban yang didapat Amanda dari Pak Geral. Bagaimana tidak tambah gondok coba? Bayangkan saja, kata Pak Geral si Alvan itu malu-malu? Malu-malu apanya? Menyebalkan iya. Terus Amanda juga harus membantu dia menyesuaikan diri? Idih, siapa yang mau? Baru melihat wajahnya yang sengak itu saja sudah membuat Amanda keki sekali dan sangat ingin menonjok wajahnya. Rencana yang sudah dia pikir akan berhasil ternyata gagal juga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status