Tambahan update hari ini. Mumpung di rumah saja, edit-edit bab sambil tunggu kembang api. Yang kehabisan koin, buruan top up deh ...
Aku lega setelah menyelesaikan perpanjangan kontrak selama enam bulan. Kini aku sedang mengantre membelikan roti daging kesukaan Agam dan roti keju kesukaan Tita yang mereka pesan tadi. Tak lama, pesananku sudah dikemas.Berjalan menuju eskalator, aku menoleh ke kanan. Terpaksa aku harus meraup kecewa. Tadinya aku ingin ke toko pakaian anak, tetapi toko yang pernah kukunjungi sedang tutup. Sementara toko lain tidak menarik minat dan tidak bersahabat dengan isi dompetku.Dering ponsel membuatku berhenti sejenak. Seorang wanita ingin memesan 200 porsi nasi ayam fillet untuk acara ulang tahun anaknya. Kuterima pesanan tiga hari kedepan itu dengan senang hati. Rupiah-rupiah itu akan masuk ke rekeningku."Risa!" panggil seseorang yang suaranya masih kuhapal betul. Aku belum lupa siapa pemilik suara itu. "Risa! Tunggu!" Teriakan untuk kedua kalinya dari orang yang sama. Aku tidak menoleh dan berlari secepat yang kubisa. Bagaimana bisa dia ada di sini?Berlari memasuki lift yang sebentar lag
"Walau Agam lebih mirip denganmu, tapi mata sipit mereka sama." Aku terdiam dan juga mengakui hal itu. Ibu Umairah, Kemal dan kerabat Aditya juga mengatakan hal yang sama."Saya tidak ingin dia punya kesempatan mendapatkan kalian kembali. Ini mungkin terdengar egois, tapi saya tidak akan menyerah sampai kamu luluh. Saya juga bisa menyayangi Agam seperti seorang ayah menyayangi anaknya. Semua itu tergantung keputusan kamu. Sejak awal, saya sudah beritahu perasaan saya yang sebenarnya," tuturnya lugas dan tenang. Ilmu apa yang dia punya sehingga dengan mudahnya bicara dan mengatakan isi hati dan pikirannya? Aku yang mendengarnya terkejut namun masih bisa tenang. Anehnya, aku malah memikirkan perasaannya.Aku takut mengatakan sesuatu yang mungkin akan menyakitinya. Mendengar tutur panjangnya membuatku sadar jika dia tidak main-main. Begitu juga yang dilakukannya barusan. Hanya orang bodoh yang akan memberikan akses masuk ke rumahnya, kecuali dengan tujuan tertentu. Dia peduli padaku dan
Tadinya kupikir setelah meninggalkan pasar malam, maka Riswan akan mengajak kami pulang. Ternyata, pria itu malah membelokkan mobilnya ke salah satu hotel dengan belasan lantai. Terlihat masih baru dan aku tidak tahu berapa kisaran sewa menginap di sini untuk semalam."Kita mau ketemu siapa di sini?" tanyaku pura-pura bodoh. "Kita akan menginap di sini malam ini. Hotel ini punya adik ipar sahabatku. Tidur di sini gratis karena Agam punya tiket khusus," jelas Riswan mengusap kepala Agam yang mulai mengantuk. Seharian putraku bergerak aktif seakan tidak ada lelahnya. "Hadiah dali Om Polisi. Wah … hotelnya bagus sekali.""Agam memang punya tiketnya?" Tita membungkuk ke arah jok depan yang diduduki Agam."Om Polisi yang ketemu Agam di acala ulang tahunnya kakak kembal bilang, di hotel yang ada ail mancul gede di depannya, Agam punya tiket gelatis tidul di kamal bagus. Foto tiketnya dikilim ke hapenya Om Liswan. Tiketnya walna bilu kuning," tutur Agam begitu yakin.Riswan memejamkan mata
Aku hampir saja menyembur tawa. Gadis yang tadinya sudah berbaring memunggungiku kini terlonjak sampai turun dari tempat tidur. Reaksinya seperti sama takutnya denganku saat bertemu Aditya."Terus?!" Tita masih membelalak memeluk gulingnya.Kusandarkan tubuh lelah ini di sandaran kasur. Kutepuk sisi kosong di sebelahku dan ia kembali naik. Bukan berbaring seperti tadi melainkan duduk bersila di hadapanku."Dia mengenali mbak, Tita. Dia kejar mbak sampai ke depan lift. Untung saja di dalam lift itu ada Riswan dan menjawab Aditya kalau yang dia cari sudah keluar lift. Aslinya, mbak malah mojok. Mbak jongkok di belakang dia ditutupi pakai jaketnya," jelasku mulai menceritakan apa yang kualami.Seperti saran Riswan, tak ada yang kusembunyikan dari Tita. Begitu juga saat aku sadar sudah berada di apartemen Riswan. Alasan pria itu mengajak kami tiba-tiba liburan seperti ini tidak lain untuk menghindari Aditya sementara waktu. Kubuat dia memahami ketakutanku. Berharap sebagai sesama wanita,
Aku melotot dan lagi-lagi ia tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. Kulihat Agam masih mengunyah. Mata sipitnya menatapku lalu kembali menatap Andri."Agam pikil-pikil dulu, Om. Kalau ibu nda jualan, nanti Agam datang. Sudah dua hali ibu nda jualan, nanti uangnya ibu nda cukup bayal ibu gulu. Agam kan sebental lagi mau sekolah," kata Agam membuatku membeku. Tak kusangka Agam memikirkan hal itu. Apakah ia mendengarkan pembicaraanku dengan Tita beberapa hari lalu? Sama sepertiku, Tita pun menoleh menatap Agam yang kembali melanjutkan suapannya. Dua pria di hadapanku juga diam, tapi mengulas senyum."Ok, om mengerti. Nanti kalau Agam sudah mulai sekolah, kasih tahu om juga. Cerita juga sama om tentang teman barunya Agam," pintanya mengusap kepala Agam yang mengangguk lalu mengacungkan jempolnya padaku. Setelah makan siang, kami putuskan untuk kembali ke Makassar. Andri berangkat lebih dulu karena hendak menjemput kerabatnya di bandara. Seperti kemarin, Agam kembali duduk di depan. Sepanj
Dulu saat dirias pengantin aku tidak merasa secantik ini. Cantik? Ya ampun … geer sekali aku ini. Tita dan Agam sejak tadi melihatku dan memujiku demikian. Menambah rasa percaya diriku untuk bisa menghadiri undangan itu.Kemarin sore kukirim pesan pada Riswan kalau aku dan Agam akan ikut dengannya. Bukannya membalas pesanku, dia langsung menghubungiku dengan panggilan telpon. Katanya takut jika aku akan meralat pesan itu.Alasanku menerima ajakannya adalah sebagai ungkapan terima kasih. Dia yang telah menolongku saat nyaris bertemu Aditya. Dia juga menolongku saat tidak sadarkan diri. Tentunya bukan hal yang mudah untuk memutuskan dan mengambil resiko membawa seorang wanita ke dalam apartemennya. Kuanggap ia hanya ingin membuatku merasa aman dari kejaran Aditya. Dia juga telah menyenangkan putraku dengan janji liburan yang turut kunikmati bersama Tita.Agam mulai bersiap dibantu oleh Tita. Tadi gadis itu juga yang membantuku mengenakan riasan wajah. Kutatap diriku sekali lagi di depan
Menjelang sore kami bertiga pulang. Dia mengajak kami berdua mampir sejenak di anjungan pantai. Menikmati angin sore yang sejuk dan kapal-kapal nelayan yang terombang-ambing di lautan, sedikit mengobati gundah."Apa yang kamu dengar dari ucapan ibu-ibu tadi, jangan kamu ambil hati.""Tentang?"Dia tersenyum memperhatikan Agam yang sedang bersepeda. Sepeda tiga roda yang disewakan pada pengunjung. "Tadi Amanda sudah cerita."Aku ikut tersenyum lalu terkekeh kecil. "Aku tidak memikirkannya. Terserah mereka ingin bilang apa, saya juga tidak peduli. Saya datang ke sana karena berterima kasih pada Anda atas apa yang terjadi pekan lalu," ujarku agar dia tidak menarik kesimpulan sendiri."Saya senang sekaligus terluka.""Karena?" "Saya terluka karena merasa tidak cukup menarik di matamu. Saya juga sempat berpikir kamu mau melabrak ibu-ibu itu. Kamu tinggal bilang sama mereka, saya yang terpilih, bukan wanita lain," ucapnya dan kali ini aku tertawa. Kepercayaan diri mana aku bisa berkata dem
Sejak acara pernikahan Andri, Riswan tidak pernah datang lagi. Dia sepertinya kembali sibuk menjalani rutinitasnya. Entah kembali berbenah di restonya atau meneriwa tawaran kerja di PLZT. Aku tidak tahu apa yang menjadi keputusannya.Pagi ini aku bersiap mengantar Agam ke sekolahnya. Tita sudah berangkat lebih dulu karena harus menemui dosen pembimbingnya di kampus lain. Untuk sebuah tanda tangan dia harus menempuh belasan kilometer itu karena dosen pembimbingnya menjadi pembicara di kampus lain. Katanya kalau ditunda, berkasnya bisa-bisa tidak lolos seleksi. Aku tidak begitu paham maksudnya. Aku hanya bisa memberikan dukungan dengan menyiapkannya sarapan pagi agar dia punya tenaga untuk bejuang hari ini.Agam baru saja mengenakan sepatunya. Sepatu dengan perekat yang dipilihnya sendiri. Taksi online pesananku pun sudah dekat. Bunyi klakson membuatku bergegas. "Om!" seru Agam meninggalku yang sedang mengunci pintu.Bagaimana bisa pria itu tiba-tiba muncul? Dia berjongkok mengecup pip
Setelah dua hari menikmati liburan di pulau, kami kembali ke Makassar. Keesokan harinya, aku dan Agam menemani Aditya membeli oleh-oleh. Mantan suamiku itu awalnya terkejut, namun ketika kulirik Agam, dia pun paham.Aditya begitu tersentuh ketika Agam mengatakan jika uang celengannya masih sedikit. Uangnya tidak akan cukup untuk membeli dua pasang baju. Jadilah dia hanya memilih dua bando karena menolak saat aku menawarkan untuk menambahkan uangnya.Sepulang dari pulau, Agam juga ikut menginap bersama Aditya. Dia juga sengaja memintakan izin untuk tidak masuk sekolah selama dua hari. Hari Selasa sore, Aditya datang bersama Riswan dan Agam. Sore ini kami akan mengantar Aditya ke bandara. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat keakraban dua pria itu."Agam ingat waktu ketemu Om Liswan di bandala dulu. Agam nda jadi naik pesawat. Agam sama ibu naik kapal laut," ujar Agam ketika kami mampir di sebuah kafe bandara."In sya Allah kalau kita ke Surabaya, Agam akan naik pesawat. Bukannya Agam
Kualihkan pandanganku ke arah laut. Kilau indah di permukaan air sana mempesona. Tak lama lagi, akan terlihat matahari tenggelam yang tak kalah indahnya."Kau benar. Selama ini aku selalu terhasut kata-kata ibuku. Ayah bahkan pergi meninggalkan kami setelah tahu perselingkuhan ibu dan kakek. Sama seperti yang kau lakukan dulu." Dia meliriku.Aku tidak menampik maupun mengakuinya dengan lidahku. Kuyakin dia sudah menyadarinya. "Kini aku mengerti mengapa sejak kembali dari rumah sakit, kau tidak pernah menunjukkan sopan santun lagi pada kakek." Kubalas tatapannya dengan anggukan pelan. Aku akui jika sudah lama mengetahuinya. Alasan itulah yang membuatku berani membawa anakku jauh dari orang-orang seperti mereka. Lingkungan yang rusak tidak akan baik untuk anakku.Aku bukannya tidak berharap mereka bisa berubah. Hanya saja aku sadar, itu hal yang sulit. Aku tahu, aku tidak memiliki kemampuan untuk membuat mereka bertobat."Devi juga sama. Sejak dia melihatnya, dia mulai mengacuhkan ibu.
Pertanyaannya malam itu kini terjawab sudah. Setelah menjelaskan tentang janjinya pada Agam, Riswan menunjukkan foto di layar ponselnya. Aku dan Aditya akhirnya mengangguk setuju dengan ajakannya. Akhir pekan ini terasa berbeda. Aku dan Aditya pun sama-sama menepis ego. Apalagi alasannya jika bukan demi Agam. Ketika Aditya menelpon Agam, mengatakan jika Riswan mengajak mereka ke pantai, Agam langsung mau ikut. Aditya memintanya mengajakku seolah-olah aku tidak tahu. Ketika aku setuju, Agam tampak begitu bahagia. Begitu juga halnya dengan Tita.Sama seperti Agam, gadis itu juga sibuk packing. Katanya, di sana dia akan membuat banyak foto dengan beberapa outfit yang khusus dibawanya. Tidak ketinggalan si Moi. Omong-omong, itu nama kameranya.Di atas kapal yang menampung lebih dari 20 orang, aku duduk menikmati angin laut. Aroma khas air laut yang terbawa akan jadi satu kenangan untukku. Ini pertama kalinya aku naik kapal seperti ini. Dulu saat kabur, aku dan Agam naik kapal yang lebih
'Rawatlah ikhlas dalam hatimu, biarkan seorang ayah bertemu putra kandungnya. Mungkin setelah itu … kamu tidak akan lagi hawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang selama ini membayangimu. Termasuk dengan kemungkinan perasaanmu yang akan kembali terluka.'Aku sudah melakukan seperti sarannya. Aku ikhlas dan mengizinkan Aditya bertemu dengan Agam, bahkan keluarganya pun ikut datang. Namun balasan yang kuterima adalah rasa sakit. Dia malah datang membawa niatan baru untuk rujuk. Membuatku seperti wanita penggoda suami orang. Dia bodoh atau bagaimana? Bagaimana bisa dia berpikir aku mau menelan luka?'Memang tidak mudah, mungkin juga akan menyakitkan. Cobalah, mungkin sakitnya hanya sebentar, karena yang saya tahu … setiap rasa sakit selalu ada obatnya. Obat yang paling ampuh adalah … memaafkan.' Lagi-lagi kalimat yang pernah dituturkan Riswan terngiang. Benarkah rasa sakitnya hanya sebentar? Sebentar itu … berapa waktu yang harus kulalui untuk bisa bertahan?Sambil menata kembali jilb
Lelah dan jengah dengan sikap Aditya, aku akhirnya tiba di penghujung kesabaranku. Dua pekan ini dia benar-benar mengujiku."Aku tidak akan membiarkanmu bertemu Agam lagi, jika kau tidak kembali pada keluargamu. Aku tidak ingin kedua adik kembar dari pernikahanmu dan Devi punya hubungan buruk dimasa depan dengan Agam. Sikapmu ini, membuatku kembali kehilangan rasa percaya padamu. Aku, tidak sudi rujuk denganmu, Aditya." Kulihat raut wajahnya berubah drastis."Kenapa? Karena Devi mengancammu?"Aku menggeleng. "Bukan. Karena kau selalu mengingatkanku pada rasa sakit. Aku juga tidak sudi punya mertua seperti ibumu. Aku tidak bisa lupa saat dia menuduhku selingkuh, padahal dialah yang berselingkuh dengan, mertuanya sendiri," balasku mengatakan inti dari alasan penolakanku."Risa, aku hanya i-""Jika kau tidak berhenti mengusikku, maka aku akan memberitahu Agam tentang penyebab perceraian kita. Biar saja dia tahu kalau papanya suka memukuli ibunya. Itulah alasan kenapa aku membawanya pergi
Aku hanya bisa memandang taksi yang baru saja dihentikan oleh Aditya. Mantan suamiku itu sempat pamit pada Agam dengan mengatakan kalau dia harus pulang lebih dulu. Besok akan kembali menemuinya di rumah."Carisa …." Aku menoleh ke belakang dengan tatapan penuh harap."Kamu kenapa menangis?" Riswan dengan raut wajah cemasnya menghampiriku."Bagaimana bisa Kak Riswan tahu kami di sini?" Dia tersenyum menunjukkan riwayat chat dengan Tita."Kamu belum menjawab pertanyaan saya. Jelas bukan debu jalanan yang membuat kamu menangis," tebaknya dan dari ucapannya itu aku tahu dia masih menunggu penjelasanku.Kuceritakan apa adanya sambil menunjuk ke arah pintu ruko di seberang jalan. Aditya saat ini menemui si pemilik ruko kosong itu. Dia berniat untuk membuka toko sembako di sana. "Memangnya dia berniat pindah dan menetap di sini? Kenapa tidak cari rumah terlebih dulu? Kasihan istri dan bayi kembarnya kalau tinggal di sana. Ruko sebelahnya itu warung 24 jam, pasti akan berisik," ujarnya denga
Benar dugaanku dia yang datang. Tita mempersilakannya masuk. Masih bisa kudengar suara Tita yang memberitahunya kalau aku di dapur.Tak berselang lama, Ibu Jannah datang mengambil bumbu yang sudah kusiapkan. Dia belum mahir membuatnya. Tita datang membawakan sebuah paper bag. Tentengan itu berisi oleh-oleh makanan khas Surabaya. Oleh-oleh yang sama seperti yang dibawanya tiga bulan lalu saat dia datang bersama ibu dan istrinya.Kubangunkan Agam yang tadinya tidur siang. Tidur sejam setidaknya cukup untuknya. Saat kuberitahu kalau papanya datang, Agam terkejut. Wajah mengantuknya pun sirna. "Papa …." Dia berlari ke pelukan Aditya. Kulihat di meja sudah ada kue dan minuman yang tersaji. Tita pamit masuk ke toko untuk melanjutkan pekerjaannya mengemas pesanan pembeli."Kenapa datang tidak bilang-bilang?" Aditya menoleh menatapku.Dia tersenyum lalu mengecup pipi Agam. "Sengaja buat kejutan untuk Agam. Agam suka tidak, sama oleh-olehnya?" Agam mengangguk mantap. Suara girangnya menyirat
"Permisi …."Seorang pria dan wanita berdiri di depan pintu toko. Aku bisa bernapas lega ketika Riswan menarik diri. Dia beranjak membukakan pintu toko dan mempersilakan mereka masuk."Mari silakan," ajak Riswan begitu ramah seolah dia pemilik toko."Sebaiknya … kita bicara di ruang tamu saja ya, Pak, Bu," pintaku. Riswan sepertinya tersadar jika mereka tamuku."Boleh," sahut pria paruh baya itu mengajak istrinya serta, lalu mengikuti langkahku ke dalam rumah."Carisa, saya pimit dulu. Saya harus kembali ke kantor," kata Riswan."Agam … Om Riswan mau pulang," panggilku.Putraku sudah melesat menghampirinya. Setelah mencium pipi kanan dan kiri Riswan, lalu beralih mencium punggung tangannya, Agam akhirnya merelakan dia pergi. Tangannya bahkan masih dadah-dadah meski mobil hitam itu sudah menghilang dari pandangan matanya."Sebentar ya, Pak, Bu. Saya ambilkan minum dulu," pamitku pada tamuku. Kupinta juga Agam memanggilkan Tita.Tadinya aku ingin DP rumah subsidi. Akan tetapi, aku meliha
Kupersilakan mereka masuk, tetapi wanita yang terkejut tadi menolak dan memilih duduk di teras. Dia kemudian meminta wanita yang datang bersamanya ikut masuk bersamaku untuk mengambil puding-puding itu. Sebenarnya siapa wanita itu? Dari gelagatnya dia mengenalku. Akan tetapi, aku merasa tidak mengenalnya.Belasan menit kemudian, puding-puding itu sudah di pindahkan ke bagasi mobil. Wanita itu mengulurkan uang pada pembantunya untuk diberikan padaku. Sebegitu tidak sukanya dia melihatku."Terima kasih, Nyonya," ucapku ketika menerima beberapa lembar uang seratus ribu rupiah."Hm."Ponselnya berdering dan ia kembali sibuk dengan ponselnya. Sementara pembantunya mengucapkan terima kasih padaku karena telah memberikan bonus dua cup puding berukuran sedang."Apa kau bisa tahu diri sedikit?" Tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan berkata seperti itu.Aku heran dengannya. "Maaf, maksud Nyonya apa?""Mulai sekarang, jauhi Riswan! Dia itu sudah dijodohkan dengan putri saya. Masa iya Farah mau p