"Senang bertemu kembali denganmu mbak Ayu," Seorang wanita tersenyum menatap Gayatri yang masih berjongkok mengimbangi putranya. Senyum sinisnya tak mungkin pernah dilupakan Gayatri. Karena hanya senyum itulah yang selalu ditampakkan wanita itu untuknya.Gayatri hanya menatap wanita di depannya dengan tatapan datar. Jauh sebelumnya dia sudah bersiap jika sewaktu-waktu bertemu dengannya. Hal yang tidak mungkin dihindarinya jika di dekat Prayogi. "Jadi orang kok memilih repot," celetuknya. "Kawin ghak ada yang betah saja, harus ninggalin anak. Jangan-jangan kalau Mbak Ayu kawin lagi, juga akan ditinggali anak lagi. Ribet amat."Gayatri segera berdiri dengan mengangkat Raditya. "Apa maksudmu?""Bener kan ghak ada pria manapun yang betah dengan Mbak Gayatri?" Wanita itu masih berdiri dengan sombongnya. "mau aku rinci? Jangan kira aku tidak tau kabar terbaru tentang Rendra dan Mbak Ayu."Gayatri masih sibuk dengan anaknya. Didiamkan saja wanita itu melunjak dengan kata-kata pedasnya, di
Gayatri yang sudah habis Maghrib datang,lalu menjalankan sholat Maghrib, melihat putra putrinya bersiap hendak ke rumah sakit, segera mencegahnya."Kami pergi ke ayah, duluh, Bund." pamit Galuh begitu turun dan membawa tas berisi selimut. Demikian juga dengan Galing yang telah membawa kasur lipat andalannya."Lihat nih, Bund!" Galuh memperlihatkan kartu ATM. "Memangnya kenapa kamu perlihatkan ke Bunda?""Ini yang dari Ayah, Bund, bukan punyaku sendiri," Galuh tersenyum.Gayatri kemudian menyunggingkan senyumnya. Rasa bersalah kepada Prayogi membuatnya lunak kepada pria itu, terlebih saat mengingat jasanya yang telah menyelamatkan Galuh."Sudah mau pakai uang Ayah?"Galuh mengangguk "Bunda ghak keberatan kan?""Ya, enggak Luh. Kan dari duluh Bunda juga ghak melarang. Kamu sendiri yang sok jaga jara sama Ayah.""Iya, iya. Galuh salah."Gayatri mengacak kepala putrinya yang tertutup jilbab."Kayaknya, kalian tidak usah ke sana.""Lho, kenapa, Bund?"" Di sana ada Tante Samita. Nanti ka
"Kamu tidak sedang bermimpi, Sayang!"jawab orang itu setelah Gayatri dengan terpejam bertanya, "Apakah aku sedang bermimpi?"Sontak Gayatri membuka matanya. Benar dia tidak sedang bermimpi. Rendra kini tengah berada di belakangnya dengan kimono yang sama dengan yang dia pakai."Mas, kenapa kamu ke sini?" tanya Gayatri dengan menahan rasa sentuhan Rendra. "Aku merindukanmu, Aku merindukan bisa menikmati semua ini bersamamu." Rendra kemudian membokong tubuh Gayatri setelah melepas kimononya. Dibaringkannya Gayatri di kursi panjang. Gayatri yang sekilas mengingat akan Rendra bersama dengan wanita lain, segera ditepisnya rasa itu. Dia sudah mabuk dengan tatapan Rendra yang menurutnya masih sama. Terlebih dia tidak ingin malah menghindari Rendra dan membuatnya betah dengan wanita lain. Dia selama ini, selalu memuji segala yang diberikan Gayatri untuknya di tempat tidur. Dan Gayatri tak mau kehilangan kepercayaan itu. Bukankah dia bertekad akan mengembalikan suaminya lagi kepadanya. Dengan
Baru saja dia akan membuka kamar itu, sebuah suara mengagetkannya. Raditya menangis dengan kencangnya. Gayatri segera berlari ke rumahya. Balita itu sudah berdiri di ambang pintu kamarnya dengan tangis yang membasahi pipinya. Mungkin karena katakutan karena di rumah sendiri."Hey, anak Sayang. Kenapa menangis?""Da,..!" panggil Raditya begitu bundanya mendekat dan mengangkatnya."Maafkan Bunda yang telah meninggalkanmu, Sayang. Cup! Jangan menangis. Bukankah tadi malam sudah dipeluk Papa?""Papa?"Balita itu memandang Gayatri seolah dia menanyakan papanya. Gayatri makin memeluknya erat. Kedatangan Rendra setelah beberapa hari kepergiaannya, bukannya mengajak bermain Raditya tapi malah membiarkannya dengan mengatakan mereka akan memiliki anak yang lebih tampan dari Raditya. Sejenak Gayatri bingung dengan sikap Rendra. Yang tadi malam memeluk putranya, bahkan menidurkannya diantara mereka setelah terbangun dari memeluk Gayatri. "Kita mandi ya, nanti jenguk Om Prayogi ke rumah sakit."
"Sepertinya ada orang kemping di sini, enak-enakan makan," sindir seorang wanita yang datang, yang tadi membuat Galing tidak meneruskan kata-katanya."Memangnya kenapa? Apa kami tidak boleh makan? Daripada Tante meninggalkan Ayah sendirian," cercah Galuh."Apa aku harus menunggu orang yang hanya diam?"Galuh yang tadi duduk, lalu berdiri, "Dia sakit, Tante, tak sadarkan diri, sebagai seorang istri seharusnya Tante terus mendampinginya, bukan malah meninggalkannya.""Hey, kamu gadis kecil, beraninya ngomong sama orang tua seperti itu. Kamu ghak diajari sopan santun ya sama ibumu yang malang itu.""Jangan sebut bundaku malang. Memang apa yang membuat Tante menilai bundaku seperti itu? Malangan juga Tante.""Bagaiamana tidak malang, menikah dua kali, dikhianati dua kali pula, ditinggalin benih pula.""Jaga ucapan Tante!" Kali ini Galing ikut berdiri. Telinganya sudah tidak betah mendengar apa yang diucapkan wanita di depannya. "jika Bunda mau, sekali senyum Ayah bisa diambilnya dari Tante
Gayatri melangkah. Dia kemudian duduk di samping Prayogi yang masih menutup matanya. Dilihatnya lelaki yang pernah singgah di hidupnya itu kini terbaring lemah. Gayatri menata detak jantungnya yang tak beraturan. Kenapa tiba-tiba saja perasaan ini ada, cetus Gayatri dalam hatinya." Aku hanya punya uang ini untuk mas kawin kita besuk." Prayogi memperlihatkan uang merah selembar dari sakunya. Itu adalah uang yang dia sisakan dari kerjaanya menjadi kernet angkot sepulang sekolah. Dia memang harus berusaha sendiri jika ingin terus sekolah. Dia sudah tak punya orangtua. Kakak yang dia ikuti pun tak begitu punya.Gayatri hanya tersenyum menatapnya. Bukan hal yang mudah bagi Prayogi untuk mengumpulkan uang sebesar itu. Hingga paginya, setelah mereka resmi menikah, uang yang ditaruh amplop putih itu pun masih dipegangnya. Sebagai uang paling berharga yang bisa dia dapat dari suaminya. Walau uang itu selama ini adalah uang jajannya setiap hari."Maaf, hanya bisa memberimu kehidupan yang sep
"Kalau perlu, sekarang juga kalian pulang semua," ucap Sasmita."Apa Tante bisa menjamin Tante akan di sini seterusnya? Ayah sakit, Tante. Butuh orang yang bisa menjaganya." Galuh yang tadi mau pergi malah balik lagi."Pintar anakmu ya kalau bicara.""Memang kamu yang kebangetan, Sasmita. Apa yang terjadi pada Prayogi jika tadi malam tak ada anak-anaknya? Bisa-bisanya kamu meninggalkannya sendirian.""Apa kamu sudah tak tahan sendirian dan sekarang mau menemaninya?""Jaga ucapan Tante ke Bunda!" Galing yang kali ini telinganya terasa panas langsung berdiri dan menunjukkan telunjuknya ke muka Sasmita.Wanita itu mendengus kesal. "Kalau Bunda mau, Tante. Ayah bisa kembali ke kami sekarang juga. Apa Tante mau?""Coba saja kalau kamu bisa. Ayahmu sudah tidak akan sudi mau bersama dengan bundamu. Rendra saja sudah pergi dan mencari yang lebih muda, ngerti ghak kalian apa maksudnya?" Wanita itu tersenyum mengejek, "artinya kenapa ada yang lebih fres kok harus bersama orang yang sudah menel
"Maksudnya apa ya, Sus?" tanya Galing."Maaf, kami tidak boleh menginformasikan tentang pasien ini kepada siapapun. Karena menurut keluarga beliau ada seseorang yang dicurigai mengincar kematiannya.""Apa?" ucap Galuh dan Galing hampir bersamaan, tak percaya. "Yakin dengan semua itu, Mbak? Kalau toh ada yang mengincarnya, bukannya dari di kamar ICU sendirian itu sudah ada yang mendatanginya? Kenapa telat sekali informasinya? Lagian beliau hanya tabrak biasa, la orang yang nabrak saja orangnya baik, meninggalkan kartu identitas di saya." "Kalau itu saya kurang tau. Saya hanya diinstruksikan pihak keluarga begitu saja.""Ini pasti ulah si ular itu, Kak," sungut Galing."Sudah pasti, Ling.""Tapi dia baik-baik saja kan, Mbak?""Itu juga saya tidak berani mengatakannya.""Saya anaknya, Mbak. Saya bukanlah orang yang akan mencelakainya. Tolong bilang sama saya.""Maaf, sekali lagi, .. maaf!""Ih,..!" Galing mengacak rambutnya frustasi."Sudahlah, Ling, kita pulang saja. Kakak yakin, wani