Share

Pulang Ke Rumah.

JEBAKAN CEO (JODOH SALAH PILIH) 5

"Bagaimana? Sah?"

"Sah!"

Acara sakral itupun berakhir. Kini Ayra sudah menyandang gelar baru. Menjadi seorang istri dari pria yang baru saja ia kenal dan tidak ia tahu asalnya.

"Terimakasih, Nak ...,"

"Rey, panggil saja Rey, Pak," potong Rey saat tahu papa mertua ingin bicara padanya.

"Terimakasih, berjanjilah untuk menjaga putri saya. Saya kasihi dan sayangi dia dengan segenap hati saya, kini saya serahkan putri saya padamu. Jika nanti hatimu berubah, tolong lepaskan dia secara baik-baik," pesan Raditya pada sang menantu.

Rey mengangguk. Ayra langsung merengkuh tubuh Papanya lantas menangis terisak di bahu lelaki terkasihnya itu.

"Papa tolong jangan pergi tinggalkan Ayra," ucap Ayra lirih.

"Memangnya papa mau pergi kemana?" tanya Raditya membelai pucuk kepala putrinya. Ia tersenyum merasa lega melihat putrinya sudah menikah.

"Papa!" pekikan Ayra tertahan. Raditya langsung tertawa lepas melihat tingkah Ayra yang menyangka dirinya akan meninggal. Padahal kenyataannya dirinya tetaplah baik-baik saja.

*

Sementara itu, usai menyaksikan Ayra menikah, Liza dan mamanya langsung pergi pulang. Tujuan dua wanita itu tak lain ingin menggeledah seisi dalam rumah untuk mencari surat-surat penting yang bisa mereka amankan sebelum Ayra datang mengambilnya.

"Sial, kenapa bisa secepat itu sih Ayra menikah? Coba kamu yang dulu menikah, Liz. Dengan begitu semua warisan jatuh ke tangan kamu," umpat sang mama begitu kesal.

"Duh, mama gimana sih! Lagian pacar Liza tuh diajak kawin dianya belum mau!" jawab Liza ikut kesal karena selalu disalahkan.

"Ya, udah. Kalian bubar saja apa susahnya. Ngapain kamu pertahankan dia. Cari cowok tuh yang mau di ajak nikah!" omel mamanya lagi.

"Mama mau Liza nikah sama cowok kek Ayra, begitu? Ogah ah, Liza nggak selera sama cowok kayak dia," sindir Liza saat mengingat bagaimana penampilan suami baru Ayra. Kucel dan kampungan.

"Lelaki itu banyak, Liz. Bukan cuma satu! Cari yang kaya dan mau menerima kamu. Gitu aja apa susahnya!"

"Kalo lelakinya nggak mau gimana, Ma?" Liza menghentikan langkah, menatap mamanya dengan raut wajah kesal.

"Halah, kamu terlalu banyak mikir. Dasar bodoh!" umpat Sarah, mamanya Liza. Ia bergegas masuk ke rumah dan mulai menjelajahi setiap ruangan termasuk kamar suaminya.

"Ayo, cepat Liza! Bantu mama cari sertifikat rumah ini dan surat-surat penting lainnya!" seru Sarah pada putrinya.

"Iya, Ma! Liza udah cari nih!" sahut Liza membuka setiap laci lemari samping ranjang.

"Gimana? Ketemu?" Sarah menoleh ke arah putrinya. Liza hanya mengedikan bahu sebagai jawaban.

"Ah, sial! Kemana kamu sembunyikan suratnya, Radit!" gerutu Sarah hampir putus asa.

Tak ingin menyerah begitu saja, Sarah kembali mencari. Ia membongkar semua isi lemari yang berisi pakaian milik suaminya. Matanya langsung berbinar cerah saat melihat sebuah laci kecil di bawah tumpukan baju.

"Ketemu, Liz!" serunya riang. Liza langsung mendekat dan melihat mamanya memegang sebuah map yang berisi surat-surat penting. Gadis itu langsung tersenyum sumringah.

"Ayo, cepat amankan, Ma. Jangan sampai kita ketahuan," ujar Liza.

Sarah mengangguk. "Ayo, kita pergi!" ajaknya kemudian.

"Tapi, Ma. Tunggu! Bagaimana dengan semua ini? Ayra pasti curiga," jelas Liza memandangi seisi kamar yang berserakan.

"Kamu tenang saja. Biar mama urus. Ayo, kita keluar!" jawab Sarah langsung membuka pintu lantas melangkah keluar kamar.

Sarah memindai setiap ruangan dalam rumah mencari keberadaan Asih, wanita yang biasanya merawat Raditya saat di rumah. Saat sudah ketemu, bergegas ia memanggil wanita tersebut.

"Asih!" panggilnya pelan.

Asih yang sedang menyiram tanaman di taman itu terkejut. Ia bergegas menghampiri majikannya sembari berlari tergopoh-gopoh.

"Ada apa, Nyonya?"

"Cepat kamu rapikan kamar Tuan Raditya dalam waktu sepuluh menit. Jangan sampai Ayra pulang mengetahui semuanya. Paham!"

"Baik, Nyonya."

"Satu lagi, kamu ambil ini." Sarah menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah pada Asih lantas kembali berucap, "Ini uang tutup mulut. Jangan kamu bicara pada siapapun tentang semua ini. Mengerti kamu!"

"Mengerti, Nyonya."

"Bagus! Sekarang kamu boleh pergi."

Sarah tersenyum menyeringai. Dipandanginya sebuah map berisi sertifikat dan surat-surat penting di tangan. Dalam hati ia bersorak menang. Setelah ini ia akan memiliki semuanya dalam waktu singkat dan Ayra hidup di jalanan.

"Sekarang apa lagi, Ma?" tanya Liza menyadarkan Sarah yang larut dalam lamunan.

"Kita ke Bank."

*

"Ayra, Papa mau pulang. Kamu cepat telepon Asih agar segera menyiapkan keperluan Papa," ucap Raditya bangun dari tidurnya. Ia merasa bosan berdiam di dalam ruangan rumah sakit. Pria berusia tujuh puluh tahunan itu mengambil kacamatanya di atas lemari kecil dekat brankar lantas mengenakannya.

"Pulang? Tidak, Pa. Papa ini masih sakit, lagian Dokter juga belum mengizinkan. Memangnya Papa mau kemana sampe minta menelpon Bi Asih segala?" tanya Ayra dengan tatapan penuh selidik. Ia khawatir nanti penyakit sang Papa kembali kambuh.

"Ayra, sudah papa bilang, papa ini baik-baik saja. Kamu jangan khawatir. Besok papa mau ke kantor," ujar Raditya.

"Tapi, Pa," sejenak Ayra menghentikan aktivitasnya yang sedang membersihkan sisa make up di wajah.

"Sudah. Papa baik-baik saja. Lagian Rey yang akan menemani papa ke kantor besok. Benar 'kan Rey?" Raditya beralih menatap ke arah menantunya yang sedang duduk santai di sofa.

Rey mengangguk. "Iya, Ay. Serahkan semuanya padaku. Di jamin aman," jawab Rey dengan percaya diri.

Raditya tertawa. Menantunya ini benar-benar unik. Ia suka itu. Ia begitu bersyukur Ayra memilih pria yang tepat. Meskipun Rey biasa saja, akan tetapi baginya, Rey memiliki sisi kelebihan yang tak di miliki kebanyakan pria lain. Sifat pemberani. Ya! Rey pemberani.

"Terserah Papa deh, asal Papa jaga kesehatan," pesan Ayra mengiyakan keinginan Papanya.

"Baiklah, ayo kita pulang! Papa sudah rindu sama rumah," ungkap Raditya tersenyum sumringah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status