***Rey tersenyum penuh semangat. Rasanya ia sudah tidak sabar ingin mendekati istrinya kembali. Walau hatinya masih terasa sakit dengan perlakuan Ayra sebelumnya, akan tetapi ia akan berusaha untuk memaafkan. Rey terdiam, memikirkan di mana istrinya. Bagaimana mungkin ia bisa menemui wanita itu sedangkan dirinya saja tidak tahu dimana keberadaannya. "Kamu di mana, Ayra?" tanyanya seorang diri. Rey masih diam didalam mobil. Ia terus berpikir sembari mengetuk-ngetuk stir mobil. Saat teringat dengan Papa mertuanya, ia langsung tersenyum."Rumah sakit. Ya, dia pasti berada di rumah sakit." Rey kembali menelpon Max. Asistennya itu tahu ruangan tempat Raditya menginap. Mungkin Max bisa membantunya menemui Ayra."Max, kau tahu ruangan tempat Pak Raditya di rawat. Katakan padaku di mana itu?" "Iya, Tuan. Beliau di ruangan VIV Kamboja lantai 2 nomor 010." "Baik, Terimakasih, Max. Apa kau melihat Ayra?" tanyanya kemudian."Tidak, Tuan.""Kalau begitu, carikan dia untukku!" "Siap, Tuan T
Plak! Rey terkejut. Satu tamparan mendarat di pipi bagian kanan. Ia mengangkat wajah, menatap Ayra yang diliputi marah. Entah, ia tidak tahu apa penyebab istrinya itu marah pada dirinya. Saat ini mereka berada di lorong rumah sakit. Usai Rey bicara dengan Raditya, ia langsung keluar dari ruangan itu. Saat itulah Ayra langsung menarik tangannya menjauh dari sana. "Kenapa?" tanya Rey pelan. Ia bingung kenapa istrinya bisa marah tanpa jelas pada dirinya. "Kenapa katamu? Kamu kira aku nggak tahu semuanya, begitu?" sahut Ayra menatap nyalang ke arah suaminya. Rey baru menyadari saat ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk membahas semua. Ini rumah sakit, tidak seharusnya mereka ribut di sini karena hanya akan menganggu para pasien yang sedang beristirahat. "Ayra, seharusnya bukan di sini. Ayo!" Rey langsung menarik tangan istrinya, membawanya masuk ke mobil. Kebetulan mobilnya masih terparkir mulus di tempat parkir khusus. Rey memanfaatkan kesempatan itu untuk membawa Ayra pul
24. JEBAKAN SANG CEO "Ayra, apa maksudmu? Tidak, aku tidak ingin kita berpisah. Aku tidak akan menceraikan mu!" tegas Rey menahan tangan istrinya yang bersiap pergi. Ayra menghela napas kasar. Ia menepis tangan suaminya. Sungguh saat ini hatinya dikuasai emosi. Ia tidak menyangka ternyata Rey sedang menyamar. Entah, ia tidak tahu apa tujuannya. Yang jelas ia tidak ingin lagi di bohongi. "Terserah apa katamu, Rey. Aku tak peduli. Mau bagaimanapun aku tetap ingin kita berpisah. Ternyata aku telah salah memilihmu untuk menjadi jodohku. Kamu menjebak ku, Rey!" Ayra menggeleng, menatap suaminya dengan penuh rasa penyesalan. Matanya mulai merebak, merasakan kekecewaan yang begitu dalam. "Tidak, Ayra. Aku tidak sedang menjebak mu apalagi membohongi kamu," jelas Rey jujur. Ia meraih tangan istrinya, menggenggamnya dengan erat berharap wanita yang telah membuat dirinya jatuh cinta itu percaya. "Lalu apa semua ini, hah?! Ini yang kamu bilang tidak menjebak ku? Ini, lihatlah. Apa ini, Rey?"
Papa ... Papa! Bangun, Pa!" Ayra berteriak histeris sambil mengguncang tubuh Papanya. Namun, tubuh itu sama sekali tak merespon. Tampak para perawat melepas semua alat medis yang masih terpasang di tubuh Raditya. Ayra yang melihat itu semakin histeris. Ia tak menyangka jika apa yang ia bayangkan akan terjadi dan menjadi kenyataan. Rasanya ia belum bisa menerima takdir yang menurutnya terlalu cepat. "Tidak, Pa. Tolong jangan tinggalkan Ayra," ratap Ayra dengan air mata yang terus saja mengalir membasahi wajah. "Nona, sabar ya," ucap salah satu seorang perawat yang merasa kasihan sambil merangkul Ayra. "Nona." Ayra mengangkat wajah saat mendengar suara seorang wanita yang telah lama menjadi perawat papanya. "Mbak Asih, apa yang terjadi, Mbak? Kenapa papa begitu cepat meninggalkan Ayra?" tanya Ayra kembali menangis. Asih langsung memeluk tubuh Ayra. Wanita itu juga merasakan kesedihan yang mendalam. Baginya, keluarga Ayra merupakan keluarga yang baik. "Sabar, Nona. Tuan sudah tida
"Ayra, hidup papa mungkin nggak akan lama lagi. Papa ingin kamu menggantikan papa, Ay." Ayra mengernyit. Gadis berwajah ayu itu tidak mengerti arah pembicaraan papanya. Saat ini, sang papa memang sedang terbaring sakit. Sudah hampir dua bulan beliau mengalami sakit diabetes dan sudah menjalani pengobatan. Namun, kian hari keadaan sang papa kian memburuk saja. "Maksud papa apa? Papa jangan bicara begitu. Ayra tetap di sini dan akan menjaga papa hingga sembuh," balas Ayra sembari mengusap tangan keriput lelaki tua yang terbaring lemah di sampingnya. Lelaki itu menggeleng. "Ayra, dengarkan papa. Semua sudah papa pikirkan jauh-jauh hari. Sekarang perusahaan itu milikmu. Papa serahkan semua sama kamu dan sekarang perusahaan itu sepenuhnya menjadi kendalimu. Tapi ...." Raditya terdiam sejenak, ucapannya menggantung. Ia tampak menghela napas panjang kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Begitu banyak beban yang ia pikiran termasuk bagaimana kehidupan Ayra, putri kandungnya itu jika dir
Dengan santai Ayra kembali mundur. Ia balik menatap mama tirinya dengan senyuman tak kalah sinis. "Tenang saja, Ma. Besok Ayra bakal menikah kok. Kalian tunggu saja." Usai berkata demikian, Ayra langsung masuk ke mobil lantas menutup pintunya dengan keras. Keluarga tirinya terdiam merasa sedikit terkejut dengan perkataan Ayra barusan. Mereka menatap kepergian Ayra hingga menghilang di jalanan. Liza langsung berdecak sebal tak menyangka Ayra berani bersikap demikian. Biasanya gadis yang menurutnya dungu itu hanya diam saja dan tak melawan. Tapi, kini? Apa yang ia lihat sungguh diluar perkiraannya. "Dia beneran nggak sih, Ma? Bisa gawat kalo gini," ucap Liza menatap mamanya dengan raut wajah khawatir. "Halah, kamu tenang saja sih, Liz. Ayra itu nggak punya pacar. Mana mungkinlah dia besok bisa langsung nikah. Lagian siapa sih cowok yang mau sama dia yang perawan tua itu," ujar mamanya mencoba menenangkan putrinya walau dalam hati sebenarnya ia pun merasa khawatir. "Tapi, Ma ...,""
"Oke, oke, baiklah. Bisa Anda berhenti bicara? Saya tak punya waktu untuk mendengar perkataan yang menurut saya nggak penting. Sekarang Anda mau makan di mana? Restoran?" tawar Ayra. Pria itu langsung tersenyum sumringah. Melihatnya, Ayra memutar bola mata malas. Dalam hati ia mati-matian menahan diri untuk tidak terpancing emosi. Ayra melirik sekilas ke arah arloji yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk bersantai sebelum pergi ke kampus. "Ayolah, saya tak punya banyak waktu. Anda hanya buang-buang waktu saya berdiri diam di situ. Mau makan tidak sih!" sentak Ayra mulai merasa gerah berdiri di jalanan. "Hm, saya mau makan di restoran masakan padang, Nona," ucap pria tadi tanpa malu."Hm, baiklah. Ayo, saya tak punya waktu!" Ayra langsung berlalu pergi masuk ke mobilnya. "Hei! Apa lagi? Ayo, cepetan!" teriak Ayra dari dalam mobil saat melihat pria tadi masih berdiri diam di tempatnya. "Masuk!" Ayra langsung membuka pintu mobil saat pr
Rey tertawa tipis. Ia mengambil segelas air minum lantas menenggaknya hingga tandas, tak lupa kentang goreng pun ia lalap hingga tak bersisa. Ayra yang melihat itu kembali melongo. Sebegitu laparnya pria kampungan dihadapannya ini. Baru saja selesai makan dalam porsi yang banyak, dia ternyata juga melalap apa yang tersisa."Kenapa?" tanya Rey saat menyadari Ayra menatapnya. "Sudah selesai makannya? Saya harus pergi," jawab Ayra tanpa basa basi. Baru saja ia ingin memanggil seorang pelayan untuk membayar, tiba-tiba ponselnya berdering. Gegas ia membuka ponsel lantas mengangkat panggilan."Apa! Ya, baik. Saya segera ke sana." Rey hanya memperhatikan dan menyimak pembicaraan Ayra yang entah ia tidak tahu dengan siapa. Tampaknya Ayra baru saja menerima panggilan penting. Itu terbukti dari raut wajahnya yang terlihat begitu khawatir.Ayra langsung menutup ponsel saat panggilan sudah berakhir. Ia beranjak dan bersiap pergi. Saat ini pikirannya hanya tertuju pada Papanya. Gegas ia membay