Share

Menabrak

Dengan santai Ayra kembali mundur. Ia balik menatap mama tirinya dengan senyuman tak kalah sinis. "Tenang saja, Ma. Besok Ayra bakal menikah kok. Kalian tunggu saja."

Usai berkata demikian, Ayra langsung masuk ke mobil lantas menutup pintunya dengan keras. Keluarga tirinya terdiam merasa sedikit terkejut dengan perkataan Ayra barusan.

Mereka menatap kepergian Ayra hingga menghilang di jalanan. Liza langsung berdecak sebal tak menyangka Ayra berani bersikap demikian. Biasanya gadis yang menurutnya dungu itu hanya diam saja dan tak melawan. Tapi, kini? Apa yang ia lihat sungguh diluar perkiraannya.

"Dia beneran nggak sih, Ma? Bisa gawat kalo gini," ucap Liza menatap mamanya dengan raut wajah khawatir.

"Halah, kamu tenang saja sih, Liz. Ayra itu nggak punya pacar. Mana mungkinlah dia besok bisa langsung nikah. Lagian siapa sih cowok yang mau sama dia yang perawan tua itu," ujar mamanya mencoba menenangkan putrinya walau dalam hati sebenarnya ia pun merasa khawatir.

"Tapi, Ma ...,"

"Sudah, pokoknya kamu tenang saja. Biar mama yang urus. Sekarang ayo kita masuk dulu," ajak mamanya melangkah lebih dulu memasuki rumah sakit.

*

Sementara itu, dalam perjalanan mengendarai mobil, pikiran Ayra berkelana kemana-mana. Saat ini hatinya masih begitu dongkol dengan sikap keluarga tirinya yang selalu suka menghina. Ingin rasanya ia merobek mulut mereka yang ember itu.

"Huh! Bagaimana ini? Aku bisa kalah, mereka pasti akan menertawakan ku lagi," gumamnya dalam hati.

Kini perasaan Ayra mendadak resah dan bingung. Menikah? Bagaimana ia bisa menikah sedangkan calon mempelai lelakinya saja tidak ada? Besok? Ah ... memikirkan semua bikin otaknya pusing! Pusing tujuh keliling!

"Huft! Tahan, tenang!" gumamnya lagi mengambil napas dalam lantas mengeluarkannya secara perlahan.

Ayra kembali fokus menyetir mobil, mencoba melupakan masalahnya sejenak. Namun, ternyata tak bisa. Semua masalah itu berkeliaran memenuhi otaknya meminta untuk diselesaikan sekarang juga ditambah lagi perasaannya yang tak bisa tenang.

Kini, Ayra jadi melamun memikirkan masalahnya yang kian rumit. Tanpa ia sadari di depan sana ada seseorang sedang menyebrang jalan. Dan ....

Shif!

Ayra refleks langsung menginjak rem mobilnya secara mendadak sehingga menimbulkan suara decitan ban mobil yang beradu dengan aspal itu terdengar cukup keras.

"Astaga! Ya, Tuhan. Apa yang telah aku lakukan? Ah, sial!" umpat Ayra langsung membuka kaca pintu mobil. Ia langsung panik saat melihat ternyata di depan sana ada seseorang duduk meringkuk di jalan aspal.

"Apa dia tertabrak? Aduh, bagaimana ini?" gumamnya ketakutan.

Tak ingin orang-orang sekitar menghakimi dirinya, Ayra pun terpaksa keluar dari mobil. Ia melangkah pelan menghampiri orang tersebut.

"Maaf, saya tidak sengaja. Apa anda baik-baik saja?" tanya Ayra sembari mengulurkan tangannya untuk membantu orang tersebut agar berdiri.

Saat orang itu mengangkat wajahnya, Ayra di buat kaget dengan penampilannya. Ternyata dia itu seorang pria. Ia pun menarik tangannya kembali dan mengurungkan niatnya ingin membantu pria tersebut.

"Saya bisa sendiri. Apa Anda tidak punya mata?" tanya pria itu berlagak angkuh. Ia akhirnya berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun.

Ayra melongo. Ia menatap penampilan pria dihadapannya yang menurutnya cukup memprihatinkan. Rambutnya ternyata panjang sedikit ikal dan di ikat. Mengenakan baju kaos biasa, celana pendek selutut dan sendal jepit. Wajahnya sedikit brewokan. Ia kira dirinya telah menabrak seorang wanita tapi nyatanya dia seorang pria.

"Kamu juga budeg ya," ucap pria itu lagi hingga membuat bola mata Ayra terbuka lebar seolah mau keluar dari tempatnya.

"Oh, tidak. Sudah saya katakan kalau saya tidak sengaja," tegas Ayra.

"Hm, begitu ya. Lihat jalan ini tidak? Jalan ini lebar. Anda bisa saja pakai jalan sana. Tapi, Anda mengambil jalan saya. Bukankah itu sebuah pelanggaran?"

Ayra mendengus. Ternyata pria di hadapannya itu terlalu banyak bicara. Pelanggaran katanya? Pelanggaran dari mana itu? Ia berhak menggunakan jalan sesuai jalur. Salah pria itu yang menyeberang tidak pada tempatnya.

Tak ingin berdebat, Ayra akhirnya kembali ke mobil lantas bergegas mengambil beberapa lembar uang dari dalam tas. Setelahnya, ia kembali menghampiri pria tadi.

"Baiklah, saya minta maaf. Ini, ambillah," ucap Ayra sambil menyerahkan beberapa lembar uang tadi pada pria tersebut. Tak apalah kali ini ia memilih mengalah daripada masalahnya jadi panjang tak berkesudahan.

"Oh, maaf, Nona. Saya tidak butuh uang Anda," balas pria itu menggeleng.

"Lalu apa mau Anda? Saya tidak punya waktu berbasa-basi," ujar Ayra mulai kesal.

"Saya ingin makan," balas pria itu.

"Makanya ambil uang ini. Anda bisa beli makanan dengan ini," jelas Ayra mencoba tetap bersabar.

"Saya mau kalau Nona menemani saya makan. Kalau tidak ...."

"What?" potong Ayra. Kedua alisnya saling terpaut tidak mengerti apa mau pria kucel dihadapannya ini.

"Saya bisa lapor polisi. Pelanggaran yang Nona lakukan sudah jelas melanggar hukum," jelas pria itu.

"Hah? Kok, bisa begitu? Bukankah saya sudah minta maaf dan menjelaskan bahwa saya tidak sengaja. Kenapa masalah ini harus diperpanjang?" tanya Ayra tak mengerti jalan pikiran pria yang tidak ia tahu siapa namanya.

"Bagaimana, Nona? Ini hanya makan siang dan Anda hanya menemani saya. Kalau Nona tidak mau, saya pun tidak main-main dengan perkataan saya."

"Oke, oke, baiklah. Bisa Anda berhenti bicara? Saya tak punya waktu untuk mendengar perkataan yang menurut saya tak penting. Sekarang Anda mau makan di mana? Restoran?" tawar Ayra.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status