Share

Pernikahan Mendadak

Rey tertawa tipis. Ia mengambil segelas air minum lantas menenggaknya hingga tandas, tak lupa kentang goreng pun ia lalap hingga tak bersisa.

Ayra yang melihat itu kembali melongo. Sebegitu laparnya pria kampungan dihadapannya ini. Baru saja selesai makan dalam porsi yang banyak, dia ternyata juga melalap apa yang tersisa.

"Kenapa?" tanya Rey saat menyadari Ayra menatapnya.

"Sudah selesai makannya? Saya harus pergi," jawab Ayra tanpa basa basi.

Baru saja ia ingin memanggil seorang pelayan untuk membayar, tiba-tiba ponselnya berdering. Gegas ia membuka ponsel lantas mengangkat panggilan.

"Apa! Ya, baik. Saya segera ke sana." Rey hanya memperhatikan dan menyimak pembicaraan Ayra yang entah ia tidak tahu dengan siapa. Tampaknya Ayra baru saja menerima panggilan penting. Itu terbukti dari raut wajahnya yang terlihat begitu khawatir.

Ayra langsung menutup ponsel saat panggilan sudah berakhir. Ia beranjak dan bersiap pergi. Saat ini pikirannya hanya tertuju pada Papanya. Gegas ia membayar semua tagihan makanan di atas meja lantas melangkah keluar restoran.

Tanpa Ayra sadari jika Rey mengikuti langkahnya. Saat ia masuk ke mobil pun, Rey juga mengikuti. Pria berperawakan tinggi itu langsung duduk bersebelahan dengan kursi kemudi yang di duduki Ayra.

"Kamu? Ngapain masuk ke sini?" tanya Ayra dengan tatapan melotot. Ia tidak suka pria yang bernama Rey itu mengikuti kemanapun ia pergi.

"Sepertinya Anda punya masalah, Nona. Saya khawatir nanti Anda menabrak," ujar Rey tanpa menoleh.

"Apa peduli mu?" Rey tersenyum saat mendengar Ayra menyebut kata 'Mu'. Baginya itu lebih enak di dengar ketimbang dengan kata 'Anda' yang kedengarannya terlalu formal.

"Ingat, saya ini calon mempelai pria kamu. Saya berhak mengawasi kemanapun kamu pergi," tegas Rey begitu percaya diri.

"What?!"

"Ayo, jalan! Atau kamu mau membuang waktu?" desak Rey hingga membuat Ayra merasa begitu kesal. Gadis itu akhirnya langsung menginjak gas kemudian mulai melajukan mobil menuju rumah sakit dimana Papanya sedang di rawat.

Setibanya di ruangan sang Papa, Ayra langsung menghampiri brankar tempat Papanya berbaring. Wajah tua keriput itu tampak begitu lemah tak berdaya.

"Papa, ini Ayra datang. Tetaplah bertahan ya, Pa," ucap Ayra tak kuasa menahan kesedihan. Di ciumnya kening pria satu-satu keluarga yang ia miliki itu dengan penuh harap dan doa.

Perlahan mata cekung Raditya terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Ayra, putrinya. Ia langsung tersenyum, akan tetapi, senyumannya langsung pudar saat ternyata di ruangan itu juga ada istri dan anak tirinya.

"Ada apa, Pa?" tanya Ayra merasa bingung dengan reaksi Papanya.

"Beneran besok kamu mau menikah, Ay?" tiba-tiba sang mama tiri mendekati Ayra. Wanita itu tersenyum sinis merasa tak suka karena Ayra menjadi penghalangnya untuk mendapatkan semua kekayaan suaminya yang saat ini sudah terlihat sekarat.

Ayra tak memperdulikan mama tirinya. Ditatapnya lagi pria yang masih terbaring lemah lantas mengusap tangannya lembut.

"Ayra, kamu ingat pesan papa 'kan?" bisik Raditya pelan.

"Ya, Pa."

"Segeralah menikah. Papa harap kamu mengerti apa maksud papa," ucap Raditya membalas genggaman tangan putrinya.

"Tapi, Pa ...,"

"Kenapa, Ay? Belum punya jodoh ya," sindir Liza hingga membuat wajah Ayra merah padam menahan amarah. Ia paling sebal jika saudara tirinya itu terlalu suka ikut campur dan mengusik hidupnya.

"Saya yang akan menjadi jodohnya." Semua yang ada di sana langsung menoleh ke arah suara. Rey hanya tersenyum santai sembari tetap berdiri tegap di samping Ayra.

Ayra diam tak bergeming. Seperti yang lain, ia pun terkejut dengan keberanian pria norak disampingnya itu. Untuk hari ini, Rey menjadi penyelamat dirinya dari pertanyaan yang seharusnya tak ia jawab.

"Hah?! Benarkah, Ay? Kamu mau menikah dengan pria culun seperti dia? Apa tidak ada pria lain yang mau menikah dengan mu, Ayra?" Liza kembali berbicara. Gadis itu tertawa saat mendengar pengakuan Rey yang menurutnya lucu. Ia menatap Rey dari atas kepala hingga bawah kaki dengan tatapan menghina. Begitupun mama tiri Ayra.

"Ya, Mbak. Apa salah? Ayra yang memilih dia, bukan Mbak. Lebih baik Mbak Liza urus masalah sendiri. Jangan suka mencampuri urusan orang," sindir Ayra.

Liza terlihat mencebikkan bibir. Ayra kembali menatap Papanya dan memilih mengabaikan keluarga tirinya. Ia tidak ingin ada keributan yang mungkin akan membuat kesehatan papanya semakin drop.

"Ayra."

"Ya, Pa."

"Menikahlah sekarang juga. Papa ingin menikahkan kamu selagi nyawa papa masih di kandung badan. Papa tidak ingin terlambat dan menyesal," ungkap Raditya hingga membuat Ayra tak kuasa untuk menahan air mata. Gadis berambut panjang itu akhirnya menangis dalam pelukan Raditya.

"Ayra tidak ingin mendengar papa bicara begitu. Tetaplah bertahan, Ayra janji akan menikah," balas Ayra sambil terisak.

"Halah, mau nikah saja banyak drama. Lebay nya kebangetan," sindir Liza mencebikkan bibir.

Hari itu juga pukul empat sore akad nikah pun berlangsung di ruangan rumah sakit. Acara sakral itu dilakukan begitu mendadak tanpa mengundang keluarga kerabat. Hanya ada penghulu dan para saksi.

Ayra tetap tampil cantik dan anggun mengenakan kebaya putih dipadu dengan kain bercorak batik kecoklatan. Rambut panjangnya di sanggul sedemikian rupa dengan polesan make up wajah yang natural. Sementara Rey mengenakan setelan jas berwarna putih dan celana panjang yang berwarna serupa, sangat serasi dengan Ayra yang begitu alami.

"Saya terima nikah dan kawinnya Ayra Maharani Putri binti Raditya Pradiksa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status