"Kamu menginginkannya, bukan?" Rey tersenyum menyeringai. "What?" Wajah Ayra langsung memerah. Ia berusaha mendorong tubuh Rey dengan sekuat tenaga hingga membuat handuk yang melilit tubuhnya hampir saja terlepas. Rey dengan cepat menahan tangan Ayra lantas menarik pinggangnya. Kini tubuh mereka berdekatan tanpa jarak sejengkal pun. Tatapan mereka saling mengunci dengan deru napas yang memburu."Kamu terlalu galak dan menggoda. Aku suka wanita seperti mu. Tapi ...," ucapan Rey menggantung. Matanya menjelajahi tiap lekuk wajah istrinya yang begitu ayu dan cantik tanpa polesan sedikitpun."Apa?" potong Ayra memberanikan diri menatap balik suaminya. "Ternyata kamu sulit untuk dijinakkan," balas Rey tersenyum tipis. Tatapannya berubah sayu dengan napas yang menyapu ceruk leher Ayra. "Baguslah kalau begitu. Sekarang minggir!" sentak Ayra berusaha melepas diri dari suaminya. "Apa kamu tidak merasakannya? Hm," bisik Rey semakin mempererat pegangan tangannya yang masih memeluk pinggang A
"Kamu menyukainya?" goda Rey dengan senyum menyeringai. Ayra tersentak. Wajahnya langsung memerah. Jujur, ia begitu malu kedapatan memperhatikan tubuh suaminya, malu untuk mengakui bahwa dirinya menyukai apa yang ada pada pria dihadapannya itu. "Ini baju ganti untukmu. Aku mau pergi jalan-jalan ke luar sama Papa," ucap Ayra langsung memalingkan wajah. Ia bergegas keluar kamar tanpa bicara lagi. Berdekatan dengan Rey hanya akan menodai otak dan matanya. Walau ia selalu berkata tidak menyukai pria itu. Namun, hatinya malah berkata sebaliknya. "Kemana? Tunggu, aku ikut!" seru Rey. Ia dengan cepat mengenakan pakaiannya. Ayra tak menyahut. Ia langsung menutup pintu lantas pergi menuruni anak tangga. Rey kembali tersenyum, merasa yakin bahwa Ayra pasti menyukai dirinya. *"Pa, bagaimana kalau malam ini kita makan bersama di luar saja? Suami Ayra yang traktir. Mama ingin menantu kita dekat dengan keluarga," usul Sarah duduk di samping Raditya. Raditya menoleh sekilas. Matanya memicing
Ayra baru pulang ke rumah saat jam sudah menunjukan pukul 12 malam. Suasana rumah tampak begitu sepi. Ia melangkah dengan gontai menuju kamar. Baru saja ingin membuka pintu kamar, ia dikejutkan oleh suara orang memanggilnya. Ayra berdecak, merasa yakin jika itu adalah Rey. Namun, saat membalikkan tubuh ternyata itu adalah Papanya. "Ayra." Ayra langsung menoleh ke arah suara. "Papa? Kok belum tidur?" tanyanya merasa lega. Hampir saja ia memaki kalau tidak melihat wajah Papanya. "Kamu darimana saja baru pulang malam begini? Suamimu mana?" tanya Raditya balik. Matanya memicing menatap putrinya.Ayra menghembuskan napas kasar. Ia langsung berbalik, membuka pintu kemudian masuk kamar tanpa menjawab pertanyaan Papanya. "Ayra, jawab papa! Suamimu mana? Kenapa tidak ikut pulang denganmu?" ulang Raditya mengikuti langkah putrinya. "Ayra tidak tahu, Pa. Sudahlah, Ayra capek. Biar saja dia di luaran sana. Toh, asalnya memang hidup di luaran kok," jawab Ayra langsung menghempaskan tubuhnya
"Setelah ini kau akan nyaman berada di sini, Rey. Mereka harus tahu siapa dirimu. Kamu adalah menantuku!" tegas Raditya lagi. Raditya beranjak menghampiri meja kerjanya lantas duduk di kursi kerajaan. Ia membuka beberapa berkas di atas meja kemudian mulai membubuhkan tanda tangan pada berkas-berkas tersebut.Sementara Rey sendiri sedang bersantai seorang diri. Ia pun beranjak menghampiri jendela kaca berukuran besar lantas melihat pemandangan di bawah sana. Ia memperhatikan hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang di jalanan, mengingat saat-saat dirinya berada ditempat yang bising. Ia menyunggingkan senyum karena upaya penyamaran dirinya kini berhasil. Puas menatap jalanan dari atas, Rey membalikkan tubuh. Kini ia memperhatikan suasana dalam ruangan kerja Papa mertuanya. Beberapa perlengkapan interior terpampang di sana. Pandangannya langsung tertuju pada sebuah foto berukuran sedang yang tergantung di sudut dinding tepat dibelakang kursi tempat Papa mertuanya duduk. Rey kembali
"What? Memangnya kamu siapa berani bicara begitu? Heh, Liz. Asal kamu tahu ya, kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan apa yang telah aku genggam. Ck, kamu kira aku ini bodoh, hah?! Jangan mimpi!" Ayra menatap tajam saudara tirinya. "Halah, kamu nggak tahu aja apa yang kami pegang, Ay. Lihat ini, ini adalah milik kamu bukan?" Sarah mengambil alih map dari tangan putrinya. Tanpa membukanya, ia hanya menunjukan map tersebut pada Ayra sambil tersenyum penuh kemenangan. Mata Ayra menyipit. Apa maksud mama tirinya itu? Jangan-jangan ... ah, gawat. Bagaimana jika mereka telah mengambil semua yang ada pada Papanya tanpa sepengetahuan dirinya? Ayra terdiam, berpikir keras mencari jalan untuk menjatuhkan keluarga tirinya yang begitu licik. "Bagaimana, Ay? Sudahlah, kamu sudah kalah. Lebih baik kamu pergi secepatnya dari sini! Karena semua ini akan menjadi milik kami, paham kamu!" lanjut Sarah menggertak. Ayra mencoba tetap tenang. Ia tersenyum, "Tidak, Ma! Aku tidak akan pergi dari sini se
Rey tak memperdulikan istrinya yang terus saja mengoceh tak jelas. Ia begitu menikmati hidangannya, tak peduli jika orang-orang sedang tengah memperhatikan dirinya. Jujur, sebenarnya dalam hati Rey cukup merasa tersinggung dengan penghinaan Ayra. Namun, demi menjaga agar misinya tetap aman, ia memilih tetap bertahan. "Rey!" sentak Ayra merasa kesal karena suaminya seolah tak memperdulikan dirinya. "Ya," sahut Rey santai."Aarrrrrrh! Kamu benar-benar menyebalkan, Rey! Ayo kita pergi dari sini. Buang saja makanan mu!" Ayra menarik paksa tangan suaminya. "Tapi, Ay. Aku belum selesai," balas Rey bergegas menghabiskan makanannya. Hampir saja ia tersedak kalau saja tidak mengambil minum. "Sudahlah, lupakan!" sentak Ayra semakin kesal.Mereka kembali menaiki mobil. Kali ini Ayra yang mengemudi. Sepanjang perjalanan, wanita itu tak hentinya mengomel. Menyudutkan Rey dengan berbagai hinaan yang menyakitkan. Ayra tidak sadar bahwa apa yang telah ia lakukan itu salah dan telah mengubah kep
"Tuan Thomson?" Sopir yang membawa penumpang laki-laki itu tampak kaget saat melihat wajah aslinya. "Bawa saya pulang, Max!" ujar Rey melepas semua yang menempel di wajahnya. Mulai dari rambut serta bulu-bulu yang ada di bagian pipinya. Rey, pria yang sudah menikah dengan Ayra itu ternyata memiliki nama panggilan lain. Reynaldi Thomson, nama yang mungkin tidak asing lagi di kalangan orang-orang besar. Karena itulah ia tidak pernah menyebutkan nama aslinya dihadapan keluarga Ayra. Ia hanya tidak ingin orang-orang mengenal kehidupan dan dunianya. Pria berperawakan tinggi itu ternyata memiliki kekuasaan. Bukan seperti orang kampungan yang sering istrinya katakan. Bahkan penampilannya kini jauh lebih berbeda. Ia lebih tampan dan bersih setelah rambut dan bulu palsu itu di lepas dari wajahnya."Baik, Tuan!" Mobil yang di atasnya ada tulisan taksi itu langsung melaju dengan kecepatan tinggi. Rey tidak asing lagi dengan sopir pribadinya itu. Sebelum menghadang mobil Max tadi, ia terl
"Merana? Bagaimana bisa kamu tahu dia merana, Max?" tanya Rey menautkan kedua alisnya. Max tertawa renyah. "Saya bisa melihatnya dari sini, Tuan. Dia sedang duduk seorang diri di kursi taman," ucapnya di seberang."Kau ambil gambarnya, Max. Kirim padaku segera!" lanjut Rey langsung menutup panggilan. Entah, mengapa hatinya mendadak resah setelah mendengar penuturan Max, asistennya. Apa yang terjadi? Kenapa dengan Ayra? Ting!Terdengar notif pesan masuk dari gawai milik Rey. Gegas ia meraih ponselnya yang baru saja ia letakkan di atas meja lantas membuka aplikasi berlogo hijau. Sudut bibir Rey langsung melengkung. Ia tersenyum saat melihat foto Ayra sedang duduk sendirian di kursi taman. Wajah ayu yang ia rindukan itu tampak tak seperti biasanya yang begitu galak dan cerewet. "Apa yang kamu pikirkan, Ayra? Memikirkan diriku kah? Hm," gumam Rey menatap lekat foto wajah istrinya. "Tetap awasi dia, Max. Besok kamu kembali lagi ke sini!" "Baik, Tuan!" Rey kembali menutup ponselnya s