Share

Kamu menginginkannya, bukan?

"Rey, ini, ambil!" Raditya melempar kontak mobil Ayra ke arah Rey. Dengan sigap pria itu langsung menangkapnya.

"Eh, sini kembalikan! Kenapa kamu ambil kontak mobil saya," ucap Ayra berusaha merebut kontak mobilnya dari tangan Rey.

"Ayra, kamu apaan sih! Biar Rey yang menyetir mobil. Dia ini suami kamu lho," ujar Raditya mengingatkan.

"Duh, Papa. Kayak nggak tahu aja sama dia. Papa kira dia bisa menyetir mobil?" ledek Ayra menatap malas ke arah Rey, suaminya.

"Sini, berikan padaku kontaknya!" Ayra kembali merebut paksa kontak mobil dari tangan Rey.

"Ayra!" Raditya geleng-geleng kepala melihat kelakuan putrinya.

"Sudahlah, Pa. Ayo, kita berangkat!" ajak Ayra langsung beranjak pergi keluar ruangan.

"Oh, ya. Sekalian kamu bawa barang-barangnya ke mobil," lanjut Ayra hingga membuat Rey menghentikan langkah. Begitupun Raditya, ia menghela napas panjang, sangat menyayangkan sikap Ayra yang tidak mencerminkan sebagai seorang istri.

"Maafkan putri saya, Rey. Dia memang begitu," jelas Raditya merasa bersalah pada sang menantu.

"Tenang saja, Pak. Ini hal biasa bagi saya," ungkap Rey tersenyum.

Mobil yang dikendarai Ayra, akhirnya melaju dengan kecepatan tinggi. Entah, mengapa rasanya ia ingin segera tiba di rumah. Sementara Papa dan suaminya yang duduk di jok kursi bagian belakang tampak sedang berbincang santai.

Tiba di rumah, Ayra langsung turun tanpa mengajak suaminya masuk. Lagi dan lagi, Raditya hanya bisa menghela napas. Ia melihat di sekeliling, suasana rumah yang baru ia tinggal beberapa minggu ini tampak begitu sepi.

"Asih, apa keperluan saya sudah kau siapkan?"

"Sudah, Tuan. Semuanya ada di kamar Anda," jawab Asih mengambil koper pakaian dari tangan Rey. Langkah wanita itu terhenti, ia menatap Rey dengan kedua alis mengernyit.

"Maaf, Tuan. Dia siapa?" tanya Asih.

"Dia suami Ayra. Tolong kamu tunjukkan pada dia dimana kamarnya Ayra," ucap Raditya menatap putrinya yang sudah duluan menaiki tangga menuju kamar.

Asih melongo, kembali menatap Rey dari atas hingga bawah kaki. Ia masih belum percaya jika pria berpenampilan aneh itu ternyata suami Nona Muda, Ayra.

"Asih, kenapa kamu masih di situ? Ayo bawa dia ke kamar Ayra." Asih tersentak. Wanita itu langsung mengangguk lantas mengajak Rey naik ke lantai atas.

"Tuan Muda, mari ikut saya." Rey mengangguk. Ia mengikuti wanita itu sambil memandangi sekeliling dalam rumah.

"Ini kamarnya, Tuan."

"Baik, Terimakasih." Asih mengangguk lantas pamit pergi.

Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Rey langsung memegang gagang pintu kemudian mendorongnya pelan. Sebelum melangkah masuk, ia menyembulkan kepalanya ke dalam melihat keadaan dalam kamar.

Sepi.

"Hm, nggak ada orang. Lebih baik aku langsung masuk dan tidur," gumamnya tersenyum.

Tanpa pikir lagi, Rey langsung masuk dan menuju ranjang. Ia langsung membaringkan tubuh kekarnya di atas sana dengan posisi telentang. Perlahan ia memejamkan mata, menikmati kenyamanan udara dalam kamar yang begitu harum.

"Arrrrrrgh!"

Rey langsung melonjak kaget saat mendengar suara teriakan. Ia gegas bangun dan melihat sekeliling. Tampak Ayra sedang berdiri di bibir pintu kamar mandi sambil menutup bagian dadanya yang hanya mengenakan handuk.

"Kamu! Kenapa masuk ke sini, hah!?" sentak Ayra.

Rey menatap tak berkedip ke arah Ayra. Dia berdiri diam mematung tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Hal itu tentu saja membuat Ayra semakin merasa tidak nyaman. Ia pikir otak Rey mulai berkelana yang tidak-tidak karena menatap tubuh dirinya yang saat ini hanya terbalut handuk.

"Kamu kenapa diam di situ? Cepat keluar!" usir Ayra sambil menunjuk ke arah pintu.

"Tidak, ini kamar kita. Papamu bilang kita berdua tidur di kamar ini," balas Rey menggeleng. Ia menolak untuk keluar dari kamar sebab kamar ini juga menjadi kamarnya. Ayra adalah istrinya. Jadi, sudah menjadi hak nya memasuki kamar Ayra kapanpun ia mau.

Ayra melongo, merasa tidak percaya dengan apa yang Rey katakan. Tidur berdua? Oh, tidak. Sampai kapanpun ia tak pernah sudi tidur dengan pria kampungan seperti Rey. Baik itu seranjang maupun sekamar, ia tidak akan pernah mau. Sekalipun jika sang Papa akan marah padanya, ia juga tak peduli.

"Jangan harap. Aku tidak pernah sudi tidur berdua denganmu. Sekarang, cepat kamu keluar dari sini! Aku mau ganti baju." Ayra mendekati Rey lantas mendorong bahunya agar segera keluar. Namun, Rey dengan sigap menahan tangan Ayra.

Ayra terkejut. Rey balik mendorong Ayra hingga punggung belakang gadis itu menabrak dinding. Pria itu mengurungnya dengan dua tangan, wajah mereka berdekatan dengan posisi saling tatap.

"Mau apa kamu?"

"Tubuhmu. Kamu tidak akan bisa menahan ku," balas Rey dengan napas memburu.

Wajah Ayra langsung memerah, entah karena apa. Antara malu dan marah, itu yang ia rasakan untuk saat ini. Ia menatap mata elang Rey yang begitu tajam dan menghipnotis seolah akan menelannya bulat-bulat. Jujur, dalam hati sebenarnya saat ini ia merasa sangat takut.

Rey tersenyum merasa telah berhasil menjinakkan sang istri yang menurutnya terlalu galak. Perlahan, dengan berani ia semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Ayra.

Gadis itu hanya diam. Ia memejamkan mata, dan berusaha menghindari kontak mata dengan suaminya. Saat ini ia merasakan jantungnya berdetak begitu kencang dan tak beraturan seakan mau keluar dari tempatnya karena rasa takut dan perasaan ... yang entah ia tidak tahu apa penyebabnya.

"Aku tahu," ucap Rey hingga membuat Ayra perlahan membuka mata. Gadis itu masih diam ditempatnya dan tak bicara sepatah katapun.

"Kamu menginginkannya, bukan?" lanjut Rey tersenyum menyeringai.

"What?" Wajah Ayra langsung memerah. Ia langsung mendorong tubuh Rey sekuat tenaga hingga membuat handuk yang melilit tubuhnya hampir saja terlepas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status