"Merana? Bagaimana bisa kamu tahu dia merana, Max?" tanya Rey menautkan kedua alisnya. Max tertawa renyah. "Saya bisa melihatnya dari sini, Tuan. Dia sedang duduk seorang diri di kursi taman," ucapnya di seberang."Kau ambil gambarnya, Max. Kirim padaku segera!" lanjut Rey langsung menutup panggilan. Entah, mengapa hatinya mendadak resah setelah mendengar penuturan Max, asistennya. Apa yang terjadi? Kenapa dengan Ayra? Ting!Terdengar notif pesan masuk dari gawai milik Rey. Gegas ia meraih ponselnya yang baru saja ia letakkan di atas meja lantas membuka aplikasi berlogo hijau. Sudut bibir Rey langsung melengkung. Ia tersenyum saat melihat foto Ayra sedang duduk sendirian di kursi taman. Wajah ayu yang ia rindukan itu tampak tak seperti biasanya yang begitu galak dan cerewet. "Apa yang kamu pikirkan, Ayra? Memikirkan diriku kah? Hm," gumam Rey menatap lekat foto wajah istrinya. "Tetap awasi dia, Max. Besok kamu kembali lagi ke sini!" "Baik, Tuan!" Rey kembali menutup ponselnya s
Raditya tak menjawab pertanyaan putrinya. Ingatan saat kejadian 12 tahun yang lalu kembali terlintas dalam memori otaknya. Dimana saat itu ia melakukan kesalahan yang fatal. Kesalahan yang membuatnya menyesal seumur hidup. Raditya sangat ingat sosok anak laki-laki yang menangis pilu karena kehilangan orang yang di cintai. Dan penyebab kehilangan itu adalah dirinya. Jika waktu bisa di putar kembali, ia ingin sekali mengulang kejadian itu. Ia ingin meminta maaf dan membawa anak itu ikut bersamanya. Tapi, karena takut sang ibunya mengetahui dan menuntut pertanggungjawaban perbuatan dirinya, ia memilih menghindar dan melupakan kejadian itu. Dan kini, ia melihat sosok suami putrinya. Ya, ia melihat Rey yang begitu mirip dengan anak laki-laki waktu 12 tahun lalu, di mana kecelakaan itu terjadi. "Pa!" Raditya tersentak. Lamunannya langsung buyar kala tangan Ayra menyentuh pundaknya. Ia memaksakan diri tersenyum walau dalam hati menyimpan penyesalan dan ketakutan yang mendalam. Ya, ketak
"Asih!! Kenapa kamu hanya diam? Cepat jawab!" sentak Raditya merasa curiga dengan gelagat Asih yang tak biasa. "A--anu ... saya tidak tahu, Tuan. Biasanya Nona Ayra yang sering masuk ke kamar untuk mengambil pakaian anda selama anda dirawat di rumah sakit," jawab Asih dengan pelan. "Hanya Ayra?" tanya Raditya lagi. Ia merasa tidak puas dengan jawaban Asih. "Iya, Tuan." Asih mengangguk. Raditya menghela napas berat. Ia memijit bagian pelipis yang terasa berdenyut. Pikirannya seakan runyam dengan semua masalah yang ada. Siapakah yang berani mengambil berkas-berkas penting perusahaannya? Ia ingin secepatnya orang itu ditemukan. Jika tidak, dia bisa hancur dan kehilangan semua asetnya yang berharga. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin hidup putrinya menderita. "Tuan, maaf. Ada yang bisa saya bantu?" Lamunan Raditya langsung buyar. Gurat kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya yang tua. Ia langsung menggeleng sembari mengangkat tangan kanannya. "Tidak, kamu boleh pergi, Asih." "Baik,
Raditya menarik tangan Ayra mengajaknya pergi. Ia juga meminta Sarah dan Liza agar berbarengan dengannya. Namun, Sarah menolak dengan alasan bawa mobil sendiri. Dengan terpaksa Ayra pun mengikuti Papanya walau dalam hati sebenarnya ia masih begitu kesal, terutama pada Raditya. Ia tak menyangka Papanya membiarkan Liza pergi begitu saja. Membawa berkas perusahaan yang menurutnya sangat penting. "Ayra, ayo naik!" panggil Raditya saat melihat putrinya hanya berdiri diam di samping mobil."Iya, Pa!" sahut Ayra malas. Raditya langsung melajukan mobil saat Ayra sudah masuk. Dalam perjalanan sesekali terdengar hembusan napas kasar dari mulut wanita cantik itu."Kamu kenapa sih, Ay? Marah-marah terus begitu," ucap Raditya memecah keheningan. Ia tahu putri kandungnya itu sedang marah, itu bisa ia lihat dari raut wajahnya yang tak seperti biasanya."Papa yang kenapa? Kenapa papa biarkan mereka pergi begitu saja. Papa tahu, mereka itu sudah mengambil berkas penting perusahaan papa. Apa papa m
Waktu terus berlalu. Ayra begitu semangat menginjakkan kakinya memasuki kampus. Beberapa hari lagi ia menuju wisuda. Segala persiapan sudah matang. Ia akhirnya bisa menyelesaikan skripsi kuliahnya dengan baik. Ayra begitu yakin bahwa dirinya pasti mampu menggantikan Papanya dalam mengurus perusahaan. Ia sudah cukup paham bagaimana cara kerja perusahaan Papanya yang bergerak di bidang properti itu.Tanpa Ayra sadari jika disetiap langkahnya selalu diawasi oleh seorang pria di kejauhan. Kemana-mana Ayra selalu sendiri bila berpergian. Ia sama sekali tidak pernah berpikir untuk jalan dengan pria lain karena masih sadar bahwa dirinya sudah berbeda status. Meskipun ia tidak pernah bertemu dengan suaminya, Rey. Namun, ia masih menganggap status pernikahan mereka.Ayra melangkah santai menuju ruangannya. Hingga saat ia masuk dan ingin duduk, tiba-tiba ponselnya berdering. Gegas ia membuka layar benda tersebut lantas mengangkat panggilan. "Halo, ada apa Mbak Asih?" tanyanya saat tahu ternya
"Ck, beraninya kamu mengancam mama, Ay! Ingat, mama pastikan kamu jadi gembel di jalanan. Mama akan lakukan apapun untuk mendapatkan semuanya. Ayo, Liz. Kita pergi saja dari sini!"Sarah menghentakkan kakinya lantas keluar dari ruangan diikuti oleh Liza. Ayra hanya diam menatap dua wanita yang telah hadir dalan kehidupan Papanya itu hingga menghilang dibalik pintu.Ayra hanya menghela napas panjang. Ia membalikkan tubuhnya, kembali duduk kemudian meraih tangan Papanya. Wajah tua keriput itu tampak begitu tenang seolah tak ada beban sedikitpun dalam hidup. Padahal Ayra tahu Papanya itu sedang tengah menyimpan begitu banyak beban dan kesedihan semenjak mama kandungnya pergi. "Papa, bangunlah. Ayra datang, Pa. Tolong, ku mohon jangan begini. Ayra butuh Papa," ucap Ayra mulai terisak. Sekuat apapun Ayra bertahan dalam kesedihan, ia tak akan mampu untuk melewati semuanya sendirian. Ia masih butuh Papanya sebagai sandaran dan tempat berkeluh kesah. Hanya Raditya satu-satu pria yang begitu
Mobil SUV hitam mengkilat memasuki halaman rumah nan luas. Rumah bercat cream itu tampak sepi. Hanya ada satpam dan penjaga taman yang bertugas seperti biasa. "Nyonya Elisa? Tuan Muda Rey?" ucap satpam penjaga gerbang terkejut saat melihat anak dan cucu majikannya datang berkunjung. "Hm, apa Mama ada di rumah?" tanya Elisa turun dari mobil di bantu oleh putranya, Rey."Ada, Nyonya. Seperti biasa beliau sedang beristirahat," jawab satpam itu ramah."Baik, Terimakasih. Ayo, Rey!" ajak Elisa. Rey mengangguk lantas mendudukkan mamanya di kursi roda. Pintu rumah terbuka lebar saat para pembantu juga mengetahui kedatangan mereka. Rey kembali mendorong kursi roda Elisa menuju kamar tempat Oma nya beristirahat. Setibanya di sana, tampak Oma Rey sedang duduk santai sambil merajut kain di sofa yang menghadap langsung ke arah pemandangan di depan. "Sore, Oma. Kami datang," sapa Rey tersenyum. Wanita yang di panggil Oma itu terkejut. Ia langsung menoleh kemudian tersenyum lebar saat tahu si
"Apa mama tahu tentang semua ini?" Rey langsung mencerca Elisa dengan pertanyaan saat mereka sudah tiba pulang ke rumah. Sekarang waktu sudah menunjukan jam tujuh malam. Elisa menghela napas lantas mengangguk pelan. Jujur, ia mengingat semua. Mengingat malam saat kejadian naas itu menimpa keluarganya. Di mana malam itu ia kehilangan sang suami, orang yang paling ia cintai. "Lalu kenapa mama nggak cerita? Apa alasan mama menyimpan rahasia ini? Ada apa sebenarnya?" lagi, Rey mencerca mamanya dengan banyak pertanyaan. Ia begitu bingung dengan semua dan ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. "Mama butuh minum, Rey. Bisakah kamu ambilkan?" Elisa menoleh. Ia belum menjawab pertanyaan putranya. Ia butuh ketenangan. Kenangan tentang kejadian malam itu membuatnya begitu rapuh. Kehilangan suami menjadikan hidupnya tak sebahagia seperti dulu. Meskipun ia mempunyai Rey, satu-satu putra mereka, akan tetapi, Elisa belum bisa melupakan semua kenang-kenangan semasa hidup bersama suaminya.