"Vivi kenapa Bu?" tanyaku panik dengan menatap lekat Mama Ranti. "Vivi masih belum sadar, kritis di dalam," sahut Mama Ranti yang juga terlihat cemas."Anakku? Gimana keadaan bayiku Ma?""Anakmu masuk inkubator karena belum cukup bulan, berat bada bayi juga kurang."Aku menarik napas panjang. Miris, entah berapa banyak sudah dosa yang sudah kuperbuat, sudah berapa banyak aku melukai hati ibu, melukai hati Anisa, kini Tuhan seperti menghukumku dengan berbagai cobaan."Sebenarnya kalian kenapa Yan? Kenapa Vivi pulang ke rumah Mama, apa kalian bertengkar?" tanya Mama Ranti memindai wajahku."Memangnya Vivi belum cerita?"Beliau menggeleng."Kami nggak apa-apa Ma, mungkin Vivi lagi ingin tinggal di rumah Mama.""Kamu nggak bohong? Saya turut berdukacita atas kepergian ibumu Yan, bagaimanapun juga Bu Mita itu baik, hanya saja mungkin karena beliau terlalu sayang dengan Nisa, beliau jadi kurang suka dengan Vivi. Dan saya sadar kehadiran Vivi dalam rumah itu bukan keinginannya. Mungkin kare
Aku membuang napas kasar dan meraup wajahku yang kini sudah penuh dengan keringat di pelipisku. Teringat Vivi di dalam masih berjuang di ruang ICU, aku kembali melangkah ke masuk ke dalam rumah sakit."Bagaimana Ma, sudah ada perubahan?" Mama Ranti menggeleng."Yan, kamu bisa ke ruangan bayi, dan adzani anakmu." Aku mengangguk kemudian melenggang ke arah ruangan bayi.Berjejer bayi di sana, aku dengan di temani perawat yang berjaga, menuju ke box bayi paling ujung, di dalam inkubator seorang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu tengah tertidur dengan selang menempel di tubuhnya.Aku menatap hari bayi merah itu, tanpa sadar air mataku menetes. Aku telah menjadi seorang ayah, bisikku lirih."Silakan di adzani Pak," ucap perawat perempuan yang mendampingiku. Aku hanya mengadzani dari lubang berbentuk yang ada samping.Tanpa sadar aku mengumandangkan adzan dengan berderai air mata. Di saat aku kehilangan ibu, sosok malaikat yang teramat mulia, Allah kini hadirkan malaikat kecil in
"Selamat Pagi Bu Vivi, bagaimana keadaannya? Ada keluhan?" tanya seorang dokter perempuan yang menangani Vivi, pagi ini datang mengecek kondisi Vivi."Sakit Dok, bagian perut."Dokter muda itu tersenyum. "Ya, bagian jahitannya ya? Nggak apa-apa bertahap ya, nanti sambil latihan miring ya Bu, miring kanan, miring kiri, kemudian nanti pelan-pelan duduk." Dokter muda bernama Marisa itu menjelaskan dengan tersenyum ramah."Miring? Sakit Dok," sahut Vivi, yang juga sesekali meringis menatap bagian perutnya."Iya, nggak apa-apa pelan-pelan aja ya Bu. Kalau nggak di latih nanti malah lama sakit terus ya Bu." "Dedek juga di ruang bayi sudah mulai stabil kondisinya, nanti kita tunggu penjelasannya dari spesialis anaknya ya Bu.""Makan teratur, minum obatnya teratur Insya Allah akan mempercepat proses penyembuhan.""Ada lagi yang mau di tanyakan?" "Bapak suaminya? Tolong terus dampingi istrinya ya Pak, perempuan sehabis melahirkan itu butuh support dari keluarga, terutama peran suami. Jangan
Aku melangkah menyusuri lorong rumah sakit sore ini, tangan kananku menenteng satu boks brownies dengan toping chocochip dan Almond, ini kesukaan Vivi, semoga dia senang aku datang membawa makanan kesukaannya.Aku melangkah dengan pasti menuju ke kamar rawat Vivi.Kamar Vivi berada di Blok Mawar. Deretannya agak ke belakang. Deretan depannya Blok Mawar ada Blok Kenanga. Baru saja aku melangkah melewati deret Kenanga, saat aku menoleh ke kanan, aku lihat Rendi tengah berjalan di lorong utama. Apa Dia habis dari kamar Vivi?Laki-laki itu mengenakan kemeja pendek berwarna biru. Mengenakan celana chinos berwarna cokelat. Ia berjalan lurus ke depan jadi tak melihatku.Aku mempercepat langkahku menuju kamar rawat Vivi.Ceklek."Ada apa lagi Yang?"tanya Vivi yang tengah berbaring miring, memunggungi pintu kamar."Yang? Siapa?"Tubuh Vivi menegang, kemudian dengan cepat ia membalikkan badannya menjadi terlentang, dan menatap wajahku yang kini pasti sudah memerah."Ma–Mas Adrian.""Ya. Ini ak
Selesai bersiap, aku langsung berangkat ke proyek. Seperti biasa bekerja dengan semangat. Ingat ada Arka kini menjadi semangat baru untukku mengais rezeki.Kehadirannya menjadi penyemangatku, ditengah himpitan ekonomi yang sangat sulit.Hari terasa cepat berlalu, tak terasa waktu sudah sore, aku pun langsung pulang ke rumah, mandi sebentar lalu langsung berangkat ke rumah sakit.Begitu ringan langkah kaki ini memasuki area rumah sakit, menyusuri koridor yang panjang.Hingga kaki ini sampai di depan ruang rawat Vivi, aku langsung meraih hendle pintu dan langsung membukanya."Yang, sampai kapan aku begini, aku udah nggak tahan, hidup sama Mas Adrian, cepatlah kamu bawa aku dari sini, memangnya kamu nggak mau kita sama-sama.""Kamu lihat anak kita, dia begitu mirip denganmu Yang.""Harus berapa lama lagi aku harus menunggu, sampai ibumu memberi restu, aku lelah!" Sontak aku menghentikan langkahku ketika melihat Vivi tengah berbicara serius dengan seseorang di telepon.Tiga kalimat yang
"Tolong jangan membuat keributan di sini! Ini rumah sakit, tolong jaga sikap anda Pak!" ucap salah satu sekuriti.Aku mengusap kasar wajahku. Dalam beberapa saat hidupku porak-poranda.Vivi benar-benar keterlaluan, tanpa sadar tanganku mengepal kuat. Tak kusangka aku hanya dibodohi olehnya."Brengsek! Perempuan sial, jadi selama ini aku hanya dianggap apa? Hanya barang mainan yang dimanfaatkan sesaat, kemudian ia membuangku begitu saja saat ia tak lagi membutuhkan?"Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.Aku masih di halaman rumah sakit ini, sore hari yang kelam aku seolah mendapat kejutan, kejutan luar biasa darinya.Aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Tak ada gunanya lagi aku disini.Baru terpikirkan olehku, mengapa dulu Vivi inginnya aku menikahinya secara siri. Ternyata seperti ini, dia bisa dengan mudah melepaskan diri dariku.Mendadak bayangan wajah ibu berputar di kepalaku. Bagaimana ibu begitu benci dan tak suka pada Vivi, sampai cap perempuan perempuan murahan beliau semat
POV Vivi."Apa maksudnya ini Vi? Apa maksudnya!" sentak Mama sesaat setelah Mas Adrian meninggalkan ruang rawat ini, usai menjatuhkan talak atasku.Aku diam."Vivi! Jawab Mama! Apa maksud Adrian bicara begitu?!" teriaknya lagi dengan netra memerah, wajahnya merah padam.Aku membuang pandangan, tak kuat rasanya menatap tatapannya yang tajam menghujam hingga menembus jantung ini."Ya. Seperti yang Mama dengar sendiri kan tadi," ucapku acuh. Kemudian merebahkan kembali tubuhku di pembaringan, karena bekas sayatan di perutku ini masih sangat sakit sekali, sekaligus ingin meredam detak jantungku yang sejak tadi berdegup kencang. Tak kupungkiri saat tadi kalimat talak itu terucap, seperti ada yang mengguncang dada ini."Jelaskan sama Mama apa maksudnya Adrian berkata seperti itu? Dia sampai jatuhkan talak lho sama kamu, ini hal serius! Katakan apa yang terjadi?! Dia hampir membunuhmu tadi jika saja Mama dan sekuriti datang terlambat mungkin kamu sudah menjadi mayat Vivi!" sentaknya lagi.
Pov Vivi.Bukan hal yang sulit untukku bisa menggaet Mas Adrian, ternyata dia tak sesulit yang aku bayangkan, hanya dengan menggodanya sedikit saja dia sudah terlihat menanggapinya.Sampai suatu pagi, hari Sabtu aku mengajaknya untuk ketemu di luar, aku tahu dia libur di hari Sabtu dan Minggu. Aku mengajaknya makan di sebuah restoran tak jauh dari tempatnya bekerja. Aku sengaja datang lebih awal dan memilih menunggunya di restoran yang sudah kami sepakati."Hai Vi, maaf ya aku terlambat, jalanan macet.""Iya nggak apa-apa, santai aja." Kini kami sudah sama-sama duduk di meja makan, dua gelas minuman jus jeruk sudah kupesan. Aku menyodorkan satu gelas untuknya, dan satu lagi untukku."Minum dulu Mas, pasti kamu haus kan, udara mulai panas." Aku menyodorkan satu gelas untuknya."Iya, kamu tahu aja, makasih ya.""Tumben kamu ngajak aku ketemu kayak gini, ada apa?"tanyanya setelah meneguk minuman miliknya."Nggak apa-apa, aku lagi bosen aja di rumah, kamu nggak keberatan kan?""Nggak.