POV Vivi."Apa maksudnya ini Vi? Apa maksudnya!" sentak Mama sesaat setelah Mas Adrian meninggalkan ruang rawat ini, usai menjatuhkan talak atasku.Aku diam."Vivi! Jawab Mama! Apa maksud Adrian bicara begitu?!" teriaknya lagi dengan netra memerah, wajahnya merah padam.Aku membuang pandangan, tak kuat rasanya menatap tatapannya yang tajam menghujam hingga menembus jantung ini."Ya. Seperti yang Mama dengar sendiri kan tadi," ucapku acuh. Kemudian merebahkan kembali tubuhku di pembaringan, karena bekas sayatan di perutku ini masih sangat sakit sekali, sekaligus ingin meredam detak jantungku yang sejak tadi berdegup kencang. Tak kupungkiri saat tadi kalimat talak itu terucap, seperti ada yang mengguncang dada ini."Jelaskan sama Mama apa maksudnya Adrian berkata seperti itu? Dia sampai jatuhkan talak lho sama kamu, ini hal serius! Katakan apa yang terjadi?! Dia hampir membunuhmu tadi jika saja Mama dan sekuriti datang terlambat mungkin kamu sudah menjadi mayat Vivi!" sentaknya lagi.
Pov Vivi.Bukan hal yang sulit untukku bisa menggaet Mas Adrian, ternyata dia tak sesulit yang aku bayangkan, hanya dengan menggodanya sedikit saja dia sudah terlihat menanggapinya.Sampai suatu pagi, hari Sabtu aku mengajaknya untuk ketemu di luar, aku tahu dia libur di hari Sabtu dan Minggu. Aku mengajaknya makan di sebuah restoran tak jauh dari tempatnya bekerja. Aku sengaja datang lebih awal dan memilih menunggunya di restoran yang sudah kami sepakati."Hai Vi, maaf ya aku terlambat, jalanan macet.""Iya nggak apa-apa, santai aja." Kini kami sudah sama-sama duduk di meja makan, dua gelas minuman jus jeruk sudah kupesan. Aku menyodorkan satu gelas untuknya, dan satu lagi untukku."Minum dulu Mas, pasti kamu haus kan, udara mulai panas." Aku menyodorkan satu gelas untuknya."Iya, kamu tahu aja, makasih ya.""Tumben kamu ngajak aku ketemu kayak gini, ada apa?"tanyanya setelah meneguk minuman miliknya."Nggak apa-apa, aku lagi bosen aja di rumah, kamu nggak keberatan kan?""Nggak.
Vivi povPerkara mengambil hati ibu mertuaku itu bukan perkara penting bagiku, yang terpenting adalah pengakuan dari Mas Adrian jika anak yang dikandung ini adalah anaknya. Juga ingin tahu bagaimana, hidup Mbak Nisa setelah aku menjadi madunya.Aku harus bertahan karena Mas Adrian begitu lemah jika di depan Mbak Nisa, apalagi soal keuangan, gajinya, semuanya Mbak Nisa yang mengatur, oke, aku masih bisa maklum, dimana-mana istri tua itu selalu maunya menang, tapi aku punya seribu cara untuk bisa mendapatkan apa yang kumau.Termasuk sebuah rumah, ya walaupun rumah KPR setidaknya itu lebih baik, daripada harus tinggal di kontrakan rumah petak.Tapi semuanya jadi kacau ketika aku harus tinggal di rumah ibu mertuaku, setiap hari yang ada hanya Omelan, ngerjain pekerjaan rumah yang tak ada habisnya.Aku harus pintar-pintar cari waktu dan kesempatan untuk bertemu dengan Rendi.*Hari ini selesai sudah semua yang kususun rapi itu, tak mengapa toh anak itu sudah lahir, semua orang tahunya ini a
Back to Pov Anisa PutriAku melenggang masuk ke minimarket dan membeli beberapa makanan untuk kubawa ke rumah Tante Ranti.Hampir dua tahun sudah aku tak berjumpa, aku terlalu sibuk dengan semua urusan kantor, Wijaya Grup, sampai saat ini aku baru sempat menyambanginya kembali, di saat semuanya sudah kembali normal.Ya, kehidupanku sudah kembali normal, tak ada bayang-bayang ketakutan lagi.Aku keluar dari minimarket ternyata Mas Adrian tengah duduk di sebuah bangku kecil di sisi sebelah kiri minimarket. Ia seperti menungguku keluar, terbukti saat kaki ini melewati pintu minimarket, ia langsung berdiri menghampiriku."Nis, bisa ngobrol sebentar?" Aku melihat arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Masih jam sepuluh pagi."Plis, sebentar aja," bujuknya."Oke." Aku menyetujuinya.Kami pun duduk berseberangan di tempat tadi Mas Adrian duduk."Kamu sekarang tinggal dimana Nis?""Aku di Jakarta Mas." Ya aku putuskan untuk menetap di sana, di kota metropolitan, tempat dimana aku pu
"Ehm, Tante, maaf. Maaf kalau kata-kata Nisa tadi menyinggung perasaan Tante."Tante Ranti menarik napas panjang kemudian membuangnya kasar."Nggak apa-apa Nis, Tante nggak apa-apa kok.""Ehm, memang tadi sebelum kesini Nisa sempat ketemu sama Mas Adrian di minimarket Tan, dan maaf Mas Adrian sekarang bekerja jadi juru parkir," ucapku hati-hati."Ya. Adrian sekarang benar-benar hancur Nis, tepatnya setelah melepaskan kamu, karma seolah bertubi-tubi menghampirinya. Ya, mungkin karena dia telah menyakitimu." Aku terhenyak mendengar itu.Karma? Aku bahkan sudah belajar ikhlas dan memaafkan semua kesalahannya sejak aku memutuskan untuk membuka lembaran baru, aku juga berharap dia akan bahagia dengan jalan yang dipilihnya, pun denganku, aku ingin meraih bahagiaku sendiri."Adrian dan Vivi, mereka berdua telah lama berpisah Nis, tepat beberapa hari setelah Arka lahir," ucap Tante Ranti sendu kemudian menatap dalam bocah laki-laki yang menggemaskan ini, lalu Pandangannya kembali menatap luru
Hari terus berlalu hingga tak terasa sebulan sudah sejak pertemuanku dengan Mas Adrian dan Tante Vivi.Seperti biasa aku disibukkan dengan pekerjaan di kantor. Sekarang aku sudah mulai fokus berkantor di Wijaya Grup, sudah tak lagi bekerja di kantornya Om Hendrawan.Sedikit demi sedikit aku ingin membangun Wijaya Grup agar lebih berkembang dan terus berkembang menggapai masa kejayaannya seperti pada tiga puluh tahun lalu.Hari ini sebuah Mega proyek yang akan di bangun di daerah Porong, kabupaten Sidoarjo. Aku memutuskan aku sendiri yang akan meninjau lokasi. "Ibu yakin akan berangkat sendiri ke lokasi proyek?" tanya Damar, ia adalah salah satu orang kepercayaanku di sini, aku kerap kali memintanya untuk mewakiliku jika ada urusan bertemu dengan perusahaan vendor untuk melakukan kerjasama.Selain orangnya cerdas, dan sangat cekatan mengambil keputusan, Damar juga sudah cukup lama bekerja di Wijaya Grup hampir sepuluh tahun ia mengabdi di Wijaya Grup, sedikit banyak ia tahu tentang se
"Halo, Assalamu'alaikum, iya Tante.""Wa'alaikumusalam, Put, malam ini kamu ada acara nggak. Tante mau ngajak kamu makan di luar bisa?"Sejenak aku berpikir, memang malam ini aku tak ada cara apapun."Ayolah Put, sudah lama juga kan, kita nggak hangout bareng," bujuk Tante Maya."Iya Tante, Putri bisa, dimana?""Alhamdulillah, nanti Tante share alamat dan lokasinya lewat pesan ya.""Baik Tante, terimakasih banyak Tante.""Iya sama-sama, jangan sampai nggak datang ya, dandan yang cantik ya Sayang."Aku mengerjap, mencerna kalimat terakhirnya."Memangnya ada apa Tan, kok dandan segala.""Nggak ada apa-apa ini cuma acara kecil-kecilan, anniversary pernikahan Tante dan Om, dan ingin ngundang keluarga dekat aja.""Owh Masya Allah tabarakallah, selamat ya Tante, semoga selalu harmonis dan langgeng terus sama Om Hendrawan," ucapku tulus."Iya terimakasih Sayang. Pokoknya jangan lupa datang jam tujuh malam ya, jangan sampai telat, Oke! Assalamualaikum.""Iya Tante, wa'alaikumusalam." Panggilan
"Oh jadi itu, yang namanya Putri, cantik ya, tapi katanya dia itu janda.""Ah kayak nggak ada gadis lain aja, sampai harus memilih janda, Raffi kan bujangan.""Iya, terus denger-denger dia itu dari kalangan bawah, sekarang aja dia kerja kantoran berkat campur tangan Hendrawan sama Maya. Kalau tidak mungkin dia jadi gembel.""Ssssttt, ssstttt, sudah diam, jangan ngomongin di sini, kalau Maya denger bisa marah dia.""Heran aja sama si Maya, kenapa begitu menginginkan wanita itu jadi mantu sih.""Entahlah, pakai guna-guna kali untuk narik simpatinya Maya."Reflek tanganku mengepal erat, dengan langkah cepat aku menghampiri mereka bertiga."Ekhem, maaf, apa kita pernah ada masalah? sampai anda bertiga ngerumpi di tempat seperti ini?""Eh, ehm, Putri, eng, enggak bukan maksudku ....""Jadi kalau saya janda lalu saya tak berhak bersanding dengan lelaki perjaka, begitu?" Aku tersenyum getir.Jika aku boleh memilih tentu aku sangat-sangat tidak menginginkan status janda melekat dalam diri ini