"Oh jadi itu, yang namanya Putri, cantik ya, tapi katanya dia itu janda.""Ah kayak nggak ada gadis lain aja, sampai harus memilih janda, Raffi kan bujangan.""Iya, terus denger-denger dia itu dari kalangan bawah, sekarang aja dia kerja kantoran berkat campur tangan Hendrawan sama Maya. Kalau tidak mungkin dia jadi gembel.""Ssssttt, ssstttt, sudah diam, jangan ngomongin di sini, kalau Maya denger bisa marah dia.""Heran aja sama si Maya, kenapa begitu menginginkan wanita itu jadi mantu sih.""Entahlah, pakai guna-guna kali untuk narik simpatinya Maya."Reflek tanganku mengepal erat, dengan langkah cepat aku menghampiri mereka bertiga."Ekhem, maaf, apa kita pernah ada masalah? sampai anda bertiga ngerumpi di tempat seperti ini?""Eh, ehm, Putri, eng, enggak bukan maksudku ....""Jadi kalau saya janda lalu saya tak berhak bersanding dengan lelaki perjaka, begitu?" Aku tersenyum getir.Jika aku boleh memilih tentu aku sangat-sangat tidak menginginkan status janda melekat dalam diri ini
Beberapa potong baju telah aku masukkan ke dalam koper, juga berkas dan file yang dibutuhkan, tak ketinggalan laptopku pun sudah siap. Malam ini aku harus tidur lebih awal agar besok aku bisa bangun pagi, segala akomodasi sudah disiapkan oleh Vania, seperti biasa dia selalu cekatan dalam bekerja, dan selalu bisa diandalkan.Pagi ini aku memutuskan untuk naik taksi online ke bandara.Aku memasukkan koperku ke dalam kabin pesawat kemudian duduk bersandar menatap ke arah luar jendela, kebetulan aku duduk di dekat jendela. menikmati suasana pagi ini yang cerah.Lama aku menatap ke arah luar jendela."Heh, pagi-pagi sudah ngelamun!" celetuk seorang laki-laki, yang suaranya sangat familiar bagiku. Aku langsung menoleh kesamping."Raffi! Bagaimana bisa? Kamu–""Ya bisa dong! Aku juga ada urusan di sana," ucapnya enteng. Aku menatapnya dengan penuh selidik. "Biasa aja kali liatinnya, kenapa? Aku ganteng ya?"Aku langsung membuang muka mendengar kata-katanya."Raffi aku serius, kenapa bisa ka
"Intan ....""Intan kenapa Tante?" tanyaku penasaran, karena Tante Rahmi tak kunjung melanjutkan ucapannya."Ada. Intan ada, dia sekarang ingin menetap disini ikut sama Tante, Nis," jelasnya. Tapi, aku melihat tatapannya berbeda."Alhamdulillah ada. Boleh saya ketemu Intan Tante? Sudah lama sekali saya nggak ketemu dia Tan, juga ada yang ingin saya jelaskan sama dia Tan," ucapku.Tante Rahmi pun mengangguk."Saya paham, Intan pasti sangat terpukul sekali atas kepergian barang tuanya," ucapku sendu penuh rasa prihatin. Kembali beliau mengangguk "Iya kamu benar Nis. Nanti kamu bisa kesana ketemu Intan ya." Dahiku mengerenyit."Kemana Tan?""Dia sekarang ada di toko. Nanti Tante kasih tahu alamatnya kalian bisa kesana, semoga kedatangan kalian bisa mengembalikan keceriaan Intan lagi." Aku mengangguk paham, dari ucapan Tante Rahmi, aku bisa menyimpulkan, bisa jadi setelah kepergian orang tuanya, Intan berubah menjadi pendiam."Minum dulu Nis, Monggo Raffi juga, diminum tehnya." Tante Ra
"Astaghfirullah Intan mengapa dia jadi semarah itu padaku." Aku bermonolog."Mungkin Rendra sudah bercerita padanya suatu hal yang ... Ya tidak sesuai dengan kebenarannya," sahut Raffi menanggapi, sambil tangannya menyetater motor."Maksud kamu?""Ya, bisa aja kan Rendra bicara pada Intan soal kamu versi dia sendiri, bisa aja dia memutar balikkan fakta yang sebenarnya, hingga timbul kebencian di hati Intan sama kamu." Aku mengangguk setuju.Ya, bisa saja itu terjadi, ya Allah, Intan kamu mengenalku cukup lama, lalu apa hanya dengan kamu mendengarkan satu sisi, begitu mudahnya kamu percaya? Ck, aku harus bagaimana."Sekarang kita kembali dulu ke hotel, istirahat? Atau kamu mau jalan-jalan dulu, sekedar refreshing tenangin pikiran?" tanya Raffi sambil tetap fokus mengendarai motor. Ia sedikit menaikkan nada suaranya agar aku bisa mendengar jelas karena angin bertiup cukup kencang."Kita kembali ke hotel aja lah, Fi."Ia mengangguk, sebelumnya kami mampir ke rumah Tante Rahmi untuk meng
Setelah sampai sejenak menikmati suasana alun-alun kota sambil menikmati makanan khas daerah Sidoarjo, kami memutuskan untuk kembali ke hotel.Meski Raffi berusaha keras untuk menghiburku agar rileks tak terlalu kepikiran sama Intan, tapi tetap saja dasarnya aku orangnya selalu kepikiran dengan masalah yang sedang kuhadapi.Aku tak bisa santai slow, menghadapi masalah yang sedang terjadi. Sudah menjadi sifatku begini, akan berpikir dan terus berpikir mencari cara untuk menyelesaikan masalah itu. Walau sebenarnya jawabnya adalah waktu, ada saatnya nanti semua masalah akan selesai."Aku langsung istirahat ya Fi. Terimakasih untuk hari ini," ucapku sebelum kami sama-sama masuk ke kamar masing-masing. Hari sudah mulai sore. Aku ingin berisitirahat sebentar meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Kaku karena terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri."Iya, istirahatlah, kamu kelihatan capek banget nanti malam jangan lupa kita makan malam sama-sama."Aku hanya mengangguk kemudian masuk ke dal
"Putri, Put, hei mau kemana? Kok mewek gitu?" tanya Raffi yang tiba-tiba datang menghampiriku sedang berjalan cepat menjauhi toko bunga itu.Aku diam tak menanggapinya sambil terus berjalan."Sudah ketemu sama Intan?" Aku mengangguk. Raffi menatap bingung padaku dan toko bunga itu bergantian."Terus?""Aku mau kembali ke hotel, berkemas, kemudian pulang ke Jakarta," sahutku sambil terus berjalan, tak sedikitpun menoleh ke arah Raffi. Entah seperti apa sekarang ekspresi wajahku, yang jelas hatiku sekarang sakit sekali."Hah, kembali ke Jakarta? sekarang? Hei kamu kenapa sih? Putri, Put, stop dulu, coba lihat aku Put, lihat aku!" Raffi menghentikan langkahku, aku pun mengangkat wajahku menatapnya. Wajah tampan itu kini terlihat sendu melihat netraku yang sudah memanas."Sudah bicara sama dia?" Aku mengangguk, dan detik berikutnya luruh sudah air mataku, bahuku bergetar, menahan sesaknya rasa di dada.Tapi aku langsung menyekanya dengan lenganku."Masih marah dia?" tanyanya. Aku memilih
"Intan."Melihat sosok sahabatku datang, tentu membuatku menarik senyum, seketika perasaan haru membuncah di dalam dada.Ia langsung menghambur memelukku. Tentu saja aku langsung menyambut dengan tangan terbuka, memeluknya. Beberapa saat kami saling merangkul, ia terisak, di pundakku."Jangan pergi dulu Nis, aku ingin bicara." Aku mengangguk. Kemudian menoleh ke arah Raffi, ia pun mengangguk seakan tahu apa maksudku."Maaf Pak, saya cancel ya, teman saya masih ada urusan dengan temannya. Tapi tetap saya bayar ongkos yang tadi tertera di aplikasi ya Pak. Sekali lagi saya mohon maaf." Raffi bicara dengan supir taksi online dan menyodorkan uang pecahan berwarna merah padanya.Kami berjalan ke area restoran tak jauh dari lobby dan duduk bertiga di sebuah meja persegi panjang. Kemudian Raffi memesan teh hangat untuk kami.Sejenak kami bertiga saling diam. Aku memberi waktu pada Intan beberapa saat agar lebih tenang sebelum kita bicara."Intan, Kau baik-baik saja?" tanyaku lembut padanya y
Aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta esok hari, karena aku masih ingin menghabiskan waktu di sini untuk ngobrol sama Intan."Kamu nggak apa-apa berlama-lama di sini Nis?""Tak apa sekali-kali juga nggak sering, kerjaan di Jakarta aku serahkan pada Damar."Intan kembali mengangguk. Kini kami berdua sedang dalam perjalanan untuk kembali ke rumah Tante Rahmi. Sedangkan Raffi, aku suruh dia balik duluan ke Jakarta, meski awalnya dia menolak tapi bagaimanapun kerjaan dia di Jakarta juga banyak, jadi dia memilih untuk menurutiku kembali ke Jakarta sore ini."Kau sendiri, apa tidak ingin kembali ke Jakarta Tan?" Ia menggeleng. "Aku nyaman di sini, daripada di Jakarta aku sendiri, aku kesepian. Mending aku di sini ada Tante Rahmi dan Abi, yang bisa jadi teman." Aku mengangguk paham. Di Jakarta juga pasti dia akan terus sedih teringat kedua orangtuanya yang sudah tiada. Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan akhirnya kami sampai di rumah Tante Rahmi. Seperti biasa beliau menyambut han