Aku seperti pernah melihat dia tapi dimana ya, Ah iya di foto keluarga yang di pajang di dinding ruang tamu rumah ini, dan wajah laki-laki ini juga mirip dengan Abi, ini pasti suaminya Tante Rahmi ayahnya Abi. Dua kali aku datang ke rumah ini, baru kali ini aku berjumpa dengan ayahnya Abi."Kamu siapa?" tanyanya dengan wajah datar menatap lekat padaku."Oh, ini Nisa Pa, temannya Intan." Tiba-tiba Tante Rahmi datang dari ruang tamu menghampiri kami.Aku langsung menunduk, dan menangkupkan kedua tanganku di dada."Saya Anisa Om," ucapku, beliau mengangguk."Ini papanya Abi, Nis." Tante Ranti memperjelas tebakanku."Oh iya Tante, salam kenal Om, Saya temannya Intan. Mohon maaf jika kehadiran saya di sini merepotkan, saya ijin menginap semalam saja di sini," ucapku sopan pada laki-laki itu, yang masih menatap intens ke arahku."Ya sudah tak apa.""Ayo Pa, makan dulu, biar Nisa istirahat, di kamar tamu, Nis Tante tinggal ke belakang ya, temani Om makan malam." Tante Rahmi mengajak suaminya
"Akhirnya sampai juga." Aku bermonolog, menghela napas lega, kini kembali aku menapaki tanah ibu kota.Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Yanto datang, ia langsung membantu membawakan koperku. Sebelum tiba di bandara, aku memang sempat menghubunginya meminta di jemput. Sesampai di rumah, aku langsung merebahkan tubuhku di pembaringan. Hari sudah menjelang tengah hari, aku beristirahat sejenak memejamkan mata ini. Semalam aku hanya tidur beberapa jam, karena Intan banyak bercerita.Aku terlelap, hingga terdengar suara Bik Jum mengagetkanku."Mbak, Mbak Putri! Ada tamu Mbak." Bik Jum memanggilku disertai suara ketukan pintu kamarku."Iya Bik, ada apa?" tanyaku seraya bangkit dari ranjang meraih jepit rambut di atas nakas, kemudian mencepol asal rambutku."Ada tamu Mbak!" ucapnya lagi. Ada tamu? Siapa? Aku tinggal di sini hanya berdua dengan Baik Jum dan aku jarang sekali kedatangan tamu."Siapa Bik?" tanyaku lagi kemudian meraih hijab instan yang tergantung di balik pintu kamar l
"Maksudnya gimana Mas?" tanyaku."Aku ingin kita kembali rujuk Nis."Ucapan laki-laki itu tentu membuat aku tercengang. Aku terdiam, hati ini rasanya sudah mati rasa. Sekarang saja aku masih mempersiapkan diri untuk membuka kembali hati yang terasa mati ini, kini justru dia datang meminta untuk kembali. "Maaf Mas, Aku ... Aku nggak bisa, maaf," sahutku."Kenapa Nis? Kenapa? Aku janji akan berubah, aku janji tak akan mengulangi kesalahan yang pernah aku lakukan dulu, menduakan kamu, aku janji akan memperbaiki hubungan kita. Aku janji Nis, aku janji akan membahagiakanmu, Nisa," ucapnya terdengar begitu menggebu.Dania terdiam mendengar kakak laki-lakinya bicara."Ya, aku mengerti Mas, tapi ini masalah hati. Hatiku yang sudah retak, pernah terluka, pernah tersakiti, walau aku sudah memaafkan, tapi tak bisa utuh kembali seperti dulu, Mas. Nggak bisa." Aku berkata tanpa ragu."Tapi, bukankah kamu sampai sekarang belum menikah lagi, dan itu artinya di hatimu masih ada cinta kan untukku? C
"Aku kerja di klinik deket rumah Mbak. Ya, penginnya sih, pindah kerja gitu cari yang lain lagi, yang gajinya gede, tapi sekarang susah cari kerja. Atau di kantor tempat kerja Mbak Nisa ada lowongan kerja? Siapa tahu aku atau Mas Adrian bisa masuk kesitu."Ucapan Dania sukses membuat aku terperangah. "Oh, ehm, ya nanti kalau ada lowongan nanti pasti Mbak kabarin ya Nia," ucapku akhirnya.Setelah cukup lama kami berbincang, akhirnya mereka pun pamit, ah tidak, tepatnya Aku dan Dania yang lebih banyak ngobrol, Mas Adrian lebih banyak diam. Aku mengantar mereka berdua hingga ke depan pintu gerbang, Mas Adrian mengendarai motor lamanya, yang dulu. Tak banyak yang berubah darinya, bahkan kini wajahnya terlihat lebih tua, dengan jambang halus di sekitar rahangnya, dulu dia paling tak suka membiarkan jambangnya itu tumbuh. Kulitnya sedikit lebih gelap, rambutnya pun dibiarkan memanjang, tidak seperti dulu, sudah panjang sedikit saja, dia langsung memangkasnya.Kentara sekali dia kurang te
Aku lebih baik kehilangan dana perusahaan daripada harus menyerahkan tubuhku hanya untuk menyelesaikan masalah ini. Aku masih punya harga diri. Aku bukan wanita murahan yang rela mengangkang hanya demi tercapainya sebuah misi.Aku bisa mendapatkan tender laindemgan cara baik dan terhormat, daripada harus bekerjasama dengan laki-laki yang benar-benar tak menghargai lawan bisnisnya.Aku memang janda, tapi aku bukan wanita murahan yang rela berbuat hal menjijikan itu.Aku menekan kuat-kuat dada ini, detak jantungku berdegup kencang, tapi aku sudah yakin dengan keputusan yang baru saja kuambil. Shit! Dasar laki-laki hidung belang!Aku memukul keras setir mobil yang ada di depanku. Entah mengapa rasa marah menyeruak di dalam dada, aku merasa seperti di lecehkan.Astaghfirullah, Astaghfirullah. Beginilah dunia bisnis, meski tak semua orang pelaku bisnis berbuat seperti yang di lakukan Pak Antoni, tapi cara kotor seperti itu, sudah lazim digunakan dalam dunia bisnis.Tinggal kita sendiri mem
"Hah, ini pasti kerjaan Mama," Raffi bergumam dan membuang napas.Aku dan Raffi pun akhirnya saling tertawa melihat kekonyolan kami. Ya, kami sama-sama ke tempat ini karena di suruh Tante Maya untuk menjemput beliau. Sedangkan Tante Maya sendiri entah ada di mana."Ya, kau benar ini pasti Tante Maya mengerjai kita. Ya sudah kalau gitu, aku pulang ya!" Aku melangkah hendak menuruni anak tangga, namun suara Raffi menghentikanku."Tunggu Put, kenapa harus buru-buru pulang. Kita sudah terlanjur sampai di sini, kenapa nggak lanjut makan aja, emangnya kamu nggak lapar?" tanyanya, sambil menatap sekitar ruangan yang sepi, hanya ada aku dan dirinya. Aku diam. Tatapanku menatap ke bawah melihat anak tangga."Sudahlah, ayo sini, temani aku makan!" Tiba-tiba Raffi sudah menarik lenganku untuk mengikutinya, dan duduk di kursi.Raffi menatapku sekilas kemudian menatap buket bunga mawar merah yang ada di meja. Kemudian mengambil buket bunga itu dan mencium harumnya. "Ini wangi sekali, ini pasti u
"Apa selama ini, kau terganggu dengan ucapan Mama?" tanya Raffi setelah kami berdua saling diam cukup lama."Bukan begitu, bisa saja 'kan apa yang kau ungkapkan ini karena Tante Maya yang mendesakmu."Raffi menggeleng tersenyum."Kau ingin aku berkata jujur?"Aku mengangguk."Ya, memang ini keinginan Mama, tapi aku yakin pilihan Mama adalah pasti yang terbaik untukku. Dan sejauh aku mengenalmu, kau memang berbeda, jujur saja aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu, ditambah dengan dukungan dari Mama, jadi apa salahnya kita mencoba membina hubungan yang lebih serius," paparnya."Apa kamu bilang? Mencoba membina hubungan yang lebih serius? Jadi kamu pikir, untuk komitmen sebuah hubungan itu hanya ajang coba-coba?"Mendadak aku jadi tak berselera makan. Aku menatap laki-laki yang duduk di depanku ini dengan tatapan kesal."Bukan! Bukan begitu Putri, ah salah lagi gue," gumam Raffi tampak frustasi."Lalu?""Ya, aku mencintaimu dan aku ingin menikahimu Putri.""Sudahlah Raffi, seper
Tanpa pikir panjang aku langsung membuka aplikasi hijau, menekan nomor Raffi dan melakukan panggilan telepon."Hallo Raffi! Kau menguntitku?!" ucapku langsung begitu dia mengangkat panggilan dariku."Woo, telepon langsung marah-marah, santai dong Putri Sayang." Netraku membeliak mendengarnya memanggilku dengan sebutan Sayang."Stop memanggilku begitu, aku bukan istrimu, Raffi!" sungutku."Ya, sebentar lagi kan jadi istriku," ucapnya kepedean."Raffi, please, jangan bikin aku kesal.""Siapa yang mulai, kau sendiri yang telepon aku 'kan. Gimana makanannya enak? Itu aku pesan khusus untuk kamu lho," ucapnya dari seberang sana."Ya, ya ... Enak. Makasih ya, tapi lain kali tak usah repot-repot. Aku bisa keluar cari makan siang sendiri.""Putri, Putri, kamu kalau lagi kesal begini makin terlihat cantik tahu," ucapnya sambil tertawa kecil."Raffi! Kau benar-benar menguntitku!""Apa buktinya kau bilang aku menguntitmu."Aku terdiam menelisik sekeliling ruanganku, tak ada yang mencurigakan, s