"Hah, ini pasti kerjaan Mama," Raffi bergumam dan membuang napas.Aku dan Raffi pun akhirnya saling tertawa melihat kekonyolan kami. Ya, kami sama-sama ke tempat ini karena di suruh Tante Maya untuk menjemput beliau. Sedangkan Tante Maya sendiri entah ada di mana."Ya, kau benar ini pasti Tante Maya mengerjai kita. Ya sudah kalau gitu, aku pulang ya!" Aku melangkah hendak menuruni anak tangga, namun suara Raffi menghentikanku."Tunggu Put, kenapa harus buru-buru pulang. Kita sudah terlanjur sampai di sini, kenapa nggak lanjut makan aja, emangnya kamu nggak lapar?" tanyanya, sambil menatap sekitar ruangan yang sepi, hanya ada aku dan dirinya. Aku diam. Tatapanku menatap ke bawah melihat anak tangga."Sudahlah, ayo sini, temani aku makan!" Tiba-tiba Raffi sudah menarik lenganku untuk mengikutinya, dan duduk di kursi.Raffi menatapku sekilas kemudian menatap buket bunga mawar merah yang ada di meja. Kemudian mengambil buket bunga itu dan mencium harumnya. "Ini wangi sekali, ini pasti u
"Apa selama ini, kau terganggu dengan ucapan Mama?" tanya Raffi setelah kami berdua saling diam cukup lama."Bukan begitu, bisa saja 'kan apa yang kau ungkapkan ini karena Tante Maya yang mendesakmu."Raffi menggeleng tersenyum."Kau ingin aku berkata jujur?"Aku mengangguk."Ya, memang ini keinginan Mama, tapi aku yakin pilihan Mama adalah pasti yang terbaik untukku. Dan sejauh aku mengenalmu, kau memang berbeda, jujur saja aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu, ditambah dengan dukungan dari Mama, jadi apa salahnya kita mencoba membina hubungan yang lebih serius," paparnya."Apa kamu bilang? Mencoba membina hubungan yang lebih serius? Jadi kamu pikir, untuk komitmen sebuah hubungan itu hanya ajang coba-coba?"Mendadak aku jadi tak berselera makan. Aku menatap laki-laki yang duduk di depanku ini dengan tatapan kesal."Bukan! Bukan begitu Putri, ah salah lagi gue," gumam Raffi tampak frustasi."Lalu?""Ya, aku mencintaimu dan aku ingin menikahimu Putri.""Sudahlah Raffi, seper
Tanpa pikir panjang aku langsung membuka aplikasi hijau, menekan nomor Raffi dan melakukan panggilan telepon."Hallo Raffi! Kau menguntitku?!" ucapku langsung begitu dia mengangkat panggilan dariku."Woo, telepon langsung marah-marah, santai dong Putri Sayang." Netraku membeliak mendengarnya memanggilku dengan sebutan Sayang."Stop memanggilku begitu, aku bukan istrimu, Raffi!" sungutku."Ya, sebentar lagi kan jadi istriku," ucapnya kepedean."Raffi, please, jangan bikin aku kesal.""Siapa yang mulai, kau sendiri yang telepon aku 'kan. Gimana makanannya enak? Itu aku pesan khusus untuk kamu lho," ucapnya dari seberang sana."Ya, ya ... Enak. Makasih ya, tapi lain kali tak usah repot-repot. Aku bisa keluar cari makan siang sendiri.""Putri, Putri, kamu kalau lagi kesal begini makin terlihat cantik tahu," ucapnya sambil tertawa kecil."Raffi! Kau benar-benar menguntitku!""Apa buktinya kau bilang aku menguntitmu."Aku terdiam menelisik sekeliling ruanganku, tak ada yang mencurigakan, s
"Maaf ada apa ya?" tanyaku begitu kaki ini sampai di teras rumah. Terlihat di meja sudah ada dua cangkir teh, pasti Bik Jum sudah membuatkan minuman untuk dua orang ini."Selamat sore, dengan Mbak Putri?" tanya salah satu dari mereka."Iya. Saya Putri.""Perkenalkan saya Tyas, dan ini teman saya Ineke." Kami bertiga saling berjabat tangan."Saya kemari karena diminta untuk membantu make up Mbak Putri ini. Bagaimana apa sudah siap, atau mau mandi dulu Mbak Putrinya?"Aku menatap kedua wanita itu dengan tatapan bingung. "Tunggu dulu Mbak, tunggu, ini saya nggak paham ini, maksudnya Mbak berdua ini mau dandanin saya gitu? Siapa yang nyuruh Mbak, ehm maaf, maksud saya siapa yang meminta Mbak berdua datang kemari?" Aku bertanya dengan sedikit ketus, pasalnya semua kejadian hari ini benar-benar membuatku pusing.Kedua wanita itu justru menatapku tersenyum."Ada lah seseorang yang meminta kami untuk itu, jadi yuk, segera jangan lama-lama, biar nggak terlambat, akan ada acara makan malam ka
"Mari Kak, silakan!" Seorang laki-laki muda membukakan pintu mobil untukku."Terimakasih," sahutku tersenyum. Mobil pun melaju menuju ke kafe. Setengah jam perjalanan karena macet, mobil pun memasuki pelataran kafe, kembali laki-laki itu membukakan pintu untukku. Kemudian mengantarku melalui pintu samping ternyata kafe ini juga ada akses dari pintu samping dan area samping ini ternyata sepi. Tak seramai seperti di depan dan di dalam.Di area samping adalah area outdoor dengan hamparan rumput yang lumayan luas ada beberapa bangku dan kursi, serta dekorasi yang menarik. Beberapa lampion dan lampu LED kekuningan bergatungan pada seutas tali.Juga lampu-lampu kecil berwarna warni yang melilit di batang pohon. Desiran angin mengibarkan hijab pasmina yang kukenakan. Aku terus berjalan mengikuti laki-laki muda yang kuyakini adalah orang suruhan Raffi itu masuk lebih ke dalam area samping kafe.Hingga pemandangan menakjubkan membuat netraku membaliak. Lilin-lilin yang dialasi mangkuk-mangkuk
"Raffi kamu apa-apaan?" ungkapku keberatan melihatnya berlutut."Jika iya. Kau bisa mengambil cincin ini dari kotaknya, tapi jika tidak kau bisa menutup kotaknya."Lagi, kembali dibuat tertegun. Aku mengedarkan pandangan melihat sekeliling. Tak ada siapapun, hanya ada kita berdua di tempat ini.Kembali aku menatap wajahnya yang masih menatapku penuh harap. Dalam hati aku terus menimbang jawaban seperti apa yang harus kukatakan. Mengambil cincin itu atau aku menolaknya dengan menutup kotak cincin itu.Aku menatap kedua manik hitam itu, terlihat sebuah kejujuran dan dan rasa ingin melindungi terlihat dari pancaran matanya. Aku memang bukan Tuhan yang mengetahui isi hati manusia, tapi kembali aku mengingat semua yang sudah kami lalui bersama, bahkan saat aku dalam bahaya sekalipun, Raffi datang sebagai penyelamat bahkan ia menjadi garda terdepan melindungiku, bahkan tak mempedulikan keselamatan dirinya sendiri hanya demi menyelamatkan diriku.Aku tersenyum menatapnya. Kemudian dengan pe
"Iya. Pokoknya kamu nggak usah khawatir, nggak usah mikirin apa-apa udah tinggal manut aja, nanti Mama yang urus semuanya. Mama punya banyak kenalan dari MUA sampai dekorasi dan katering, baju kebaya apalagi koleksi dari butik Mama tinggal pake. Pokoknya beres semuanya ya, Sayang. Kamu tinggal persiapkan diri kamu aja. Insya Allah semuanya beres, acaranya lancar."Aamiin. "Terimakasih banyak Tante. Semoga ini memang jalan yang terbaik. mohon doa restunya ya Tante.""Eh, eh! Kok panggilnya Tante terus, Mama dong Sayang! Mulai sekarang harus biasakan panggil Mama oke!""Eh, ehm, iya Mama." Aku tersenyum canggung, meski di seberang sana beliau tak melihatku.Sedangkan Bik Jum yang duduk menikmati nasi gorengnya, menatapku sambil senyam-senyum."Akhirnya apa yang selama ini Mama harapkan akan terwujud. Mama selalu mendoakan yang terbaik buat kamu dan Raffi. Dari sekian banyak perempuan yang Mama tahu dekat dengan Raffi, cuma kamu yang Mama rasa sangat cocok menjadi pendampingnya Raffi, P
Sampai di rumah, Raffi masih membuntuti mobilku, alhasil, sesaat setelah aku mematikan mesin mobilku, Raffi sudah berdiri di dekat kaca jendela mobilku."Keras kepala!" ucapnya sinis."Biarin! Salah sendiri!" sahutku tak mau kalah."Putri, aku ini calon suamimu, tak bisakah kau bersikap lembut sedikit?""Aku nggak suka terlalu dikekang." Aku keluar mobil dan berjalan ke teras rumah. Kemudian mendaratkan bobotku di kursi teras."Apa salahnya menuruti permintaanku, selagi itu memang untuk kebaikan.""Ya, aku tau itu Fi, tapi aku lebih suka kita tetap bersikap seperti biasanya, nggak perlu berlebihan." Aku membuang napas berat."Oke. Oke. Kali ini aku coba mengerti. Please, jangan ngambek lagi."Aku tersenyum kemudian mengulurkan tanganku."Cokelat dulu." Aku menengadah tanganku padanya."Kebiasaan! Untung cinta, kalau enggak–""Kalau enggak kenapa?" tanyaku sambil tersenyum menatap Raffi."Kalau enggak ya, ogah lah!" Aku dan Raffi sudah seperti menjadi kebiasaan kalau sedang berdebat a