Sampai di rumah, Raffi masih membuntuti mobilku, alhasil, sesaat setelah aku mematikan mesin mobilku, Raffi sudah berdiri di dekat kaca jendela mobilku."Keras kepala!" ucapnya sinis."Biarin! Salah sendiri!" sahutku tak mau kalah."Putri, aku ini calon suamimu, tak bisakah kau bersikap lembut sedikit?""Aku nggak suka terlalu dikekang." Aku keluar mobil dan berjalan ke teras rumah. Kemudian mendaratkan bobotku di kursi teras."Apa salahnya menuruti permintaanku, selagi itu memang untuk kebaikan.""Ya, aku tau itu Fi, tapi aku lebih suka kita tetap bersikap seperti biasanya, nggak perlu berlebihan." Aku membuang napas berat."Oke. Oke. Kali ini aku coba mengerti. Please, jangan ngambek lagi."Aku tersenyum kemudian mengulurkan tanganku."Cokelat dulu." Aku menengadah tanganku padanya."Kebiasaan! Untung cinta, kalau enggak–""Kalau enggak kenapa?" tanyaku sambil tersenyum menatap Raffi."Kalau enggak ya, ogah lah!" Aku dan Raffi sudah seperti menjadi kebiasaan kalau sedang berdebat a
Tak terasa kami telah sampai di penghujung acara semua yang hadir menikmati hidangan yang telah disuguhkan. Tante Maya memesan menu makanan dari catering temannya, dan ini rasanya enak. Semua tamu undangan menikmati jamuan makan sambil berbincang santai. Hingga tiba-tiba Tante Ranti mendatangiku dengan wajah masam."Saudaranya Raffi yang itu tuh, emang beneran nyebelin ya Nis." Aku mengernyit melihat Tante Ranti yang datang dengan wajah di tekuk. Aku meletakkan gelas minumanku di meja, dan melirikRaffi, tampak sedang berbincang dengan rekan bisnisnya tak jauh dariku."Maksud Tante yang mana? Tante Syakira dan Dea lagi?""Iya lah, siapa lagi kan sepanjang acara ini berlangsung cuma mereka berdua yang tak suka dengan acara lamaran ini. Heran Tante, kalau nggak suka ya nggak usah datang sekalian, daripada datang tapi kepanasan kayak kebakaran jenggot begitu," sungut Tante Ranti."Mereka memang seperti itu, Nisa udah tahu kok, jadi nggak kaget, biarin aja. Toh kehadiran mereka. Suka ata
"Enggak! Kalau aku tidak bisa bersatu lagi dengan Anisa, maka siapapun juga tak boleh memiliki Dia!" Mas Adrian bicara dengan napas tersengal. Punggungku yang sudah menempel di dadanya, seakan bisa merasakan degupan jantungnya.Napasku seakan tertahan, tenggorokanku tercekat tak mampu aku berkata sepatah kata pun, hanya air mata yang bicara, tiba-tiba lolos begitu saja, karena mata pisaunya itu bisa sewaktu-waktu menembus kulit dan leherku."Adrian!" Tante Ranti berteriak memekik kaget dengan pemandangan yang tiba-tiba berlangsung sangat cepat.Suasana kian menegang. Semuanya diam menatapku yang dilanda ketakutan luar biasa. Di sekelilingku masih berdiri banyak orang terutama pihak keluarga yang memang belum pulang selesai acara."Mas, jangan main-main Mas! Kita bisa bicarakan ini baik-baik," Raffi berusaha bernegosiasi dengan Mas Adrian yang tampak kalap. "Jangan mendekat! Atau aku benar-benar nekat melenyapkan Anisa agar tak jadi menikah denganmu!" ucap Mas Adrian ketika perlahan
"Lalu apa?! Kalau bukan kasian sama laki-laki itu?" Raffi menatapku tak suka."Aku kasian sama Dania adiknya Mas Adrian, dia sudah tidak punya siapapun!"Raffi langsung terdiam mendengar ucapanku dan menghela napas. Lalu mengelus pelan kepala bagian belakangnya."Makanya kalau ada orang ngomong itu dengerin dulu sampai selesai! Baru komen," sungutku.Raffi masih terdiam."Cemburu boleh tapi jangan cemburu buta." Lagi aku berkata sambil tersenyum melirik ke arahnya."Siapa yang cemburu! Enggak. Ngapain aku cemburu, aku sudah yakin hatimu sudah mentok sama aku, dan nggak akan bisa berpaling ke yang lain," balasnya dengan jumawa.Aku hanya mencebik. Dalam hati mengiyakan ucapannya itu "Nanti kamj coba bicara baik-baik dengan adiknya Adrian itu. Semoga dia bisa mengerti kalau perbuatan kakaknya itu sudah diluar batas. Siapapun pasti akan melakukan hal yang jika itu menyangkut nyawa orang."Aku mengangguk kemudian melanjutkan langkah menuju ke mobil.Sampai di depan mobil, Raffi langsung
"Dania, kamu tenang dulu, kamu jangan salah paham." Aku mencoba menjelaskan dengan tenang.Beberapa saat kami saling diam, aku menunggunya tenang. Aku paham, pasti Dania masih syok mendengar kabar Mas Adrian di bawa ke kantor polisi."Mbak, bisa kita ketemu besok?" tanya Dania akhirnya setelah kami saling diam cukup lama."Bisa. Besok kita bisa ketemu, kamu mau ketemu di mana?" tanyaku."Di kafe dekat kantornya Mbak Nisa aja, sekalian aku besok mau ketemu Mas Adrian ke kantor polisi," ucapnya di seberang sana. Aku mengangguk, meski kutahu Dania tak melihatku."Baik Nia, besok jam sembilan kita bertemu. Kamu tenang, nanti besok Mbak antar kamu ketemu Mas Adrian, sudah ya. Mbak minta maaf, semua terjadi begitu cepat, Mbak sendiri nggak bisa–""Sudahlah Mbak. Besok saja kita bicara, ini sudah larut malam, aku mau istirahat, Assalamualaikum."Panggilan terputus begitu saja."Wa'alaikumusalam," sahutku pelan, dan kuyakin Dania tak mendengar karena panggilan sudah berakhir.Aku menarik napa
"Maafkan aku Mbak, bukan maksudku menginginkan Mbak kembali pada Mas Adrian, sungguh, aku hanya ingin Mbak tahu, bagaimana payahnya Mas Adrian melewati harinya karena sebuah penyesalan." Kali ini Dania sampai menitikan air mata."Mungkin itu adalah sebuah hasil sebab akibat atas apa yang dulu dia lakukan. Kau percaya hukum tabur tuai itu ada?" Dania mengangguk. "Atas nama Mas Adrian aku mohon maaf Mbak. Sungguh menyakiti Mbak Nisa adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Kini justru dia berbuat hal bodoh yang hanya akan menambah beban penderitaan hidupnya," ucap Dania kemudian mendongakkan wajahnya ke atas, bersamaan dengan itu air matanya luruh membasahi pipinya yang mulus."Mbak sudah memaafkan semua kesalahannya, sejak dulu. Tapi untuk mengeluarkan dia dari penjara, maaf Mbak tak bisa Nia, itu sudah masuk tindakan kriminal. Jujur Mbak takut obsesi atau ambisinya menginginkan untuk bersama kembali, justru akan membahayakan diri Mbak." Aku berkata sungguh-sungguh seraya menatap l
"Kalau kamu nggak sama aku, maka siapapun juga tak boleh memilikimu Anisa!" ucapnya lagi setengah berteriak, membuat aku dan Dania terperangah, kami saling pandang. Jujur aku bergidik ngeri melihat Mas Adrian, dia sangatlah berbeda. Aku seperti tak mengenalinya lagi."Mas nyebut Mas!" sentak Dania.Tiba-tiba tangan Mas Adrian mencengkeram tanganku, meski kedua tangannya di borgol tapi tetap saja cengkraman tangannya kuat dan membuat tanganku sakit."Mas sakit Mas, lepas!" Aku berusaha melepaskan tanganku tapi sulit.Hingga tiba-tiba petugas datang dan membantuku melepaskan tangan Mas Adrian."Maaf waktu kunjungan sudah habis," ucap laki-laki berseragam biru muda itu."Anisa! Kamu hanya milikku Nisa!" Masih bisa kudengar teriakan Mas Adrian saat di bawa oleh petugas masuk.Aku dan Dania kembali saling pandang. Kini Dania tampak begitu syok melihat kondisi kakaknya. Entah mengapa aku merasa Mas Adrian seperti orang yang psikologisnya terguncang. Sedalam itukah rasa penyesalan di hatin
Tapi baru saja kaki ini menapaki lantai dua, aku dibuat tercengang mendengar suara Dania yang tengah berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon."Iya Bu. Aku nggak habis pikir sama Mas Adrian, selalu buat ulah." Dania seperti sedang curhat dengan seseorang."Dia selalu bikin masalah, sampai aku tak tahu harus bagaimana lagi."Aku menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan."Apa, maksudnya gimana Bu? Mas Adrian masuk penjara kok tiba-tiba aku di suruh nikah sama anak Ibu. Laki-laki kulkas itu," sungut Dania pada lawan bicaranya di telepon.Berkali-kali Dania membuang napas kasar."Sudah ya Bu Helena, ini aku lagi di rumah Mbak Nisa. Bu Helena nggak usah begitu. Sudah ya Bu, Assalamualaikum."Dania mematikan sambungan teleponnya. "Mbak Nisa!" Tiba-tiba Dania menoleh dan mendapatiku sudah berdiri di belakangnya.Aku menarik senyum untuknya."Ehm, maaf Mbak tadi tetangga, Bu Helena yang telpon. Dia aneh banget, minta aku nikah sama anaknya yang cuek itu, hah! Mal