"Raffi kamu apa-apaan?" ungkapku keberatan melihatnya berlutut."Jika iya. Kau bisa mengambil cincin ini dari kotaknya, tapi jika tidak kau bisa menutup kotaknya."Lagi, kembali dibuat tertegun. Aku mengedarkan pandangan melihat sekeliling. Tak ada siapapun, hanya ada kita berdua di tempat ini.Kembali aku menatap wajahnya yang masih menatapku penuh harap. Dalam hati aku terus menimbang jawaban seperti apa yang harus kukatakan. Mengambil cincin itu atau aku menolaknya dengan menutup kotak cincin itu.Aku menatap kedua manik hitam itu, terlihat sebuah kejujuran dan dan rasa ingin melindungi terlihat dari pancaran matanya. Aku memang bukan Tuhan yang mengetahui isi hati manusia, tapi kembali aku mengingat semua yang sudah kami lalui bersama, bahkan saat aku dalam bahaya sekalipun, Raffi datang sebagai penyelamat bahkan ia menjadi garda terdepan melindungiku, bahkan tak mempedulikan keselamatan dirinya sendiri hanya demi menyelamatkan diriku.Aku tersenyum menatapnya. Kemudian dengan pe
"Iya. Pokoknya kamu nggak usah khawatir, nggak usah mikirin apa-apa udah tinggal manut aja, nanti Mama yang urus semuanya. Mama punya banyak kenalan dari MUA sampai dekorasi dan katering, baju kebaya apalagi koleksi dari butik Mama tinggal pake. Pokoknya beres semuanya ya, Sayang. Kamu tinggal persiapkan diri kamu aja. Insya Allah semuanya beres, acaranya lancar."Aamiin. "Terimakasih banyak Tante. Semoga ini memang jalan yang terbaik. mohon doa restunya ya Tante.""Eh, eh! Kok panggilnya Tante terus, Mama dong Sayang! Mulai sekarang harus biasakan panggil Mama oke!""Eh, ehm, iya Mama." Aku tersenyum canggung, meski di seberang sana beliau tak melihatku.Sedangkan Bik Jum yang duduk menikmati nasi gorengnya, menatapku sambil senyam-senyum."Akhirnya apa yang selama ini Mama harapkan akan terwujud. Mama selalu mendoakan yang terbaik buat kamu dan Raffi. Dari sekian banyak perempuan yang Mama tahu dekat dengan Raffi, cuma kamu yang Mama rasa sangat cocok menjadi pendampingnya Raffi, P
Sampai di rumah, Raffi masih membuntuti mobilku, alhasil, sesaat setelah aku mematikan mesin mobilku, Raffi sudah berdiri di dekat kaca jendela mobilku."Keras kepala!" ucapnya sinis."Biarin! Salah sendiri!" sahutku tak mau kalah."Putri, aku ini calon suamimu, tak bisakah kau bersikap lembut sedikit?""Aku nggak suka terlalu dikekang." Aku keluar mobil dan berjalan ke teras rumah. Kemudian mendaratkan bobotku di kursi teras."Apa salahnya menuruti permintaanku, selagi itu memang untuk kebaikan.""Ya, aku tau itu Fi, tapi aku lebih suka kita tetap bersikap seperti biasanya, nggak perlu berlebihan." Aku membuang napas berat."Oke. Oke. Kali ini aku coba mengerti. Please, jangan ngambek lagi."Aku tersenyum kemudian mengulurkan tanganku."Cokelat dulu." Aku menengadah tanganku padanya."Kebiasaan! Untung cinta, kalau enggak–""Kalau enggak kenapa?" tanyaku sambil tersenyum menatap Raffi."Kalau enggak ya, ogah lah!" Aku dan Raffi sudah seperti menjadi kebiasaan kalau sedang berdebat a
Tak terasa kami telah sampai di penghujung acara semua yang hadir menikmati hidangan yang telah disuguhkan. Tante Maya memesan menu makanan dari catering temannya, dan ini rasanya enak. Semua tamu undangan menikmati jamuan makan sambil berbincang santai. Hingga tiba-tiba Tante Ranti mendatangiku dengan wajah masam."Saudaranya Raffi yang itu tuh, emang beneran nyebelin ya Nis." Aku mengernyit melihat Tante Ranti yang datang dengan wajah di tekuk. Aku meletakkan gelas minumanku di meja, dan melirikRaffi, tampak sedang berbincang dengan rekan bisnisnya tak jauh dariku."Maksud Tante yang mana? Tante Syakira dan Dea lagi?""Iya lah, siapa lagi kan sepanjang acara ini berlangsung cuma mereka berdua yang tak suka dengan acara lamaran ini. Heran Tante, kalau nggak suka ya nggak usah datang sekalian, daripada datang tapi kepanasan kayak kebakaran jenggot begitu," sungut Tante Ranti."Mereka memang seperti itu, Nisa udah tahu kok, jadi nggak kaget, biarin aja. Toh kehadiran mereka. Suka ata
"Enggak! Kalau aku tidak bisa bersatu lagi dengan Anisa, maka siapapun juga tak boleh memiliki Dia!" Mas Adrian bicara dengan napas tersengal. Punggungku yang sudah menempel di dadanya, seakan bisa merasakan degupan jantungnya.Napasku seakan tertahan, tenggorokanku tercekat tak mampu aku berkata sepatah kata pun, hanya air mata yang bicara, tiba-tiba lolos begitu saja, karena mata pisaunya itu bisa sewaktu-waktu menembus kulit dan leherku."Adrian!" Tante Ranti berteriak memekik kaget dengan pemandangan yang tiba-tiba berlangsung sangat cepat.Suasana kian menegang. Semuanya diam menatapku yang dilanda ketakutan luar biasa. Di sekelilingku masih berdiri banyak orang terutama pihak keluarga yang memang belum pulang selesai acara."Mas, jangan main-main Mas! Kita bisa bicarakan ini baik-baik," Raffi berusaha bernegosiasi dengan Mas Adrian yang tampak kalap. "Jangan mendekat! Atau aku benar-benar nekat melenyapkan Anisa agar tak jadi menikah denganmu!" ucap Mas Adrian ketika perlahan
"Lalu apa?! Kalau bukan kasian sama laki-laki itu?" Raffi menatapku tak suka."Aku kasian sama Dania adiknya Mas Adrian, dia sudah tidak punya siapapun!"Raffi langsung terdiam mendengar ucapanku dan menghela napas. Lalu mengelus pelan kepala bagian belakangnya."Makanya kalau ada orang ngomong itu dengerin dulu sampai selesai! Baru komen," sungutku.Raffi masih terdiam."Cemburu boleh tapi jangan cemburu buta." Lagi aku berkata sambil tersenyum melirik ke arahnya."Siapa yang cemburu! Enggak. Ngapain aku cemburu, aku sudah yakin hatimu sudah mentok sama aku, dan nggak akan bisa berpaling ke yang lain," balasnya dengan jumawa.Aku hanya mencebik. Dalam hati mengiyakan ucapannya itu "Nanti kamj coba bicara baik-baik dengan adiknya Adrian itu. Semoga dia bisa mengerti kalau perbuatan kakaknya itu sudah diluar batas. Siapapun pasti akan melakukan hal yang jika itu menyangkut nyawa orang."Aku mengangguk kemudian melanjutkan langkah menuju ke mobil.Sampai di depan mobil, Raffi langsung
"Dania, kamu tenang dulu, kamu jangan salah paham." Aku mencoba menjelaskan dengan tenang.Beberapa saat kami saling diam, aku menunggunya tenang. Aku paham, pasti Dania masih syok mendengar kabar Mas Adrian di bawa ke kantor polisi."Mbak, bisa kita ketemu besok?" tanya Dania akhirnya setelah kami saling diam cukup lama."Bisa. Besok kita bisa ketemu, kamu mau ketemu di mana?" tanyaku."Di kafe dekat kantornya Mbak Nisa aja, sekalian aku besok mau ketemu Mas Adrian ke kantor polisi," ucapnya di seberang sana. Aku mengangguk, meski kutahu Dania tak melihatku."Baik Nia, besok jam sembilan kita bertemu. Kamu tenang, nanti besok Mbak antar kamu ketemu Mas Adrian, sudah ya. Mbak minta maaf, semua terjadi begitu cepat, Mbak sendiri nggak bisa–""Sudahlah Mbak. Besok saja kita bicara, ini sudah larut malam, aku mau istirahat, Assalamualaikum."Panggilan terputus begitu saja."Wa'alaikumusalam," sahutku pelan, dan kuyakin Dania tak mendengar karena panggilan sudah berakhir.Aku menarik napa
"Maafkan aku Mbak, bukan maksudku menginginkan Mbak kembali pada Mas Adrian, sungguh, aku hanya ingin Mbak tahu, bagaimana payahnya Mas Adrian melewati harinya karena sebuah penyesalan." Kali ini Dania sampai menitikan air mata."Mungkin itu adalah sebuah hasil sebab akibat atas apa yang dulu dia lakukan. Kau percaya hukum tabur tuai itu ada?" Dania mengangguk. "Atas nama Mas Adrian aku mohon maaf Mbak. Sungguh menyakiti Mbak Nisa adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Kini justru dia berbuat hal bodoh yang hanya akan menambah beban penderitaan hidupnya," ucap Dania kemudian mendongakkan wajahnya ke atas, bersamaan dengan itu air matanya luruh membasahi pipinya yang mulus."Mbak sudah memaafkan semua kesalahannya, sejak dulu. Tapi untuk mengeluarkan dia dari penjara, maaf Mbak tak bisa Nia, itu sudah masuk tindakan kriminal. Jujur Mbak takut obsesi atau ambisinya menginginkan untuk bersama kembali, justru akan membahayakan diri Mbak." Aku berkata sungguh-sungguh seraya menatap l