"Astaghfirullah Intan mengapa dia jadi semarah itu padaku." Aku bermonolog."Mungkin Rendra sudah bercerita padanya suatu hal yang ... Ya tidak sesuai dengan kebenarannya," sahut Raffi menanggapi, sambil tangannya menyetater motor."Maksud kamu?""Ya, bisa aja kan Rendra bicara pada Intan soal kamu versi dia sendiri, bisa aja dia memutar balikkan fakta yang sebenarnya, hingga timbul kebencian di hati Intan sama kamu." Aku mengangguk setuju.Ya, bisa saja itu terjadi, ya Allah, Intan kamu mengenalku cukup lama, lalu apa hanya dengan kamu mendengarkan satu sisi, begitu mudahnya kamu percaya? Ck, aku harus bagaimana."Sekarang kita kembali dulu ke hotel, istirahat? Atau kamu mau jalan-jalan dulu, sekedar refreshing tenangin pikiran?" tanya Raffi sambil tetap fokus mengendarai motor. Ia sedikit menaikkan nada suaranya agar aku bisa mendengar jelas karena angin bertiup cukup kencang."Kita kembali ke hotel aja lah, Fi."Ia mengangguk, sebelumnya kami mampir ke rumah Tante Rahmi untuk meng
Setelah sampai sejenak menikmati suasana alun-alun kota sambil menikmati makanan khas daerah Sidoarjo, kami memutuskan untuk kembali ke hotel.Meski Raffi berusaha keras untuk menghiburku agar rileks tak terlalu kepikiran sama Intan, tapi tetap saja dasarnya aku orangnya selalu kepikiran dengan masalah yang sedang kuhadapi.Aku tak bisa santai slow, menghadapi masalah yang sedang terjadi. Sudah menjadi sifatku begini, akan berpikir dan terus berpikir mencari cara untuk menyelesaikan masalah itu. Walau sebenarnya jawabnya adalah waktu, ada saatnya nanti semua masalah akan selesai."Aku langsung istirahat ya Fi. Terimakasih untuk hari ini," ucapku sebelum kami sama-sama masuk ke kamar masing-masing. Hari sudah mulai sore. Aku ingin berisitirahat sebentar meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Kaku karena terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri."Iya, istirahatlah, kamu kelihatan capek banget nanti malam jangan lupa kita makan malam sama-sama."Aku hanya mengangguk kemudian masuk ke dal
"Putri, Put, hei mau kemana? Kok mewek gitu?" tanya Raffi yang tiba-tiba datang menghampiriku sedang berjalan cepat menjauhi toko bunga itu.Aku diam tak menanggapinya sambil terus berjalan."Sudah ketemu sama Intan?" Aku mengangguk. Raffi menatap bingung padaku dan toko bunga itu bergantian."Terus?""Aku mau kembali ke hotel, berkemas, kemudian pulang ke Jakarta," sahutku sambil terus berjalan, tak sedikitpun menoleh ke arah Raffi. Entah seperti apa sekarang ekspresi wajahku, yang jelas hatiku sekarang sakit sekali."Hah, kembali ke Jakarta? sekarang? Hei kamu kenapa sih? Putri, Put, stop dulu, coba lihat aku Put, lihat aku!" Raffi menghentikan langkahku, aku pun mengangkat wajahku menatapnya. Wajah tampan itu kini terlihat sendu melihat netraku yang sudah memanas."Sudah bicara sama dia?" Aku mengangguk, dan detik berikutnya luruh sudah air mataku, bahuku bergetar, menahan sesaknya rasa di dada.Tapi aku langsung menyekanya dengan lenganku."Masih marah dia?" tanyanya. Aku memilih
"Intan."Melihat sosok sahabatku datang, tentu membuatku menarik senyum, seketika perasaan haru membuncah di dalam dada.Ia langsung menghambur memelukku. Tentu saja aku langsung menyambut dengan tangan terbuka, memeluknya. Beberapa saat kami saling merangkul, ia terisak, di pundakku."Jangan pergi dulu Nis, aku ingin bicara." Aku mengangguk. Kemudian menoleh ke arah Raffi, ia pun mengangguk seakan tahu apa maksudku."Maaf Pak, saya cancel ya, teman saya masih ada urusan dengan temannya. Tapi tetap saya bayar ongkos yang tadi tertera di aplikasi ya Pak. Sekali lagi saya mohon maaf." Raffi bicara dengan supir taksi online dan menyodorkan uang pecahan berwarna merah padanya.Kami berjalan ke area restoran tak jauh dari lobby dan duduk bertiga di sebuah meja persegi panjang. Kemudian Raffi memesan teh hangat untuk kami.Sejenak kami bertiga saling diam. Aku memberi waktu pada Intan beberapa saat agar lebih tenang sebelum kita bicara."Intan, Kau baik-baik saja?" tanyaku lembut padanya y
Aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta esok hari, karena aku masih ingin menghabiskan waktu di sini untuk ngobrol sama Intan."Kamu nggak apa-apa berlama-lama di sini Nis?""Tak apa sekali-kali juga nggak sering, kerjaan di Jakarta aku serahkan pada Damar."Intan kembali mengangguk. Kini kami berdua sedang dalam perjalanan untuk kembali ke rumah Tante Rahmi. Sedangkan Raffi, aku suruh dia balik duluan ke Jakarta, meski awalnya dia menolak tapi bagaimanapun kerjaan dia di Jakarta juga banyak, jadi dia memilih untuk menurutiku kembali ke Jakarta sore ini."Kau sendiri, apa tidak ingin kembali ke Jakarta Tan?" Ia menggeleng. "Aku nyaman di sini, daripada di Jakarta aku sendiri, aku kesepian. Mending aku di sini ada Tante Rahmi dan Abi, yang bisa jadi teman." Aku mengangguk paham. Di Jakarta juga pasti dia akan terus sedih teringat kedua orangtuanya yang sudah tiada. Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan akhirnya kami sampai di rumah Tante Rahmi. Seperti biasa beliau menyambut han
Aku seperti pernah melihat dia tapi dimana ya, Ah iya di foto keluarga yang di pajang di dinding ruang tamu rumah ini, dan wajah laki-laki ini juga mirip dengan Abi, ini pasti suaminya Tante Rahmi ayahnya Abi. Dua kali aku datang ke rumah ini, baru kali ini aku berjumpa dengan ayahnya Abi."Kamu siapa?" tanyanya dengan wajah datar menatap lekat padaku."Oh, ini Nisa Pa, temannya Intan." Tiba-tiba Tante Rahmi datang dari ruang tamu menghampiri kami.Aku langsung menunduk, dan menangkupkan kedua tanganku di dada."Saya Anisa Om," ucapku, beliau mengangguk."Ini papanya Abi, Nis." Tante Ranti memperjelas tebakanku."Oh iya Tante, salam kenal Om, Saya temannya Intan. Mohon maaf jika kehadiran saya di sini merepotkan, saya ijin menginap semalam saja di sini," ucapku sopan pada laki-laki itu, yang masih menatap intens ke arahku."Ya sudah tak apa.""Ayo Pa, makan dulu, biar Nisa istirahat, di kamar tamu, Nis Tante tinggal ke belakang ya, temani Om makan malam." Tante Rahmi mengajak suaminya
"Akhirnya sampai juga." Aku bermonolog, menghela napas lega, kini kembali aku menapaki tanah ibu kota.Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Yanto datang, ia langsung membantu membawakan koperku. Sebelum tiba di bandara, aku memang sempat menghubunginya meminta di jemput. Sesampai di rumah, aku langsung merebahkan tubuhku di pembaringan. Hari sudah menjelang tengah hari, aku beristirahat sejenak memejamkan mata ini. Semalam aku hanya tidur beberapa jam, karena Intan banyak bercerita.Aku terlelap, hingga terdengar suara Bik Jum mengagetkanku."Mbak, Mbak Putri! Ada tamu Mbak." Bik Jum memanggilku disertai suara ketukan pintu kamarku."Iya Bik, ada apa?" tanyaku seraya bangkit dari ranjang meraih jepit rambut di atas nakas, kemudian mencepol asal rambutku."Ada tamu Mbak!" ucapnya lagi. Ada tamu? Siapa? Aku tinggal di sini hanya berdua dengan Baik Jum dan aku jarang sekali kedatangan tamu."Siapa Bik?" tanyaku lagi kemudian meraih hijab instan yang tergantung di balik pintu kamar l
"Maksudnya gimana Mas?" tanyaku."Aku ingin kita kembali rujuk Nis."Ucapan laki-laki itu tentu membuat aku tercengang. Aku terdiam, hati ini rasanya sudah mati rasa. Sekarang saja aku masih mempersiapkan diri untuk membuka kembali hati yang terasa mati ini, kini justru dia datang meminta untuk kembali. "Maaf Mas, Aku ... Aku nggak bisa, maaf," sahutku."Kenapa Nis? Kenapa? Aku janji akan berubah, aku janji tak akan mengulangi kesalahan yang pernah aku lakukan dulu, menduakan kamu, aku janji akan memperbaiki hubungan kita. Aku janji Nis, aku janji akan membahagiakanmu, Nisa," ucapnya terdengar begitu menggebu.Dania terdiam mendengar kakak laki-lakinya bicara."Ya, aku mengerti Mas, tapi ini masalah hati. Hatiku yang sudah retak, pernah terluka, pernah tersakiti, walau aku sudah memaafkan, tapi tak bisa utuh kembali seperti dulu, Mas. Nggak bisa." Aku berkata tanpa ragu."Tapi, bukankah kamu sampai sekarang belum menikah lagi, dan itu artinya di hatimu masih ada cinta kan untukku? C