Bu Helena mulai membisikkan sesuatu dekat telingaku. Aku tercengang, beberapa saat terdiam mencerna semua kalimat ya beliau utarakan. Kemudian sekali lagi aku menoleh ke arahnya. Beliau mengangguk tersenyum.Akhirnya aku pun mengangguk menyetujui syarat yang beliau ajukan."Oke. Besok kau bisa datang ke rumah, untuk mengambil uang itu, dan segera lunasi hutangmu di Pak Wahyu.""Terimakasih, Bu," ucapku. Aku sangat berterimakasih, karena berkat beliau rumah ini tak jadi diambil oleh Pak Wahyu.Acara tahlil malam ini berjalan lancar, beberapa tetangga berkumpul di rumah ini, bersama-sama mengirim doa untuk ibu. Dania sudah tak lagi histeris, hanya sesekali air matanya mengalir saat mengaji Yasin.Selesai acara tahlilan, rumah terasa begitu sunyi. Seperti ada yang hilang. Aku kehilangan sosok yang selalu menghangatkan suasana setiap saat. Aku kehilangan sosok yang selalu berusaha memberi apapun yang kubutuhkan. Pelan kumenoleh ke arah kamar ibu, ada Dania di dalam, ia duduk termenung mem
"Vivi kenapa Bu?" tanyaku panik dengan menatap lekat Mama Ranti. "Vivi masih belum sadar, kritis di dalam," sahut Mama Ranti yang juga terlihat cemas."Anakku? Gimana keadaan bayiku Ma?""Anakmu masuk inkubator karena belum cukup bulan, berat bada bayi juga kurang."Aku menarik napas panjang. Miris, entah berapa banyak sudah dosa yang sudah kuperbuat, sudah berapa banyak aku melukai hati ibu, melukai hati Anisa, kini Tuhan seperti menghukumku dengan berbagai cobaan."Sebenarnya kalian kenapa Yan? Kenapa Vivi pulang ke rumah Mama, apa kalian bertengkar?" tanya Mama Ranti memindai wajahku."Memangnya Vivi belum cerita?"Beliau menggeleng."Kami nggak apa-apa Ma, mungkin Vivi lagi ingin tinggal di rumah Mama.""Kamu nggak bohong? Saya turut berdukacita atas kepergian ibumu Yan, bagaimanapun juga Bu Mita itu baik, hanya saja mungkin karena beliau terlalu sayang dengan Nisa, beliau jadi kurang suka dengan Vivi. Dan saya sadar kehadiran Vivi dalam rumah itu bukan keinginannya. Mungkin kare
Aku membuang napas kasar dan meraup wajahku yang kini sudah penuh dengan keringat di pelipisku. Teringat Vivi di dalam masih berjuang di ruang ICU, aku kembali melangkah ke masuk ke dalam rumah sakit."Bagaimana Ma, sudah ada perubahan?" Mama Ranti menggeleng."Yan, kamu bisa ke ruangan bayi, dan adzani anakmu." Aku mengangguk kemudian melenggang ke arah ruangan bayi.Berjejer bayi di sana, aku dengan di temani perawat yang berjaga, menuju ke box bayi paling ujung, di dalam inkubator seorang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu tengah tertidur dengan selang menempel di tubuhnya.Aku menatap hari bayi merah itu, tanpa sadar air mataku menetes. Aku telah menjadi seorang ayah, bisikku lirih."Silakan di adzani Pak," ucap perawat perempuan yang mendampingiku. Aku hanya mengadzani dari lubang berbentuk yang ada samping.Tanpa sadar aku mengumandangkan adzan dengan berderai air mata. Di saat aku kehilangan ibu, sosok malaikat yang teramat mulia, Allah kini hadirkan malaikat kecil in
"Selamat Pagi Bu Vivi, bagaimana keadaannya? Ada keluhan?" tanya seorang dokter perempuan yang menangani Vivi, pagi ini datang mengecek kondisi Vivi."Sakit Dok, bagian perut."Dokter muda itu tersenyum. "Ya, bagian jahitannya ya? Nggak apa-apa bertahap ya, nanti sambil latihan miring ya Bu, miring kanan, miring kiri, kemudian nanti pelan-pelan duduk." Dokter muda bernama Marisa itu menjelaskan dengan tersenyum ramah."Miring? Sakit Dok," sahut Vivi, yang juga sesekali meringis menatap bagian perutnya."Iya, nggak apa-apa pelan-pelan aja ya Bu. Kalau nggak di latih nanti malah lama sakit terus ya Bu." "Dedek juga di ruang bayi sudah mulai stabil kondisinya, nanti kita tunggu penjelasannya dari spesialis anaknya ya Bu.""Makan teratur, minum obatnya teratur Insya Allah akan mempercepat proses penyembuhan.""Ada lagi yang mau di tanyakan?" "Bapak suaminya? Tolong terus dampingi istrinya ya Pak, perempuan sehabis melahirkan itu butuh support dari keluarga, terutama peran suami. Jangan
Aku melangkah menyusuri lorong rumah sakit sore ini, tangan kananku menenteng satu boks brownies dengan toping chocochip dan Almond, ini kesukaan Vivi, semoga dia senang aku datang membawa makanan kesukaannya.Aku melangkah dengan pasti menuju ke kamar rawat Vivi.Kamar Vivi berada di Blok Mawar. Deretannya agak ke belakang. Deretan depannya Blok Mawar ada Blok Kenanga. Baru saja aku melangkah melewati deret Kenanga, saat aku menoleh ke kanan, aku lihat Rendi tengah berjalan di lorong utama. Apa Dia habis dari kamar Vivi?Laki-laki itu mengenakan kemeja pendek berwarna biru. Mengenakan celana chinos berwarna cokelat. Ia berjalan lurus ke depan jadi tak melihatku.Aku mempercepat langkahku menuju kamar rawat Vivi.Ceklek."Ada apa lagi Yang?"tanya Vivi yang tengah berbaring miring, memunggungi pintu kamar."Yang? Siapa?"Tubuh Vivi menegang, kemudian dengan cepat ia membalikkan badannya menjadi terlentang, dan menatap wajahku yang kini pasti sudah memerah."Ma–Mas Adrian.""Ya. Ini ak
Selesai bersiap, aku langsung berangkat ke proyek. Seperti biasa bekerja dengan semangat. Ingat ada Arka kini menjadi semangat baru untukku mengais rezeki.Kehadirannya menjadi penyemangatku, ditengah himpitan ekonomi yang sangat sulit.Hari terasa cepat berlalu, tak terasa waktu sudah sore, aku pun langsung pulang ke rumah, mandi sebentar lalu langsung berangkat ke rumah sakit.Begitu ringan langkah kaki ini memasuki area rumah sakit, menyusuri koridor yang panjang.Hingga kaki ini sampai di depan ruang rawat Vivi, aku langsung meraih hendle pintu dan langsung membukanya."Yang, sampai kapan aku begini, aku udah nggak tahan, hidup sama Mas Adrian, cepatlah kamu bawa aku dari sini, memangnya kamu nggak mau kita sama-sama.""Kamu lihat anak kita, dia begitu mirip denganmu Yang.""Harus berapa lama lagi aku harus menunggu, sampai ibumu memberi restu, aku lelah!" Sontak aku menghentikan langkahku ketika melihat Vivi tengah berbicara serius dengan seseorang di telepon.Tiga kalimat yang
"Tolong jangan membuat keributan di sini! Ini rumah sakit, tolong jaga sikap anda Pak!" ucap salah satu sekuriti.Aku mengusap kasar wajahku. Dalam beberapa saat hidupku porak-poranda.Vivi benar-benar keterlaluan, tanpa sadar tanganku mengepal kuat. Tak kusangka aku hanya dibodohi olehnya."Brengsek! Perempuan sial, jadi selama ini aku hanya dianggap apa? Hanya barang mainan yang dimanfaatkan sesaat, kemudian ia membuangku begitu saja saat ia tak lagi membutuhkan?"Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.Aku masih di halaman rumah sakit ini, sore hari yang kelam aku seolah mendapat kejutan, kejutan luar biasa darinya.Aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Tak ada gunanya lagi aku disini.Baru terpikirkan olehku, mengapa dulu Vivi inginnya aku menikahinya secara siri. Ternyata seperti ini, dia bisa dengan mudah melepaskan diri dariku.Mendadak bayangan wajah ibu berputar di kepalaku. Bagaimana ibu begitu benci dan tak suka pada Vivi, sampai cap perempuan perempuan murahan beliau semat
POV Vivi."Apa maksudnya ini Vi? Apa maksudnya!" sentak Mama sesaat setelah Mas Adrian meninggalkan ruang rawat ini, usai menjatuhkan talak atasku.Aku diam."Vivi! Jawab Mama! Apa maksud Adrian bicara begitu?!" teriaknya lagi dengan netra memerah, wajahnya merah padam.Aku membuang pandangan, tak kuat rasanya menatap tatapannya yang tajam menghujam hingga menembus jantung ini."Ya. Seperti yang Mama dengar sendiri kan tadi," ucapku acuh. Kemudian merebahkan kembali tubuhku di pembaringan, karena bekas sayatan di perutku ini masih sangat sakit sekali, sekaligus ingin meredam detak jantungku yang sejak tadi berdegup kencang. Tak kupungkiri saat tadi kalimat talak itu terucap, seperti ada yang mengguncang dada ini."Jelaskan sama Mama apa maksudnya Adrian berkata seperti itu? Dia sampai jatuhkan talak lho sama kamu, ini hal serius! Katakan apa yang terjadi?! Dia hampir membunuhmu tadi jika saja Mama dan sekuriti datang terlambat mungkin kamu sudah menjadi mayat Vivi!" sentaknya lagi.
Dua bulan sudah terhitung sejak Adrian mulai datang hampir setiap hari ke rumah Yulia untuk membantu segala sesuatu kebutuhan Anita.Merawat orang lumpuh ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Tanpa rasa sungkan Adrian membantu mengangkat tubuh Anita jika hendak ke kamar mandi. Barulah setelah di bawa ke kamar mandi urusan mandi atau buang air akan di bantu oleh Yulia atau Sumi.Adrian duduk termenung di ruang tamu menunggu Anita yang sedang dimandikan oleh Yulia di dalam.Sebenarnya ia tak masalah membantu sampai sejauh ini, Adrian ikhlas. Hanya saja kalau Anita tetap tak merestui hubungan mereka, apa semua yang sudah ia lakukan ini akan sia-sia belaka?"Kenapa? Kok ngelamun? Kamu capek? Bantu Aku dan Mama?" Adrian terkejut tiba-tiba Yulia ada di sebelahnya."Oh, nggak aku lagi menikmati pemandangan bunga-bunga di halaman aja." Adrian berkilah."Oh. Kalau di rasa sudah tak sanggup membantu, katakan saja, aku nggak apa-apa."Adrian terdiam. Baginya cinta yang sudah terlanjur tumbuh
"Selamat pagi Tante," sapa Adrian hari Minggu pagi ini ia datang ke rumah Yulia. Kini Yulia sedang membawa ibunya yang duduk di kursi roda, bermaksud untuk menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Sebuah rutinitas yang tak pernah terlewatkan setiap pagi, agar tubuhnya Anita lebih segar.Adrian datang dengan membawa buah dan kue red Velvet kesukaan Anita.Anita diam, dari raut wajahnya masih memperlihatkan ketidaksukaannya pada Adrian, meski ia tahu Adrian adalah orang yang menolong nyawanya ketika waktu ia butuh transfusi darah. Anita tetap keras kepala, sekali tak suka maka sampai kapanpun ia tetap tak suka.Adrian tersenyum, ia paham dirinya masih belum diterima oleh Anita."Mulai sekarang Saya akan sering datang untuk menemui Tante. Jadi kalau ada apa-apa yang dibutuhkan, jangan sungkan untuk menghubungi saya, Tante."Anita mendelik mendengar ucapan Adrian."Memangnya kamu siapa?! Nggak! Nggak perlu kamu datang kemari sering-sering! Bikin mata sepet aja!" sentak Anita.Sedangkan Y
Semenjak hari itu Yulia benar-benar sulit ditemui, bahkan di kantornya, Adrian tak dapat menemuinya. Gadis itu benar-benar serius dengan ucapannya, yaitu ingin instrospeksi diri juga berpikir lebih jernih mengenai hubungan mereka ke depan.Jangan tanya bagaimana suasana hati Adrian. Tidak bisa mendengar suara Yulia, tak bisa melihat senyumannya, tentu rasanya sangat menyiksa.Ternyata sesakit diabaikan. Apa kabar dengan hati Yulia yang menunggu selama berbulan-bulan, menyembunyikan perasaannya sampai pada akhirnya Adrian menyambut cinta itu.Adrian tak pernah menyerah, ia kembali mencoba menghubungi Yulia melalui sambungan telepon.Namun tetap sama, tidak diangkat.Hingga lebih dari dua minggu kondisi ini berlalu. Adrian menyerah tak lagi mengubungi gadisnya. Ia sudah pasrah. Jika memang mereka ditakdirkan bersama maka insya Allah nanti mereka akan bersama-sama. Tapi jika memang takdir tak menyatukan mereka maka Adrian akan berusaha ikhlas.Ikhlas adalah titik terdalam sebuah perasaa
Mendadak wajah Adrian pucat, ia terlihat gugup menatap Yulia yang menatapnya tajam."Ehm, Li, aku akan jelasin ke kamu semuanya, dan kamu jangan dulu salah paham, oke." Yulia masih terdiam menunggu penjelasan seperti apa yang akan Adrian katakan.Setelah keduanya sama-sama diam untuk beberapa saat, Adrian meneguk jus alpukat miliknya."Aku khilaf telah bermain api di belakang Anisa," ucap Adrian jujur. Sebenarnya ia tak tahu lagi dari mana ia harus memulai bercerita, kata-kata seperti apa yang harus ia rangkai dan ia katakan pada Yulia.Ia tak ingin Yulia jadi salah tangkap dan jadi membencinya, Adrian tak sanggup jika harus kehilangan Yulia. Baginya Anisa sudah menjadi masa lalu, dan sekarang ia ingin menggapai masa depan bersama gadis manis yang tengah merajuk ini."Khilaf sampai berselingkuh dengan sepupunya istrimu, Yan?!" Yulia menggeleng tak percaya.Adrian tercekat, ia tak mampu membantah karena memang itu faktanya."Aku nggak nyangka kamu ternyata setega itu Yan. Apa kehadiran
"Aku pamit pulang ya Kak, kasihan Mama, pasti sudah menungguku pulang." Jari sudah hampir gelap, Yulia pun pamit untuk pulang.Putri mengantar Yulia hingga ke depan pintu gerbang, saat sebuah taksi mobil yang dipesan Yulia tiba di depan rumah Putri, Yulia langsung naik dan berlalu pulang ke rumahnya.Sepanjang perjalanan, perasaan Yulia gampang, antara tetap melanjutkan atau memilih mundur pada hubungannya dengan Adrian. Sesungguhnya jauh di lubuk hatinya, Yulia sangat mencintai laki-laki itu, sejauh ini, walaupun mamanya menentang keras hubungan mereka, selama ini ia tetap berdiri tegak, teguh pada pendiriannya, yaitu memperjuangkan cinta.Tapi menilik akan kisah masa lalunya Adrian, apakah laki-laki itu benar-benar bisa tulus mencintainya sepanjang hidup mereka? Seperti cintanya pada Adrian.Bagaimana kalau tiba-tiba Adrian mengulangi kesalahan yang pernah ia lakukan pada Anisa? Tentu saja hati Yulia akan hancur.Orang bilang sekali saja laki-laki berselingkuh maka tak menutup kemu
Mendadak raut wajah Putri berubah. Ia merasa kurang nyaman membahas lagi tentang masa lalunya."Ehm maaf Kak, maaf banget. Aku bukan bermaksud untuk mengingatkan Kak Putri tentang masa lalu Kakak, tapi aku sangat butuh informasi tentang Adrian." Yulia berkata dengan sungguh-sungguh.Ia tak ada maksud apapun, ia hanya ingin tahu tentang Adrian. Ia tak ingin salah dalam melangkah.Putri menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudian ia meraih cangkir teh-nya, menyesapnya pelan, berharap ia bisa merasa lebih rileks sebelum memulai bercerita tentang mantan suaminya."Ehm, memangnya Yulia kenal Adrian dimana?" tanyanya yang merasa heran bagaimana bisa sosok Yulia yang terlahir dari keluarga terhormat, tumbuh menjadi gadis cantik, berpendidikan tinggi, dan kini memiliki karir yang bagus di perusahaan tempatnya bekerja, tiba-tiba saja kenal dengan Adrian yang notabenenya hanya laki-laki biasa.Yulia tersenyum kecil."Mas Adrian ... Dia calon suami Yulia Kak," jawabnya.Seketi
"Yulia, boleh Tante ngobrol sebentar?" tanya Maya setelah Adrian pamit pulang."Ada apa Tante?" Yulia mendaratkan bobotnya di sebelah Maya.Maya mengulas senyum lembut pada gadis disebelahnya. Yulia memang cantik, dia juga sangat penurut."Gimana kerjaan kamu? Lancar?" tanya Maya sekedar basa-basi."Alhamdulillah lancar Tante." Yulia menatap lekat wajah Maya, ia seakan bisa membaca gurat ekspresi tantenya yang terlihat sepertinya ada yang ingin beliau sampaikan."Ada apa Tante? Ada yang ingin Tante katakan sama Yulia?" tanya Yulia langsung pada intinya. Maya pun kembali mengulas senyum."Iya ada sedikit yang ingin Tante tanyakan." Yulia menegakkan tubuhnya seakan ia telah siap untuk mendengarkan apa yang hendak Maya tanyakan."Kamu serius sama laki-laki itu? Siapa itu tadi namanya, ehm ....""Adrian Tante.""Ah ya, Adrian. Apa kamu benar-benar serius dengan hubungan kalian?" "Iya Tante. Yulia sama dia sih serius, tapi masalahnya ada sama Mama, Mama nggak merestui hubungan kami, padaha
Semenjak hari itu Anita lebih banyak diam, tak lagi membahas tentang perjodohan pada Yulia.Sampai pada hari ini rumah Anita kedatangan sepupunya, yang tak lain adalah Maya–ibunya Raffi.Beberapa kali Maya datang ke rumah, dan dua kali menjenguk di rumah sakit. Melihat kondisi sepupunya yang kini terbaring di tempat tidur membuat Maya sedih, karena biasanya saat ada acara kumpul keluarga, Anita selalu menyempatkan diri untuk hadir di tengah-tengah mereka. Tapi kini semenjak ia mengalami kecelakaan, Anita seakan tersisih dari keluarga besarnya."Gimana keadaan kamu sekarang Mbak?" tanya Maya. Ia datang sendiri dengan di temani supir."Ya beginilah May, tak ada perubahan apapun, aku cuma wanita tua yang lumpuh, dan merepotkan," ketus Anita.Maya yang memang sudah sangat mengerti karakter Anita pun biasa saja."Sabar Mbak, namanya juga ujian. Alhamdulillah Yulia gadis yang baik, aku lihat dia merawatmu dengan baik."Anita hanya menghela napas. Putrinya memang gadis yang baik, cantik, ta
"Makan dulu Ma." Yulia menyuapi bubur untuk Anita. Namun Anita masih diam tak bergeming."Ma, makanlah sedikit," pinta Yulia lagi, pasalnya semenjak sadar dari komanya mamanya lebih banyak diam, tak mau makan.Akibat kecelakaan yang menimpanya dan masalah pada saraf otaknya, menyebabkan kedua kaki Anita tak bisa digerakkan. Lumpuh.Segala sesuatunya harus di bantu. Yulia jadi sering ijin tak masuk kantor, untungnya pihak kantor berbaik hati memberikan dispensasi karena selama mengabdi pada perusahaan kinerja Yulia bagus."Kamu nggak masuk kerja lagi?" tanya Anita.Beruntung meski kakinya lumpuh, dalam berbicara Anita masih lancar, tak ada masalah."Nggak usah pikirkan tentang kerjaanku Ma, yang penting sekarang Mama harus makan biar cepat sembuh," sahut Yulia."Assalamualaikum, selamat pagi." Tiba-tiba pintu ruang rawat Anita terbuka, menampakkan sosok Adrian.Melihat kehadiran Adrian, Anita langsung membuang muka."Ini aku bawakan buah-buahan dan brownies untuk Tante Anita." Adrian m