"Abian! Kita mau kemana?""Ke KUA."Abian terus saja menarik lenganku hingga sampai ke mobil. Lalu dengan cepat ia melempar kunci motor sportnya pada Riyan. Dan dia sendiri langsung duduk di depan kemudi.Melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata."Kayaknya kamu kesambet setan dasar lautan Bi, main seret aja!" ketusku."Aku akan temui Pak Aditama, kalau kita akan segera menikah." Seketika netraku membelalak.Ternyata dia serius."Tapi Bi, aku nggak bisa. Kamu nggak bisa dong maksa aku gini!" sentakku."Kenapa? Gara-gara mikirin temen kamu itu?"Tiba-tiba Abian menepikan mobil, dan menatapku lekat.Aku terdiam."Aku yang akan bilang pada Amel.""Abian! Jangan gitu dong!" Aku keberatan."Terus kamu maunya kayak gimana?" tanya Abian terlihat putus asa.Abian kembali mengemudikan mobil setelah beberapa saat kami saling diam.Sampai mobil memasuki gerbang rumah, kami masih saling diam."Bi, jangan bilang apa-apa dulu sama Amel, nanti biar aku yang bilang sama dia."Abian diam tak
"Hallo Yas," ucap Amel di seberang sana. Suara Amel terdengar berbeda di telingaku. "Iya Mel, hallo, ada apa? Kok tumben telpon malam-malam gini?" tanyaku basa basi, padahal sebenarnya perasaanku sudah tak enak."Nggak perlu basa basi Yas! Gue cuma mau bilang kalau gue kecewa sama Lo! Teman yang kukira ngedukung gue, ternyata justru menusuk Gue dari belakang."Degh!Kata-kata Amel sungguh bagai belati tajam yang menusuk jantung ini.Aduh, ini pasti Abian sudah mengatakan sesuatu pada Amel.Duh, Abian, kenapa sih nggak ngerti banget, sudah berkali-kali aku katakan jangan bilang apapun dulu sama Amel, sebelum aku sendiri yang mengatakan padanya.Aku meremas jemariku. Mendadak jantungku berdegup tak karuan, merasa tidak enak sama Amel."Ehm, Mel, dengerin aku dulu Mel, ini nggak seperti yang kamu pikirkan, aku bisa jelasin semuanya–""Halah bulshit! Nggak perlu Lo jelasin apapun. Di depanku kamu mendukungku, tapi dibelakangku ternyata Lo sebaliknya. Benar-benar munafik! Aku nggak nyang
Sepanjang hari aku tidak fokus bekerja di kantor. Pikiranku kembali tertuju pada Amel.Aku harus ketemu Amel. Ya, aku harus jelaskan semuanya, kalau aku, tidak seperti yang dia pikirkan.Saat jam makan siang nanti, aku putuskan untuk datang ke tempat kerja Amel.Kembali aku menatap layar laptopku.Baru saja aku ingin fokus bekerja, tiba-tiba saja sering ponsel, tanda panggilan masuk, mengagetkanku.Nomer baru tak di kenal, memanggil.Siapa ya yang menelpon?Walau dengan perasaan ragu, aku beranikan diri untuk menggulir tombol hijau di layar."Hallo, Assalamualaikum, Tyas kamu lagi sibuk ya Nak?" tanya suara seorang perempuan dari seberang sana. Aku mengenal suara ini."Ta–Tante Suryani?""Lho kok Tante!""Eh, ehm, i–iya maksud Tyas, Mama. Kok tahu nomer Tyas?""Ya tau dong! Tinggal minta sama Abi.""Oh iya ya."Aku menggaruk pelan pelipisku yang tak gatal. Tentu saja itu sangat mudah, tinggal minta sama Abian."Ehm ada apa Ma, tumben telpon Tyas, ada apa Ma?""Nggak ada apa-apa, cuma
Aku mengikuti langkah Abian dengan perasaan berkecamuk di dalam dada.Begitu sampai di restoran, terlihat Tante Suryani sudah duduk dengan anggun menunggu.Abaya berwarna hitam dengan hijab lebar warna senada. Kaca mata dengan list emas bertengger di wajahnya, menambah cantik penampilan wanita yang sudah berumur tak lagi muda, tapi masih terlihat begitu anggun dan cantik."Akhirnya Kalian sampai, pasti di jalan macet ya?" tanyanya dengan senyum merekah di bibir."Iya Ma, maaf ya sudah menunggu lama." Aku meraih punggung tangannya dan menciumnya takzim. Tante Suryani pun langsung memelukku hangat, mencium kedua pipiku. Aku yang sudah lama kehilangan sosok Mama, diperlakukan sedemikian hangat tentu saja membuat hatiku senang."Nggak apa-apa. Makasih lho, walaupun kamu sibuk, tapi masih menyempatkan untuk datang makan siang sama-sama. Yuk duduk yuk!"Aku dan Abian pun duduk. Restoran dengan dekorasi bernuansa jawa, duduk lesehan dengan meja yang tak begitu tinggi. Ornamen kayu jati, men
"Ehm, jadi kalian sudah siap nih? Kalau gitu Mama akan langsung hubungi–""Ma! Nanti kami pikirkan waktu yang tepat ya Ma, Tyas nggak mau terburu-buru," cegatku.Tante Suryani terdiam beberapa saat, netranya menelisik menatapku."Oh, ya sudah kalau begitu. Cuma saran Mama, kalau memang sudah saling cocok lebih baik di segerakan. Nggak baik juga terlalu mengulur waktu, takut jadi fitnah nanti," ucap Tante Suryani kemudian dengan gurat kecewa d wajahnya. "I–iya Ma."Sekali lagi aku melirik Abian, dia tersenyum jahil padaku. Dia pasti senang merasa punya pembela.Lalu bagaimana dengan aku? Aku harus ketemu Amel. Nggak mungkin aku menikah dengan Abian, sedangkan ada sahabatku yang terluka, sedih dan menderita karena cintanya harus kandas."Permisi! Silakan, Pak Bu!" Tiba-tiba seorang pramusaji datang membawa nampan berisi makanan kami."Oh ya, terimakasih ya Mbak!" ucap Tante Suryani ramah."Sudah lengkap semua ya Ibu, Pak, pesanannya?" Sang pramisaji mengecek semua makanan yang ada di m
"Mel! Cukup! Aku nggak kayak gitu!""Lalu kayak gimana?! Memang itu kenyataannya!" ucapnya sengit. Benar-benar seperti bukan Amel.Aku menggeleng tak percaya."Aku nggak nyangka pemikiran Lo seperti itu sama gue Mel! Gue kecewa sama Lo!"Aku memilih untuk berbalik badan dan pergi dari tempat ini. Percuma aku datang dengan niat baik untuk meluruskan semua ini, ternyata Amel sudah berubah. Aku sudah tak mengenalinya lagi.Sakit sekali hati ini ya Allah.Aku berjalan cepat keluar gedung agensi dengan menahan tangis. Netra ini sudah memanas, begitu aku memasuki mobil, tumpah sudah air mataku. Aku tak mampu lagi menahan desakan air mata ini.Aku tekan-tekan dada ini, rasanya sesak sekali."Ibu nggak apa-apa?" tanya Riyan sambil melirikku dari kaca spion mobil."Saya nggak apa-apa. Kita langsung pulang sekarang ya."Riyan yang duduk di depan kemudi mengangguk dan perlahan mobil mulai bergerak keluar pelataran gedung.Aku menyeka air mataku. Masih terngiang ucapan Amel yang sangat menyakitka
"Tyas! Alhamdulillah kamu sudah sampai! Gimana kabar kamu Sayang?" Sambutan Tante Fira begitu hangat begitu aku sampai di rumah nenek. Tante Fira adalah adik bungsu Mama, dia yang tinggal di rumah nenek dan mengurus nenek yang sudah sepuh."Ayo sini masuk! Zaki, tolong kamu bantu bawa koper Tyas, bawakan masuk ke ke dalam kamar tamu," titah Tante Fira pada Zaki putra sulungnya. Tadi Zaki juga yang menjemputku di stasiun."Iya Ma.""Sini duduk, dulu, Nenek masih istirahat di kamar. Sebentar Tante buatkan teh ya biar hangat.""Terimakasih banyak Tante. Maaf jadi merepotkan.""Iya, sama-sama, kamu kan jarang main kemari. Nenek pasti senang sekali liat kamu datang."Aku mengikuti langkah kaki Fira ke dapur."Gimana kabar Tante dan nenek?""Alhamdulillah semuanya baik, sehat. Nenek Alhamdulillah sehat, ya walaupun masih begitu keadaannya. Tapi masih bisa diajak komunikasi." Nenekku memang sudah stroke. Tante Fira begitu telaten mengurus nenek.Ibuku hanya dua bersaudara dengan Tante Fira,
Mentari terbit, diiringi suara kicauan burung, suasana tenang dan udara yang dingin. Sungguh sangat berbeda dengan Jakarta di sini terasa sangat damai. Dan sunyi.Aku hirup udara pagi yang sangat sejuk, mengeratkan kardigan warna hitam yang melekat di tubuhku.Kemudian mulai melangkah kaki, aku ingin sekedar berjalan-jalan berkeliling desa hari ini. Dulu waktu aku masih SD, aku sering berlibur kemari saat liburan sekolah tiba. Bersama Mama, kami menghabiskan waktu liburan sepanjang 2-3 pekan.Papa akan mengantar kami kemari, kemudian menjemput kami ketika liburan usai."Mari Mbak!" sapa seorang warga yang sudah siap dengan topi caping di kepalanya. Sepertinya hendak ke sawah atau ladang."Oh iya, mari Bu!"Mayoritas warga di sini memang bertani. Dan mereka semuanya sangat ramah, tak segan bertegur sapa ketika berpapasan dengan orang lain. Aku kembali melanjutkan langkah. Hingga tanpa sadar aku telah sampai di ujung desa. Dimana hamparan sawah sangat luas membentang, di depanku kini a