"Mel! Cukup! Aku nggak kayak gitu!""Lalu kayak gimana?! Memang itu kenyataannya!" ucapnya sengit. Benar-benar seperti bukan Amel.Aku menggeleng tak percaya."Aku nggak nyangka pemikiran Lo seperti itu sama gue Mel! Gue kecewa sama Lo!"Aku memilih untuk berbalik badan dan pergi dari tempat ini. Percuma aku datang dengan niat baik untuk meluruskan semua ini, ternyata Amel sudah berubah. Aku sudah tak mengenalinya lagi.Sakit sekali hati ini ya Allah.Aku berjalan cepat keluar gedung agensi dengan menahan tangis. Netra ini sudah memanas, begitu aku memasuki mobil, tumpah sudah air mataku. Aku tak mampu lagi menahan desakan air mata ini.Aku tekan-tekan dada ini, rasanya sesak sekali."Ibu nggak apa-apa?" tanya Riyan sambil melirikku dari kaca spion mobil."Saya nggak apa-apa. Kita langsung pulang sekarang ya."Riyan yang duduk di depan kemudi mengangguk dan perlahan mobil mulai bergerak keluar pelataran gedung.Aku menyeka air mataku. Masih terngiang ucapan Amel yang sangat menyakitka
"Tyas! Alhamdulillah kamu sudah sampai! Gimana kabar kamu Sayang?" Sambutan Tante Fira begitu hangat begitu aku sampai di rumah nenek. Tante Fira adalah adik bungsu Mama, dia yang tinggal di rumah nenek dan mengurus nenek yang sudah sepuh."Ayo sini masuk! Zaki, tolong kamu bantu bawa koper Tyas, bawakan masuk ke ke dalam kamar tamu," titah Tante Fira pada Zaki putra sulungnya. Tadi Zaki juga yang menjemputku di stasiun."Iya Ma.""Sini duduk, dulu, Nenek masih istirahat di kamar. Sebentar Tante buatkan teh ya biar hangat.""Terimakasih banyak Tante. Maaf jadi merepotkan.""Iya, sama-sama, kamu kan jarang main kemari. Nenek pasti senang sekali liat kamu datang."Aku mengikuti langkah kaki Fira ke dapur."Gimana kabar Tante dan nenek?""Alhamdulillah semuanya baik, sehat. Nenek Alhamdulillah sehat, ya walaupun masih begitu keadaannya. Tapi masih bisa diajak komunikasi." Nenekku memang sudah stroke. Tante Fira begitu telaten mengurus nenek.Ibuku hanya dua bersaudara dengan Tante Fira,
Mentari terbit, diiringi suara kicauan burung, suasana tenang dan udara yang dingin. Sungguh sangat berbeda dengan Jakarta di sini terasa sangat damai. Dan sunyi.Aku hirup udara pagi yang sangat sejuk, mengeratkan kardigan warna hitam yang melekat di tubuhku.Kemudian mulai melangkah kaki, aku ingin sekedar berjalan-jalan berkeliling desa hari ini. Dulu waktu aku masih SD, aku sering berlibur kemari saat liburan sekolah tiba. Bersama Mama, kami menghabiskan waktu liburan sepanjang 2-3 pekan.Papa akan mengantar kami kemari, kemudian menjemput kami ketika liburan usai."Mari Mbak!" sapa seorang warga yang sudah siap dengan topi caping di kepalanya. Sepertinya hendak ke sawah atau ladang."Oh iya, mari Bu!"Mayoritas warga di sini memang bertani. Dan mereka semuanya sangat ramah, tak segan bertegur sapa ketika berpapasan dengan orang lain. Aku kembali melanjutkan langkah. Hingga tanpa sadar aku telah sampai di ujung desa. Dimana hamparan sawah sangat luas membentang, di depanku kini a
"Kenapa ini bisa ada sama kamu?" tanyaku masih tidak percaya dengan apa yang ada dalam genggamanku saat ini. Ini adalah anting bentuk kupu-kupu milikku dulu sewaktu aku masih kecil.Anting ini hilang ketika aku mengikutinya cari ikan di sungai. Anting ini anting kesayanganku, aku dulu sampai menangis karena mencari benda itu tak kunjung ketemu juga, sampai akhirnya aku kembali ke Jakarta. "Sudah Sayang, anting itu nanti Mama belikan yang baru, sudah jangan sedih terus," ucap Mama kala itu menghiburku yang masih terus menangis. Anting itu pemberian Nenek dari Papa, beliau membelikannya khusus untukku, barang itu pun di desain khusus untukku, Nenek memesannya di sebuah toko mas terbesar kala itu, jadi tak ada lagi anting model seperti itu."Setelah hari itu kita mencari ikan, dua hari kemudian kamu balik ke Jakarta, aku setiap hari datang ke sungai itu mencari benda kesayanganmu itu," tuturnya.Aku menatapnya lamat-lamat. Aku cukup terharu mendengarnya. Mencari benda sekecil ini tentu
"Tyas!""Ananda!"Kami saling tatap dengan ekspresi sama terkejutnya. Aku tak menyangka dunia sesempit ini, aku bertemu lagi dengan wanita yang merebut suamiku. Mendadak ingatan tentang bagaimana dia dulu tengah bersama dengan Iqbal di dalam sebuah kamar hotel. Kalau itu status Mas Iqbal masih bergelar suamiku."Tak ada kerjaan lain kamu selain meminta duit padaku?" tanya Yusuf dengan nada tak suka.Amanda yang masih terkejut melihatku kini segera menguasai keadaan."Cepatlah! Aku nggak mau berlama-lama. Aku mau pergi. Sumpek aku, nggak di sini nggak di Jakarta, harus ketemu dia lagi, dia lagi!" ucapnya menatapku.Yusuf menatapku dan Amanda dengan heran. Mungkin dia tak menyangka aku dan Amanda saling kenal.Kalian saling kenal?""Ya. Udah ah, mana cepetan, aku mau pergi nih!" pinta Amanda setengah memaksa."Nggak! Aku nggak ada uang! Dari dulu yang ada di otakmu cuma uang, uang dan uang!" sentak Yusuf.Amanda tampak kesal, ia menghentakkan kakinya lalu berlalu begitu saja meninggal
Aku dan Zaki berjalan cepat memasuki rumah, baru beberapa langkah hendak memasuki pintu utama, tiba-tiba seorang wanita keluar dari dalam."Bu Astri?" Zaki menyapa wanita yang mengenakan seragam putih, sepertinya dia bidan."Iya Mas Zaki." Mereka berjabat tangan."Kondisi Nenek sudah lebih baik, hanya saja ada sedikit lebam di dahinya.""Apa? Nenek?""Iya, Tadi saya ditelpon sama Bu Fira, katanya Nenek terjatuh."Degh!Jantungku seakan berhenti berdegup, mendengar kabar kalau Nenek jatuh.Aku bergegas meneruskan langkah masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Zaki dan Bidan yang tengah berbincang."Nenek! Nek!" Aku memanggil sambil berjalan ke kamar Nenek."Ssssttt! Nenek baru saja istirahat Yas." Tante Fira baru saja hendak beranjak dari sisi ranjang, dimana Nenek terbaring di sana. Dahinya sedikit biru."Tante, apa yang terjadi? Katanya Nenek–""Kita bicara di luar yuk, biarkan Nenek istirahat dulu." Aku mengangguk dan mengikuti langkah kaki Tante Fira."Ma! Gimana kondisi Nenek Ma?" Za
Aku dan Tante Fira saling pandang dengan kondisi hati sangat cemas memikirkan Nenek.Kini Nenek masih di periksa di dalam ruangan UGD."Nenek pasti baik-baik aja Tante," ucapku lirih, menenangkan Tante Fira, beliau hanya mengangguk pelan.Kami kembali dalam kebisuan, menunggu dokter atau perawat membuka pintu ruang UGD.Hampir setengah jam kami menunggu. Akhirnya pintu kaca itu terbuka, seorang perempuan mengenakan jas putih dengan stetoskop melingkar di lehernya menatap kami berdua."Dengan keluarga Ibu Suharti Kusuma!""Iya Dok, saya anaknya Dok! Gimana kondisi ibu saya Dok?" Aku dan Tante Fira langsung mendekatkan langkah menghadap sang Dokter."Maaf, maaf sekali Bu, kondisi Nenek saat ini kritis, beliau mengalami pecah pembuluh darah di kepalanya. Saat ini beliau masih belum sadar Bu, dan dengan ini saya meminta persetujuan Ibu selaku pihak keluarga untuk memindahkan Nenek ke ruang ICU."Aku dan Tante Fira saling pandang. Netra ini tiba-tiba memanas. Kondisi Nenek yang sudah sepuh
Isak tangis masih mewarnai kami yang kini duduk mengelilingi sisi jenazah nenek yang terbujur kaku tertutupi kain jarik.Tante Fira, Azizah, Zaki, kami semua terpukul atas kepergian Nenek.Lantunan ayat suci Al Qur'an, surat Yasin bergema memenuhi ruang tamu rumah nenek ini."Assalamualaikum!" Suara Bariton seorang laki-laki yang sangat kukenal, memasuki rumah duka."Papa." Aku langsung menghambur memeluknya erat."Sabar, tabah, ini sudah suratan dari yang maha kuasa," ucap Papa pelan, sambil mengelus bahuku.Kemudian Papa mendekati Tante Fira yang duduk di samping jenazah nenek, juga Azizah dan Zaki."Mas Adi, Ibu–" Papa hanya mengangguk mengerti.Kemudian mereka berjabat tangan, Zaki dan Azizah mencium takzim punggung tangan Papa."Maaf Pakde baru bisa datang," ucap Papa pada Zaki."Nggak apa-apa Pakde."Papa pun membuka kain penutup, untuk melihat wajah nenek yang terakhir kali. Terlihat jelas gurat kesedihan tergambar di wajah Papa.Papa pun menyempatkan diri untuk membacakan sur