Isak tangis masih mewarnai kami yang kini duduk mengelilingi sisi jenazah nenek yang terbujur kaku tertutupi kain jarik.Tante Fira, Azizah, Zaki, kami semua terpukul atas kepergian Nenek.Lantunan ayat suci Al Qur'an, surat Yasin bergema memenuhi ruang tamu rumah nenek ini."Assalamualaikum!" Suara Bariton seorang laki-laki yang sangat kukenal, memasuki rumah duka."Papa." Aku langsung menghambur memeluknya erat."Sabar, tabah, ini sudah suratan dari yang maha kuasa," ucap Papa pelan, sambil mengelus bahuku.Kemudian Papa mendekati Tante Fira yang duduk di samping jenazah nenek, juga Azizah dan Zaki."Mas Adi, Ibu–" Papa hanya mengangguk mengerti.Kemudian mereka berjabat tangan, Zaki dan Azizah mencium takzim punggung tangan Papa."Maaf Pakde baru bisa datang," ucap Papa pada Zaki."Nggak apa-apa Pakde."Papa pun membuka kain penutup, untuk melihat wajah nenek yang terakhir kali. Terlihat jelas gurat kesedihan tergambar di wajah Papa.Papa pun menyempatkan diri untuk membacakan sur
Aku dan Papa saling pandang. Zaki marah-marah sama siapa?Dengan langkah cepat aku dan Papa keluar rumah, menoleh ke arah samping. Ternyata Zaki tengah memaki seseorang laki-laki yang tak lain itu adalah Bapaknya.Aku terkejut melihat kedatangan Om Zidan, dengan tas ransel dipunggungnya. "Zaki! Sudah! Biarkan Bapakmu masuk dulu, kita bicara di dalam, nggak enak dilihat orang!" cetus Tante Fira tiba-tiba muncul dibelakangku.Tatapan Zaki dan Om Zidan beradu, seakan sama-sama memendam kebencian.Om Zidan melanjutkan langkahnya, mendekati teras rumah, dimana ada aku dan Papa juga Tante Fira di sana."Mas. Alhamdulillah akhirnya kamu pulang Mas!" Tante Fira menatap sendu laki-laki itu, meraih punggung tangan dan menciumnya takzim, bahunya bergetar, Tante Fira tak mampu menahan tangis melihat laki-laki yang ditunggunya selama ini akhirnya kembali.Om Zidan hanya mengangguk."Gimana kabar kamu, Mas?""Aku sehat, kamu dan dan anak-anak gimana?""Kami semua sehat Mas, ayo masuk dulu.""Zidan
Selesai acara tahlil Papa pamit pulang ke Jakarta, Papa datang dengan membawa mobil bersama Pak Edi. Bersyukur kini infrastruktur sudah maju, langsung masuk tol perjalanan Jakarta-Semarang dan sebaliknya, bisa di tempuh dalam waktu lebih cepat."Papa pamit ya, jaga dirimu baik-baik.""Iya Pa. Papa hati-hati ya." Aku masih merangkul lengan Papa. Mengantarnya sampai di halaman rumah, pun dengan Tante Fira, Om Zidan, beserta Zaki dan Azizah, kami semua berada di halaman rumah.Setelah Papa masuk mobil dan melambaikan tangan, perlahan mobil mulai bergerak meninggalkan halaman.Setelah memastikan mobil Papa sudah tak terlihat lagi, kami semua masuk ke dalam rumah.Baru saja kami semua memasuki pintu rumah, Tante Fira yang juga sudah mengunci pintu karena memang hari sudah malam. Tiba-tiba terdengar suara pintu di ketuk seseorang.Kami semua yang masih berada di ruang tamu, saling tatap.Tante Fira yang kembali memutar anak kunci, membukanya.Seorang laki-laki berdiri di depan pintu, pakaia
"Apa Tante? Cerai?"Tante Fira menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, ia pejamkan erat matanya beberapa saat. Seakan mempersiapkan hari untuk menceritakan hal yang sangat berat padaku."Duduk dulu Tante, ini minum dulu teh-nya Tante." Aku menarik kursi untuknya, dan menyodorkan segelas teh hangat yang memang tadi kusiapkan untuk semua anggota keluarga ini."Makasih Yas." Tante Fira meraih gelas Teh dan menyesapnya pelan."Ada apa Tante?"Tante Fira menggeleng."Tante, Tyas paham, kenapa sampai Tante mengambil keputusan sebesar itu, pasti punya alasan kan? Apalagi sampai harus cerai.""Apa? Cerai? Siapa Ma?" Tiba-tiba suara Zaki mengagetkan.Seketika aku dan Tante Fira menoleh, Zaki menatap kami berdua dengan tatapan tajam."Ehm, maksudnya ... Aku Zak, aku kan sudah bercerai dengan Mas Iqbal," sahutku berusaha menutupi."Yas." Tante Fira menatapku sekilas."Duduk dulu Zak," pinta Tante Fira.Zaki duduk di depan Tante Fira."Maksud Nama Bapak kan? Mama sama Bapak ma
"Bapak akan tetap meminta hak Bapak. Di sana calon adikmu sebentar lagi Zak, dan Bapak butuh banyak biaya." "Ck! Itu urusanmu! Bukan urusan kami, apalagi meminta bagian yang jelas bukan hak Anda!" "Kamu kenapa jadi begini? Apa begini hasil didikan kamu Fira!" "Hei! Cukup! Anda benar-benar nggak punya kaca?! Aku begini karena ulah Anda! Bukan karena Mama! Jadi jangan pernah sekali-kali menyalahkan Mama!" bentak Zaki. "Bapak cuma mau–" "Nggak! Nggak akan sepeserpun kami membagi pada Bapak, karena memang Bapak nggak ada hak! Semua yang ada di sini adalah peninggalan Nenek. Jadi Bapak nggak ada hak. Sekarang aku minta Bapak pergi dari sini, dan jangan pernah lagi datang mengusik kami! Kami sudah terbiasa tanpamu!" "Cepat keluar dari rumah ini!" Zaki terlihat sangat murka. Dengan langkah cepat ia memasuki kamar mamanya dan tak lama kemudian keluar membawa tas ransel milik Om Zidan. "Ini bawalah! Cepat pergi dan jangan pernah datang lagi kemari." Om Zidan menatap nyalang ke
"Aku benci sama Bapak!" ucap Zaki tiba-tiba, saat kami bertiga sama-sama terdiam.Tante Fira menatap Zaki lekat. Kedua netranya masih merah dan bengkak karena sejak tadi menangis. Aku yakin sejak semalam Tante Fira menangis."Zak, Mama memang tak suka dengan apa yang sudah dia lakukan pada kita. Tapi Mama nggak pernah mengajari kamu untuk membenci Bapak. Bagaimanapun, seburuk apapun dia, dia tetap Bapakmu."Zaki langsung membuang muka."Dia sudah jelas menyakiti Mama. Menyakiti aku sama Zizah, Mama masih meminta aku untuk nggak boleh benci dia? Aku nggak bisa Ma! Dia sendiri yang sudah membuat anak-anaknya membencinya!" sentaknya lalu bangkit dari duduknya dan melenggang begitu saja memasuki kamarnya.Aku Hela napas dalam-dalam."Sabar Tante. Sekarang ini Zaki maupun Zizah, masih sama-sama Syok. Mereka nggak nyangka seseorang yang ditunggunya ternyata di luar sana sudah mempunyai rumah baru. Wajar mereka sekarang bersikap begitu. Beri mereka waktu, Tante."Tante Fira kembali terisak.
[Yas, apa kau sudah tidur?] tanya Yusuf dalam pesannya.Aku terdiam.[Belum. Ada Apa?][Ada yang ingin aku sampaikan? Bisa keluar sebentar?]Apa yang hendak Yusuf katakan?[Tapi ini sudah malam, aku nggak bisa keluar. Besok jam tujuh pagi di sungai. Sekalian aku mau ke pasar, sama Zaki.]Sebab aku tak ingin bertemu dengannya hanya berduaan saja. Bagaimanapun aku orang baru di sini, aku juga harus menjaga etika di tanah ini.Sekalian aku juga hendak pamit pada Yusuf kalau besok sore aku akan kembali ke Jakarta.[Oke. Istirahatlah, selamat malam]Aku tak membalas lagi. Aku memutuskan untuk ke kamar, merebahkan tubuhku di pembaringan.***Kicau burung mewarnai pagi yang dingin. Ketika aku menoleh ke samping dari arah timur, pancaran sinar mentari berwarna jingga, terlihat gagah, menghias awan putih. Menandakan hari ini cerah, walau udara di sini terasa di dingin.Aku menarik resleting sweater berwarna biru Dongker yang kukenakan, sambil menunggu Zaki keluar.Tak lama kemudian Zaki keluar
"Apa? Ehm, Suf, maksud kamu?" Aku cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Yusuf saat ini. Bahkan ia membuka kotak merah itu, memperlihatkan cincin emas putih bertahtakan berlian. Walau hanya melihatnya saja aku sudah tahu jika barang mungil itu harganya tidak main-main."Aku serius Yas. Aku mencintaimu, sungguh. Bahkan rasa ini sudah ada ketika kita masih kecil dulu. Taukah kamu bagaimana jadi aku selama ini memendam rasa ini. Aku tersiksa sendiri ketika aku berusaha menghapus rasa ini." Yusuf berkata dengan suara serak.Aku tercekat."Yusuf aku–""Aku tahu ini mengejutkan bagimu. Tapi itulah kenyataannya Yas. Aku sendiri tak tahu, kenapa aku sulit sekali melupakanmu, padahal kita bersama-sama itu dulu. Aku pikir itu hanya perasaan cinta monyet yang nantinya akan terlupakan dengan seiring berjalannya waktu. Tapi ternyata aku salah. Selama aku di pesantren, tak pernah aku merasakan suka atau rasa tertarik pada perempuan lain, dalam keyakinanku hatiku, aku telah memiliki kamu, orang y