"Bapak akan tetap meminta hak Bapak. Di sana calon adikmu sebentar lagi Zak, dan Bapak butuh banyak biaya." "Ck! Itu urusanmu! Bukan urusan kami, apalagi meminta bagian yang jelas bukan hak Anda!" "Kamu kenapa jadi begini? Apa begini hasil didikan kamu Fira!" "Hei! Cukup! Anda benar-benar nggak punya kaca?! Aku begini karena ulah Anda! Bukan karena Mama! Jadi jangan pernah sekali-kali menyalahkan Mama!" bentak Zaki. "Bapak cuma mau–" "Nggak! Nggak akan sepeserpun kami membagi pada Bapak, karena memang Bapak nggak ada hak! Semua yang ada di sini adalah peninggalan Nenek. Jadi Bapak nggak ada hak. Sekarang aku minta Bapak pergi dari sini, dan jangan pernah lagi datang mengusik kami! Kami sudah terbiasa tanpamu!" "Cepat keluar dari rumah ini!" Zaki terlihat sangat murka. Dengan langkah cepat ia memasuki kamar mamanya dan tak lama kemudian keluar membawa tas ransel milik Om Zidan. "Ini bawalah! Cepat pergi dan jangan pernah datang lagi kemari." Om Zidan menatap nyalang ke
"Aku benci sama Bapak!" ucap Zaki tiba-tiba, saat kami bertiga sama-sama terdiam.Tante Fira menatap Zaki lekat. Kedua netranya masih merah dan bengkak karena sejak tadi menangis. Aku yakin sejak semalam Tante Fira menangis."Zak, Mama memang tak suka dengan apa yang sudah dia lakukan pada kita. Tapi Mama nggak pernah mengajari kamu untuk membenci Bapak. Bagaimanapun, seburuk apapun dia, dia tetap Bapakmu."Zaki langsung membuang muka."Dia sudah jelas menyakiti Mama. Menyakiti aku sama Zizah, Mama masih meminta aku untuk nggak boleh benci dia? Aku nggak bisa Ma! Dia sendiri yang sudah membuat anak-anaknya membencinya!" sentaknya lalu bangkit dari duduknya dan melenggang begitu saja memasuki kamarnya.Aku Hela napas dalam-dalam."Sabar Tante. Sekarang ini Zaki maupun Zizah, masih sama-sama Syok. Mereka nggak nyangka seseorang yang ditunggunya ternyata di luar sana sudah mempunyai rumah baru. Wajar mereka sekarang bersikap begitu. Beri mereka waktu, Tante."Tante Fira kembali terisak.
[Yas, apa kau sudah tidur?] tanya Yusuf dalam pesannya.Aku terdiam.[Belum. Ada Apa?][Ada yang ingin aku sampaikan? Bisa keluar sebentar?]Apa yang hendak Yusuf katakan?[Tapi ini sudah malam, aku nggak bisa keluar. Besok jam tujuh pagi di sungai. Sekalian aku mau ke pasar, sama Zaki.]Sebab aku tak ingin bertemu dengannya hanya berduaan saja. Bagaimanapun aku orang baru di sini, aku juga harus menjaga etika di tanah ini.Sekalian aku juga hendak pamit pada Yusuf kalau besok sore aku akan kembali ke Jakarta.[Oke. Istirahatlah, selamat malam]Aku tak membalas lagi. Aku memutuskan untuk ke kamar, merebahkan tubuhku di pembaringan.***Kicau burung mewarnai pagi yang dingin. Ketika aku menoleh ke samping dari arah timur, pancaran sinar mentari berwarna jingga, terlihat gagah, menghias awan putih. Menandakan hari ini cerah, walau udara di sini terasa di dingin.Aku menarik resleting sweater berwarna biru Dongker yang kukenakan, sambil menunggu Zaki keluar.Tak lama kemudian Zaki keluar
"Apa? Ehm, Suf, maksud kamu?" Aku cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Yusuf saat ini. Bahkan ia membuka kotak merah itu, memperlihatkan cincin emas putih bertahtakan berlian. Walau hanya melihatnya saja aku sudah tahu jika barang mungil itu harganya tidak main-main."Aku serius Yas. Aku mencintaimu, sungguh. Bahkan rasa ini sudah ada ketika kita masih kecil dulu. Taukah kamu bagaimana jadi aku selama ini memendam rasa ini. Aku tersiksa sendiri ketika aku berusaha menghapus rasa ini." Yusuf berkata dengan suara serak.Aku tercekat."Yusuf aku–""Aku tahu ini mengejutkan bagimu. Tapi itulah kenyataannya Yas. Aku sendiri tak tahu, kenapa aku sulit sekali melupakanmu, padahal kita bersama-sama itu dulu. Aku pikir itu hanya perasaan cinta monyet yang nantinya akan terlupakan dengan seiring berjalannya waktu. Tapi ternyata aku salah. Selama aku di pesantren, tak pernah aku merasakan suka atau rasa tertarik pada perempuan lain, dalam keyakinanku hatiku, aku telah memiliki kamu, orang y
Sore hari Yuda dan Riyan sudah datang menjemput dengan membawa mobil. "Istirahat dulu Kalian, satu jam lagi baru kita jalan," ucapku pada mereka. Mereka yang baru saja tiba aku suruh untuk istirahat dulu. "Tante, makasih banyak ya, atas semua kebaikan Tante selama Tyas di sini. Tyas sebenarnya betah lho di sini, di sini tenang, adem, damai, kalau nggak inget kerjaan di Jakarta, mungkin Tyas pengin netap aja di sini Tante." Tante Fira tersenyum hangat. "Netap aja di sini, nikah sama Yusuf. Tante lihat dia itu beneran tulus sayang sama kamu lho Yas," ucap Tante Fira dengan berbisik. "Ih Tante apaan sih! Enggak lah! Yusuf pantas mendapatkan yang lebih baik dari aku Tante. Tante apa nggak pernah dengar beberapa tetangga pada mengidamkan dia jadi menantunya." Tante Fira justru terkekeh. "Ya, Tante denger. Tapi ya, kalau memang Yusuf-nya sukanya sama kamu, mereka bisa apa?" Aku menarik senyum menanggapi. Aku menganggap Yusuf hanya teman. Aku tak ingin memberinya harapan leb
Abian POV.Aku masih fokus di depan layar laptop di depanku. Ketika tiba-tiba dering ponsel di laci meja kerja berbunyi.Sejenak menghentikan aktivitasku yang tengah memeriksa seluruh laporan keuangan selama tiga tahun terkahir ini.Ya, sekarang aku memutuskan untuk kembali. Kembali masuk dan aktif di kantor milik Papaku.Tak peduli tatapan sinis Om Martin setiap hari kala kami bertemu.Toh aku ini anak Papa. Jika dibandingkan dia, tentu aku lebih berhak di sini. Bisa saja aku memberhentikan dia saat ini juga, kalau aku mau. Tapi belum saatnya aku mengungkap semuanya. Om Martin Satu-satunya orang yang tahu semua seluk beluk tentang perusahaan ini. Dia satu-satunya orang kepercayaan Papa yang di beri akses sepenuhnya oleh Papa dalam mengendalikan perusahaan.Aku membuka laci karena ponsel terus saja berdering.Pak Aditama tertera di layar."Ya Hallo Pak!" "Hallo Bi, maaf saya ganggu waktu kamu, saya cuma mau kasih kabar kalau Tyas ....""Tyas kenapa Pak?" Mendadak perasaanku tak enak.
"Bagaimana? Sudah ada kabar?"Panggilan dari pak Aditama, ketika aku baru saja tiba di lokasi rest area menyusu Yuda dan Riyan. "Belum Pak," sahutku lesu. Kini aku masih berdebat dengan pegawai minimarket dan pihak pengelola rest area. Mereka keberatan jika harus memutar cctv. Dengan alasan tidak boleh sembarang orang melihat rekaman cctv.Sungguh tak.masuk akal.Tak kehabisan akal, aku memilih untuk telpon polisi. Untung saja aku punya teman seorang perwira polisi namanya Rahman."Hallo Bro, maaf ganggu waktu kamu.""Ada apa? Tumben," sahutnya dari seberang sana."Aku mau minta tolong, jadi begini."Aku ceritakan semuanya, sesuai dengan apa yang diceritakan Yuda dan Riyan, tak ada yang ditutupi.Namun Rahman di seberang sana justru tertawa. Tentu membuatku kesal. Memangnya yang tadi sudah kujelaskan panjang lebar itu hanya sekedar lelucon?"Heh! Gue serius!" sentakku. Kalau saja aku dekat dengannya, sudah pasti Rahman akan menerima tinju dariku."Santai Bro! Frustasi banget kayaknya
Tyas terlihat melangkah dari teras ke halaman minimarket yang terdiri dari tiga undakan tangga. Namun, baru beberapa langkah ia melintasi sebuah mobil hitam yang terparkir di sisi jalan sempit depan minimarket. Tiba-tiba saja seorang laki-laki mengenakan topi dan masker dengan secepat kilat, membekap mulut Tyas dari belakang. Tyas berontak, tapi sia-sia tenaganya tentu kalah dengan laki-laki bertubuh tingg dengan rambut gondrong sebahu. Dengan cepat laki-laki itu, menarik Tyas ke belakang, membawanya masuk ke dalam mobil. Mereka bermain sangat cepat hingga tak seorang pun yang menyadari kejadian itu. Karena kebetulan area sedang sepi. "Stop Pak! Tolong di zoom," titah Pak polisi yang berdiri di sebelahku. Setelah di zoom, memperbesar layar, dimana layar komputer menampilkan wajah laki-laki gondrong yang menculik Tyas. Tentu tak kelihatan, dia memakai masker dan topi, hanya matanya saja kelihatan sedikit. Setelah beberapa saat polisi memperhatikan, rekaman cctv kembali di la