Zaki Pov."Assalamualaikum, permisi!" Suara seorang laki-laki mengagetkanku. Aku yang baru saja hendak memejamkan mata ini jadi kembali duduk.Siapa yang bertamu malam-malam begini, ini sudah larut malam, waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam."Assalamualaikum!" Kembali terdengar suara salam di depan. Ruang tengah juga kamar Mama dan kamar Azizah juga sudah gelap lampunya, artinya Mama dan Azizah sudah terlelap.Aku pun melangkah ke depan untuk membuka pintu, melihat siapa yang datang malam-malam begini.Begitu pintu utama kubuka, aku terkejut bukan main melihat Pakde Aditama di sana."Lho, Pakde?""Iya Zak, ini Pakde.""Mari masuk dulu Pakde." Aku langsung membuka lebar pintu utama, mempersilahkan Pakde untuk segera masuk. Meski di benakku bertanya, kenapa Pakde datang malam-malam begini, padahal kan Kak Tyas sudah berangkat ke Jakarta sore tadi, harusnya Kak Tyas sudah sampai di Jakarta. Tapi kenapa justru malah Pakde menyusul kesini?"Maaf Pakde ganggu tidur kamu ya Zak.""Ngg
Zaki Pov."Bisa jadi sih Zak, soalnya Mama lihat Yusuf memang sudah menaruh rasa pada Tyas dari sejak mereka masih kecil loh! Jadi nggak menutup kemungkinan dia itu sakit hati banget. Cinta yang dipendam sekian lama, begitu diutarakan justru di tolak. Siapapun pasti sakit hati banget Zak.""Jadi maksud Mama, ini perbuatan Mas Yusuf?""Mama bukannya menuduh Zak, hanya saja Yusuf bisa dikatakan masuk dalam list orang yang patut di curigai," ucap Mama.Aku lihat Pakde Aditama mengangguk.Aku terdiam."Apa kita ke sana saja?""Kemana?" tanya Pakde."Ke rumah Mas Yusuf.""Kalau sekarang ini sudah larut malam, tak elok bertamu malam-malam begini Zak," kata Pakde."Iya, besok pagi-pagi saja kalian coba kesana. Jangan langsung main asal tuduh, coba bicarakan baik-baik. Mas Aditama sama Zaki tentu paham ciri-ciri orang yang sedang berbohong atau tidak kan."Aku dan Pakde Aditama mengangguk."Sebaiknya sekarang kalian istirahat, saja."Pakde memilih untuk tidur di kamarku. Sekalian sambil menyu
Abian Pov.Kembali ke Jakarta, pagi harinya aku langsung datang ke sebuah kantor agensi model, untuk menemui seseorang."Abian? Hei! Tumben kemari, ada apa?" suara manja nan ceria serta lengkungan senyum menawan dari seorang perempuan yang sebenarnya sangat aku hindari.Amel.Entah mengapa aku pun menaruh curiga padanya, sebelum Tyas pergi ke Semarang, ia ada terlibat konflik dengan Amel. Tak menutup kemungkinan Amel bisa saja mencelakai sahabatnya sendiri karena aku lebih memilih Tyas daripada dirinya.Terkadang soal cinta seseorang bisa saja gelap mata, tak pandang siapa orang itu."Iya Mel, aku ... Ada perlu sedikit denganmu Mel," sahutku sesantai mungkin, meski sebenarnya aku malas sekali menemuinya."Ya, ya, duduk yuk, sini."Aku melangkah mengikutinya untuk duduk di sofa panjang berada tak jauh dari meja resepsionis, kantor agensi tempatnya bernaung.Tak kupungkiri, Amel itu cantik. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih bersih, dengan rambut sepanjang bahu, berwarna kecokelat
Malam ini sama seperti malam kemarin, aku tak bisa tidur. Hati dan pikiranku terus saja tertuju pada Tyas. Bagaimana keadaan dia saat ini Tuhan!Aku tak ingin kehilangan dia. Apalagi jika harus kehilangan hati dan juga raganya. Sudah cukup aku menderita kehilangan hatinya saat ia memilih hidup bersama dengan Iqbal dulu. Tentu kali ini akan lebih menyakitkan lagi.Aku tak sanggup ya Allah. Aku mohon, jaga dia, lindungi Dia, dimana pun dia berada.Sore tadi aku menemui Pak Aditama, dan beliau bilang di desa tempat tantenya Tyas dia juga tak bertemu dengan laki-laki yang kala itu sempat mengutarakan cinta pada Tyas.Ini menambah daftar orang yang patut dicurigai. Kenapa dia pergi di saat yang sama dengan hilangnya Tyas?Aku pun telah menyuruh orang untuk memata-matai beberapa orang yang memang sejak dulu menjadi rival bisnis perusahaan Aditama. Tak menutup kemungkinan mereka juga patut dicurigai, mengingat dulu Tyas pernah hampir menjadi korban perampokan oleh salah satu saingan bisnis k
Ucapan Stefy terdengar tulus. Semoga benar dia tulus mendoakan kebaikan untuk Tyas.Aku melanjutkan langkah keluar rumah. Aku ingin menemui Amel lagi hari ini.Ehm, tapi setelah aku pikir-pikir, sebaiknya aku diam-diam mengikuti Amel. Aku yakin dia tak akan buka mulut mengatakan dimana Tyas.Baru saja aku masuk mobil, ponsel di saku celanaku berdering. Panggilan masuk dari Pak Aditama."Hallo Pak.""Hallo Bi, laki-laki bernama Edo itu sudah di tangkap, dan dia mengaku di suruh sama seseorang yang mengancamnya akan menutup rest area itu jika tidak mengikuti perintah orang itu. Karena ternyata orang yang menyuruh Edo itu adalah seorang pengusaha besar. Mudah saja baginya untuk mematikan usaha Pak Edo."Aku menghela napas, lega sekaligus penasaran siapa dalang di balik ini semua."Siapa Dia Pak?""Polisi masih menyelidiki, karena dari keterangan Pak Edo, dia laki-laki yang cukup berpengaruh. Pak Edo sendiri tidak begitu mengenal laki-laki itu, tapi ancaman dari orang itu, sukses membuat
Tyas Pov. Aku terkejut ketika membuka mata ternyata aku sudah dalam keadaan terikat di bangku, mulutku juga di ikat dengan kain merah, aku tak bisa berteriak, untuk meminta tolong. Aku mengedarkan pandangan sekeliling. Aku berada di sebuah gudang tua. Banyak kayu-kayu balok teronggok, tempatnya pengap dan kotor. Astaghfirullah, aku dimana? Suasana remang-remang karena minim pencahayaan, pilar-pilar beton menjulang tinggi, menandakan gedung ini dulunya megah, sebelum akhirnya terbengkalai. Suasana di sini juga berbeda, auranya berbeda. Aku menitikkan air mata, takut, sekaligus juga bingung, siapa sebenarnya mereka yang membawaku kesini? Apa maunya? Aku mencoba menggerakkan tanganku, berusaha untuk bisa lepas dari jerat tali yang mengikatku. Tapi semakin aku banyak bergerak, semakin sakit pergelangan tanganku. Kaki juga dalam keadaan terikat. Ya Allah, aku dimana? Lindung aku ya Allah. Siapa yang tega berbuat seperti ini? Dalam kegalauan yang sedang aku rasakan. Tiba
Hap! Entah kekuatan dari mana, aku yang dilanda ketakutan luar biasa, tiba-tiba saja memiliki keberanian untuk mencoba sekali lagi, berpegangan kuat-kuat pada ventilasi yang kini terbuka karena kacanya telah jatuh dan pecah.Aku berusaha menahan berat tubuhku, hingga siku tanganku berhasil naik ke atas ventilasi.Gebrakan di pintu makin terdengar keras, membuatku semakin takut.Terkadang kekuatan dari dalam tubuh manusia bisa meningkat berkali-kali lipat, ketika dia sedang dilanda ketakutan ya luar biasa. Dan itulah yang aku rasakan sekarang ini.Aku terus berusaha sekuat yang aku bisa. Hanya ini kesempatan satu-satunya untuk bisa kabur.Bismillah.Akhirnya separuh tubuhku sudah keluar dari ventilasi.Brakk! Bersamaan dengan terbukanya pintu kamar mandi."Heh! Sialan, kabur Lu ya!"Hap!Aku menjatuhkan tubuhku keluar gedung yang lumayan tinggi, dibawahnya tanah lapang rerumputan dan daun-daun kering.Jangan di tanya bagaimana rasanya. Sakit bukan main, tubuhku serasa seperti di bant
Aku kembali melakukan aktifitas di dalam rumah, meski Nek Imas selalu melarangku melakukan pekerjaan rumah, tapi aku tetap tak ingin berdiam diri saja. Bagaimana pun aku di sini menumpang. "Nek kemana anak dan suami Nek Imas?" Aku memberanikan diri bertanya sambil mengupas bawang merah untuk memasak tumis kangkung.Nek Imas terdiam, tangannya masih asyik mengupas bawang putih di tangannya.Aku lihat Nenek di sini hanya tinggal sendirian di rumah ini. Hanya ada satu figura foto yang terpajang di dinding kamar Nek Imas, di mana difoto itu, terlihat Nek Imas berdiri bersama seorang laki-laki dan satu anak laki-laki di tengah-tengah mereka. Tapi kemana mereka, kenapa Nek Imas tinggal sendirian?"Nek, Nenek keberatan ya dengan pertanyaan saya ya, maafkan Tyas ya Nek," sambungku lagi, merasa tak enak melihat ekspresi Nek Imas."Suami Nenek, sudah meninggal sepuluh tahun lalu, karena penyakit diabetes yang di deritanya. Sementara anak semata wayang Nenek, dia pamit untuk bekerja ke kota, l