Malam ini sama seperti malam kemarin, aku tak bisa tidur. Hati dan pikiranku terus saja tertuju pada Tyas. Bagaimana keadaan dia saat ini Tuhan!Aku tak ingin kehilangan dia. Apalagi jika harus kehilangan hati dan juga raganya. Sudah cukup aku menderita kehilangan hatinya saat ia memilih hidup bersama dengan Iqbal dulu. Tentu kali ini akan lebih menyakitkan lagi.Aku tak sanggup ya Allah. Aku mohon, jaga dia, lindungi Dia, dimana pun dia berada.Sore tadi aku menemui Pak Aditama, dan beliau bilang di desa tempat tantenya Tyas dia juga tak bertemu dengan laki-laki yang kala itu sempat mengutarakan cinta pada Tyas.Ini menambah daftar orang yang patut dicurigai. Kenapa dia pergi di saat yang sama dengan hilangnya Tyas?Aku pun telah menyuruh orang untuk memata-matai beberapa orang yang memang sejak dulu menjadi rival bisnis perusahaan Aditama. Tak menutup kemungkinan mereka juga patut dicurigai, mengingat dulu Tyas pernah hampir menjadi korban perampokan oleh salah satu saingan bisnis k
Ucapan Stefy terdengar tulus. Semoga benar dia tulus mendoakan kebaikan untuk Tyas.Aku melanjutkan langkah keluar rumah. Aku ingin menemui Amel lagi hari ini.Ehm, tapi setelah aku pikir-pikir, sebaiknya aku diam-diam mengikuti Amel. Aku yakin dia tak akan buka mulut mengatakan dimana Tyas.Baru saja aku masuk mobil, ponsel di saku celanaku berdering. Panggilan masuk dari Pak Aditama."Hallo Pak.""Hallo Bi, laki-laki bernama Edo itu sudah di tangkap, dan dia mengaku di suruh sama seseorang yang mengancamnya akan menutup rest area itu jika tidak mengikuti perintah orang itu. Karena ternyata orang yang menyuruh Edo itu adalah seorang pengusaha besar. Mudah saja baginya untuk mematikan usaha Pak Edo."Aku menghela napas, lega sekaligus penasaran siapa dalang di balik ini semua."Siapa Dia Pak?""Polisi masih menyelidiki, karena dari keterangan Pak Edo, dia laki-laki yang cukup berpengaruh. Pak Edo sendiri tidak begitu mengenal laki-laki itu, tapi ancaman dari orang itu, sukses membuat
Tyas Pov. Aku terkejut ketika membuka mata ternyata aku sudah dalam keadaan terikat di bangku, mulutku juga di ikat dengan kain merah, aku tak bisa berteriak, untuk meminta tolong. Aku mengedarkan pandangan sekeliling. Aku berada di sebuah gudang tua. Banyak kayu-kayu balok teronggok, tempatnya pengap dan kotor. Astaghfirullah, aku dimana? Suasana remang-remang karena minim pencahayaan, pilar-pilar beton menjulang tinggi, menandakan gedung ini dulunya megah, sebelum akhirnya terbengkalai. Suasana di sini juga berbeda, auranya berbeda. Aku menitikkan air mata, takut, sekaligus juga bingung, siapa sebenarnya mereka yang membawaku kesini? Apa maunya? Aku mencoba menggerakkan tanganku, berusaha untuk bisa lepas dari jerat tali yang mengikatku. Tapi semakin aku banyak bergerak, semakin sakit pergelangan tanganku. Kaki juga dalam keadaan terikat. Ya Allah, aku dimana? Lindung aku ya Allah. Siapa yang tega berbuat seperti ini? Dalam kegalauan yang sedang aku rasakan. Tiba
Hap! Entah kekuatan dari mana, aku yang dilanda ketakutan luar biasa, tiba-tiba saja memiliki keberanian untuk mencoba sekali lagi, berpegangan kuat-kuat pada ventilasi yang kini terbuka karena kacanya telah jatuh dan pecah.Aku berusaha menahan berat tubuhku, hingga siku tanganku berhasil naik ke atas ventilasi.Gebrakan di pintu makin terdengar keras, membuatku semakin takut.Terkadang kekuatan dari dalam tubuh manusia bisa meningkat berkali-kali lipat, ketika dia sedang dilanda ketakutan ya luar biasa. Dan itulah yang aku rasakan sekarang ini.Aku terus berusaha sekuat yang aku bisa. Hanya ini kesempatan satu-satunya untuk bisa kabur.Bismillah.Akhirnya separuh tubuhku sudah keluar dari ventilasi.Brakk! Bersamaan dengan terbukanya pintu kamar mandi."Heh! Sialan, kabur Lu ya!"Hap!Aku menjatuhkan tubuhku keluar gedung yang lumayan tinggi, dibawahnya tanah lapang rerumputan dan daun-daun kering.Jangan di tanya bagaimana rasanya. Sakit bukan main, tubuhku serasa seperti di bant
Aku kembali melakukan aktifitas di dalam rumah, meski Nek Imas selalu melarangku melakukan pekerjaan rumah, tapi aku tetap tak ingin berdiam diri saja. Bagaimana pun aku di sini menumpang. "Nek kemana anak dan suami Nek Imas?" Aku memberanikan diri bertanya sambil mengupas bawang merah untuk memasak tumis kangkung.Nek Imas terdiam, tangannya masih asyik mengupas bawang putih di tangannya.Aku lihat Nenek di sini hanya tinggal sendirian di rumah ini. Hanya ada satu figura foto yang terpajang di dinding kamar Nek Imas, di mana difoto itu, terlihat Nek Imas berdiri bersama seorang laki-laki dan satu anak laki-laki di tengah-tengah mereka. Tapi kemana mereka, kenapa Nek Imas tinggal sendirian?"Nek, Nenek keberatan ya dengan pertanyaan saya ya, maafkan Tyas ya Nek," sambungku lagi, merasa tak enak melihat ekspresi Nek Imas."Suami Nenek, sudah meninggal sepuluh tahun lalu, karena penyakit diabetes yang di deritanya. Sementara anak semata wayang Nenek, dia pamit untuk bekerja ke kota, l
"Kamu?!""Hei, Ya, ini aku Yas." Laki-laki itu menatapku sambil tersenyum."Yusuf, kamu, kok biasa –""Duduklah dulu, Nek Imas, duduklah." Aku dan dan Imas mendaratkan bobot di kursi yang ada di hadapan Yusuf."Kenapa bisa? Ya hanya Allah yang tahu," jawabnya santai. ""Jadi, kamulah pemuda yang menolongku saat aku sudah pingsan di tepi jurang itu?" tanyaku memastikan lagi.Lagi Yusuf hanya tersenyum."Nek Imas, terimakasih banyak, sudah merawat calon istri saya dengan baik, sampai dia benar-benar sembuh."Aku kembali terkejut mendengar kata terakhir yang di ucapkan Yusuf."Ehm, Yusuf, maksud kamu apa ya? Ehm, sebelumnya aku ucapkan banyak terimakasih karena berkat pertolongan dari kamu, aku bisa selamat, dan terlepas dari para penculik itu. Tapi kamu ...."Yusuf terdiam kemudian tersenyum. "Yas, kamu percaya dengan takdir Tuhan?"Aku mengangguk, meski belum sepenuhnya paham apa maksudnya Yusuf."Mungkin ini cara Tuhan untuk menyatukan kita. Sebenarnya hari itu, hari dimana kamu pa
"Hallo Papa.""Hallo." Papa menyahut di seberang sana."Tyas! Ini benar kamu Nak?!" "Iya Pa, ini Tyas Pa.""Alhamdulillah, ya Allah, Sayang kamu dimana Nak? Gimana keadaan kamu? Apa kamu baik-baik saja? Apa para penculik itu menyakitimu?"Papa langsung memberondong dengan pertanyaan yang bertubi-tubi."Alhamdulillah Pa, Tyas baik-baik saja Pa. Tyas nggak apa-apa. Tyas memang di culik dan di sekap di sebuah gedung tua Pa, tapi Alhamdulillah, Tyas bisa kabur Pa, dan bisa selamat karena di selamatkan oleh Yusuf.""Apa? Yusuf? Bagaimana bisa dia berada sama di tempat kamu di culik?""Panjang ceritanya Pa. Yang jelas sekarang Tyas baik-baik saja, Papa tak perlu khawatir ya.""Alhamdulillah, wa syukurillah, ya Allah terimakasih. Jadi sekarang kamu ada di mana? Biar Papa jemput kamu.""Aku ada di salah satu desa terpencil di sebuah kabupaten di Jawa barat Pa.""Papa akan jemput kamu sekarang yg Sayang.""Nggak usah Pa, sore ini juga Tyas akan diantar Yusuf ke rumah. Jadi Papa tunggu Tyas di
Setelah berbasa-basi dengan Papa akhirnya Yusuf pamit, karena dia juga akan pergi ke tempat dimana Imam anaknya Nek Imas berada.Aku bisa bernapas lega sekarang, sejak tadi aku sudah merasa resah takut kalau Yusuf benar-benar mengutarakan keinginannya melamarku di depan Papa.Apalagi ada Abian di sini bisa makin runyam urusannya.Yusuf pamit, aku dan Papa mengantarkannya sampai di halaman rumah. Abian berdiri santai di ambang pintu.Masih bisa kulihat bagaimana Yusuf menatapku, dan sebisa mungkin aku menghindar tatapannya itu.Bukan aku tak berterimakasih atau apa, tapi aku hanya ingin hubungan kami bisa tetap berjalan selayaknya teman saja. Tak lebih.Setelah memastikan mobil Yusuf keluar halaman rumah, aku masuk kembali ke dalam rumah bersama Papa."Duduk dulu sini Sayang," ajak Papa."Bagaimana keadaan kamu selama mereka menyekap kamu? Apa mereka menyakitimu?""Tyas nggak apa-apa Pa. Alhamdulillah Tyas berhasil kabur, jadi tidak begitu lama di sekap di dalam gudang itu."Papa meng
"Pergi dari sini aku bilang! Pergi!" Sentak Iqbal dengan suara menggelegar."Oke, oke, aku tak akan mengambil Rayyan darimu. Tapi satu hal yang ingin aku sampaikan. Bagaimanapun aku ini adalah ayahnya. Jadi aku bisa sewaktu-waktu kemari untuk menengoknya. Kau tak bisa melarangku, kalau itu terjadi maka aku akan membawanya pergi jauh darimu."Ucapan Juna terdengar seperti ancaman bagi Iqbal."Oke! Tapi jangan pernah kau katakan kau adalah ayahnya. Tunggu sampai saatnya tiba. Saat dia bisa mengerti semua keadaan ini."Juna mengangguk kemudian pergi.Dalam keheningan malam, Iqbal duduk sendiri di kamar Rayyan, memandangi anak itu yang tertidur pulas. Sekarang Rayyan mulai mau menginap di rumah itu dan tidur bersama Iqbal. Tentu saja itu sesuatu yang sangat membahagiakan bagi Iqbal."Aku telah mencintaimu sejak hari pertama aku melihatmu di dunia ini," bisiknya lirih. "Sekarang dan sampai kapanpun ... tidak ada yang bisa mengubah itu." Iqbal mengelus pelan rambut lebat bocah yang tengah
Iqbal menunggu dengan penuh rasa penasaran. Jantungnya berdegup kencang.Dan Hasilnya ... TIDAK COCOK. Rayyan bukan darah dagingnya.Iqbal tercengang. Dunia seakan runtuh seketika. Hatinya hancur. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua yang selama ini ia kira adalah kenyataan hidupnya, ternyata hanyalah ilusi. Amanda–wanita yang ia nikahi, ternyata telah menipunya. Namun yang lebih menyakitkan lagi, Rayyan anak yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari dirinya, anak itu ternyata bukan anak kandungnya.Wajah Iqbal mendadak pucat. Ia masih seperti mimpi. Mimpi buruk yang membuatnya seperti kehilangan sebagian dari hidupnya.Meski ia berpisah lama dengan Rayyan karena dia di penjara, tapi dalam hatinya selalu menyakini bahwa Rayyan adalah permata hatinya. Dan sampai kapanpun dia tak merasa sendiri sebab ia punya anak. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Iqbal menggeleng, beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Masih tak bisa terima dengan apa yang dikatakan dokter, tapi
Setelah menjalani masa hukuman di penjara selama beberapa tahun, Iqbal kembali ke dunia luar dengan segunung tantangan yang menantinya. Fauzan yang telah menjamin kebebasan untuk Iqbal. Iqbal tak pernah menyangka, orang yang dulu ia tolong, kini telah sukses dan bahkan bisa menolongnya keluar dari penjara. Iqbal sangat berterimakasih pada Fauzan.Bayangan suram masa lalunya membayang-bayangi langkahnya, tapi ia mencoba menghapus semuanya, memulai lembaran baru. Fauzan menjemput Iqbal dengan mobil miliknya. Begitu sampai di halaman rumah Iqbal terkejut Hasna tengah sibuk melayani beberapa pembeli."Hasna," ucap Iqbal dengan senyum tersungging di bibirnya.Bergegas ia turun dari mobil untuk menemui ibunya. Beberapa langkah sebelum sampai di teras toko, ia melirik ke arah pintu rumahnya. Harusnya ada ibunya yang menyambut kepulangannya di sana. Mendadak hatinya gerimis, mengingat kini ibunya sudah tidak ada lagi.Dulu ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada mendukungnya. Wala
Amanda duduk duduk di tepi ranjang kecil yang suram, memandangi jendela yang menghadap ke gang sempit di sudut kota Semarang.Diluar kehidupan kota samar-samar terdengar, namun jiwa wanita itu terasa hampa. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat dengan tatapan matanya kosong. Sisa kehidupan yang dulu penuh hingar bingar kini hanya menyisakan sebuah penyesalan yang tak tertahankan."Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kamu hadapi semua ini sendiri! Aku nggak mau tahu! Ini kan buah dari semua perbuatanmu!" sentak Yusuf sore itu sebelum memutuskan untuk pergi ke Jakarta.Yusuf yang menjadi kakak tiri Amanda, merasa sudah capek menghadapi berbagai model orang yang datang menagih hutang pada Amanda.Yusuf seolah menjadi ATM bagi Amanda, seenaknya dia meminta kakaknya untuk membayar hutang-hutangnya.Yusuf pun merasa capek. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dan berusaha bersikap masa bodoh dengan Amanda. Karena semakin di turuti keinginannya, Amanda semakin menjadi. Seolah makin banyak saja orang
Salah satu perawat yang tinggal tak begitu njauh dari rumah Hasna datang tergopoh, ia langsung mengecek kondisi tubuh Bu Wina yang dingin."Maaf, Ibu Wina sudah tidak ada," ucap perempuan itu lirih."Innalilahi wa Inna ilaihi Roji'un." Beberapa orang tetangga yang sudah datang turut berduka.Sedangkan Hasna masih tak sadarkan diri."Panggilkan Bapakya Hasna, cepat!" seru salah satu tetangga memberi titah pada tetangga lainnya. Laki-laki yang diberi perintah itu pun bergegas lari ke rumah Bapaknya Hasna, yang tinggal tak jauh dari rumah itu bersama Bu Maryam."Astaghfirullah, ada apa, Hasna! Hasna!" Laki-laki paruh baya itu datang, ia syok melihat Wina istri pertamanya telah berpulang. Dan Hasna masih terbaring pingsan.Dalam hati kecilnya ia sangat sedih, meski semasa hidup dan tinggal bersama Wina ia kerap kali berbeda pendapat, kerap kali bertengkar, tapi perjalanan waktu yang di lalui bersama, tentu menyimpan sejuta kenangan bersama juga bersama anak-anak mereka."Yang sabar Pak! I
Pagi-pagi sekali Hasna sudah bersiap untuk pergi menemui Iqbal."Mbak Santi, tolong titip Ibu sebentar ya. Akan saya usahakan cepat pulang." Hasna meminta bantuan tetangga untuk menjaga ibunya sebentar, selama dia pergi."Iya Hasna, tenang aja. Saya akan di sini sampai kamu pulang.""Terimakasih banyak Mbak Santi.Hasna pun berangkat dengan memakai motor matic second yang dibelinya, untuk di pakai setiap kali berbelanja mengisi tokonya.Saat tiba di Lapas, seketika Hasna merasakan atmosfer yang berat. Rasa rindu, marah, kecewa, dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu di dalam dadanya. Saat Iqbal muncul di ruang kunjungan, Hasna melihat perubahan besar dalam diri kakaknya. Wajahnya tirus, tubuhnya semakin kurus, rambutnya sedikit berantakan, dan ada bayangan kelam di matanya."Hasna ..." Iqbal memanggil namanya dengan suara serak, seakan-akan ia tak percaya adiknya benar-benar datang.Hasna duduk di depannya, diam sejenak. Suasana canggung terasa di antara mereka. "Aku datang karen
"Selamat sore, Mbak Hasna," sapa pria itu.Hasna sedikit terkejut. Ke apa laki-laki itu bisa tahu namanya. Dari gelagatnya dia seperti tidak berniat untuk membeli sesuatu di toko."Sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Saya teman lama Iqbal. Namaku Fauzan. Saya baru dengar tentang kejadian yang menimpa keluargamu."Hasna terdiam sejenak. Ada rasa kekhawatiran, jangan-jangan kakaknya punya hutang pada temannya ini dan sekarang dia datang untuk menagih hutang. Begitu pikir Hasna."Oh, begitu. Ada yang bisa saya bantu? Maaf Mas Iqbal tidak ada di rumah."Fauzan mengangguk pelan. "Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar ibumu. Aku tahu bahwa apa yang terjadi dengan Iqbal pasti bagi kalian."Hasna memandang pria itu dengan sedikit rasa waspada. Ia memang pernah mendengar nama Fauzan dari Iqbal, tapi mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tentu saja, setelah semua yang terjadi dengan kakaknya, ia sulit untuk langsung mempercayai siapa pun, terutama orang yang datang tiba-tiba tanpa diduga.H
POV Author. Jalan Terjal Kehidupan keluarga Iqbal."Makan dulu Bu." Hasna menyuapi ibunya–Wina dengan telaten.Nasi putih dengan tekstur sedikit lembek dan sayur Sop ayam. Biasanya ibunya akan sangat suka dengan menu satu ini. Tapi hari ini Bu Wina seperti tak ada nafsu makan."Bu, lagi ya." Bu Wina menggeleng. Hasna menghela napas."Ya sudah sekarang minum obatnya, ya." Hasna bergegas menuju ke kamar ibunya, membuka laci nakas tempat ia menyimpan obat.Setelah kejadian Bu Wina jatuh stroke, Hasna memilih resign dari kantor dan fokus di rumah mengurus ibunya.Ia membawa Wina kembali ke rumah lamanya. Sedangkan Bu Maryam dan Bapaknya pindah dari rumah itu, tinggal tak begitu jauh dari rumah Bu Wina."Ini Bu obatnya." Setelah selesai mengurusi ibunya, Hasna membawa ibunya ke depan teras rumah, udara pagi yang sejuk, juga sinar matahari pagi bagus untuk kesehatan ibunya."Hasna buka warung dulu ya." Bu Wina hanya mengangguk. Sebenarnya Bu Wina masih bisa bicara walau ada sedikit terb
"Halo Sayang, aku sekarang bagi diperjalanan pulang ke Jakarta." Aku mengabari Tyas melalui sambungan telepon."Iya Mas hati-hati. Gimana tadi ketemu sama Pak Bambang?""Ketemu Sayang.""Terus?""Nanti aku ceritakan di rumah ya. Assalamualaikum."Panggilan selesai. Aku fokus mengemudi dengan karena jalan berbelok-belok dan berbatu.Aku kembali ke Jakarta dengan menggenggam luka. Kesaksian Pak Bambang, tentu memberi titik terang sekaligus memberikan luka. Betapa Martin sangat jahat. Padahal Papa sudah sangat percaya padanya.Ternyata dia tega mengkhianati kepercayaan Papa. Sungguh ini sakit sekali."Ya Allah Pa. Lihat kan Pa, orang yang selalu Papa bela mati-matian, orang selalu menjadi diri diantara hubungan kita. Ternyata dia adalah orang yang sangat busuk! Brengsek! Awas saja Kau Martino, aku pastikan kau akan mendekam di balik jeruji besi untuk waktu yang sangat lama," geramku, sambil memukul stir mobil beberapa kali.Aku berhasil keluar dari jalan desa, kini melewati jalanan yang