Daniel Hadiwijaya berumur 35 tahun, anak sulung dari keluarga terpandang dan terkaya. Tuntutan kerja membuat dia menduduki jabatan CEO. Putri Taurista seorang gadis miskin yang pernah bekerja sebagai kasir di minimarket. Tuntutan kehidupan yang susah membuat dia menerima lamaran keluarga Daniel untuk menikah walaupun baru berusia 19 tahun. Tanpa ada rasa dan cinta mereka terpaksa menikah. Disaat membangun rumah tangga yang seumur jagung begitu banyak godaan termasuk mantan pacar Daniel Hadiwijaya.
Lihat lebih banyak"Gimana malam pertamanya, Dan?"
Dari dapur rumah mertuaku ini, bisa kudengar dengan jelas suamiku yang masih duduk dimeja makan bersama mamanya, tersedak.
Mungkin dia bingung mau cari alasan apa sama mamanya karena malam tadi tidak terjadi apa-apa diantara kami. Bagaimana mau terjadi apa-apa orang ngeliat aku aja kayaknya dia ogah. sudah melihat seperti taik cicak saja dia. Kadang bergidik, kadang meletin lidah. Persis lagi melototin najis.
Astaghfirullah!
"Masih aman."
"Maksudnya, Dan?" jelas sekali mama mertuaku penasaran dengan jawaban singkat anaknya.
"Masih segel."
Aku meneguk ludah. Rupanya selain menyamakan aku dengan taik cicak, suamiku juga menyamakan diriku dengan tutup galon Aqua?
"Hah? kenapa ga dibuka segelnya, sih Dan?" dari sini terdengar, suara mertuaku ingin mengintrogasi anak sulungnya yang sok kegantengan itu.
Ya, bisa dimaklumi kalau mertuaku sedikit kepo dan usil tentang malam pertama anaknya. Karena katanya, beliau sudah sangat menginginkan cucu, tapi, ya...
gimana, ya, calon bapaknya aja belum siap. Aku mah sebenarnya pasrah aja, ehh!"Geli, ma." suamiku menyahut dengan sangat ringan pertanyaan sang mama. Membuat ku menajamkan pendengaran, lagi dan lagi.
Gimana nggak, bukankah mereka sedang ghibah? ngomongin aku?
"Kenapa geli?"
What's? apa dia bilang barusan? geli dia bilang? memang nya ulet bulu?
"Masih bau kencur begitu."
Deg!!!
Perasaan aku wangi, cuma kalau didapur begini aja kadang bau bawang. Tapi kalo di kehidupan sehari hari aku wangi kok. Deodorant dan pewangi pakaian selalu menemani hari hariku. Bagaimana mungkin dia mengatakan aku bau kencur. Kayaknya dia perlu dites swab hidungnya biar penciuman tajam.
Aku melintir jemari dengan kaku, duh jadi pendengar yang setia sekaligus jadi bahan ghibah ternyata rasanya kayak gini ya?
Susah untuk dijelaskan pakai kata-kata.
Aku yang sedari bangun tidur belum mandi, memaksa diri untuk meninggalkan dapur dan berjalan cepat menuju kamar. Melewati dua orang yang tengah membicarakan diriku sedari tadi.
"Tuh liat, tuh bocah nggak punya sopan santun. Gimana Mama bisa nyuruh aku bercocok tanam sama dia?"
Apalagi itu yang dibahas? bercocok tanam? memangnya aku tumbuh-tumbuhan? atau aku bibit unggul benih jagung hibrida? aku cuma manusia biasa yang memerlukan kasih sayang.
"Eh, ngomong apa sih?"
"Sabar, Daniel... sekarang dia sudah jadi tanggung jawab mu."
Mas Daniel menghela napas berat, seolah menikah dengan ku adalah kutukan Malin Kundang yang menyiksa diri nya.
****
"Pokoknya malam ini harus berhasil ya,
put.""Insyaallah ya, ma."
Aku meraih dengan wajah pasrah lingerie seksi yang di ulurkan mertuaku sore ini. Saat Mas Daniel sedang sibuk memancing, mengisi waktu cuti dengan pekerjaan yang membosankan itu.
Padahal istri butuh kasih sayang di rumah, eh malah milih ngurusin pancing dan kail.
Parah!
Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya malam mendebarkan pun tiba.
Aku buru-buru mengambil lingerie dari dalam lemari pakaian begitu Mas Daniel memasuki kamar mandi. Membasuh tubuhnya setelah dari aktivitas memancing yang membuat nya seperti lupa waktu dan lupa kalau dirumah punya istri.
Benarkah dia lupa? ah entah lah, rasanya akan lebih tepat, kalau aku menyebut diriku sebagai istri yang tak dianggap.
Menyedihkan bukan!
Menyadari pintu kamar mandi hampir terbuka, membuat jantung ku berolahraga dengan cepat, bagaimana tidak. Saat ini aku sudah memakai pakaian yang lebih parah dari penyanyi dangdut.
Duh, seharusnya aku lari bersembunyi, atau diam saja menunggu respon nya?
Sumpah aku nggak pede berhadapan kali ini. Ya Tuhan bantu aku.
"Astaga! Putri!" Mas Daniel berseru lantang dengan mata membulat sempurna begitu dirinya keluar dari kamar mandi.
Kalau dia terkejut, aku pun tak kalah terkejutnya, bagaimana tidak handuk nya ikut terjatuh saat dia berteriak barusan.
Ya, ampun mataku sudah ternoda sekarang, hilang semua kepolosan aku jadinya.
Kalau sudah begini apakah akan terjadi peperangan selanjutnya?
Sebenarnya kalau sudah basah harusnya sekalian nyebur ya, kan? tapi enggak tau deh ini nasib kami kedepannya gimana.
Jadi malam pertama nya nggak ya, kira-kira?
Dengan perasaan yang tak karuan dan hati yang makin deg-deg an, aku buru-buru memalingkan wajah dan membalikkan badan berharap Mas Daniel tak melihatku. Begitu melihat sesuatu yang berbeda dari dalam Mas Daniel.
Iya, sesuatu yang berbeda, tanpa aku jelaskan pun kalian sudah apa itu ya, kan?
Eh, tunggu-tunggu apa tindakan ku tepat? bukannya itu rezeki nomplok ya kalau kita melihat itu?
Ya salam, kok jadi galau begini sih? kira-kira dia lagi ngapain sih sekarang? intip dikit boleh?
Dengan hati berdebar aku sedikit memicingkan mata saat menoleh pada dirinya yang tampil apa adanya.
Iya.... ada apanya! Ya Allah, ini pertama kali nya aku melihat bentukan aneh seperti itu.
Awas... jangan traveling lagi otak aku ini!
"Jangan coba-coba balik badan! Atau...?"
Aku mendengus pelan, rasa nya dia yang salah, kok jadi dia yang marah, aneh bukan?
Siapa yang suruh dia jatuhin handuk, nggak ada kan?
Apa maksudnya .... Dia ngancam mau bikin aku hamil dan punya dedek bayi? Lah...kan memang itu tujuan awal ku. Eh, salah tujuan Mama mertuaku.
Aku mengurungkan niat untuk curi-curi pandang begitu kena semprot, serem juga dia kalau marah bikin naik bulu kuduk merinding.
"Sudah belum?"
"Belum, berdiri aja disitu!"
Loh, kok kayak main petak umpet? kalau begini ceritanya kapan main perang-perangan coba?
Aku berdiam diri cukup lama dengan posisi membelakangi suamiku, tak berani menoleh takut diamuk, kalau ngamuknya dalam bentuk lain nggak apa-apa. Nah, kan kalau ngamuk beneran dan terjadi adu jotos, nggak mau... ogah ah, takut.....
"Sudah!"
Tuh, kan persis lagi main petak umpet?
Aku membalik badan pelan pelan
What's?
Ya ampun! Kenapa dia sudah pakai baju?
"Mas, kok kamu? Lidahku mendadak kayak keseleo
"Apaan?"
Aku menggeleng pelan
"Kamu tuh, ngapain pakai baju begitu? Beli dimana?" Suamiku memandangku dengan tatapan menyepelekan, padahal dalam hati siapa yang tau. Bisa jadi dia tergoda kan? Nyatanya tadi dia sampai salah tingkah begitu.
"Beli di---?
Ya Allah harus kah aku berkata jujur?
"Eh udah, nggak penting beli dimana?" Mas Daniel memotong cepat ucapan ku sebelum merebahkan diri diatas ranjang yang menjadi saksi sepasang pengantin baru cuma tidur bersama tanpa melakukan apa-apa.
"Mas, umur kamu kan sudah 35?" Aku menyusul dirinya berjalan menuju ranjang dengan langkah ragu.
"So!" Suamiku menaikkan sebelah alisnya seraya menarik selimut setelah tubuh gagahnya dibaringkan di tempat tidur berukuran king size ini.
"Kamu nggak pengen gitu punya?" Aku menjatuhkan diriku dibibir ranjang dengan canggung.
"Apa?"
"Baby!"
Mas Daniel tertawa lebar, gigi nya yang putih dan rapi membuatku resah dan meleleh.
"Belum ketemu calon ibu yang cocok."
Aku membelalakkan lebar lebar, menatapnya lekat-lekat.
Jadi, selama ini kamu menganggap aku apa Mas? Calon pembantu? Aku ini calon dari anak-anak mu Mas, calon ibu lebih tepatnya. Eh... apa jangan-jangan dia nggak normal ya?hmmmm, aneh nggak sih...
"Eh... udah lah yuk tidur! Udah malam"
"Langsung tidur gitu?"
"Iyalah, emang mau ngapain kamu?"
"Ya.....ngapain gitu kek."Aku membalas pertanyaan yang sebenarnya retorika sambil memilin jari yang kaku, takut salah sih sebenarnya.
"Bikin baby? Ngimpi?" Dia tergelak tanpa perasaan.
Sudah seperti jablay saja aku kan, padahal bukan aku yang pengen punya baby, tapi mama mertua. Tapi kenapa aku yang nyesek ditolak seperti ini?
"Satu lagi, ganti baju mu sana! Geli aku liatnya, ntar kalau masuk angin aku yang repot." Mas Daniel memperingatkan aku sebelum benar-benar tidur.
"Kenapa kamu yang repot mas?"
Mas Daniel berdecak sebal.
"Pake nanyak lagi! ya aku yang disalahin sama mama kalau kamu sakit, nanti dibilang suami nggak pinter jaga istri!"
Huh! Dasar, rupanya itu alasannya.
*********
Hai... bantu support dan follow ya para pembaca dan pemirsa. terimakasih
"Mas, kapan Mama sama Papa balik kejakarta?" Aku mengalihkan pembahasan saat merasa Mas Daniel terus-menerus tertarik membicarakan tentang hal yang tak jelas dan cenderung menjengkelkan hati."Katanya, sih, nunggu tiga atau empat harian lagi, nunggu Delon pulih," ungkapnya yang membuatku sedikit tenang dan gembira. Jujur, keberadaan Mama di rumahini sangat aku rindukan. Bagaimana tidak, bukankah beliau sosok ibu yang mengayomi?"Oh..."'Kenapa?""Tidak apa-apa kok? Syukurlah kalau keadaan Delon sudah mulai membaik."Mas Daniel mengangguk samar.Teringat masa kecil ku, aku merasa bersyukur karena aku tipe anak yang jarang sakit. Tak bisa di bayangkan jika aku yang hidup dalam garis kemiskinan sering sakit. Namun, Allah benar-benar Maha Adil. Dia tak kan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya. Dan kini, aku pantas bersyukur karena melalui Dia, seorang suami tampan yang mencintai hadir melengkapi hidupku.Aku tertegun ketika Mas Daniel menepuk pundakku."Eh, eng-enggak," sahutku
"Aku tidak tahu kamu lagi bohong apa jujur soal perasaan kamu ke aku. Tapi terima kasih telah mengungkapnya, jadi aku tahu rasanya dicintai." Ucapku lirih ketika merasa hati ini mulai merasakan kenyamanan , meski kadang masih ragu tentang perasaan sebenarnya padaku.Sejurus kemudian, Mas Daniel menatapku sendu. Seolah ingin mematahkan pendapatku, pria berbibir tipis ini meraih tanganku dan menggengamnya erat."Aku janji sama kamu, akan kubuat kau bahagia selagi jantungku masih berdetak," ucapnya penuh keseriusan. Membuatku merasa tersanjung seperti di bawa terbang ke awang-awang."Kamu jadi lebih puitis akhir-akhir ini." Ucapku pelan dan langsung dibalas dengan senyuman manis suamiku."Tapi, makasih, ya. Jadi, walaupun akhirnya nanti harus kecewa, tapi setidaknya aku sudah tahu rasanya dicintai olehmu." Imbuhku lirih, saat hati mendadak didera perasaan waspada. Takut Mas Daniel hanya ingin mempermainkanku saat ini. Seperti yang sudah-sudah."
Aku tak mengerti apa alasan Mas Daniel mengajakku singgah ke ssbuah toko emas dan berlian disalah satu gerai mall elit ini."Mas, mau beli apa disitu?""Lehermu sepertinya bakalan indah kalau salah satu kalung melekat di sini."Aku yang tak pernah menyangka bakal di bawa ke tempat semewah ini, kelimpungan saat Mas Daniel menunjuk salah satu kalung pada etalase kaca di hadapan kami."Itu sepertinya cocok sama kamu." Sebuah kalung emas bertahtakan berlian dengan liontin berbentuk huruf P memang membuatku takjub saat menatap kecantikan dan keindahannya."Kamu menyukainya?" Pertanyaan Mas Daniel saat ini, benar-benar membuatku gugup. Wanita mana yang tak suka dengan perhiasaan? Mungkin ada, tapi rasanya sebagian besar menyukainya."Mbak, ambil yang ini, ya.""Baik, pak." Pelayan toko emas dengan cepat mengambil kalung cantik yang dimaksud suamiku."Coba pakai dulu," ujarnya setelah kalung itu berpindah tangan padaku."Ini...
"Maksud lu?" Alan menyorot tajam wajah sepupunya. Membuat Mas Daniel sedikit salah tingkah dibuatnya. Seperti aku, Alan pun tampaknya tak terlalu mengerti dengan ucapan Mas Daniel belum lama ini. "Lu bicara apa barusan?" Cecar Alan kemudian. Menanggapi pertanyaan Alan, Mas Daniel terlihat semakin gugup. Ada apa? "Ya ... ya almarhum papa lu pastinya berharap lu tobat dulu, lah, kalau mau ambil anak orang buat dijadikan istri." Kilahnya kemudian, namun tetap membuatku sedikit penasaran dengan ucapan yang dia lontarkan secara sungguh-sungguh beberapa saat yang lalu. "Apaan sih, gak jelas!" Cibir Alan sambil menyertakan tampang sinisnya. Alan kemudian mengalihkan pandangan padaku. "Ya sudah, Put. Aku pulang dulu, kalau ada apa-apa jangan sungkan buat telepon aku." Aku mengangguk kaku saat Alan menampilkan senyum manis ketika menampilkan senyum manis ketika menempelkan jempol dan kelingking yang biasa menjadi kode telepon, d
(POV Daniel)"Mas, aku turun dulu, ya ke dapur." Putri bersuara lembut, ah, tidak, lebih tepatnya sengau ketika meminta izin turun kedapur. Meninggakan aku yang masih duduk santai di sofa kamar sembari memainkan ponsel."Ya." Aku hanya menatap sekilas sebelum gadis belia itu turun dan melakukan aktivitas yang seperti sudah menjadi rutinitasnya.Pukul 06.00 wib aku masih berdiam diri disini, tersentak saat tiba-tiba ada yang menelepon.Nomor yang tidak dikenal yang aku tahu betul siapa orangnya menghubungi diriku lagi pagi ini.Kuangkat panggilan meski dengan gerakan malas."Mas, jangan bilang kalau kamu sudah benar-benar jatuh cinta, ya sama dia?"Suara yang dulu terdengar manis ditelinga, kini tak lagi sama.Kuakhiri panggilan tanpa menjawab. Berharap dia mengerti dengan keputusan yang sudah berulang kali aku sampaikan.Maaf, Lita... jika akhirnya aku ingkar janji. Tak semudah itu rupanya mempertahankan hati d
Melihatnya meraih ponsel, hatiku mendadak panas meski sebelumnya sempat menguatkan hati untuk tak terpengaruh dengan apa pun yang menyangkut Mas Daniel. "Iya, Ma?" Terlihat lelakiku menyapa saat mungkin sudah terhubung melalui sambungan telepon dengan lawan bicaranya. Oh, rupanya Mama yang menelepon sang anak, aku tak bisa mengerti kenapa ada rasa lega yang menjalar didada. Saat tahu jika ternyata Mama mertua yang menelepon, bukan Lita seperti yang kuperkirakan sebelumnya. Aku yang sedang melipat mukena, hanya memperhatikan dari jauh suamiku yang sedang bertelepon ria dengan Mamanya. Setelah beberapa saat menyapa sang Mama, terlihat Mas Daniel terdiam untuk waktu yang cukup lama. Mungkin saja dia tengah mendengar dan mencerna baik-baik petuah yang diberikan oleh wanita yang telah melahirkannya, aku tak tahu. "Apa!?" Jelas sekali Mas Daniel syok. Ah, ada apa ini sebenarnya? Kabar apa yang membuat dia jadi sedemikan terkejut? "Ja
"Sudahi omong kosong mu, Putri! Masuk sekarang!" Alan tampak menutup ponselnya dengan kaku saat sepupunya memberikan perintah serupa secara paksa kepadaku. Aku masih diam membatu, tak tertarik untuk langsung masuk dan mengikuti perintah suamiku tak berperasaan ini. "Aku bilang masuk!" Teriak Mas Daniel mengulang lagi titahnya yang tak juga kuindahkan meski berkali-kali dia berucap dengan nada marah. "Makasih ya," aku menatap Alan dengan perasaan mengharu biru sesaat sebelum menarik langkah masuk. Memenuhi perintah lelaki yang bergelar suami yang sayangnya tak pandai menjaga perasaanku apalagi memanusiakan diriku selayaknya istri. Alan mengangguk gugup ketika tatapan kami beradu. Dari sinar matanya, jelas sekali dia menaruh rasa iba dan prihatin atas apa yang menjadi takdirku. Memiliki suami yang bahkan menganggapku tak lebih dari objek yang bisa dia lepas dikala dia bosan. "Ingat, ada gue yang siap menghapus air matanya kalau kau
"Putri, kamu baik-baik saja kan sama Mas Daniel." Aku diam membeku saat Mama yang telah berpakaian rapi, memberikan wejangan padaku. "Mama sama Papa?" tanyaku bingung saat melihat kedua mertuakuseperti siap untuk pergi siang ini. "Mama sama Papa harus ke jogja, sayang. Delon sakit dan harus dirawat. Mama nggak tega," ungkap Mama mertua dengan mata berkaca-kaca. "Iya, Ma. Semoga semuanya baik-baik saja, ya." *** Sorenya Alan yang mungkin tak semat dikabari oleh Mama mertua datang dengan wajah ceria ketika bertandang. "Ma.... aku datang." Masuk ke ruang tamu, Alan berseru dengan lantang seperti biasanya. "Mama lagi ke jogja, Delon sakit dan harus di rawat." Sambil menuruni anak tangga aku menyampaikan apa yang rasanya perlu untuk disampaikan. "Oh... poor boy." Alan menunjukan simpati saat mendengar sepupunya dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. "Semoga saja lekas membaik, r
"Maaf ya, Bik. Aku janji cuma buat malam ini saja." Aku berucap canggung saat merasa tak enak hati karena mengganggu waktu istirahatnya malam ini. "Iya, Mbak." Aku mengedarkan pandangan. Menyadari hanya ada satu kasur bsa setinggi 20 cm dengan ukuran single size, membuatku ragu harus melakukan apa sekarang. "Mbak Putri, tidur diatas saja, biar bibik yang dibawah pakai karpet." Ya Tuhan, kenapa jadi aku makin merasa bersalah begini? "Biar aku saja yang tidur di karpet, Bik." Aku buru-buru memotong ucapan Bik Onah. Tak mau egois dengan mengesampingkan orang lain padahal aku yang menumpang. "Jangan!" "Tidak apa-apa, Bik. Aku dari kecil sudah biasa hidup susah." "Jangan Mbak, pokoknya jangan." "Putri!" Terdengar suara Mas Daniel dari balik pintu. Membuat pikiran ku jadi makin tak karuan dibuatnya. "Bagaimana itu, Mbak?" Bik Onah yang baru saja menggelar karpet bulu bermotif bunga, menatapku meminta p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen