"Maksud lu?" Alan menyorot tajam wajah sepupunya. Membuat Mas Daniel sedikit salah tingkah dibuatnya.
Seperti aku, Alan pun tampaknya tak terlalu mengerti dengan ucapan Mas Daniel belum lama ini.
"Lu bicara apa barusan?" Cecar Alan kemudian.
Menanggapi pertanyaan Alan, Mas Daniel terlihat semakin gugup. Ada apa?
"Ya ... ya almarhum papa lu pastinya berharap lu tobat dulu, lah, kalau mau ambil anak orang buat dijadikan istri." Kilahnya kemudian, namun tetap membuatku sedikit penasaran dengan ucapan yang dia lontarkan secara sungguh-sungguh beberapa saat yang lalu.
"Apaan sih, gak jelas!" Cibir Alan sambil menyertakan tampang sinisnya.
Alan kemudian mengalihkan pandangan padaku.
"Ya sudah, Put. Aku pulang dulu, kalau ada apa-apa jangan sungkan buat telepon aku."
Aku mengangguk kaku saat Alan menampilkan senyum manis ketika menampilkan senyum manis ketika menempelkan jempol dan kelingking yang biasa menjadi kode telepon, d
Aku tak mengerti apa alasan Mas Daniel mengajakku singgah ke ssbuah toko emas dan berlian disalah satu gerai mall elit ini."Mas, mau beli apa disitu?""Lehermu sepertinya bakalan indah kalau salah satu kalung melekat di sini."Aku yang tak pernah menyangka bakal di bawa ke tempat semewah ini, kelimpungan saat Mas Daniel menunjuk salah satu kalung pada etalase kaca di hadapan kami."Itu sepertinya cocok sama kamu." Sebuah kalung emas bertahtakan berlian dengan liontin berbentuk huruf P memang membuatku takjub saat menatap kecantikan dan keindahannya."Kamu menyukainya?" Pertanyaan Mas Daniel saat ini, benar-benar membuatku gugup. Wanita mana yang tak suka dengan perhiasaan? Mungkin ada, tapi rasanya sebagian besar menyukainya."Mbak, ambil yang ini, ya.""Baik, pak." Pelayan toko emas dengan cepat mengambil kalung cantik yang dimaksud suamiku."Coba pakai dulu," ujarnya setelah kalung itu berpindah tangan padaku."Ini...
"Aku tidak tahu kamu lagi bohong apa jujur soal perasaan kamu ke aku. Tapi terima kasih telah mengungkapnya, jadi aku tahu rasanya dicintai." Ucapku lirih ketika merasa hati ini mulai merasakan kenyamanan , meski kadang masih ragu tentang perasaan sebenarnya padaku.Sejurus kemudian, Mas Daniel menatapku sendu. Seolah ingin mematahkan pendapatku, pria berbibir tipis ini meraih tanganku dan menggengamnya erat."Aku janji sama kamu, akan kubuat kau bahagia selagi jantungku masih berdetak," ucapnya penuh keseriusan. Membuatku merasa tersanjung seperti di bawa terbang ke awang-awang."Kamu jadi lebih puitis akhir-akhir ini." Ucapku pelan dan langsung dibalas dengan senyuman manis suamiku."Tapi, makasih, ya. Jadi, walaupun akhirnya nanti harus kecewa, tapi setidaknya aku sudah tahu rasanya dicintai olehmu." Imbuhku lirih, saat hati mendadak didera perasaan waspada. Takut Mas Daniel hanya ingin mempermainkanku saat ini. Seperti yang sudah-sudah."
"Mas, kapan Mama sama Papa balik kejakarta?" Aku mengalihkan pembahasan saat merasa Mas Daniel terus-menerus tertarik membicarakan tentang hal yang tak jelas dan cenderung menjengkelkan hati."Katanya, sih, nunggu tiga atau empat harian lagi, nunggu Delon pulih," ungkapnya yang membuatku sedikit tenang dan gembira. Jujur, keberadaan Mama di rumahini sangat aku rindukan. Bagaimana tidak, bukankah beliau sosok ibu yang mengayomi?"Oh..."'Kenapa?""Tidak apa-apa kok? Syukurlah kalau keadaan Delon sudah mulai membaik."Mas Daniel mengangguk samar.Teringat masa kecil ku, aku merasa bersyukur karena aku tipe anak yang jarang sakit. Tak bisa di bayangkan jika aku yang hidup dalam garis kemiskinan sering sakit. Namun, Allah benar-benar Maha Adil. Dia tak kan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya. Dan kini, aku pantas bersyukur karena melalui Dia, seorang suami tampan yang mencintai hadir melengkapi hidupku.Aku tertegun ketika Mas Daniel menepuk pundakku."Eh, eng-enggak," sahutku
"Gimana malam pertamanya, Dan?"Dari dapur rumah mertuaku ini, bisa kudengar dengan jelas suamiku yang masih duduk dimeja makan bersama mamanya, tersedak.Mungkin dia bingung mau cari alasan apa sama mamanya karena malam tadi tidak terjadi apa-apa diantara kami. Bagaimana mau terjadi apa-apa orang ngeliat aku aja kayaknya dia ogah. sudah melihat seperti taik cicak saja dia. Kadang bergidik, kadang meletin lidah. Persis lagi melototin najis.Astaghfirullah!"Masih aman.""Maksudnya, Dan?" jelas sekali mama mertuaku penasaran dengan jawaban singkat anaknya."Masih segel."Aku meneguk ludah. Rupanya selain menyamakan aku dengan taik cicak, suamiku juga menyamakan diriku dengan tutup galon Aqua?"Hah? kenapa ga dibuka segelnya, sih Dan?" dari sini terdengar, suara mertuaku ingin mengintrogasi anak sulungnya yang sok kegantengan itu.Ya, bisa dimaklumi kalau mertuaku sedikit kepo dan usil tentang malam pertama anaknya.
"Putri, kenapa rambut mu? Kayak abis berantem." Pagi ini, aku menuruni anak tangga sebelum berjalan menuju dapur. Dihadang oleh pertanyaan dengan keheranan dari mama mertua cantik yang punya dua anak laki-laki dan salah satunya suamiku mas Daniel yang sombong itu."Gagal ma!" Aku menjawab lesu begitu sampai di undakan bawah."Kok, bisa! Apa lingerie kurang hot dan seksi?" Mama mertua ku yang sudah lebih dulu dibawah lantai dasar mengernyit kan dahi penuh keheranan.Aku menarik napas pelan dengan berat aku bertanya."Mama yakin, kalau Mas Daniel suka sama cewek?" Tanyaku lirih saat jarak mama mertua dengan tidak terlalu jauh."Yakin lah!" Tak ada keraguan ku temukan saat mama mertuaku menjawab. Jika sudah begini siapa yang salah?"Terus, kenapa Mas Daniel kayak jijik ya, Ma.. sama putri, apa putri jelek gitu?".Mama mertua menggeleng lantas menatap ku sendu."Siapa bilang kamu jelek?"Nggak ada sih yang bilang aku jelek,
Laper nggak?" Tanya Mas Daniel sambil melangkah menuju tempat mobil diparkir kan."Kenapa?""Mau ngajak kamu makan lah, masa iya mau ngajak kamu berantem."Dasar nyelekit!Kami pun meninggalkan area wisata dan memilih untuk makan mie ayam langganan suamiku. Katanya tempatnya terkenal enak, murah dan higienis. Ih.... tau aja si akang kalo aku laper.Nggak nyangka kalo orang kaya seperti Mas Daniel ini suka makan ditempat yang murah, ternyata perhitungan juga.Baru hendak memasuki warung mie ayam lesehan langganan suamiku, tatapan mata tajam dari beberapa orang gadis yang keluar dari warung mie ayam, membuatku tak nyaman."Aduh..... seleranya, ganteng sih....." Salah seorang diantara mereka nyeletuk sesaat setelah menatap sekilas pada ku dan Mas Daniel.Ya ampun... Apa mereka sedang menertawakan Mas Daniel karena menikah dengan ku yang miskin ini dan tak cantik seperti mereka."Kirain, habis mutusin kamu bakala
"Serius nggak tertarik?" Aku menanggalkan rasa malu untuk sementara waktu saat berjalan mendekati dia. Laki-laki sombong yang bergelar suami yang kesannya selalu menganggap remeh diriku."Apa.... Aku kurang seksi, Mas?" Suara manja menggoda melengkapi aksi yang bahkan nggak pernah masuk di otak ku ini.Beneran, ini spontan saja.Mas Daniel menatapku sinis sambil bergidik ngeri, seperti ilfill melihatku yang memang agak lebay. Habisnya gimana lagi, dari pada aku tambah malu mending berbuat konyol sekalian."Buruan, sana pakai rok atau celana. Nggak ada bagus-bagus nya tau kayak gitu."Dasar jaim! Padahal keliatan banget dia lagi nahan diri buat nggak tergoda. Buktinya dia nggak berani lihat aku lama-lama.Aku pun mengambil celana tartan motif kotak untuk mengakhiri keadaan awkward."Tidur! Jangan bergadang, jangan main hape terus." Mas Daniel memperingatkan begitu aku menyusul menaiki ranjang dan berbaring disampingnya. Lelaki entah ba
"Kamu akan tetap disini." Mas Daniel menahan tanganku dengan raut wajah yang tegas. Membuatku yang hampir saja menarik langkah, tapi tetap bertahan ditempat yang rasanya tak pantas buatku."Karen, berhentilah mengolok-olok apalagi mengejek dia, karena dia itu... Istriku!"Aku mendongak menatap Mas Daniel yang tengah berbicara pada si rambut pirang. Ada yang berdesir di dadaku ketika akhirnya, Mas Daniel mau mengakui status aku sebagai istri didepan gadis sombong itu.Ya ampun, kok jadi pengen joget-joget kayak film India,"Kau ... Jadikan aku ... Wanita yang kau pilih..."Romantis banget sih, serasa jadi wanita wanita yang di film Korea menyelamatkan pujaan hati nya.Tapi nggak mungkin lah aku melakukan hal kayak gitu, yang ada malah dikatain norak, kampungan!"Apa? Kamu seriusan suka sama bocah kampungan itu, Daniel?" Muka si banaspati, eh, salah, muka Karen berubah jadi semerah tomat busuk pas mendengar pengakuan Mas Daniel.Mas Dani
"Mas, kapan Mama sama Papa balik kejakarta?" Aku mengalihkan pembahasan saat merasa Mas Daniel terus-menerus tertarik membicarakan tentang hal yang tak jelas dan cenderung menjengkelkan hati."Katanya, sih, nunggu tiga atau empat harian lagi, nunggu Delon pulih," ungkapnya yang membuatku sedikit tenang dan gembira. Jujur, keberadaan Mama di rumahini sangat aku rindukan. Bagaimana tidak, bukankah beliau sosok ibu yang mengayomi?"Oh..."'Kenapa?""Tidak apa-apa kok? Syukurlah kalau keadaan Delon sudah mulai membaik."Mas Daniel mengangguk samar.Teringat masa kecil ku, aku merasa bersyukur karena aku tipe anak yang jarang sakit. Tak bisa di bayangkan jika aku yang hidup dalam garis kemiskinan sering sakit. Namun, Allah benar-benar Maha Adil. Dia tak kan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya. Dan kini, aku pantas bersyukur karena melalui Dia, seorang suami tampan yang mencintai hadir melengkapi hidupku.Aku tertegun ketika Mas Daniel menepuk pundakku."Eh, eng-enggak," sahutku
"Aku tidak tahu kamu lagi bohong apa jujur soal perasaan kamu ke aku. Tapi terima kasih telah mengungkapnya, jadi aku tahu rasanya dicintai." Ucapku lirih ketika merasa hati ini mulai merasakan kenyamanan , meski kadang masih ragu tentang perasaan sebenarnya padaku.Sejurus kemudian, Mas Daniel menatapku sendu. Seolah ingin mematahkan pendapatku, pria berbibir tipis ini meraih tanganku dan menggengamnya erat."Aku janji sama kamu, akan kubuat kau bahagia selagi jantungku masih berdetak," ucapnya penuh keseriusan. Membuatku merasa tersanjung seperti di bawa terbang ke awang-awang."Kamu jadi lebih puitis akhir-akhir ini." Ucapku pelan dan langsung dibalas dengan senyuman manis suamiku."Tapi, makasih, ya. Jadi, walaupun akhirnya nanti harus kecewa, tapi setidaknya aku sudah tahu rasanya dicintai olehmu." Imbuhku lirih, saat hati mendadak didera perasaan waspada. Takut Mas Daniel hanya ingin mempermainkanku saat ini. Seperti yang sudah-sudah."
Aku tak mengerti apa alasan Mas Daniel mengajakku singgah ke ssbuah toko emas dan berlian disalah satu gerai mall elit ini."Mas, mau beli apa disitu?""Lehermu sepertinya bakalan indah kalau salah satu kalung melekat di sini."Aku yang tak pernah menyangka bakal di bawa ke tempat semewah ini, kelimpungan saat Mas Daniel menunjuk salah satu kalung pada etalase kaca di hadapan kami."Itu sepertinya cocok sama kamu." Sebuah kalung emas bertahtakan berlian dengan liontin berbentuk huruf P memang membuatku takjub saat menatap kecantikan dan keindahannya."Kamu menyukainya?" Pertanyaan Mas Daniel saat ini, benar-benar membuatku gugup. Wanita mana yang tak suka dengan perhiasaan? Mungkin ada, tapi rasanya sebagian besar menyukainya."Mbak, ambil yang ini, ya.""Baik, pak." Pelayan toko emas dengan cepat mengambil kalung cantik yang dimaksud suamiku."Coba pakai dulu," ujarnya setelah kalung itu berpindah tangan padaku."Ini...
"Maksud lu?" Alan menyorot tajam wajah sepupunya. Membuat Mas Daniel sedikit salah tingkah dibuatnya. Seperti aku, Alan pun tampaknya tak terlalu mengerti dengan ucapan Mas Daniel belum lama ini. "Lu bicara apa barusan?" Cecar Alan kemudian. Menanggapi pertanyaan Alan, Mas Daniel terlihat semakin gugup. Ada apa? "Ya ... ya almarhum papa lu pastinya berharap lu tobat dulu, lah, kalau mau ambil anak orang buat dijadikan istri." Kilahnya kemudian, namun tetap membuatku sedikit penasaran dengan ucapan yang dia lontarkan secara sungguh-sungguh beberapa saat yang lalu. "Apaan sih, gak jelas!" Cibir Alan sambil menyertakan tampang sinisnya. Alan kemudian mengalihkan pandangan padaku. "Ya sudah, Put. Aku pulang dulu, kalau ada apa-apa jangan sungkan buat telepon aku." Aku mengangguk kaku saat Alan menampilkan senyum manis ketika menampilkan senyum manis ketika menempelkan jempol dan kelingking yang biasa menjadi kode telepon, d
(POV Daniel)"Mas, aku turun dulu, ya ke dapur." Putri bersuara lembut, ah, tidak, lebih tepatnya sengau ketika meminta izin turun kedapur. Meninggakan aku yang masih duduk santai di sofa kamar sembari memainkan ponsel."Ya." Aku hanya menatap sekilas sebelum gadis belia itu turun dan melakukan aktivitas yang seperti sudah menjadi rutinitasnya.Pukul 06.00 wib aku masih berdiam diri disini, tersentak saat tiba-tiba ada yang menelepon.Nomor yang tidak dikenal yang aku tahu betul siapa orangnya menghubungi diriku lagi pagi ini.Kuangkat panggilan meski dengan gerakan malas."Mas, jangan bilang kalau kamu sudah benar-benar jatuh cinta, ya sama dia?"Suara yang dulu terdengar manis ditelinga, kini tak lagi sama.Kuakhiri panggilan tanpa menjawab. Berharap dia mengerti dengan keputusan yang sudah berulang kali aku sampaikan.Maaf, Lita... jika akhirnya aku ingkar janji. Tak semudah itu rupanya mempertahankan hati d
Melihatnya meraih ponsel, hatiku mendadak panas meski sebelumnya sempat menguatkan hati untuk tak terpengaruh dengan apa pun yang menyangkut Mas Daniel. "Iya, Ma?" Terlihat lelakiku menyapa saat mungkin sudah terhubung melalui sambungan telepon dengan lawan bicaranya. Oh, rupanya Mama yang menelepon sang anak, aku tak bisa mengerti kenapa ada rasa lega yang menjalar didada. Saat tahu jika ternyata Mama mertua yang menelepon, bukan Lita seperti yang kuperkirakan sebelumnya. Aku yang sedang melipat mukena, hanya memperhatikan dari jauh suamiku yang sedang bertelepon ria dengan Mamanya. Setelah beberapa saat menyapa sang Mama, terlihat Mas Daniel terdiam untuk waktu yang cukup lama. Mungkin saja dia tengah mendengar dan mencerna baik-baik petuah yang diberikan oleh wanita yang telah melahirkannya, aku tak tahu. "Apa!?" Jelas sekali Mas Daniel syok. Ah, ada apa ini sebenarnya? Kabar apa yang membuat dia jadi sedemikan terkejut? "Ja
"Sudahi omong kosong mu, Putri! Masuk sekarang!" Alan tampak menutup ponselnya dengan kaku saat sepupunya memberikan perintah serupa secara paksa kepadaku. Aku masih diam membatu, tak tertarik untuk langsung masuk dan mengikuti perintah suamiku tak berperasaan ini. "Aku bilang masuk!" Teriak Mas Daniel mengulang lagi titahnya yang tak juga kuindahkan meski berkali-kali dia berucap dengan nada marah. "Makasih ya," aku menatap Alan dengan perasaan mengharu biru sesaat sebelum menarik langkah masuk. Memenuhi perintah lelaki yang bergelar suami yang sayangnya tak pandai menjaga perasaanku apalagi memanusiakan diriku selayaknya istri. Alan mengangguk gugup ketika tatapan kami beradu. Dari sinar matanya, jelas sekali dia menaruh rasa iba dan prihatin atas apa yang menjadi takdirku. Memiliki suami yang bahkan menganggapku tak lebih dari objek yang bisa dia lepas dikala dia bosan. "Ingat, ada gue yang siap menghapus air matanya kalau kau
"Putri, kamu baik-baik saja kan sama Mas Daniel." Aku diam membeku saat Mama yang telah berpakaian rapi, memberikan wejangan padaku. "Mama sama Papa?" tanyaku bingung saat melihat kedua mertuakuseperti siap untuk pergi siang ini. "Mama sama Papa harus ke jogja, sayang. Delon sakit dan harus dirawat. Mama nggak tega," ungkap Mama mertua dengan mata berkaca-kaca. "Iya, Ma. Semoga semuanya baik-baik saja, ya." *** Sorenya Alan yang mungkin tak semat dikabari oleh Mama mertua datang dengan wajah ceria ketika bertandang. "Ma.... aku datang." Masuk ke ruang tamu, Alan berseru dengan lantang seperti biasanya. "Mama lagi ke jogja, Delon sakit dan harus di rawat." Sambil menuruni anak tangga aku menyampaikan apa yang rasanya perlu untuk disampaikan. "Oh... poor boy." Alan menunjukan simpati saat mendengar sepupunya dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. "Semoga saja lekas membaik, r
"Maaf ya, Bik. Aku janji cuma buat malam ini saja." Aku berucap canggung saat merasa tak enak hati karena mengganggu waktu istirahatnya malam ini. "Iya, Mbak." Aku mengedarkan pandangan. Menyadari hanya ada satu kasur bsa setinggi 20 cm dengan ukuran single size, membuatku ragu harus melakukan apa sekarang. "Mbak Putri, tidur diatas saja, biar bibik yang dibawah pakai karpet." Ya Tuhan, kenapa jadi aku makin merasa bersalah begini? "Biar aku saja yang tidur di karpet, Bik." Aku buru-buru memotong ucapan Bik Onah. Tak mau egois dengan mengesampingkan orang lain padahal aku yang menumpang. "Jangan!" "Tidak apa-apa, Bik. Aku dari kecil sudah biasa hidup susah." "Jangan Mbak, pokoknya jangan." "Putri!" Terdengar suara Mas Daniel dari balik pintu. Membuat pikiran ku jadi makin tak karuan dibuatnya. "Bagaimana itu, Mbak?" Bik Onah yang baru saja menggelar karpet bulu bermotif bunga, menatapku meminta p