"Serius nggak tertarik?" Aku menanggalkan rasa malu untuk sementara waktu saat berjalan mendekati dia. Laki-laki sombong yang bergelar suami yang kesannya selalu menganggap remeh diriku.
"Apa.... Aku kurang seksi, Mas?" Suara manja menggoda melengkapi aksi yang bahkan nggak pernah masuk di otak ku ini.
Beneran, ini spontan saja.
Mas Daniel menatapku sinis sambil bergidik ngeri, seperti ilfill melihatku yang memang agak lebay. Habisnya gimana lagi, dari pada aku tambah malu mending berbuat konyol sekalian.
"Buruan, sana pakai rok atau celana. Nggak ada bagus-bagus nya tau kayak gitu."
Dasar jaim! Padahal keliatan banget dia lagi nahan diri buat nggak tergoda. Buktinya dia nggak berani lihat aku lama-lama.
Aku pun mengambil celana tartan motif kotak untuk mengakhiri keadaan awkward.
"Tidur! Jangan bergadang, jangan main hape terus." Mas Daniel memperingatkan begitu aku menyusul menaiki ranjang dan berbaring disampingnya. Lelaki entah bagaimana menganggap aku selama jadi istrinya.
"Iya....."
Suamiku yang semula bersandar dikepala ranjang, tampak membaringkan tubuhnya lantas memejamkan mata. Sementara aku, walaupun berbaring cukup lama rasa kantuk belum juga datang.
Tanpa diminta, kejadian naas dimasa lalu menghinggapi kepala. Mengingat bayangan kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua dan adik ku tiba-tiba membuat kepalaku berdenyut dan mata pun turut memanas.
Mengingat kejadian itu, mendadak napas ku berat dan tersendat seperti kekurangan oksigen.
Mereka menyebut diriku anak yang beruntung, tapi aku menyebut diriku anak yang malang. Ya, karena cuma akulah yang selamat dari kecelakaan maut tersebut.
Mereka menganggap aku pantas bersyukur, karena diberi umur yang panjang. Padahal jika di ijinkan aku ingin menyusul mereka, orang-orang yang ku sayang telah meninggal kan aku lebih dulu.
Sejak berusia sepuluh tahun aku di tempah harus menjadi sosok yang kuat dan tegar. Karena hidup memang tetap harus berjalan meski terasa kejam dan menyakitkan.
Setelah kepergian orang tua dan adikku, aku di asuh oleh paman dari pihak ibu yang penghasilan nya pas-pasan bahkan cenderung kekurangan. Sedangkan keluarga dari pihak bapak, yang notabene dari keluarga berada sama sekali tak peduli.
Aku terisak saat menyadari kalau aku tak seberuntung yang lain yang memiliki orang tua dan keluarga yang lengkap. Aku mengisi masa kecil dengan suka cita, selain berbeda aku juga harus merasakan pahit getirnya mencari nafkah jika ingin masih makan dan melanjutkan sekolah.
"Ibu...bapak, Ayuni. Aku kangen." Air mataku tumpah saat bayangan tiga orang terkasih terbujur kaku.
"Putri?"
Aku buru-buru memalingkan wajah saat suamiku terbangun dan menatap lekat padaku. aku malu dan takut dia berpikir aneh-aneh kenapa aku menangis.
"Kenapa menangis?" Tanyanya justru membuat dadaku semakin sesak.
"Enggak, aku nggak nangis kok."
"Kenapa? Kamu masih tersinggung sama omongan teman-teman Lita tadi siang?" tebaknya Pelan.
Oh.... Jadi mantan pacar Mas Daniel namanya Lita, baiklah sekarang aku tahu namanya hehehe.
Aku menggeleng pelan
"Bukan karena itu."
Mas Daniel mengangguk, tapi seperti tak ingat mencari tahu apa yang menyebabkan istrinya menangis malam-malam begini.
"Yaudah, jangan nangis lagi. Tidur ya?"
Aku seperti anak kecil yang menuruti kata-kata Mas Daniel, dan dia juga menyelimuti dan menatap mataku dengan sendu.
Esok paginya
"Putri, kenapa mata kamu bengkak? apa Mas Daniel sudah jahatin kamu?" Saat sedang duduk dimeja makan, mama mertua mungkin melihat mataku berubah sembab. Bertanya sambil melirik putranya.
"Enggak ,ma." Aku menggeleng tegas lantas tertunduk.
"Ma, jangan apa-apa yang disalahin aku, wong aku juga nggak ada ngapa-ngapain putri." Aku mendongak saat suamiku tidak terlibat atas bengkaknya mataku.Memprotes kesal tuduhan sang mama.
Papa mertua yang duduk di samping istrinya, menatapku iba.
"Hidup harus tetap berjalan putri, jangan berkubang dengan suka dimasa lalu."
Aku hampir tak percaya Papa mertua seperti bisa membaca jalan pikiran dan kesedihan ku.
Aku tak mengerti ada hubungan apa pak Ramon alias Papa mertua dengan masa lalu orang tuaku. Namun, yang pasti papa mertua sangat peduli padaku bahkan jodoh pernikahan aku dan Mas Daniel sudah diatur atas kehendak pria paruh baya ini.
"Iya Pa."
"Daniel, kamu juga jangan kaku banget sama istri sendiri." Papa mertua terdengar mewanti-wanti anak sulungnya. Membuat suamiku mengangguk kaku.
"Iya papa."
******
[Cie yang sudah nikah sama orang kaya, udah lupa ya... sama kita-kita?]
Aku mendengus pelan saat membaca pesan dari sahabat baik ku yang masih bekerja sebagai karyawan minimarket.
[Nggak usah mikir aneh, ah... aku justru kangen sama keseruan kita, pas mau lebaran banyak pembeli.]
Aku membalikkan pesan dari Nova dengan senyum terukir di bibir.
Aku dan Mas Daniel masing-masing sibuk dengan ponsel ditangan dibuat tersentak saat pintu kamar kami diketuk berkali-kali.
Dan ketika kami membuka pintu Papa mertua sudah berdiri tegak disana.
"Daniel, Putri, nanti malam ada undangan makan malam dari rekan bisnis. Papa minta kalian saja yang datang kesana ya! hari ini papa agak sedikit lelah."
"Oke, pa." Mas Daniel menjawab cepat.
****
"Sini mama bantuin kamu make up, sayang. Biar penampilan kamu makin cantik dan anggun." Selepas magrib, mama mertua menarik ku kekamar nya yang luas.
Menunjukkan dan memberi tahukan ku banyak alat make up yang aku sendiri pun nggak tahu apa namanya.
"Putri sebenarnya nggak pede, Ma. Datang ke acara-acara seperti itu." Aku yang merasa rendah diri pun mulai bersuara ketika mama mertua menyapu kan foundation di wajah ku.
"Loh, kenapa?"
"Muka putri kampungan, Ma." Aku berucap lirih dan menundukkan wajah agar tak terlihat genangan air mataku.
"Siapa yang bilang begitu nak?"
Aku menggeleng lemah, tak ingin membahas siapa-siapa yang menganggap ku sebelah mata. Karena jika dihitung dari dahulu pasti banyak nama-nama yang aku sebutkan.
"Mulai sekarang kamu harus pede ya Put, kamu cantik kok. Lihat tuh, wajah mu natural cantiknya sayang!"
Mama mertua rupanya begitu ahli dalam merias wajah, melalui tangan beliau yang super cekatan. Wajahku pun di sulap menjadi mirip film princess Elsa. Perasaanku aja kali ya!
Eh, nggak jadi deh. Tapi kalau seandainya jadi mungkin agak berbeda, haduh aku kok halu jadi princess.
Mama mengambil kan aku tas jinjing kecil begitu wajahku dipermak sedemikian rupa.
"Sempurna." Nyonya Sania alias si mama mertua yang cantik dan awet muda ini menatapku takjub ketika aku berdiri sambil aku menjinjing tas kecil yang aku gak tau harganya berapa. Tapi, seperti nya sih ini mahal.
"Udah belum? Perasaan lama amat?"
Mas Daniel mungkin sudah siap untuk berangkat, mengetuk pintu kamar mamanya dari luar.
"Sabar, dikit lagi!" Seru sang mama
Mama mertua lantas mengajari diriku untuk berjalan anggun.
Huft!
Rupanya jadi menantu orang kaya memang sedikit ribet ya.
Setelah dirasa siap, mama mertua lantas membuka pintu.
Melihatku dengan tampil dengan dress bermotif dan mengenakan high heels dengan make up yang berbeda membuat Mas Daniel ternganga. Entah dia sedang takjub, terpana atau syok. Aku pun tak mengerti.
"Dan!"
"I-iya, Ma?" Suamiku tampak gugup ketika sang mama menegur nya.
Mama mertua cekikikan.
"Baru nyadar kamu kalau putri cantik?"
"I-iya, Ma." Terlihat Mas Daniel buru-buru menutup mulut. Seperti menyesal mengakui kalau istrinya ini cantik.
Mataku membulat.
Benarkah itu Aldebaran... eh, salah Mas Daniel.
Benarkah di matamu aku cantik? nanti lah, aku tanyakan lagi pas udah kelar makan malamnya. Takut nanti jawabannya nggak mengenak kan, ntar yang ada malah luntur make up Barbie aku gara-gara nangis bombay.
****
"Hai, bro. Apa kabar?" Seorang pemuda berpenampilan formal, menyalami suamiku begitu kami sampai di tempat yang menjadi lokasi makan malam kali ini.
Sebuah restoran mewah berkonsep kan outdoor, menjadi tempat berkumpulnya kalangan orang-orang konglomerat untuk melakukan makan malam yang rasanya lebih banyak jadi ajang pamer dan riya'.
Ya ampun Putri! Bersihkan hati dan pikiran kotor mu! Pikiran jahat ini kadang nggak bisa di kontrol.
Aku merasa agak risih saat lelaki barusan menyalami Mas Daniel dan terus menfokuskan pandangan kepadaku.
Apa dalam hati lelaki itu mengumpat dan menghinaku kampungan.
Ya Tuhan, Putri. Berhenti lah sudzon.
Tak disangka teman Lita, si rambut pirang datang juga ke acara makan malam para kaum elit ini.
"Gimana rasanya nyonya Daniel, bisa bergabung dengan orang-orang berkelas? pasti, sesuatu banget kan? Secara, selama ini kan cuma ketemu sama customer-customer minimarket. Pasti beda ya, kan?" Tawanya tersembur saat mengejek aku secara terbuka di depan umum.
Bagaimana dia tau, aku pernah kerja jadi kasir? Apa dia stalking akun media sosial ku. Atau jangan-jangan dia mata-mata?
Mas Daniel menatap nyalang wajah gadis yang secara terang-terangan menghinaku di depan khalayak ramai. Namun kalimat pembelaan yang ingin ku dengar dari suamiku tak ku dengar sama sekali.
Kecewa? pasti nya? untuk sekian kalinya aku kecewa dengan sikap Mas Daniel yang sama sekali tak pernah menganggap aku ini istrinya.
"Mas, aku mau pulang!"
*******
hai para pembaca bantu support dan follow ya. terimakasih"Kamu akan tetap disini." Mas Daniel menahan tanganku dengan raut wajah yang tegas. Membuatku yang hampir saja menarik langkah, tapi tetap bertahan ditempat yang rasanya tak pantas buatku."Karen, berhentilah mengolok-olok apalagi mengejek dia, karena dia itu... Istriku!"Aku mendongak menatap Mas Daniel yang tengah berbicara pada si rambut pirang. Ada yang berdesir di dadaku ketika akhirnya, Mas Daniel mau mengakui status aku sebagai istri didepan gadis sombong itu.Ya ampun, kok jadi pengen joget-joget kayak film India,"Kau ... Jadikan aku ... Wanita yang kau pilih..."Romantis banget sih, serasa jadi wanita wanita yang di film Korea menyelamatkan pujaan hati nya.Tapi nggak mungkin lah aku melakukan hal kayak gitu, yang ada malah dikatain norak, kampungan!"Apa? Kamu seriusan suka sama bocah kampungan itu, Daniel?" Muka si banaspati, eh, salah, muka Karen berubah jadi semerah tomat busuk pas mendengar pengakuan Mas Daniel.Mas Dani
"Drama murahan macam apa ini? Berani sekali kau menggoda istriku!" Gigi Mas Daniel bergemeretak dengan wajah yang terlihat semakin garang.Benarkah dia cemburu? Bukan kah dia bilang aku ini sama sekali nggak menarik?Kartu nama itu ku tatap sekilas, dan ternyata namanya Sebastian Gunawan."Aku pernah lihat kamu... Jalan dengan... Lita. Apa kalian sudah putus?" Tanyanya dengan mengejek. "Rasanya... belum ada sebulan ini aku melihat kalian berdua jalan bersama."Jadi laki-laki ini tau tentang Lita? mantan Mas Daniel.Mas Daniel diam. Berarti apa yang diungkapkan lelaki yang baru ku ketahui namanya Bastian ini, betul!"Ayo, Putri. Kita pulang sekarang."Aku menatap ragu Bastian sebelum kartu nama miliknya aku sambar dengan cepat dan aku masukkan kedalam tas jinjing kecil yang aku bawa."See you again." Bastian mengulas senyum sebelum aku dan Mas Daniel benar-benar berlalu jamuan makan malam orang-orang berkelas ini.Jujur s
Tanpa ingin tahunya bagaimana dia berekspresi selangkah, iseng ku simpan nomor ponsel milik cowok gondrong yang kini berambut cepak.Bukan karena aku ke gatalan loh,ya. Jujur, aku sedikit penasaran atas pengetahuan nya tentang hubungan suamiku dan Lita yang katanya masih hangat sekitar sebulan lalu. Lah, bukan kami sudah menikah? Jadi maksudnya Mas Daniel bermain dibelakang ku?Setelah tersimpan, aku mencoba menghubungi nomor kontak lelaki itu."Halo?" Suara Bastian memenuhi rongga telinga saat telepon kami bersambung."Aku butuh teman curhat." Aku menyahut dingin ucapannya."Wow, ini mbak kasir yang di jodohin sama cowok tajir mantan Lita itu kan?" Dari nada bicaranya, Bastian terdengar begitu yakin saat menerka siapa aku."Iya betul.""Ada masalah apa menelepon ku malam-malam begini, mbak kasir?"
“Mas,turunin!” Aku berucap dengan melotot saat menatapnya yang terus memandang lurus ke depan.Mas Daniel cuek dan tetap membopongku sampai ke kamar. Orang yang melihat aksinya saat ini pasti mengira jika kami adalah pasangan serasi yang sedang kasmaran, bahkan dia menggunakan kaki kanannya saat mendorong pintu untuk membuka. Sudah seperti pengantin baru yang sedang dimabuk cinta bukan?Pun saat menutup pintu pasca kami masuk lagi ke kamar, dia pun mendorong dan memastikan pintu tertutup rapat dengan sebelah kakinya.Namun, gayanya yang membopong ala bridal style berakhir ketika kami sudah berdua saja dikamar ini. Tanpa kata-kata, dihempaskan nya tubuhku ke atas ranjang tanpa perasaan.“Aw!” Aku mengaduh sembari memegangi punggung ku. Meski tempat tidur ini empuk, rasanya nggak enak banget lah dihempaskan begitu.“Kasar banget, sih! Jadi cowok!” Aku mengomel kesal padanya yang sesuka hati melempar k
Tampak sekali Mas Daniel tersulut emosi saat aku menyebut nama mantan kekasih yang mungkin saja berhubungan baik dengannya sampai sejauh ini. Apakah tuduhan ku benar. Jujur aku mengakui hatiku, bergemuruh saat mencoba menafsirkan ekspresi wajahnya. "Dan, ingat, kamu sudah punya istri. Jangan memberi celah pada wanita untuk memporak-porandakan nasib pernikahan kalian." Papa mertua terdengar bersuara. Membuat sesuatu yang ada disini terdiam. Pun begitu dengan Mas Daniel, dia terlihat seperti anak baik-baik yang enggan membantah perkataan orang tua. "Kamu perlu ingat satu hal. Kamu sudah mengambil tanggung jawab atas Putri saat mengucapkan ijab Kabul di depan penghulu, Daniel..." "Iya, pa." "Perkara kalian mau pindah kerumah baru atau tetap disini, papa membebaskan. Tergantung Putri saja." Ucapan papa mertua terdengar bijaksana. " Tapi menurut Mama, Putri lebih baik tinggal disini deh pa! Papa tau kan dari dulu Mama pengen
Kata-kata itu terdengar tajam bagai belati yang menusuk dalam sampai ke ulu hati.Ya Rabb, benarkah kesucian ini yang ku jaga selama ini harus terenggut dalam situasi dan kondisi mencekam seperti ini? Keadaan yang bahkan jauh dari kata romantis?Sungguh, bukan dengan jalan seperti ini yang kuinginkan menjadi akhir dari penjagaan kesucian seorang Putri Melani.Dengan napas menderu, mataku yang masih dipenuhi bias kaca, menatap nyalang wajah lelaki yang ternyata tak berperasaan ini.Aku benar-benar tak habis pikir. bagaimana bisa orang tua yang pembawaan lemah lembut dan bijaksana, memiliki penerus seperti laki-laki yang tengah berdiri kaku dihadapan ku.Aku merasakan tulang ku membeku saat matanya menatapku dengan tatapan buas yang mengancam. Persis seperti pemburu yang mengincar sasarannya.“Jangan pernah berharap menyentuhku, apalagi memaksaku! Aku tidak sudi!” aku berteriak lantang saat Mas Daniel terlihat semakin tertarik untu
“Omong kosong katamu? Aku serius! Kalau kamu masih cinta dengan dia kenapa harus menikahi ku?” Aku menatapnya tajam ketika mengolok dirinya yang masih mempertahankan raut wajah yang garang setelah mengintimidasi diriku.Tak menjawab pertanyaan ku, Mas Daniel terdiam untuk berapa saat hingga mencetuskan ide untuk makan siang. Karena memang, kami belum sempat makan sebelum pamit pergi tadi.“Aku lapar. Gimana kalau kita makan sekarang?” ujar Mas Daniel sembari mengusap perutnya.Tak mau berdebat, aku mengangguk pelan sebagai tanda setuju.Pulang dari gerai ponsel di salah satu mall elit di ibukota ini. Kami pun singgah di sebuah restoran khas jepang. Tempat yang rasanya juga menjadi salah satu lokasi favorit suamiku untuk mengisi perut, selain mie ayam langganan hari itu.“Kamu nggak makan?” Mas Daniel bertanya ketika berbagai hidangan tersaji dihadapan kami dan aku sama sekali tak tertarik untuk mengambil salah sa
“Jadi kalian?” Mas Andre dan Mbak Misca kompak menggantung pertanyaan yang sudah aku ketahui kemana arahnya.“Ya, belum terjadi apa-apa diantara kami, dan mungkin… nggak akan terjadi.” Aku membalas datar pertanyaan mereka meski hati bergejolak ingin memuntahkan amarah, dan mengungkapkan betapa hina nya aku dimata Mas Daniel. Namun, aku tahan.Rasanya terlalu kekanak-kanakan jika aku mengungkap secara gamblang perlakuan apa yang aku dapatkan selama menjadi istri seorang Daniel Hadiwijaya.Menanggapi ucapan ku, Mas Daniel terlihat menunjukan raut wajah tegang. Namun, tanpa terduga respon lain ditampilkan oleh Mas Andre dan Mbak Misca.“Relax, dek.” Mbak Misca berjalan mendekatiku. Dengan penuh kelembutan, ibu satu anak ini mengusap punggungku.Diperlakukan seperti ini, justru membuatku terjebak dalam perasaan melankolis.Jujur, aku tersentuh. Setelah kepergian Ibu dan Bapak, usapan lembut dipunggung s
"Mas, kapan Mama sama Papa balik kejakarta?" Aku mengalihkan pembahasan saat merasa Mas Daniel terus-menerus tertarik membicarakan tentang hal yang tak jelas dan cenderung menjengkelkan hati."Katanya, sih, nunggu tiga atau empat harian lagi, nunggu Delon pulih," ungkapnya yang membuatku sedikit tenang dan gembira. Jujur, keberadaan Mama di rumahini sangat aku rindukan. Bagaimana tidak, bukankah beliau sosok ibu yang mengayomi?"Oh..."'Kenapa?""Tidak apa-apa kok? Syukurlah kalau keadaan Delon sudah mulai membaik."Mas Daniel mengangguk samar.Teringat masa kecil ku, aku merasa bersyukur karena aku tipe anak yang jarang sakit. Tak bisa di bayangkan jika aku yang hidup dalam garis kemiskinan sering sakit. Namun, Allah benar-benar Maha Adil. Dia tak kan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya. Dan kini, aku pantas bersyukur karena melalui Dia, seorang suami tampan yang mencintai hadir melengkapi hidupku.Aku tertegun ketika Mas Daniel menepuk pundakku."Eh, eng-enggak," sahutku
"Aku tidak tahu kamu lagi bohong apa jujur soal perasaan kamu ke aku. Tapi terima kasih telah mengungkapnya, jadi aku tahu rasanya dicintai." Ucapku lirih ketika merasa hati ini mulai merasakan kenyamanan , meski kadang masih ragu tentang perasaan sebenarnya padaku.Sejurus kemudian, Mas Daniel menatapku sendu. Seolah ingin mematahkan pendapatku, pria berbibir tipis ini meraih tanganku dan menggengamnya erat."Aku janji sama kamu, akan kubuat kau bahagia selagi jantungku masih berdetak," ucapnya penuh keseriusan. Membuatku merasa tersanjung seperti di bawa terbang ke awang-awang."Kamu jadi lebih puitis akhir-akhir ini." Ucapku pelan dan langsung dibalas dengan senyuman manis suamiku."Tapi, makasih, ya. Jadi, walaupun akhirnya nanti harus kecewa, tapi setidaknya aku sudah tahu rasanya dicintai olehmu." Imbuhku lirih, saat hati mendadak didera perasaan waspada. Takut Mas Daniel hanya ingin mempermainkanku saat ini. Seperti yang sudah-sudah."
Aku tak mengerti apa alasan Mas Daniel mengajakku singgah ke ssbuah toko emas dan berlian disalah satu gerai mall elit ini."Mas, mau beli apa disitu?""Lehermu sepertinya bakalan indah kalau salah satu kalung melekat di sini."Aku yang tak pernah menyangka bakal di bawa ke tempat semewah ini, kelimpungan saat Mas Daniel menunjuk salah satu kalung pada etalase kaca di hadapan kami."Itu sepertinya cocok sama kamu." Sebuah kalung emas bertahtakan berlian dengan liontin berbentuk huruf P memang membuatku takjub saat menatap kecantikan dan keindahannya."Kamu menyukainya?" Pertanyaan Mas Daniel saat ini, benar-benar membuatku gugup. Wanita mana yang tak suka dengan perhiasaan? Mungkin ada, tapi rasanya sebagian besar menyukainya."Mbak, ambil yang ini, ya.""Baik, pak." Pelayan toko emas dengan cepat mengambil kalung cantik yang dimaksud suamiku."Coba pakai dulu," ujarnya setelah kalung itu berpindah tangan padaku."Ini...
"Maksud lu?" Alan menyorot tajam wajah sepupunya. Membuat Mas Daniel sedikit salah tingkah dibuatnya. Seperti aku, Alan pun tampaknya tak terlalu mengerti dengan ucapan Mas Daniel belum lama ini. "Lu bicara apa barusan?" Cecar Alan kemudian. Menanggapi pertanyaan Alan, Mas Daniel terlihat semakin gugup. Ada apa? "Ya ... ya almarhum papa lu pastinya berharap lu tobat dulu, lah, kalau mau ambil anak orang buat dijadikan istri." Kilahnya kemudian, namun tetap membuatku sedikit penasaran dengan ucapan yang dia lontarkan secara sungguh-sungguh beberapa saat yang lalu. "Apaan sih, gak jelas!" Cibir Alan sambil menyertakan tampang sinisnya. Alan kemudian mengalihkan pandangan padaku. "Ya sudah, Put. Aku pulang dulu, kalau ada apa-apa jangan sungkan buat telepon aku." Aku mengangguk kaku saat Alan menampilkan senyum manis ketika menampilkan senyum manis ketika menempelkan jempol dan kelingking yang biasa menjadi kode telepon, d
(POV Daniel)"Mas, aku turun dulu, ya ke dapur." Putri bersuara lembut, ah, tidak, lebih tepatnya sengau ketika meminta izin turun kedapur. Meninggakan aku yang masih duduk santai di sofa kamar sembari memainkan ponsel."Ya." Aku hanya menatap sekilas sebelum gadis belia itu turun dan melakukan aktivitas yang seperti sudah menjadi rutinitasnya.Pukul 06.00 wib aku masih berdiam diri disini, tersentak saat tiba-tiba ada yang menelepon.Nomor yang tidak dikenal yang aku tahu betul siapa orangnya menghubungi diriku lagi pagi ini.Kuangkat panggilan meski dengan gerakan malas."Mas, jangan bilang kalau kamu sudah benar-benar jatuh cinta, ya sama dia?"Suara yang dulu terdengar manis ditelinga, kini tak lagi sama.Kuakhiri panggilan tanpa menjawab. Berharap dia mengerti dengan keputusan yang sudah berulang kali aku sampaikan.Maaf, Lita... jika akhirnya aku ingkar janji. Tak semudah itu rupanya mempertahankan hati d
Melihatnya meraih ponsel, hatiku mendadak panas meski sebelumnya sempat menguatkan hati untuk tak terpengaruh dengan apa pun yang menyangkut Mas Daniel. "Iya, Ma?" Terlihat lelakiku menyapa saat mungkin sudah terhubung melalui sambungan telepon dengan lawan bicaranya. Oh, rupanya Mama yang menelepon sang anak, aku tak bisa mengerti kenapa ada rasa lega yang menjalar didada. Saat tahu jika ternyata Mama mertua yang menelepon, bukan Lita seperti yang kuperkirakan sebelumnya. Aku yang sedang melipat mukena, hanya memperhatikan dari jauh suamiku yang sedang bertelepon ria dengan Mamanya. Setelah beberapa saat menyapa sang Mama, terlihat Mas Daniel terdiam untuk waktu yang cukup lama. Mungkin saja dia tengah mendengar dan mencerna baik-baik petuah yang diberikan oleh wanita yang telah melahirkannya, aku tak tahu. "Apa!?" Jelas sekali Mas Daniel syok. Ah, ada apa ini sebenarnya? Kabar apa yang membuat dia jadi sedemikan terkejut? "Ja
"Sudahi omong kosong mu, Putri! Masuk sekarang!" Alan tampak menutup ponselnya dengan kaku saat sepupunya memberikan perintah serupa secara paksa kepadaku. Aku masih diam membatu, tak tertarik untuk langsung masuk dan mengikuti perintah suamiku tak berperasaan ini. "Aku bilang masuk!" Teriak Mas Daniel mengulang lagi titahnya yang tak juga kuindahkan meski berkali-kali dia berucap dengan nada marah. "Makasih ya," aku menatap Alan dengan perasaan mengharu biru sesaat sebelum menarik langkah masuk. Memenuhi perintah lelaki yang bergelar suami yang sayangnya tak pandai menjaga perasaanku apalagi memanusiakan diriku selayaknya istri. Alan mengangguk gugup ketika tatapan kami beradu. Dari sinar matanya, jelas sekali dia menaruh rasa iba dan prihatin atas apa yang menjadi takdirku. Memiliki suami yang bahkan menganggapku tak lebih dari objek yang bisa dia lepas dikala dia bosan. "Ingat, ada gue yang siap menghapus air matanya kalau kau
"Putri, kamu baik-baik saja kan sama Mas Daniel." Aku diam membeku saat Mama yang telah berpakaian rapi, memberikan wejangan padaku. "Mama sama Papa?" tanyaku bingung saat melihat kedua mertuakuseperti siap untuk pergi siang ini. "Mama sama Papa harus ke jogja, sayang. Delon sakit dan harus dirawat. Mama nggak tega," ungkap Mama mertua dengan mata berkaca-kaca. "Iya, Ma. Semoga semuanya baik-baik saja, ya." *** Sorenya Alan yang mungkin tak semat dikabari oleh Mama mertua datang dengan wajah ceria ketika bertandang. "Ma.... aku datang." Masuk ke ruang tamu, Alan berseru dengan lantang seperti biasanya. "Mama lagi ke jogja, Delon sakit dan harus di rawat." Sambil menuruni anak tangga aku menyampaikan apa yang rasanya perlu untuk disampaikan. "Oh... poor boy." Alan menunjukan simpati saat mendengar sepupunya dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. "Semoga saja lekas membaik, r
"Maaf ya, Bik. Aku janji cuma buat malam ini saja." Aku berucap canggung saat merasa tak enak hati karena mengganggu waktu istirahatnya malam ini. "Iya, Mbak." Aku mengedarkan pandangan. Menyadari hanya ada satu kasur bsa setinggi 20 cm dengan ukuran single size, membuatku ragu harus melakukan apa sekarang. "Mbak Putri, tidur diatas saja, biar bibik yang dibawah pakai karpet." Ya Tuhan, kenapa jadi aku makin merasa bersalah begini? "Biar aku saja yang tidur di karpet, Bik." Aku buru-buru memotong ucapan Bik Onah. Tak mau egois dengan mengesampingkan orang lain padahal aku yang menumpang. "Jangan!" "Tidak apa-apa, Bik. Aku dari kecil sudah biasa hidup susah." "Jangan Mbak, pokoknya jangan." "Putri!" Terdengar suara Mas Daniel dari balik pintu. Membuat pikiran ku jadi makin tak karuan dibuatnya. "Bagaimana itu, Mbak?" Bik Onah yang baru saja menggelar karpet bulu bermotif bunga, menatapku meminta p